Berziarah Ke Makam Sunan Pada di Desa Karedok Kecamatan Jatigede

Makam Raden Hasata atau Sunan Pada berlokasi di Desa Karedok Kecamatan Jatigede Kabupaten Sumedang.

Raden Hasata atau Sunan Pada adalah keturunan generasi ke 3 atau cucunya Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi Raja Pakuan Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun antara 1482-1521 masehi.  

Raden Hasata atau Sunan Pada, putranya Raden Memeut adalah mertuanya Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun Raja Sumedanglarang dan sekaligus pemegang estafet kerajaan Pakuan Pajajaran yang dinalendrakan Raja antara 1578–1601 masehi, karena putrinya Raden Hasata atau Sunan Pada yaitu Nyimas Sari Hatin atau Nyimas Cukang Gedeng Waru diperisteri Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun putranya Pangeran Santri dan Nyimas Setyasih alias Ratu Pucuk Umum Sumedang atau Ratu Inten Dewata, Ratu Sumedanglarang antara 1530-1578 masehi. . 

Adapun silsilah Raden Hasata atau Sunan Pada, adalah sebagai berikut : 
Generasi ke 1 
Menurut naskah Ratu Pakuan, naskah Asli Karuhun Sumedang, dan Babad Permunggu Wado, Prabu Sribaduga Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi, disamping permaisuri atau garwa padmi, juga mempunyai banyak istri yang disebut selir atau garwa ampil, salah satu garwa padminya berasal dari Kerajaan Sumedanglarang yaitu Ratu Raja Mantri atau Ratu Ratnasih putrinya Raja Gunung Sunten Agung di Pagulingan atau Prabu Tirta Kusumah, mempunyai anak :
- Anak ke 1, Raden Tenget alias Raden Tenga alias Embah Praja Dita, makamnya di Dusun Parugpug Kidul, Cijambe, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang
- Anak ke 2, Raden Memeut alias Buyut Nyata, makamnya di Desa Sindangwasa, Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka.
- Anak ke 3, Raden Munding Keleupeung atau Munding Kelemu Wilamantri
- Anak ke 4, Raden Saken 
- Anak ke 5, Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Mundingwangi, makamnya di Kampung Heubeul Isuk Desa Cimarias Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang.
- Anak ke 6, Siti Aminah ditikah oleh Raden Sari Yasa, asal Kawali, makamnya di  Situs Makam Tanjungsari Kecamatan Darmaraja yang telah terendam Bendungan Jatigede.
- Anak ke 7, Raden Hamza Imam alias Sanghyang Purba, di sekitar Gunung Tangkuban Parahu.
- Anak ke 8, Raden Wangsa Hita Hadista alias Sunan Jagat Nata di Banjar Ciamis.
- Anak ke 9, Hatimah Hosita Hadijah di Sindang Barang Cianjur.

Generasi ke 2
Raden Memeut alias Buyut Nyata memperisteri Nyimas Mala Rokaya atau Buyut Milah, putranya Anta Wahabu dan Nyimas Holi asal dari Talaga, mempunyai anak : 
- Anak ke 1, Raden Hasata alias Dung Wangi alias Sunan Pada, makamnya di Desa Karedok Kecamatan Jatigede. 
- Anak ke 2, Nyimas Raden Romlah Karomah 
- Anak ke 3, Nyimas Raden Huspita 

Generasi ke 3 
Raden Hasata alias Sunan Pada memperisteri Nyi Raden Aisyah, putranya Raden Sarifudin dan Nyimas Sari Asih, asal Talaga, mempunyai anak : 
- Anak ke 1, Pangeran Bangsit, menurunkan keturunan di Pawenang Wado. 
- Anak ke 2, Nyimas Cukang Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin, yang diperisteri oleh Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya putranya Pangeran Santri dan Nyimas Setyasih alias Ratu Pucuk Umum Sumedang atau Ratu Inten Dewata, dan menurunkan keturunan ke Sumedanglarang. 
- Anak ke 3, Nyimas Gedeng Sari. 
- Anak ke 4, Nyimas Gedeng Tomo.  
- Anak ke 5, Raden Absoha, yang memperisteri Nyimas Solimah dan Nyi Siti Ningrum asal Rajagaluh Jatiwangi.
- Anak ke 6, Romlah Karomah yang diperisteri Hosto Husma putranya Amsati dan nyimas Hasta Omah, asal Talaga Majalengka


Sumedanglarang Setelah Masa Prabu Tirta Kusumah
Prabu Mertalaya alias Sunan Guling putranya Prabu Wirajaya alias Prabu Pagulingan, beristerikan Mutiasari putrinya Prabu Lingga Hiang alias Dalem Haji Kusuma, mempunyai anak :
1. Jaya Dinata alias Tanding Kusuma
2. Jaya Diningrat Kusuma alias Pandita Sakti alias Dalem Soera Prana.
3. Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan. 

