Adakah Hubungan Hariang Banga dengan Penamaan Desa Hariang???
Riwayat Desa Hariang Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang
Desa Hariang menurut sejarah didirikan pada tanggal 12 April 1843 Masehi, pada masa Sumedang dipimpin oleh Bupati Pangeran Surya Kusuma Adinata. Dan yang diangkat menjadi kepala desa atau "kuwu" pertama adalah Ungkas Wangsa Wijaya. Setelah Ungkas berhenti kemudian diganti oleh Sarwian, dan seterusnya. Dan dalam kurun waktu 171 tahun (1843 – 2014) desa Hariang telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 21 kali yaitu 16 kepala desa definitif dan 4 penjabat kepala desa.
Kadang banyak orang berpersepsi bahwa nama Hariang berasal dari nama Hariang Banga, atau didirikan oleh Hariang Banga, raja sunda yang ke-4, yang berkuasa dari tahun 739 hingga 766 M. Tetapi karena rentang waktu yang begitu jauh dari tahun 766 M, dan berdirinya Hariang pada tahun 1665 M. Jadi secara rentang waktu tidak memungkinkan. Ada juga yang berpendapat bahwa nama hariang berasal dari nama Guriang, dimana asal usul hariang berdiri. Mbah Guriang adalah seorang penganut agama lama yang akan diislamkan oleh para pendiri kampung hariang, tetapi tidak berhasil dan menyingkir ke arah yang sekarag dikenal dengan Gunung Hariang. Mekipun bukan gunung dalam artian gunung pada umumnya. Nama gunung Hariang lebih mengarah pada tempat kediaman Mbah Guriang yang sekarang ini hanya berupa ciri suatu lokasi di tengah sawah dengan pohon beringin ditengahnya.
Jadi belum ada penelitian tentang berasal dari mana nama kampung hariang itu berasal, dan kemungkinan berasal dari nama raja sunda yang ke-4, Hariang Banga sebagai suatu penghormatan terhadap raja ini karena turunannya, termasuk raja Majapahit pertama, Raden Wijaya masih dalam silsilah keturunannya. Dan nama hariang juga kadang dikaitkan dengan nama Guriang, pemukim pertama yang menempati daerah hariang, sebelum pendiri hariang datang.
====================
Penulis : Adeng Lukmantara
Desa Hariang menurut sejarah didirikan pada tanggal 12 April 1843 Masehi, pada masa Sumedang dipimpin oleh Bupati Pangeran Surya Kusuma Adinata. Dan yang diangkat menjadi kepala desa atau "kuwu" pertama adalah Ungkas Wangsa Wijaya. Setelah Ungkas berhenti kemudian diganti oleh Sarwian, dan seterusnya. Dan dalam kurun waktu 171 tahun (1843 – 2014) desa Hariang telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 21 kali yaitu 16 kepala desa definitif dan 4 penjabat kepala desa.
Kadang banyak orang berpersepsi bahwa nama Hariang berasal dari nama Hariang Banga, atau didirikan oleh Hariang Banga, raja sunda yang ke-4, yang berkuasa dari tahun 739 hingga 766 M. Tetapi karena rentang waktu yang begitu jauh dari tahun 766 M, dan berdirinya Hariang pada tahun 1665 M. Jadi secara rentang waktu tidak memungkinkan. Ada juga yang berpendapat bahwa nama hariang berasal dari nama Guriang, dimana asal usul hariang berdiri. Mbah Guriang adalah seorang penganut agama lama yang akan diislamkan oleh para pendiri kampung hariang, tetapi tidak berhasil dan menyingkir ke arah yang sekarag dikenal dengan Gunung Hariang. Mekipun bukan gunung dalam artian gunung pada umumnya. Nama gunung Hariang lebih mengarah pada tempat kediaman Mbah Guriang yang sekarang ini hanya berupa ciri suatu lokasi di tengah sawah dengan pohon beringin ditengahnya.
Jadi belum ada penelitian tentang berasal dari mana nama kampung hariang itu berasal, dan kemungkinan berasal dari nama raja sunda yang ke-4, Hariang Banga sebagai suatu penghormatan terhadap raja ini karena turunannya, termasuk raja Majapahit pertama, Raden Wijaya masih dalam silsilah keturunannya. Dan nama hariang juga kadang dikaitkan dengan nama Guriang, pemukim pertama yang menempati daerah hariang, sebelum pendiri hariang datang.
