Sekilas Sejarah Eyang Jagabaya Nantung Sumedang
Juru
pelihara makam Keramat Buyut Nangtung Bapak Mustopa mengatakan, ia
menjadi juru kunci sejak tahun 1997, yang telah diwariskan secara turun
temurun. Bapak Mustopa mengatakan kakeknya yang menjadi juru kunci
hingga meninggalnya di usia 150 tahun, Lalu turun ke ayahnya dan
setelah itu, lalu ke saya menjadi juru kunci Makam Keramat Nangtung
Sumedang sampai sekarang.
“Buyut
Nangtung itu nama aslinya Jagabaya adalah salah satu putra dari Raden
Ajimantri atau Raden Keling Sakawayana yang menikah dengan Nyimas
Angkong Larangan. Lalu kenapa menjadi
Buyut Nangtung? Waktu itu, Eyang Jagabaya mencari tempat untuk
peristirahatan sekaligus padepokan dalam memperdalam ilmu kama’rifatan,
maka, ditemukanlah gunung Argawilis sebagai tempatnya,” Kata Bapak
Mustopa Juru Kunci Makam Nangtung.
Asal Muasal Nama Makam Buyut Nangtung
Sebelum disebut Nantung, lanjut Bapak Mustopa, Gunung ini sebenarnya bernama Argawilis.
Sementara nama Nangtung itu sendiri, berasal dari perkataan Jagabaya mengatakan bahwa, ”berdirinya atau Nangtungnya saya di tempat ini, agar saya bisa melihat 4 penjuru".
“Jadi, arti Nangtung itu adalah berdiri, sampai sekarang memiliki ciri kampung Nangtung, Gunung Nangtung, bahkan Buyut Nangtung.
Yang di maksud dengan melihat empat penjuru itu. Artinya melihat dengan mata batinnya akan tembus apa dilihatnya, karena Eyang Jagabaya merupakan sosok yang tinggi ilmunya,” kata Bapak Mustopa.
Maka dari itu, sambung Bapak Mustofa, nama gunung Argawilis, sekarang terkenalnya menjadi gunung Nangtung. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil masyarakat mengetahuinya nama Gunung Argawilis itu.
Makam Jaga Baya dan Eyang Mira Maya di Nangtung |
Makam Singa Nurun / Singa Kerta Dusun Nangtung, Desa Ciherang Kecamatan Sumedang Selatan |
Sedikit informasi mengenai kisah Sejarah Jagabaya di Nantung Sumedang, yang saya dapatkan. Saya
megisahkan ini berdasarkan penuturan dari Ibu Lia Juanita Suherli istri dari Charles Van Rijk almarhum, yang mana ibu mertuanya atau ibunya Charles Van Rijk adalah keturunan dari Santowan Jaga Baya pada masa pemerintahan Pangeran Angkawijaya
atau Prabu Geusan Ulun berkuasa antara 1579-1601 Masehi, dan cerita ini diceritakan secara turun-temurun, dan saya merasa sangat beruntung dapat mendengarnya secara langsung. Saya mohon maaf sebelumnya jika ada kesalahan atau kekurangan pada kisah ini dari cerita yang sesungguhnya.
Santowan adalah Sang Tohaan. Gelar Tohaan sebenarnya bukan hal yang baru dalam sejarah Sunda karena dalam naskah Carita Parahyangan telah mencatat nama Toha'an di Sunda.
Diceritakan bahwa ibu dari Charles Van Rijk yaitu Oma Iyot adalah putri dari Aki Ajoem dan Aki Ajoem adalah putra sulung dari eyang Jaya Manggala. Eyang Jaya Manggala merupakan keturunan dari Santowan Jaga Baya yang bersaudara dengan Kandaga Lante Jaya Perkasa atau Sanghyang Hawu dan Kandaga Lante Terong Peot atau Batara Pancar Buana.
Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun bersama dengan Kandaga Lante mengunjungi Cirebon. Dan kemudian Prabu Geusan Ulun membawa pulang Ratu Harisbaya. Pada saat itu Prabu Geusan Ulun telah memiliki seorang permaisuri bernama Ratu Kencana Wungu.
