Dalam suatu transkrip pupuh Cipancar Sumedang diceritakan :
Keturunan Raja Sumedang sedulur Galuh Pakuan asal dari Medang Kamulyan, riwayat yang seketurunan.
Kabuyutan dari Cipancar terkenal Ratu Komara, isterinya Aki Sanepa terkenal di Sumedang, dikenal dengan sebutan Ratu Galuh dikenal Sunan Baeti isterinya Aki Sanepa.
Gunung Mandala Sakti dahulu Cipancar Girang sekarang batas Cipancar Hilir keturunan Wretty Kandayun asal Raja Medang Jati adanya di Pasir Astana.
Yang menurunkan putra-putri Raja Galuh dan Sumedang yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Sanghyang Resi Agung panutan Sunan Baeti sekarang lagi ngadangiang dulu lembur banjar Ciamis yang bernama Balangantrang, mempunyai anak Aji Putih keturunan Medang Kamulyan bercerita Darma Raja.
Kendan Cikal Bakal Galuh
Tokoh Resiguru dalam carita parahiyangan adalah Raja Resiguru Manikmaya suami Dewi Tirtakencana atau menantu Prabu Suryawarman penguasa Tarumanagara ke tujuh antara 515 -535 Masehi
Resi Manikmaya oleh Prabu Suryawarman diberi wilayah Kendan untuk penyebaran ajarannya, setelah pengikutnya banya Resiguru mendirikan Kerajaan Kendan sebagai negara bawahan Tarumanagara. Pada tahun 568 M, Resiguru wafat, sebagai penerus Kerajaan Kendan adalah Sang Baladhika Suraliman. Penobatan Rajaputra Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagean poek bulan asuji tahun 490 Saka atau 5 Oktober 568 Masehi
Dalam perkawinannya dengan Dewi Mutyasari putri Kerajaan Bakulapura (Kutai) keturunan keluaraga Kudungga, memiliki seorang putra dan putri. Yang putra diberi nama Kandiawan sebagai penerus tahta dan Kandiawati.
Prabu Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun, dari 568-597 Masehi. Selanjutnya tahta Kerajaan Kendan dipegang oleh Kandiawan. Sebelum ayahnya wafat, Kandiawan telah menjadi Raja daerah di Medang Jati, karena itu ia digelari Rahiyangta ri medang jati.
Setelah menjadi Raja, Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Kandiawan menjadi Raja Kendan hanya 15 tahun, yaitu dari 597-612 Masehi. Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, ia menjadi pertapa di Layungwatang daerah Kuningan. Sebagai penggantinya ia menunjuk putra bungsu yang bernama Wretikandayun yang saat itu sudah menjadi Rajaresi sebagai raja daerah di wilayah Menir.
Praburesi Kandiawan memilih Wretikandayun, oleh penulis Carita Parahyangan dengan selubung halus, menerangkan : Sang Mangukuhan memilih hidup menjadi peladang, Sang Karungkalah memilih hidup menjadi pemburu, Sang Karungmaralah memilih hidup menjadi penyadap dan Sang Sandanggreba memilih hidup menjadi pedagang.
Peladang, panggerek, panyadap dan padagang merupakan sindiran halus bahwa ke empat kakak Wretikandayun tersebut lebih memilih hidup untuk kepentingan pribadi, daripada kepentingan untuk ketatanegaraan dan ketatawilayahan.
Kerajaan Galuh adalah kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cisarayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Dalam Naskah Wangsakerta, Linggawarman adalah raja terakhir Tarumanagara. Linggawarman antara 666-669 masehi mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 masehi, Linggawarman wafat digantikan menantunya, Tarusbawa. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibu kota) Sundapura. Dalam tahun 670 masehi, Tarusbawa mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Prabu Tarusbawa menyetujui permintaan Wretikandayun, dengan daerah kekuasaan wilayah Citarum sebelah Timur. Praburesi Guru Wretikandayun merubah nama Kerajaan Kendan menjadi Kerajaan Galuh.