====================
Penulis : Adeng Lukmantara
Gunem Catur dinu Facebook :
Bayu Kusumah Adinata : Hariang danau biru cilembang, kapungkurna ti dinya diangge tempat kangge jalmi anu ngulik elmu kaSanghyangan teu cacap sampurna nya disareatkeun ku cara dilebuh di eta patempatan,janten tempatna Ngahariang/nga-hariyang/ngahyang.
Dedi Sumamiharja : Muhun Kang Bayu Kusumah Adinata...numutkeun kisahna, aya oge kisahna kitu, Mung jalmi nu duaan di eta patempatan kapungkurna juru kawih (sinden) sareng juru kendang ari pajarkeun mah aya jurig wae di Kolam Cibiru teh anu namina, Tah geuning aya Mitosna Nini Sari Walana Dan Aki Buleuneung
Orang tua dulu untuk menakut nakuti agar anaknya tidak renang di mata air cilembang, karena lokasinya agak jauh dari kampung, sering menakut nakuti "Awas nanti ada Nini Sari Walana jeung Aki Buleuneung (buleuneung = botak/kepala tidak berambut). Cara ampuh untuk menakut nakuti sang anak. Karena waktu itu hampir tidak ada anak yang berani renang sendirian di mata air tersebut, kecuali rame rame.
Kadang waktu kecil sering bertanya tanya, siapa sebenarnya Nini Sariwalana atau Aki Buleuneung ini. Karena konon banyak orang yang mancing ikan sendirian, katanya sering idampingi oleh Aki Buleuneung. Jadi asumsi tempo dulu Nini Sariwalana atau Aki Buleuneung merupakan refresentasi dari jurig atau setan siluman yang ada di mata air Cilembang ini.
Ternyata bahwa anggapan ini salah, karena cerita Nini Sariwalana dan Aki Buleuengeng itu bukan siluman, atau jurig, atau bukan mitos. Karena memang dulu ada sejarahnya. Menurut ahli sejarah Hariang, Sekitar tahun 1700 an ada sekelompok ahi seni dari Hariang. Dalam seni gemyung buhun yang punya ketenaran antara tahun 1706 hingga 1709 M. Pada periode 3 tahun tersebut kelompok seni ini begitu terkenal, sehingga banyak diundang ke mana mana.
Kelompok ini dinamakan Sekar Terbang Buhun, terdiri dari : Aki Angga Waruling, sebagai lurah atau pemimpin Sekar Terbang Buhun; Nini Angga Waruling, isitri si aki, ia terkenal sebagai ahli suling; Nini Sariwalana, sebagai pesinden/juru kawih; Leunyang Kuning, sebagai juru tari/ronggeng; Jagabaya, sebagai keamanan seni, tukang wawancara atau pembawa acara; Aki Buleuneung, sebagai ahli kendang.
Tetapi kelompok ini terkenalnya justru sudah terlalu tua untuk ukuran orang orang seni, sehingga setelah tahun 1709 M, ketenarannya mulai menurun. Karena sudah sepi manggung, akhirnya kelompok ini menyepi dengan membuat tempat tinggal disekitar mata air cilembang, hingga akhirnya meninggal di sekitar mata air Cilembang ini. Kesenangan dari nini sariwalana adalah terasi.
Jadi intinya tidak ada cerita horor dalam hubungannya dengan Nini Sariwalana ini. Tetapi karena sering dipakai untuk menakut nakuti anak supaya jangan renang sendirian ke daerah ini, maka Nini Sariwalana dan Aki Buleuneung ini seolah jurig yang sangat menakutkan.
Orang tua dulu untuk menakut nakuti agar anaknya tidak renang di mata air cilembang, karena lokasinya agak jauh dari kampung, sering menakut nakuti "Awas nanti ada Nini Sari Walana jeung Aki Buleuneung (buleuneung = botak/kepala tidak berambut). Cara ampuh untuk menakut nakuti sang anak. Karena waktu itu hampir tidak ada anak yang berani renang sendirian di mata air tersebut, kecuali rame rame.
Kadang waktu kecil sering bertanya tanya, siapa sebenarnya Nini Sariwalana atau Aki Buleuneung ini. Karena konon banyak orang yang mancing ikan sendirian, katanya sering idampingi oleh Aki Buleuneung. Jadi asumsi tempo dulu Nini Sariwalana atau Aki Buleuneung merupakan refresentasi dari jurig atau setan siluman yang ada di mata air Cilembang ini.