Sesudah Prabu Mertalaya alias Sunan Guling wafat digantikan oleh putra-putranya Jaya Dinata alias Prabu Tanding Kusuma, Jaya Diningrat Kusuma alias Pandita Sakti alias Dalem Haji Soeraprana, Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan antara tahun 1237-1462 Masehi, meneruskan dinasti kerajaan Sumedanglarang.

Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti. Demikian juga dengan Sunan atau Susuhunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa monarki atau raja. 

Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal-usul peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja Permulaan". Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat dinobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.

Prabu Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan dari isterinya Ratu Nurcahya, mempunyai anak 
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482–1521 Masehi) Raja Pajajaran, berputra Raden Meumeut, Raden. Meumeut berputra Sunan Pada, Sunan Pada beputra Nyi Mas Cukang Gedeng Waru yang  menjadi istri ke 1 Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Angkawijaya.
2. Ratu Sintawati atau Nyi Mas Ratu Patuakan.
3. Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya putranya Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja Ratu Haji alias Prabu Guru Dewa Pranata dari Istrinya Ratu Rajamantri. Prabu Liman Senjaya alias Sunan Cipancar, berputra Dalem Liman Senjaya Kusumah di Karta Rahayu Limbangan Garut.

Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati (Ratu Corendra Kasih) alias Nyai Mas Patuakan  (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corendra alias Raden Santajaya alias Raden Sonda Sanjaya  putera pertama  Jaka Puspa alias Prabu Munding Sari Ageung alias Prabu Mundingwangi dan Mayang Karuna putra Bagawan Garasiang. 

Sunan Corendra alias Raden Santajaya alias Raden Sonda Sanjaya adalah kakak dari Raden Rangga Mantri alias Prabu Pucuk Umum Talaga alias Sunan Parunggangsa yang memperisteri Ratu Sunya Larang alias Ratu Parung.

Dari Ratu Sintawati (Ratu Corendra Kasih) dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang ke delapan bergelar Ratu Pucuk Umum antara 1530 – 1578 Masehi.

Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 Masehi. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Raden Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.

Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari / Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) dari senapati Pajajaran sebagai tanda bahwa Kerajaan Sumedang Larang penerus sah Kerajaan Pajajaran.


Pangeran Angkawijaya yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun dalam silsilah keluarga Sumedang adalah putra Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri atau Raden Sholih bin Pangeran Muhammad/Pangeran Pamelekaran) selain dianggap sebagai raja daerah atau mandala Kerajaan Sumedang Larang juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. 

Pangeran Geusan Ulun  dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/ kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610.

Dari Nyimas Cukang Gede Waru (istri Pertama) yang makamnya di dusun Cigobang Desa Cikondang  Kecamatan Ganeas,  Pangeran Geusan Ulun mempunyai putra yaitu :
1 Pangeran Rangga Gede (Pangerana Kusumah Dinata III) yang menurunkan para bupati Sumedanglarang.
2. Dalem Aria Wiraraja 1, yang menurunkan ke Lemah Beureum Darmawangi (Tomo Sumedang)  dan ke Serpong Lengkong (Tanggerang).
3.  Kiai Aria Ranggapati yang menurunkan ke Haur Kuning.
4.  Nyi Mas Ngabehi Martayuda yang menurunkan ke Ciawi Tasikmalaya.
5. Raden Rangga Nitinagara / Dalem Rangga Nitinagara, yang menurunkan ke Sumedang dan Pagaden Pamanukan Subang.
6.  Nyimas Dipati Ukur Bandung
7.  Nyi Mas Rangga Wiratama.
8.  Kyai Rangga Patra Kelana.               
9.  Kyai Ngabehi Watang.                 
10. Nyi Mas Rangga Pamade.


Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Keempat Kandaga Lante tersebut adalah :
- Batara Sanghyang Hawu atau lebih dikenal sebagai Jaya Perkasa, makamnya di makam keramat Tajur Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
- Batara Pancar Buana alias Terong Peot alias Ki Jagalawang, makamnya berada di dusun Batugara 08/10 Desa Batugara Kecamatan Ganeas
- Batara Wiradijaya alias Nangganan, makamnya di Dusun Cileuweung 05/04 Desa Sukaweuning Kecamatan Ganeas  
- Batara Kondang Hapa, makamnya berada di Dusun Cileuweung 05/04 Desa Sukaweuning - Kecamatan  Ganeas 

Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya / Prabu Raga Mulya Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuatan besar kerajaan yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam. 
Dalam masa terjadinya konflik antara Karajaan Sumedanglarang dengan  Kasultanan Cirebon  yaitu  Sinuhun Panembahan Ratu alias  Pangeran  Girilaya atau Pangeran Mas Zainul Arifin Cirebon, oleh sebab cinta lamanya Ratu Harisbaya kepada Pangeran Geusan Ulun seterusnya  Ratu Harisbaya diboyong ka Sumedang oleh Jaya Perkasa.

Oleh sebab itu terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan di sana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 masehi wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh kedua putranya diatas.



Babad Pajagan Situraja
Kasebut dina Babad Pajagan nu kasebat Hyang Ambu atawa Nay Mayang Kusumah tedak terah Pajajaran Tengah, putri bungsu ti lima putra-putri Prabu Batara Kusumah nu linggih di Kabataraan Pajajaran  Gunung Pancar Buana Bogor, nu limaan téh nyaéta :
1. Layang Dikusumah atawa Mbah Gedé, mangku kalungguhan Guru Wisesa kalayan gelar Ki Ajar Gedé.
2. Jaya Kusumah, kapeto kawasa jadi Kandaga Lanté Pajajaran kalayan gelar Prabu Jaya Prakosa atawa Mbah Jaya Perkosa.
3. Raksa Kusumah (saburakna Pajajaran taya laratan)
4. Ni Mas Lénggang Kusumah (saburakna Pajajaran taya laratan)
5. Ni Mas Mayang Kusumah.


Kasebut ogé dina carita folklore kolot ti Bogor ngeunaan Gunung Pancar : Waktu Pajajaran burak, Éyang Jaya Perkosa katut para Kandaga Lanté kapetengan séjenna : Éyang Batara Pancar Buana  (Mbah Térong Péot) putra Ajar Gunung Pancar, Éyang Kondang Hapa (Nangganan) jeung Éyang Wira Dijaya hasil nyalametkeun Makuta Binokasih lambang kaagungan Pajajaran anu hasil rembugan sapuk mudu dibawa ngalolos ka wilayah Sumedang nu harita kasebutna netral, ku kitu réya Panggedé Pajajaran nu ngalolos ka Sumedang najan dina milih waktu tur ngabaladah jalan béda-béda ku kaayaan harita nu keur meujeuhna harénghéng, teu puguh mana bégal mana musuh ceuk carita Éyang Jaya Perkosa ogé hasil ngumpulkeun sabagéan kulawargana nyaéta Ki Ajar Gedé tur rai bungsuna Ni Mas Mayang Kusumah nu harita kakara parawan kapalang rombongan nu dipingpinna raraga nyalametkeun Lambang Kaagungan Pajajaran supagi teu ragrag ka leungeun musuh harita milih jalan ngidul, manyisian ka basisir sagara Kidul sakumaha kayakinan Urang Pajajaran harita yén Kidul jadi panumplekan harepan tur hiji-hijina jalan panglolosan.

Gunung Pancar nu aya diwewengkon Desa Karang Tengah, Kacamatan Citeureup Bogor ngawengku kana Tilu Kampung Buhun : Ci Mandala, Karang Tengah jeung Wangun, sanajan ku kiwari mah sabagéan réya masarakatna geus nurutan hirup modern teu cara Kampung Tangtu Teulu di Kanékés. Gunung Pancar baheulana katelah Gunung Pancar Buana, mangrupa Mandala Kabataraan di wilayah Pajajaran Tengah.