Wretikandayun, nama masih kanak-kanak sang Amara, Raden Daniswara, lahir 513 saka atau 619 Masehi, dinobatkan menjadi Raja usia 21-111 tahun. Rajaresi Wretikandayun memerintah di Galuh antara 640-702 Masehi.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan pada tanggal 14 Suklapaksa Caitra 534 Saka atau 23 Maret 612 Masehi, dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa. Setelah naik tahta Rajaresi Wretikandayun memindahkan ibukota kerajaan dari Kendan ke tempat yang baru yang diberi nama Galuh. Adapun untuk berbagi wilayah, batas sungai Citarum yang mengapit Kerajaan Sunda sepakat menjadikan sebagai batasnya, dan Cipamali berbatasan dengan Kerajaan Kalingga Utara.
Informasi awal tentang posisi ibukota Kerajaan Galuh, yang berpindah-pindah tempat, hingga kini menjadi polemik. Ada yang berpendapat Kerajan Galuh itu di Rawa Lakbok, ada juga yang berpendapat di Darma Kuningan dan lain-lain. Naskah Buku Cipaku Darmaraja Sumedang, memberikan informasi berbeda tentang keberadaan Ibukota Kerajan Galuh yang didirikan oleh Sang Wretikandayun 14 Suklapaksa Chaitra 534 saka atau 23 Maret 612 masehi, salah satu tempatnya di Ciduging Kecamatan Darmaraja Sumedang, yang lokasi ibukotanya berada dalam batas sungai Cipeles dan sungai Cimanuk. Dan batas kerajaan Galuh sebelah Timur dengan Kerajaan Kalingga diapit oleh sungai Cipamali.
Sang Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Dewi Manawati atau Candraresmi, dalam Naskah Carita Parahyangan disebut “Pwah Bungatak Mangale-ngale”. Candraresmi adalah puteri dari Resi Makandria seorang pendeta Hindu. Konon, Resi Makandria atau Markandria adalah sosok penyebar agama Hindu juga di Pulau Bali (Goh Nusa). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu :
- Anak pertama, Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja, Resiguru Galunggung, lahir 542 Saka atau 639 Masehi,
- Anak ke dua, Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru Denuh, lahir 544 Saka atau 641 Masehi, dan
- Anak bungsu Sang Jalantara, Rahyang Mandiminyak, putra mahkota Galuh, lahir 546 Saka atau 643 Masehi
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Jalantara alias Amara alias Mandiminyak sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya, yaitu Sempakwaja tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong. Menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani, begitu juga dengan anak keduanya, Jantaka yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakaknya yang menjadi raja resi (taat pada agama), Jalantara atau Amara atau Mandiminyak kurang taat beragama dan cenderung berperilaku liar.
Mandiminyak terlibat skandal asmara dengan Pwahaci Rababu atau Pohaci Rababu yang merupakan kakak iparnya. Pwahaci Rababu adalah istri Sempak Waja, kakaknya Mandiminyak. Akibat skandal Mandiminyak dengan Pwahaci Rababu ini, lahir seorang anak yang bernama Sena atau Bratasenawa. Sementara itu Sempak Waja dan Pwahaci Rababu juga menurunkan anak yang bernama Purbasora.
Untuk menghindari gonjang-ganjing kerajaan, Mandiminyak dinikahkan dengan Dewi Parwati dari Kerajaan Kalingga dan menurunkan anak bernama Sannaha. Kelak, Sena dan Sannaha yang keduanya anak dari Mandiminyak beda Ibu dinikahkan dan menghasilkan anak bernama Sanjaya.
Mandiminyak kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 masehi, sebagai Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas Kalingga di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Galuh di Jawa Barat.
Dalam posisinya yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar pertengahan antara 703-704 masehi, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayu Purnawangi , cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Kerajaan Sunda Pakuan. Dari perkawinan Sanjaya dan Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan Tamperan Barmawijaya,
Oleh karena, Sempakwaja dan Jantaka memiliki cacat tubuh, menurut tradisi keraton saat itu tidak mungkin keduanya menjadi yuwaraja sebagai calon pengganti Rajaresi Wretikandayun.