Ratu Kencana Wungu setelah mengetahui bahwa Prabu Geusan Ulun membawa seorang Ratu baru yaitu Ratu Harisbaya yang kemudian dinikahinya, kemudian meninggalkan kerajaan Sumedang Larang dan bertapa di suatu tempat. Ratu Kencana Wungu meninggalkan Kerajaan Sumedang Larang dan melepas semua atribut kerajaannya, karena tidak menginginkan Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun memiliki dua orang Ratu. Ratu Kencana Wungu mengganti namanya menjadi Nyimas Cukang Gedeng Waru, dan beliau kemudian mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan.
Salah seorang dari Kandaga Lante yaitu Jaya Perkasa yang pulang belakangan mengetahui bahwa Ratu Tjukang Gedeng Waru telah meninggalkan Kerajaan. Jaya Perkasa yang saat itu menjadi kaget dan sedih karena kepergian Ratu Kencana Wungu, lalu Jaya Perkasa bertanya kepada suanya Santowan Jaga Baya anaknya Raden Aji Mantri, saudara dekatnya Jaya Perkasa.
Percakapan
ini yang sesungguhnya dalam bahasa Sunda, namun saya menulisnya dalam
bahasa Indonesia. Percakapan ini adalah percakapan yang mewakili
percakapan yang sesunguhnya terjadi.
“Mengapa anda membiarkan hal ini terjadi dan mengapa anda membiarkan Ratu pergi dari kerajaan?” kata Jaya Perkasa.
“Saya tidak berani, karena Prabu telah berkehendak demikian, menikah dengan Ratu Harisbaya”, jawab Santowan Jagabaya.
“Mengapa anda membiarkan hal ini terjadi dan mengapa anda membiarkan Ratu pergi dari kerajaan?” kata Jaya Perkasa.
“Saya tidak berani, karena Prabu telah berkehendak demikian, menikah dengan Ratu Harisbaya”, jawab Santowan Jagabaya.
Santowan Jaga Baya tentu merasa kesulitan untuk menentang dan menghalangi kepergian Ratu Tjukang Gedeng Waru.
Jaya Perkasa menjadi marah dan berkata : “Kalau begitu kamu tidak pantas untuk berada disini!”
Jaya Perkasa yang memarahi Santowan Jaga Baya, seketika itu juga Jagabaya pergi dan sampai pada sebuah tempat yang kemudian diberi nama Nangtung. Nangtung memiliki arti berdiri dalam bahasa Indonesia. Sejak saat itu, Santowan Jaga Baya menetap di Nangtung begitu juga dengan keturunannya.
Jagabaya
merupakan nama keprajuritan yang memiliki arti sebagai berikut, Jaga
arrtinya menjaga, Baya artinya marabahaya. Jadi, sesuai dengan namanya
Jaga Baya memang bertugas untuk menjaga dari suatu marabahaya. Jagabaya
juga yang berjaga di daerah Cadas Pangeran pada masa pemerintahan Prabu
Geusan Ulun antara 1579-1601, yang saat itu merupakan pintu masuk menuju kerajaan Sumedang Larang.
Setelah kerajaan Pajajaran burak akibat diserbu oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon pada tanggal 15 mei 1579 masehi. Rajanya yang bernama Prabu Ragamulya Surya Kancana tidak terkabarkan lagi membangun pemerintahanya di Pajajaran,.
Prabu Ragamulya adalah Raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah
Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam
Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Prabu Nusiya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun atau Panembahan Pulasari, karena Raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Dalam Pustaka Nusantara 3 sargah ke 1 dan Kertabhumi 1 sargah ke 2 disebutkan, "Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala. yang artinya, Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka.". Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 Masehi.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun atau Panembahan Pulasari, karena Raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Dalam Pustaka Nusantara 3 sargah ke 1 dan Kertabhumi 1 sargah ke 2 disebutkan, "Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala. yang artinya, Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka.". Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 Masehi.