Ternyata bahwa anggapan ini salah, karena cerita Nini Sariwalana dan Aki Buleuengeng itu bukan siluman, atau jurig, atau bukan mitos. Karena memang dulu ada sejarahnya. Menurut ahli sejarah Hariang, Sekitar tahun 1700 an ada sekelompok ahi seni dari Hariang. Dalam seni gemyung buhun yang punya ketenaran antara tahun 1706 hingga 1709 M. Pada periode 3 tahun tersebut kelompok seni ini begitu terkenal, sehingga banyak diundang ke mana mana.
Kelompok ini dinamakan Sekar Terbang Buhun, terdiri dari : Aki Angga Waruling, sebagai lurah atau pemimpin Sekar Terbang Buhun; Nini Angga Waruling, isitri si aki, ia terkenal sebagai ahli suling; Nini Sariwalana, sebagai pesinden/juru kawih; Leunyang Kuning, sebagai juru tari/ronggeng; Jagabaya, sebagai keamanan seni, tukang wawancara atau pembawa acara; Aki Buleuneung, sebagai ahli kendang.
Tetapi kelompok ini terkenalnya justru sudah terlalu tua untuk ukuran orang orang seni, sehingga setelah tahun 1709 M, ketenarannya mulai menurun. Karena sudah sepi manggung, akhirnya kelompok ini menyepi dengan membuat tempat tinggal disekitar mata air cilembang, hingga akhirnya meninggal di sekitar mata air Cilembang ini. Kesenangan dari nini sariwalana adalah terasi.
Jadi intinya tidak ada cerita horor dalam hubungannya dengan Nini Sariwalana ini. Tetapi karena sering dipakai untuk menakut nakuti anak supaya jangan renang sendirian ke daerah ini, maka Nini Sariwalana dan Aki Buleuneung ini seolah jurig yang sangat menakutkan.
Nusiya Mulya Kancana : "MEDALNA HARIANG BANGA"
Dedi Sumamiharja : Tah duka saupami kitu mah eta patempatan Hariang teh dijantenkeun pangemut-ngemut lahirna Hariang Banga adi terena Ciung Wanara ti Dewi Pangrenyep anu beda Indung mangsa harita, dina waktos rakana terena Prabu Ciung Wanara parantos ngiring ka Pamanna nyaeta Arya Bimaraksa sareng Bibina Ratu Komalasari putrina Prabu Purbasora anu dipigarwa ku Arya Bimaraksa (Ki Balagantrang) ka Sumedang ngawitan di Cipancar teras ngalih ka Darmaraja, dimangsa di Galuh Ibuna Naganingrum dipigarwa deui ku Prabu Tamperan, nu kawitna papatihna, nalika Prabu Permana Di Kusumah (Ki Ajar Padang) ngamuniarajasunyi/nga-Resyi/tatapa ninggalkeun karaton Galuh (geuning sakaol eta patempatan ngamuniarajasunyinya Ki Ajar Padang aya oge di Sumedang di Gunung Padang Darmaraja, sakaol deui aya oge di Patempatan anu sanes) dimangsa harita, nya ti Indung terena Dewi Pangrenyep sareng ki Tamperan kagungan Hariang Banga. Langkung jelasna tinggal silsilah dihandap ieu :
Ayi Nusiya Mulya Kancana, naon margina Gunung Padang Darmaraja dijantenkeun salah sahiji ngamuniarajasunyi Ki Ajar Padang...Eta Gunung Padang Darmaraja katinggalna mangrupikeun pupunden alami, ajar pikukuh Ki Sunda Baheula disebatna Ajaran Gunung (tritangtu di Buana) anu disilokakeun dinu gagaman Kujang atawa Batu Satangtung Linggahyang Kabuyutan.
Ayi Nusiya Mulya Kancana, naon margina Gunung Padang Darmaraja dijantenkeun salah sahiji ngamuniarajasunyi Ki Ajar Padang...Eta Gunung Padang Darmaraja katinggalna mangrupikeun pupunden alami, ajar pikukuh Ki Sunda Baheula disebatna Ajaran Gunung (tritangtu di Buana) anu disilokakeun dinu gagaman Kujang atawa Batu Satangtung Linggahyang Kabuyutan.