Sempakwaja kemudian dijadikan Resiguru di daerah Galunggung dan diberi gelar Batara Danghiyang Guru. Ia menikah dengan Pohaci Rababu, ia berputra :
1. Rahiyang Purbasura, lahir 565 Saka atau 670 Masehi
2. Rahiyang Demunawan, Sang Seuweukarma, lahir 568 Saka atau 673 Masehi
Sedangkan Jantaka dijadikan Resiguru di Denuh, terkenal dengan gelarnya Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Telaga Denuh berada di Daerah Galuh Selatan. Ia menikah dengan Dewi Sawitri dan mempunyai anak yaitu Arya Bimarkarsa.
Pada sebelumnya diterangkan bahwa Rajaresiguru Wretikandayun memerdekakan kerajaan Kendan dari Tarumanagara, pada tahun 669 masehi dan merubah Kendan menjadi Kerajaan Galuh.
Prabu Resiguru Wretikandayun menjadi Raja Galuh Ke 1 di Kerajaan Galuh, memerintah sampai tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang ke tiga bernama Amara atau Mandiminyak. Amara atau Mandiminyak menggantikan kedudukan Wretikandayun sebagai Raja Galuh ke 2.
Prabu Mandiminyak sebelum naik tahta di Kerajaan Galuh sedang berkuasa di Kerajaan Kalingga, yang mewarisi tahta dari isterinya Parwati putrinya Ratu Maharani Sima, yang wafat pada tahun 695 Masehi.
Sebelum wafat, Ratu Maharani Sima membagi dua Kerajaan Kalingga, yaitu :
1. Parwati, memperoleh bagian Utara yang disebut Bumi Mataram antara 695-716 Masehi.
2. Narayana, memperoleh bagian Selatan dan Timur yang disebut Bumi Sambara, ia bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala antara 679-742 Masehi.
Dengan permaisuri Parwati, Prabu Mandiminyak memiliki seorang putri bernama Sanaha, sebelum menikah dengan Parwati, Mandiminyak memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya yaitu Pohaci Rababu. Setelah kedua putranya dewasa dinikahkan, antara Sena dan Sanaha (saudara lain ibu) atau disebut perkawinan Manu.
Tahun 702 masehi, Prabu Mandiminyak pulang ke Galuh untuk menggantikan tahta ayahnya, sedangkan untuk pemerintahan di Bumi Mataram dijalankan oleh istrinya yaitu Ratu Parwati. Prabu Mandiminyak berkuasa di Kerajaan Galuh dari 702-709 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya bernama Bratasenawa antara 709-716 Masehi Raja Galuh ke 3. Permaisuri Prabu Bratasenawa bernama Ratu Sanaha, dari hasil penikahannya memperoleh putra bernama Sanjaya.
Pada tahun 709 Masehi di Kerajaan Galuh, Rahyang Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Senna, anaknya dari Pohaci Rababu. Bratasenawa atau lebih dikenal sebagai Senna, menjadi Raja Galuh ketiga. Ia merupakan anak dari hubungan gelap antara Mandiminyak dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap yang dimiliki Senna berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya terkenal liar. Senna merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh, mengingat Senna adalah anak hasil dari hubungan gelap. Banyak orang yang membenci keberadaan Senna sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat membenci Senna. Dua orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu.
Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari Senna. Kedua orang itu sangat membenci Senna dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh dari pada anak hasil skandal ibunya. Karena asal-usul Senna yang kurang baik itulah yang membuat Purbasora menginginkan merebut tahta Galuh. Oleh karena pengangkatan Senna sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu.
Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Senna. Senna pun lalu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora.
