Pangeran Santri Menyebarkan Agama Islam dengan Akulturasi Budaya

Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi (Prabu Munding Wangi) dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang.

Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata / Nyi Mas Setyasih (1530-1579), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun. 

Ratu Pucuk Umum adalah saudara dari Ratu Sunyalarang, yang dipersunting oleh Prabu Pucuk Umum kerajaan Talaga Manggung Majalengka, ibu dari Prabu Haur Kuning dan Sunan Wanaperih.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumah dinata 1, putra Pangeran Pamelekaran. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Nama asli Pangeran Santri adalah Raden Sholih

Raden Sholih atau Pangeran Kusumah Dinata I atau Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri 1530-1578 adalah Penerus Kerajaan Sumedang Larang setelah menikah dengan Ratu Pucuk Umun.


Makam Pangeran Santri Tempo Dulu
Tangga ke Arah Makam Pangeran Santri Tempo dulu
Komplek Pemakaman Astana Pasarean Gede Sumedang Tempo Dulu, dimana keturunan Karaton Sumedang dimakamkan

Komplek Pemakaman Astana Pasarean Gede Sumedang Tempo Dulu , dimana Keturunan Karaton Sumedang dimakamkan


Islam mulai dikenalkan di dalam keraton. Islam menyebar ke keluarga, kerabat kerajaan sampai ke rakyat Sumedanglarang.

Penyebaran agama Islam di Sumedang dimulai dari keraton setelah pangeran ulama asal Cirebon menikahi ratu Pucuk Umum yang menjadi raja Sumedanglarang pertengahan abad ke-16.

Menikahnya ulama asal Cirebon yang bergelar Pangeran Santri ini ajaran Islam mulai menyebar di tatar Sumedanglarang.

“Pangeran Kusumahdinata ini lebih dikenal sebagai Pangeran Santri karena ia seorang santri dari pesantren. Ulama yang alim,” kata Idad Istidad, penggiat Sejarah Islam Sumedang yang juga pengasuh Pesantren Al Falahiyah di Desa Cikoneng, Kecamatan Ganeas, Sumedang, Minggu (18/6).

Menurutnya, sebagai seorang ulama yang menikahi Ratu Sumedanglarang sangat mudah untuk melakukan penyebaran agama Islam.

“Islam mulai di dalam keraton. Islam menyebar ke kerabat sampai ke rakyat Sumedanglarang,” kata anak Mama Falah pendiri pesantren Cikoneng ini .

Apalagi, terang dia, penduduk dulu bahkan sampai sekarang di Sumedang itu sangat tunduk pada pimpinan.

“Raja dan ratunya sudah Islam tentu rakyat juga ikut. Rakyatnya juga masuk Islam tapi jangan salah juga sebagai agama baru tentu ada juga yang menentang. Sampai awal tahun 1900-an, masih dianggap agama impor dari Arab,” katanya.

Ia menyebutkan sebagai keluaran pesantren, Pangeran Santri yang juga dikenal dengan Ki Gedeng Sumedang ini menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya (akulturasi Budaya).

"Ada akulturasi budaya sehingga Islam bisa menyebar di tanah Sumedanglarang,” katanya.

Selain itu, terang dia, sebagai seorang ulama, Pangeran Santri juga membawa para santri sampai ustad untuk menyebarkan Islam.

"Jadi walaupun sudah menjadi suami dari ratu Sumedanglarang atau sudah jadi pemimpin Sumedang, Pangeran Santri menyebarkan Islam tidak terbuka tapi melalui pendekatan adat dan budaya setempat,” katanya.

Menurutnya, penyebaran agama Islam di Sumedang meneruskan gaya penyebaran Islam yang dilakukan para sunan terdahulu, namun tidak menutup kemungkinan agama Islam telah dikenal oleh masyarakat pada waktu itu.

"Apalagi Pangeran Santri ini masih ada keturunan dari Sunan Gunung Jati sehingga metode penyebaran Islam seperti yang dilakukan para sunan," katanya.