Kitu Ayi Nusiya Mulya Kancana ... di dieu Gunung di Gunung, di dieu Batu diditu Batu teu munding-munding, da...Gumulungna diri jeung Alamna ayana dinu karang kamulyaan (kaelmuan, kamulyaan dirina), gumulungna Mandala Samar (amal, elmu, akhlak) jeung Mandala Jati nu sifatna kosong atawa suwung/nyuwung. Geuning saur Eyang Taji mah, Rep Sideku Sinuku tunggal mapatkeun pancadria, ngajorag neang nu can katimu, diamparan tilam bodas....da teu acan aya sajadah turki siga kiwari anu pabalatak di ditu dieu, piraku kedah ngadudut karpet karaton mah...Tuh eyang Tajina ge gumujeng. 😆😆😆
Surya Pringgandani : Mungkin bae, da aya patilasan situs paragi ngadu hayamna di gunung tampomas ti payun mah...basa sareng sepuh...ngabuka jalan ka puncak Gunung tampomas, saksina Pa H imin mantan dinas sosial, nu linggih di Parigi bendungan.
Dedi Sumamiharja : Numutkeun cutatan Kang Bayu Kusumah Adinata tinu janten Akina kirang langkung ngeunaan Gunung Tampomas kieu Kang Surya : Gunung Tampomas, wewengkon Sumedang tug ka danget kiwari masih dianggap nyumputkeun sajarah Sunda, loba makam, loba patilasan, tapi karasana masih samar, can ka koreh kabeh ku manusa kiwari.
Nu ngalantarakeun kitu, sabab loba makam jeung patilasan, teu nyesakeun bukti-bukti ti nulis anu bisa dipake cecekelan sajarah nuturkeun kaidah akademisi. Tapi ari sakadar beja tangtu aya. Ngan tetep ukur beja anu dibejakeun deui, teu dumasar kana catetan tinulis. Ieu aya beja-beja lisan ngeunaan kaayaan makam jeung patilasan anu aya di ponclot Gunung Tampomas.
Baheula dina taun 1789, ponclot Gunung dipake ngurebkeun para patih ti Karajaan Sumedanglarang.
Ceuk beja aya patih Sumedanglarang lobana genepan anu dikurebkeun di dinya, nyaeta : Umarta Wretikandin, Resi Damiangsa, Galih Kambian, Aria Damaksa, Sunggalah Jayadiraksa Jeung Gandring Jasi Ramaksuk.
Naon sababna papada hayang dikurebkeun di dinya? Sabab geus ti baheula eta tempat geus jadi kagiatan jalma-jalma anu salohor.
Prabu Taji Malela, Sri Baduga Maharaja katut ingkang garwa Nyi Subanglarang, kantos ka dinya, nyandak "HAMBALA". Naha naon anu disebut hambala teh jeung kumaha rupana, henteu eces, ngan maksudna mah, di eta tempat, Prabu Taji Malela, Sri Baduga Maharaja mere ciri yen Pajajaran moal pareum obor, Sunda moal laas ku jaman, nya didieu tempat nu bakal dieusian ku nu neruskeunnana. Tapi da dina catetan sajarah kiwari oge geus ebreh disebutkeun yen Sumedanglarang teh hiji karajaan anu neruskeun Pajajaran.
Cag ah...
Nu ngalantarakeun kitu, sabab loba makam jeung patilasan, teu nyesakeun bukti-bukti ti nulis anu bisa dipake cecekelan sajarah nuturkeun kaidah akademisi. Tapi ari sakadar beja tangtu aya. Ngan tetep ukur beja anu dibejakeun deui, teu dumasar kana catetan tinulis. Ieu aya beja-beja lisan ngeunaan kaayaan makam jeung patilasan anu aya di ponclot Gunung Tampomas.
Baheula dina taun 1789, ponclot Gunung dipake ngurebkeun para patih ti Karajaan Sumedanglarang.
Ceuk beja aya patih Sumedanglarang lobana genepan anu dikurebkeun di dinya, nyaeta : Umarta Wretikandin, Resi Damiangsa, Galih Kambian, Aria Damaksa, Sunggalah Jayadiraksa Jeung Gandring Jasi Ramaksuk.
Naon sababna papada hayang dikurebkeun di dinya? Sabab geus ti baheula eta tempat geus jadi kagiatan jalma-jalma anu salohor.
Prabu Taji Malela, Sri Baduga Maharaja katut ingkang garwa Nyi Subanglarang, kantos ka dinya, nyandak "HAMBALA". Naha naon anu disebut hambala teh jeung kumaha rupana, henteu eces, ngan maksudna mah, di eta tempat, Prabu Taji Malela, Sri Baduga Maharaja mere ciri yen Pajajaran moal pareum obor, Sunda moal laas ku jaman, nya didieu tempat nu bakal dieusian ku nu neruskeunnana. Tapi da dina catetan sajarah kiwari oge geus ebreh disebutkeun yen Sumedanglarang teh hiji karajaan anu neruskeun Pajajaran.
Cag ah...
Post a Comment