Namun Purbasora mengetahui rencana itu, Dengan dukungan pasukan pimpinan sepupunya yaitu Ki Balagantrang dan dibantu oleh pasukan ayah mertuanya yaitu Prabu Darmahariwangsa Kerajaan Indraprahasta, yang mengerahkan angkatan perang Indraprahasta yang dipimpin oleh putranya yaitu Wiratara adik ipar dari isterinya Citra Kirana, lalu menyerbu istana Galuh sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh. Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 Masehi.
Dalam situasi yang kalut seperti itu, Senna berhasil meloloskan diri ke Gunung Merapi Jawa Tengah, di mana ibunya, Dewi Parwati menjadi raja di Kalingga Utara Bumi Mataram. Dari perkawinan Manu Sang Senna dengan Sannaha mempunyai anak Rakean Jamri atau Sanjaya.
Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Aria Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya, melahirkan : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Sekar Kencana atau Lenggang Kencana, yang kelak dinikahi oleh Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora.
Tahun 716 masehi, Prabu Purbasora naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73-80 tahun atau 716-723 Masehi sebagai Raja Galuh ke 4, bersama permaisuri yang bernama Citra Kirana, dengan gelar Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna. Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa.
Setelah Prabu Tarusbawa wafat, digantikan oleh Sanjaya menjadi raja Sunda. Sanjaya putra Prabu Bratasenawa dan Sanaha menaruh dendam kepada Purbasora, karena dulu telah merebut tahta Galuh dan mengusir Sena, ayahnya Sanjaya. Dendam ini diwujudkan dengan merencanakan perebutan Galuh kembali dengan membunuh Purbasura.
Mula-mula Sanjaya pergi ke Denuh (sekarang di Tasikmalaya Selatan) untuk menemui Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Maksudnya ialah agar Wanayasa bersedia membantu menggulingkan Purbasura dan diganti oleh Aria Bimaraksa atau Balangantrang, putra sulung Resiguru Wanayasa. Tapi ia menolak. Ia memilih bersikap netral.
Lalu Sanjaya berangkat ke Rabuyut Sawal dengan maksud yang sama. Setelah mendapat ijin, maka gunung Sawal dijadikan markas tentara untuk menyerang Galuh. Dengan angkatan bersenjata yang terlatih, maka pada tengah malam, angkatan bersenjata Sanjaya berhasil masuk ke keraton Galuh dan membunuh Prabu Purbasura pada tahun 645 Saka atau 747 Masehi.
Sementara versi babon Cipancar Hilir Sumedang, ketika penyerangan ke istana kerajaan Galuh, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan punggawa Sanjaya, begitu juga menantunya yaitu Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putrinya Purbasora dari permaisurinya Citrakirana, berhasil meloloskan diri masuk ke dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik dan mendirikan Padukuhan di Sagara Manik Cipancar Hilir dan Padukuhan tersebut yang sekarang menjadi makam Cipancar di Kecamatan Sumedang Selatan.
Historis Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan
Cipancar berdiri sekitar abad ke 7-8 Masehi. Salah satu kampung buhun atau kampung tua yang ada di Sumedang karena Cipancar berdiri lebih dulu dari Kota Sumedang.
Pada saat itu Kerajaan Galuh Pakuan dimana sang Raja Purbasora hendak menurunkan tahta kepada anaknya Wijaya Kusuma, terjadilah perebutan kekuasaan oleh Sanjaya
Dari kudeta itu terjadi perang bersaudara yang membuat Purbasora terdesak. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret dan Ratu Komalasari atau Sunan Pancer atau Sunan Baeti disertai Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Galuh yang tengah kacau.
Mereka berlari tanpa tahu tujuan. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana mereka bisa selamat dari kekacauan yang terjadi di kerajaan. Hingga sampailah mereka di daerah yang kini bernama Cipancar.
Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Secara kebetulan pada saat pertama kali Prabu Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar,... Cipancar...,Cipancar," yang berarti air memancar.
Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi Desa Cipancar. Prabu Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuan. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat. Tempat pembagiannya dikenal dengan sebutan Baginda.