Nu ngalolos téh malibir ngidul, da sacara strategi perang ogé atuh geus kagambar seug nagara Pajajaran harita sasat dirurug tur diraponan ku gabungan tilu pasukan Éslam : Surasowan (Banten) ti beulah Kulon, Cirebon datang ti beulah Kalér, ari Demak ti Wétan, tangtu nu ngungsi ti nagara moal kamana deui losna iwal ti ka Kidul, han di Kidul disampakeun sagara nu ombakna umpalan, ting jelegur sagegedé saung, atuh lain ojayaneun jalma atah-atah, antukna rombongan pangungsi dibagi sababaraha bagéan, sakumaha nu kacatur ogé dina Uga Wangsit Siliwangi nu kurang leuwih nyebutkeun kieu : "nu rék balik deui ka urut nagara jig geura ngalér, nu rék biluk kanu keur jaya (maksudna Éslam Demak jeung Cirebon) geura ngétan, nu rék nuturkeun lacak Ki Santang jig geura ngulon, nu rék satia satuhu ka Kaula nya ngidul, ngan mudu wayahna lara balangsak"

Ari caritana di sisi basisir, pasukan Balara Pati (pasukan inti pangawal kulawarga Raja) nu diwangun ku 3 pasukan dikerahkeun pikeun nyieun 3 rakit keur meuntas sagara maksudna ngungsi ka Nusa Sanghyang (ayeuna Pulo Cristmast - Ustrali).

Kulawarga raja sarta harta karajaan anu sempet kasalametkeun ditaékeun kana rakit tiheula bari dikawal ku sapasukan Balara Pati.

Anu dua pasukan deui ditugaskeun ngajaga bisi aya musuh nu ngudag bisa nyusud tapak tepi ka dinya, supaya kulawarga raja aya awahan waktu kaburu jauh ngalolos.


Ari Gusti Prabu nu mutuskeun teu tulus milu ngalolos dibarengan ku tilu urang patih satiana mutuskeun pikeun mubus ka leuweung Sancang, sedengkeun 2 pasukan nu ditugaskeun ngajaga bisi aya musuh nu nyusul, sanggeus 3 rakit rombongan kulawarga raja teu témbong deui laju laleumpang ngulon keur siasat miceun salasah, muru ka Ujung Kulon, nya didinya netep di wewengkon nu kiwari disebut Rawayan nu hartina "turunan / rundayan", pantes urang dinya kawentar garalak da turunan Pasukan Balara Pati Pajajaran, seug ari tempat nyieun rakit tadi disebut Palabuhan Ratu, aya Karang Hawu tapak mirun seuneu.

Malikan deui
caritaan Nyi Mas Mayang Kusumah, kacarioskeun anjeunna masih parawan kapalang basa kedah lunta ti Pajajaran ngiring sareng ingkang raka-rakana, rombongan 4 Kandaga lante alatan nagara burak - Pajajaran runtag, ari jalan anu ditempuh ku rombongan malibir mapay sisi basisir laut kidul, awalna ti wilayah Jampang kulon (Pulosari)  tempat panungtungan Prabu Nila Kendra, lungsur uga wangsit, tapak tilasna ayeuna janten "Jalan Lintas Selatan" ti Pandeglang (Karaton Pulo Sari baheula) ka Jampang teras Sancang teras Garut (tapakna di Limbangan Garut aya Situs Pangeureunan, tempat istirahatna wadya balad Pajajaran) parat ka Batu Karas, malibir ka pasisian kidul sasat ngahaja nyingkahan pasukan musuh nu harita ngarurug nagara gabungan Demak, Cirebon sareng Surasowan Banten, maksad bade nepangan salah sawios sesepuh Pajajaran anu mukim di Limbangan nyatana Sunan Rumenggong (Prabu Layaran Wangi) anu dipancenan ngadegkeun Nagara Kerta Rahayu (Nagara Darurat) Limbangan Garut. 

Rombongan ti Kabataraan Gunung Pancar anu dipingpin ku Embah Jaya Perkosa katut 3 Kandaga Lanté séjénna, sarua ngalolos ngidul, laju malibir ngétan nyusul tapak Gusti Prabu Nila Kendra, panyana rombongan pajajaran anu dituju ku Gusti Prabu Nila Kendra téh sesepuh Pajajaran nyatana Gusti Prabu Layaran Wangi (Sunan Ruménggong) nu aya di Limbangan, padahal Gusti Prabu Nila Kendra mutuskeun pikeun tatapa geusan moksa di Sancang.