Setelah kerajaan Pajajaran burak akibat diserbu oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon pada tanggal 15 mei 1579 masehi. Rajanya yang bernama Prabu Ragamulya Surya Kancana tidak terkabarkan lagi membangun pemerintahanya di Pajajaran,.
Prabu Ragamulya Surya Kancana berpesan kepada putranya agar
mengabdi
ke Kerajaan Sumedang Larang. Adapun putra Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dimaksud tiada
lain adalah Raden Aji Mantri alias Raden Keling Sakawayana, murid
tersayang Sang Aduwarsa yang memimpin sebuah perguruan keagamaan di
Cinangka Cikampek.
Perlu diceritakan, dalam melaksanakan pesan atau amanat dari ayahnya itu, bulan Oktober 1579 Raden Aji Mantri berangkat menuju Sumedanglarang dengan dikawal oleh empat orang pengawal pribadinya yaitu embah Kapuk, embah Pincang, Raden Raja Koras dan Raden Suryakancana wesah dan 35 orang prajuritnya. Mereka tiba di Sumedanglarang pada bulan Januari tahun 1580 dan selanjutnya mengabdi ke Kerajaan Sumedanglarang.
Perlu diceritakan, dalam melaksanakan pesan atau amanat dari ayahnya itu, bulan Oktober 1579 Raden Aji Mantri berangkat menuju Sumedanglarang dengan dikawal oleh empat orang pengawal pribadinya yaitu embah Kapuk, embah Pincang, Raden Raja Koras dan Raden Suryakancana wesah dan 35 orang prajuritnya. Mereka tiba di Sumedanglarang pada bulan Januari tahun 1580 dan selanjutnya mengabdi ke Kerajaan Sumedanglarang.
Tidak lama setelah menikah dengan Nyai Mas Angkonglarangan di tahun 1583, Raden Aji Mantri beserta isteri dan keempat orang pengawalnya, yang semula berdiam di lingkungan Keraton Kutamaya Sumedanglarang kemudian pindah dan menetap di sebuah tempat yang kini dikenal di Dusun Serang yang berada di wilayah kecamatan Cimalaka Sumedang.
Di tempat tersebut, dengan mendapat dukungan dari penguasa Sumedanglarang saat itu Prabu Geusan Ulun,, Raden Aji Mantri membangun sebuah Telaga yang letaknya di belakang Bale Desa Serang yang sekarang yang dikenal "Talaga Sakawayana”, Telaga yang di sekelilingnya ditanami aneka pepohonan, diantaranya pohon kelapa yang disebut "Kalapa Tujuh" dan ditengah-tengahnya terdapat “mata air” yang disebut “Leutak Si Balagadama” itu, fungsinya selain untuk memperingati para leluhurnya yang telah membangun “Talaga Maharena Wijaya di Bogor, sebagai tempat rekreasi para pengagung dan warga masyarakat Sumedanglarang juga untuk mengairi tanah-tanah pertanian yang ada di sekitarnya.
Raden Aji Mantri, setelah membantu roda pemerintahan Prabu Geusan Ulun selama kurang lebih 30 tahun antara 1580-1610, yang menurut cerita dipercaya selaku penasehat kerajaan Sumedanglarang, kemudian mendirikan sebuah perguruan keagamaan yang letaknya tidak jauh dari Talaga Sakawayana dan yang diberi nama Sumedang Kahiyangan.
Di perguruan yang dipimpinya itu, Raden Aji Mantri mengajarkan sejumlah ilmu yang dianutnya dikenal dengan sebutan elmu Sakawayana diajarkan kepada murid-muridnya, baik murid yang datang dari wilayah Sumedanglarang maupun dari luar daerah, seperti dari Mataram, diantaranya Bapa Leutik yang menikah dengan salah seorang warga Serang.
Menginjak tahun 1660, Raden Aji Mantri dipanggil oleh yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat tua 105 tahun, jasadnya dimakamkan di sebuah “Gunung” walau sebenarnya sebuah pasir bukit yang ada di Dusun Serang dan makamnya kini dikenal “Makam Keramat Gunung Keling“ atau “Makam Keramat Sakawayana” di Serang Belakang PDAM Cimalaka Sumedang.