Maka dari itu kita mengetahui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan kudeta yang terjadi di Galuh Pakuan. Nama Cipancar sendiri diambil dari perkataan Purbasora yang berarti air yang memancar. Mata air itu masih ada hingga sekarang di dekat lingkungan makam Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, yang disebut Cikajayaan, Cipanyipuhan dan Cimedang.
Nama Cipancar juga mengandung arti yaitu Ci artinya air, pancar artinya Pusat atau Induk atau asal mula, jadi kata Cipancar berarti penyebaran dalam arti pusat - induk - asal muasal, karena Cipancar Girang Limbangan dan Cipancar Hilir Sumedang satu pertalian saudara kakak adik, yaitu : Prabu Wijaya Kusuma di Cipancar Limbangan, Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret dan Dewi Komalasari di Cipancar Hilir Sumedang jaman Galuh Medang Kamulyan.
Selain putra-putrinya Prabu Purbasora yaitu, Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret dan Dewi Komalasari atau Ratu Komara di Kompleks makam umum Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang ada situs dan makam :
1. Situs makam Prabu Purbasora, Raja Galuh ke 4, masa keprabuan selama 7 tahun, 613 - 620 Caka (716 -723 M)
2. Situs makam Citra Kirana, putrinya Prabu Resi guru Padmahariwangsa Raja Indraprahasta ka 13 masa keprabuan selama 12 tahun, 629 – 641 Caka (732 – 744 Masehi) dan permausurinya Prabu Purbasora.
3. Situs makam Prabu Resi Guru Demunawan atau Raden Hindi, Raja Saunggalah ke 1 masa keprabuan selama 51 tahun, 645 – 696 Caka (748 – 797 M).
4. Situs makam Prabu Tambak Wesi atau Ki Anjali, putra ke-2 Resi Guru Demunawan, Raja Saunggalah ke 2, masa keprabuan selama s 51 tahun, 696 – 747 Caka (797 – 847 Masehi) dan makam permaisurinya Sari Arum atau Nur Aijanah.
5. Situs makam Jagat Jaya Nata ( Jaksa Wiragati), adiknya Arya Bimaraksa putra-putranya Resi Jantaka (Resi Guru di Denuh) atau Resiguru Wanayasa atau Rahyang Kidul dari isterinya Sawitri.
6. Situs makam Sari Banon Kencana putra pertama Prabu Resi Guru Demunawan, yang juga isterinya Jagat Jaya Nata (Jaksa Wiragati) dan ibunya Ratu Nawang Wulan Inten Dewata, istrinya Prabu Aji Putih Raja Tembong Agung.
7. Situs makam Kencana Wangi perrmaisurinya Prabu Ciung Wanara atau Jaka Suratama atau Buyud Maja, Raja Galuh ke-8 masa keprabuan antara 739-783 M, yang situs makamnya di Puncak Damar, Desa Paku Alam, Kecamatan Darmaraja.
8. Situs makam Nawang Sasih (Mulya Asih), putri ke 2 Prabu Ciung Wanara atau Jaka Suratama atau Buyud Maja dari permaisurinya Kencana Wangi
9. Makam Guru Minda atawa Prabu Dharma Sakti Yeswara atawa Sang Manistri atau Prabu Lutung Kasarung
10. Makam Gandara Kusuma atau Balung Tunggal suaminya Nawang Sasih (Mulya Asih), Balung Tunggal putranya Usoro dari isterinya Suhasanah.
10. Makam Nyi Rohatin isterinya Mustopa Haer, makam Nyi Husmaeni isterinya Dipati Terong Peot atau Dipati Opit, makam Agus Kulha putranya Dipati Jaya Perkasa, makam Nyimas Ngabehi Mertajoeda salah seorang putrinya Prabu Geusan Ulun yang ditikah oleh Arasuda yang makamnya ada di Makam Tajur Desa Cipancar.
DENAH MAKAM UMUM DESA CIPANCAR KECAMATAN SUMEDANG SELATAN