Dugi ka Limbangan Garut Opat Kandaga Lante ahirna nyuhungkeun kamandang saran bongbolongan bubuhan Sunan Rumenggong hiji sesepuh nu jembar luang pangalamannana, nya didinya cariosna gelar sawala anu hasilna mufakat para sesepuh nyatujuan Makuta dipasrahkeun ka Sumedang najan teu saeutik anu teu saluyu tur ngaragukeun kana kasanggupan Sumedang geusan neruskeun tongkat estapet Kajayaan Pajajaran, tapi bahasa para sesepuh : "Nya ulah wara ngilo ka pageto anu can katenjo jeung kaalaman, urang bandungan bae kumaha geletuk batuna kecebur caina".

Cariosna di Limbangan Garut, Nyimas Mayang Kusumah tepang sareng saurang jajaka turunan Sri Batari Hyang ti Galunggung, duanana papada katarik geter simpati, sahingga eta jajaka ngiring sareng rombongan ka Sumedang, ku sabab perwatekna eta jajaka nu teuneung ludeung, leber wawanen tur parigel dina olah kanuragan sahingga digelaran Kadiran (wanian), nalika Patih Jaya Perkosa dipaparinan pancen masrahkeun serat talaq Ratu Harisbaya ka Pangeran Giri Laya Cirebon, Patih Jaya Prakosa ngatur siasat keur ngajaga sagala kamungkinan, diantarana nyusun pasukan anu dipingpin ku Eyang Terong peot, Eyang Nangganan sareng Eyang Wirajaya di wewengkon Tomo bisi Cirebon malik ngarurug Sumedang, salian ti eta Patih Jaya Prakosa ngayakeun Barisan Pangjagaan ku nyiapkeun Pasukan di wilayah Pajagan kanggo ngamankeun Eyang Gusti Sunan Pada (mertua Prabu Geusan Ulun) anu asalna mangkuk di makam Waru - Karedok diamankeun ka tonggoh ka wilayah anu disebat Pageur Ageung sagedengeun Gunung Cangkuang, Gunung Kendal sareng Gunung Jayagung.

Layang Dikusumah
(Mbah Gedé0 lungsur deui ka Eyang Kadiran (Carogé Nyimas Mayang Kusumah) mangsa mingpin pasukan Barisan Pangjagaan Pager Ageung keur ngamankeun Sunan Pada (Mertua Eyang Prabu Geusan Ulun) tina ancaman pasukan Cirebon tur sagala kamungkinan nalika Eyang Jaya Perkosa ngélék pancén ngajukeun talak Ratu Harisbaya ka Cirebon, nya Eyang Gusti Sunan Pada dipundut ngalih ti Padépokan Waru (Karédok), dialihkeun ka tonggoh ka wewengkon nu geus disayagakeun nu disebut Pager Ageung (Kiwari Cisahang), antara Kendal Gunung, Jayagung, Gunung Cangkuang jeung Gunung Leutik.

Ieu Barisan Pangjagaan dijieun 3 Lapis :
1. Daerah Pageur Ageung atawa Pangjagaan dipingpin ku Ki Ajar Gede alias Layang Dikusumah salaku Panglima Jurit atawa Komandan Kompi. Eyang Kadiran salaku Hulu Jurit atawa Komandan regu didamping ku Sanghyang Ambu anu harita tos janten garwana. Eyang Perbu ditugaskeun di Kendal, Buyut Purugul di Gunung Cangkuang, Eyang Kaula Jaya Kula Maya di Cipipisan tur Embah Suba di Gubrul.
2. Daerah Jami Bakih di Cilopang, dipingpin ku Embah Sacadinanga, Buyut Kalong jeung rengrengannana.
3. Daerah Pager Rucukan atawa Situraja ayeuna dipingpin ku Buyut Merah jeung rengrengannana.



Sumber referensi :
- Babad Permunggu Pewenang Wado. 
- Naskah Asli Babon Silsilah Katurunan Sumedang
- Buku Jati Sampurna Sumedang.
- Floklore Desa Pajagan Situraja