Adapun silsilah Raden Aji Mantri atau Raden Keling Sakawayana yang mempunyai anak Santowan Jagabaya dan cucu Singakerta di Nangtung Sumedang, yaitu :
Generasi ke 1
Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi Raja
Pajajaran antara 1482–1521, bertahta di Pakuan Bogor dari permaisuri Ratu Kentring Mayang Sunda, mempunyai anak :
Anak ke 1 Prabu Surawisesa Raja Pajajaran antara 1521 – 1535, bertahta di Pakuan
Anak ke 2 Ratu Dewata atau Dewata Buana Raja Pajajaran antara 1535 – 1543, bertahta di Pakuan
Generasi ke 2
Prabu Surawisesa Raja Pajajaran antara 1521 – 1535, bertahta di Pakuan, mempunyai anak, yaitu :
Anak ke 1 Ratu Sakti Raja Pajajaran antara 1543 – 1551, bertahta di Pakuan
Anak ke 2 Prabu Nilakendra atau Tohaan di Majaya Raja Pajajaran antara 1551-1567, meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf.
Generasi ke 3
Ratu Sakti Raja Pajajaran antara 1543 – 1551, bertahta di Pakuan, mempunyai anak, yaitu :
Anak
ke 1 Prabu Raga Mulya Raja Pajajaran antara 1567 – 1579, dikenal
sebagai Prabu Surya Kencana atau Prabu Nusiya Mulya memerintah dari
Pandeglang
Anak ke 2 Nyimas Saripah, ibunya Kandaga Lente Jaya Perkasa atau Sanghyang Hawu.
Generasi ke 4
Prabu Raga Mulya atau Prabu Surya Kancana atau Prabu Nusiya Mulya, dari permaisuri pertamanya nyimas Ratna Gumilang, mempunyai seorang anak yaitu Raden Ajimantri atau Raden Keling Sakawayana, kelahiran tahun 1555 dan
meninggal tahun 1660, dimakamkan di makam Kramat Gunung Keling, Dusun
Serang,
Kecamatan Cimalaka, Sumedang.
Generasi ke 5
Raden Aji Mantri menikah dengan
Nyimas Angkong Larangan tahun 1583, mempunyai 6 orang anak, yaitu :
Anak ke 1.Santowan Kadang Serang, kelahiran tahun 1585.
Anak ke 1.Santowan Kadang Serang, kelahiran tahun 1585.
Anak ke 2 Santowan Sawana Buwana, kelahiran tahun 1586
Anak ke 3 Santowan Pergong Jaya, kelahiran tahun 1588
Anak ke 4 Santowan Jagabaya di Nangtung Sumedang, kelahiran tahun 1590
Anak ke 5 Nyai Ratna Ayu, kelahiran tahun 1592
Anak ke 6 Nyai Jili atau Nyai Jili Tahunyu di Sumedang, kelahiran tahun 1594
Generasi ke 6
Santowan Jagabaya di Nangtung Sumedang, mempunyai 4 orang anak, yaitu : Embah Bage, kelahiran tahun 1615, hijrah ke Panjalu Ciamis,
Raden Singa Nurun atau Singakerta, kelahiran tahun 1617
Raden Nayamanggala atau Nayapenggala, kelahiran tahun 1619
dan Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon 1, kelahiran tahun 1621
Lebih jelasnya pernikahanya Raden Ajimantri dengan Nyai Mas Angkong Larangan, mempunyai 6 orang putra-putri, yaitu :
Anak ke 1 Raden Ajimatri yaitu Santowan Kadang Serang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Jawista, berputra
3 orang laki-laki, yaitu: Tanduran Sawita atau Kyai Perlaya, Kyai Singa
Manggala atau Embah Gede dan Kyai Tanu Jiwa atau lebih dikenal Ki Mas Tanu, ia berputra Raden Mertakara yang berdomisili di Banten,
Menurut Raden
Widjajakoesoemah, dalam tulisanya yang berjudul “Tjarita Nagara
Padjadjaran” tahun 1846 masehi, ketiga putra Santoan Kadang Serang itu, pada masa
hidupnya pernah mengabdi kepada Kumpeni belanda di Batavia, yaitu pada
jaman Gubernur Jendral “Coen” tahun 1627 dan sampai zaman Gubernur Jendral
Speelman tahun 1681. Mereka dipercaya memimpin 40 orang pekerja asal
Sumedang untuk membangun tempat-tempat yang asalnya merupakan hutan
belantara menjadi tempat pemukiman, seperti Kampung Bidara Cina, Kampung
Bantarjati (Kampung Baru) dan sejumlah kampung yang berada di daerah
Cipinang Jakarta.