Disebutkan para ustad dan santrinya datang ke satu wilayah yang sedang menggelar tradisi adat budaya. "Saat itulah diselipkan dan dibacakan Al Quran dalam pupuh magatruh. Lambat laun warga tertarik dan masuk Islam,” katanya.

Pusat kerajaan juga dipindahkan dari Ciguling di pinggir jalan raya Sumedang-Bandung ke Kutamaya, di pinggir Sungai Cipeles, Desa Padasuka saat ini.

Pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Santri membuahkan enam anak yang menjadi puncak silsilah raja Sumedanglarang.

Putra pertamanya, Raden Angkawijaya yang bergelar Prabu Geusan Ulun menjadi Raja Sumedanglarang dan sempat belajar agama ke Cirebon yang merupakan daerah asal ayahnya, Pangeran Santri.

Ibukota Sumedanglarang pindah dari Kutamaya ke Dayeuhluhur kemudian ke Tegalkalong. Baru di Tegalkalong ini dibangun masjid yang kini dikenal dengan nama Mesjid Tegalkalong.

Pemindahan ibukota terjadi saat Pangeran Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I menggantikan ayahnya, Prabu Geusan Ulun. Kerajaan Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram Islam.

Tegalkalong dijadikan pusat pemerintahan dan sebagai kelengkapan kota, Pangeran Suriadiwangsa membangun masjid ini pada sekitar tahun 1600-an. Mesjid Tegalkalong menjadi masjid tertua di Sumedang.


Masjid Besar Tegalkalong menjadi masjid tertua yang ada di Sumedang dibangun tahun 1600-an,
setelah ibukota Sumedanglarang pindah ke Tegalkalong setelah sebelumnya dari Dayeuhluhur
Saat dibangun masjid merupakan bangunan rumah panggung, dinding dari bilik bambu. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali pemugaran.

Penyebaran Islam saat itu tak dilakukan secara terbuka karena tradisi masyarakat masih kuat dengan tradisi sebelumnya.

"Saat kepemimpinan Pangeran Santri dengan Pucuk Umum itu tak ada artepak penyebaran Islam. Mesjid secara terbuka dibangun tahun 1600-an di Tegalkalong. Pesantren baru ada tahun 1800-an di Sumedang,” katanya.

Ia menyebutkan pembangunan pesantren dilakukan oleh ulama Cirebon dan hampir semua pesantren yang ada di Sumedang didirikan para ulama luar Sumedang.

“Bupati Sumedang mewakafkan tanah bukan di Sumedang tapi diluar Sumedang seperti di Tasikmalaya dan Garut,” katanya.

Pangeran Kusumahdinata IX atau Pengaran Kornel, Bupati Sumedang (1791-1828) mewakafkan tanahnya di daerah Condong, Cibeureum, Tasikmalaya dan sekitar abad 18 berdiri pesantren Riyadul Ulum Waddakwah atau dikenal dengan Pesantren Condong.

Pesantren pertama di Sumedang ada di Cikuleu, Ujungjaya didirikan oleh Hadratusyekh KR Asyrofuddin yang merupakan dari kraton kasepuhan Cirebon abad ke-18. Di Cikuleu, mama Asrofuddin menggelar pengajian dengan warga setempat kemudian jemaahnya bertambah daru luar Cikuleu sehingga banyak yang mondok dan akhirnya menjadi pesantren.

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata atau Pangeran Sugih, Bupati Sumedang (1836-1882) saat berkeliling menemukan pesantren ini.

Kemudian memasukan putranya, Raden Sadeli ke pesantren. Raden Sadeli kemudian dikenal dengan Pangeran Suriaatmaja atau Pangeran Mekah kelak menjadi Bupati Sumedang (1882-1919).

Oleh Pangeran Sugih pesantren ini dipindahkan ke Cipicung, Conggeang dan menjadi pesantren pertama di Sumedang, 1846.

Pesantren Asyrofuddin masih ada sampai sekarang. Lulusan pesantren ini menyebar dan membangun pesantren di berbagai daerah. 

Sumber :
- Sejarah Sumedang.
- wawancara Dedi Rustandi, wartawan Pos Kota.

Tidak ada komentar

Posting Komentar