Oleh karena pekerjaanya memuaskan, maka selanjutnya kumpeni mengangkat ketiga kakak beradik itu sebagai Prajurit serta masing-masing mendapat pangkat, yang sulung yaitu Tanduran Sawita ”Letnan”, dikenal dengan sebutan “Letnan Pengiring”, yang kedua Kyai Singa Manggala ”Sersan” disebut “Sersan Kerta Singa” dan yang bontot yaitu Kyai Tanu Jiwa sama dengan yang sulung, mendapat pangkat “Letnan”. Pada tahun 1680 Masehi, Tanduran Sawita dengan kedua adiknya mendapat perintah dari Speelman untuk mencari pekerja ke Sumedang sebanyak 100 orang.
Akan tetapi baru sampai ke hutan bekas Pajajaran, yang telah memakan waktu sebulan lamanya, mereka mendapat musibah kekurangan makanan. Didekat mata air sungai “Ciluwer” yang ada di hutan tersebut, Tanduran Sawita menghilang dan tidak diketemukan kembali, itu sebabnya dia dikenal Kyai Perlaya, sehingga kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke Batavia.
Oleh karena pekerjaanya memuaskan, maka selanjutnya kumpeni mengangkat ketiga kakak beradik itu sebagai Prajurit serta masing-masing mendapat pangkat, yang sulung yaitu Tanduran Sawita ”Letnan”, dikenal dengan sebutan “Letnan Pengiring”, yang kedua Kyai Singa Manggala ”Sersan” disebut “Sersan Kerta Singa” dan yang bontot yaitu Kyai Tanu Jiwa sama dengan yang sulung, mendapat pangkat “Letnan”. Pada tahun 1680 Masehi, Tanduran Sawita dengan kedua adiknya mendapat perintah dari Speelman untuk mencari pekerja ke Sumedang sebanyak 100 orang.
Akan tetapi baru sampai ke hutan bekas Pajajaran, yang telah memakan waktu sebulan lamanya, mereka mendapat musibah kekurangan makanan. Didekat mata air sungai “Ciluwer” yang ada di hutan tersebut, Tanduran Sawita menghilang dan tidak diketemukan kembali, itu sebabnya dia dikenal Kyai Perlaya, sehingga kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke Batavia.
Anak ke 2 Raden Ajimantri, yaitu Santowan Sawana Buana, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Wanisah, secara
turun menurun berputra Tanduran Mataram, Berputra Kiriya Manggala
Sakawayana, berputra Darma Manggala, berputra Antamanggala, berputra
Wangsamanggala, berputra Akmal Sutamanggala. Selanjutnya Akmal Suta
Manggala berputra 3 orang laki-laki, yaitu :
- Anak Pertama Akmal Sutamnggala, yaitu Raden Dipa Wangsa, yang gugur ketika membantu Kyai Bagus Rangin bertempur melawan pasukan gabungan kumpeni dan Cirebon dalam Perang Bantarjati, Raden Dipa Wangsa berputra 4 orang yaitu : Wangsadinata, kepala Desa Serang pertama, memerintah antara 1870-1885, Oneng, Haji Sa’id dan Engkung atau Ajib.
- Anak Pertama Akmal Sutamnggala, yaitu Raden Dipa Wangsa, yang gugur ketika membantu Kyai Bagus Rangin bertempur melawan pasukan gabungan kumpeni dan Cirebon dalam Perang Bantarjati, Raden Dipa Wangsa berputra 4 orang yaitu : Wangsadinata, kepala Desa Serang pertama, memerintah antara 1870-1885, Oneng, Haji Sa’id dan Engkung atau Ajib.
Mereka melahirkan keturunan di Dusun Serang dan salah seorang putra
Engkung yang bernama Enden Ningsih menikah dengan Pangeran Aria
Kusumah Adinata atau Panggeran Sugih Bupati Sumedang tahun 1832-1889)
berputra Nyai Raden Domas kemudian ia berputra Raden Aom Bajaji,
Raden Sule dan Nyai Raden Emek melahiran keturunan di Bandung.
- Anak kedua Akmal Sutamnggala,, Raden Sawita menikah dengan Sawijah janda Mas Ngabehi Jiwaparana 4, asal Wado Sumedang) berputra “Jibah” yang menulis “Buk Sakawayana” pada tahun 1841 Masehi.
- Anak Pertama Akmal Sutamnggala, Raden Kasjan, dikenal dengan sebutan Bapa Olot, ia menurunkan anak cucu di Dusun Serang dan Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Sumedang.
Anak ke 3 Raden Ajimantri, yaitu Santowan Pergong Jaya di Nangtung Sumedang menikah dengan Apun Ayu Ajeng Larasati melahirkan keturunan di Tasikmalaya dan Ciamis.
Anak ke 4 Raden Ajimantri, yiatu Santowan Jagabaya di Nangtung Sumedang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Alisah, berputra 4 orang yaitu :
- Anak kedua Akmal Sutamnggala,, Raden Sawita menikah dengan Sawijah janda Mas Ngabehi Jiwaparana 4, asal Wado Sumedang) berputra “Jibah” yang menulis “Buk Sakawayana” pada tahun 1841 Masehi.
- Anak Pertama Akmal Sutamnggala, Raden Kasjan, dikenal dengan sebutan Bapa Olot, ia menurunkan anak cucu di Dusun Serang dan Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Sumedang.
Anak ke 3 Raden Ajimantri, yaitu Santowan Pergong Jaya di Nangtung Sumedang menikah dengan Apun Ayu Ajeng Larasati melahirkan keturunan di Tasikmalaya dan Ciamis.
Anak ke 4 Raden Ajimantri, yiatu Santowan Jagabaya di Nangtung Sumedang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Alisah, berputra 4 orang yaitu :
Anak ke 1 Santowan Jagabaya yaitu, Embah Bage di Panjalu,
Anak ke 2 Santowan Jagabaya yaitu, Raden Singa
Nurun atau Singa Kerta (melahirkan keturunan di Nangtung Sumedang),
Anak ke 3 Santowan Jagabaya yaitu Raden Nayamanggala atau Nayapenggala.
Lalu Raden Nayamanggala menikah dengan Nyai Tanduran Saka, berputra 2 orang,
yaitu : Raden Inayapatra dan Nyai Mas Unggeng.
Raden Inayapatra menikah
dengan Embah Putri asal Bogor, secara turun temurun berputra Raden
Arjawayang alias Antareja, berputra Raden Aris Surakarta, berputra Raden
Kyai Lukman Candrawisuta, berputra Raden Kanduruan Cakrayuda, berputra
Raden Bahinan (Camat Ciawi Bogor), berputra Raden Antahan Camat Cimande
Bogor, berputra Raden Entang, berputra Raden Muhtar, berputra Nyai
Raden Mariah, berputra Nyai Raden Susi Lestari, yang melahirkan
keturunan di Bogor.
Sedangkan Nyai Mas Unggeng berputra Naya, yang
menjadi Jagasatru di Sumedang.
Anak ke 4 Santowan Jagabaya yaitu Nyai Raden Apun Pananjung menikah dengan Susuhunan Amangkurat, berputra Raden Doberes.
Anak ke 5 Raden Ajimatri yaitu Nyai Ayu Ratna Ayu di Sumedang.
Anak ke 6 Raden Ajimatri yaitu Nyai Jili atau Nyai Jilita Hunyu di Sumedang.
Anak ke 6 Raden Ajimatri yaitu Nyai Jili atau Nyai Jilita Hunyu di Sumedang.
Post a Comment