MENUJU
CAHAYA ALLAH
(NUR
ILLAHI)
Apakah
sesungguhnya cahaya Allah itu? Perlu dipahami bahwa jika sinar
matahari itu terdiri dari sinar yang beraneka warna dan setiap sinar
mempunyai gelombang sendiri, maka sinar Allah yang diturunkan atas
Nabi Muhammad saw. Terpencar pula menjadi 6666 sinar (ayat) yang
tersusun menjadi kitab suci yaitu Al-Qur’an. Setiap ayat memiliki
gelombang sendiri-sendiri, yang panjang gelombangnya dapat ditetapkan
dari bentuk dan susunan ayat tersebut. Sebagai kata kunci, tak ada
yang mampu menandingi al-Qur’an, karena Kalam Allah ini sarat
dengan dimensi keilmuan dan kecerdasan. Itulah yang menjadi tumpuan
hakiki dari segala ilmu di jagat raya seisinya, itulah “Ulul
Abrar”. Adapun penjelasan tentang cahaya Allah itu didalam
Al-qur’an Surat An-Nur di jelaskan :
"ALLAAHU
NUURUSSAMAAWAATI WAL’ARDHI MATSALU
NUURIHII KAMISYKAATIN FIIHAA MISHBAAHUN ‘ALMISHBAAHU
FIIZU JAAJATIN. A’ZZUJAAJATU KA’ANNAHAA KAWKABUN
DURRIYUN YYUUQADU MIN SYAJARATIN MMUBAARAKATIN
ZAYTUUNATIN’LLAASYARQIYYATIN WALAA
GHARBIYYATIN YYAKAADU ZAYTUHAA YUDHII’U WALAW LAM
TAMSHASHU NAARUN. NUURUN ALAA NUURIN. YAHDILLAAHU
LI NUURIHII MAN YYASYAA’U. WA
YADHRIBU ‘LLAAHU ‘AMTSAALA LINNAASI WA
LLAAHU BIKULLI SYAI’IN ALIMUN". (Q.S AN-NUR : 35)
Artinya
:Allahunur
(Allah Cahaya) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada PELITA
besar. Pelita itu didalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang
yang BERCAHAYA seperti Mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu Pohon zaitun yang tumbuh
tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat. Yang minyaknya
saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. CAHAYA
DI ATAS CAHAYA (Yang berlapis-lapis), Allah membingbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Pada
Ayat di atas, dijelaskan mula-mula dinyatakan bahwa Allah merupakan
Cahaya
langit dan bumi. Disitu telah dijelaskan bahwa cahaya Allah itu
seolah-olah sebuah lubang yang berisi PELITA
(Lampu), dikatakan seolah-olah karena keberadaan Allah itu tidak
dapat digambarkan seperti apapun. Tak ada yang menyerupai Allah,
meskipun (Allah) tidak bisa diserupakan tapi perlu perumpamaan untuk
memudahkan manusia me-Ma’rifatinya
(Mengenalnya).
Dalam
perumpamaan itu disebutkan bahwa Cahaya-Nya itu seolah-olah Lampu
yang ada disebuah Lubang yang ditutup kaca, yang kacanya itu sendiri
memancarkan cahaya gemerlapan seperti bintang di langit. Sumbu itu
dinyalakan dengan minyak Zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di
barat, bahkan minyaknyapun ber-Cahaya, meski tanpa sentuhan Api.
Adapun
arti dari pada lampu dalam Ceruk (Lubang) yang ditutupi kaca itu,
kalau di pahami secara mendalam “ sebagai hati yang jernih”
Artinya apa ?, Allah adalah Cahaya di atas Cahaya, dan dirinya
di lukiskan sebagai cahaya langit dan bumi, dan diri-Nya di lukiskan
sebagai cahaya langit dan bumi, dan cahaya ini ter-Manisfestasikan
(terpantul/mewujud) dalam HATI (Qalbu) yang jernih dan
kemilau, dan hati yang demikian merupakan wujud dari Al-Islam,
Al-Iman dan Al-ihsan, yang jika ketiganya berada dalam
keseimbangan, maka yang terpancarkan adalah Al-Ikhlas.
Al-Islam,
Al-Iman, dan Al-Ihsan yang sudah menjadi Al-Ikhlas
yaitu suatu wujud ke-Ikhlasan hidup secara nyata bukan basa basi,
karena merupakan minyak dari hati yang jernih itu. Minyak yang
demikian tidak berasal dari pemikiran timur dan barat, tetapi
berasal dari pusat kebenaran yang UNIVERSAL (Al-Haqqu Mubin), Yaitu
Allah sendiri, minyak demikian juga mengeluarkan cahaya meskipun
belum disentuh api, meski minyak itu belum di aktifkan, kerena itu
jangan heran bila dibeberapa ayat yang lain disebutkan bahwa hanya
orang-orang yang hidupnya dipenuhi ke-Ikhlasan yang tidak dapat di
sentuh ataupun digoda oleh Iblis, bukankah iblis sendiri
adalah symbol nyata dari Api. Semua pintu masuk yang tersedia buat
iblis tertutup bagi orang-orang yang dipenuhi ke-Ikhlasan.
Allah
adalah Cahaya diatas cahaya, itulah perumpamaan bagi Allah. Dia
bagaikan CAHAYA, DIA menerangi, DIA yang menjadikan semua yang
tersamar jadi jelas, Yang benar jadi tampak, Yang gelap tersingkir,
dan Cahaya-Nya itu di atas ribuan lapisan Cahaya, maka hanya orang
yang berkehendak kuat menuju Cahaya-Nya yang ditunjuki-Nya. Jadi
keliru sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki Allah, dan jika demikian
berarti Allah berbuat sewenang-wenang kepada makhluknya, dan berarti
Allah tidak Rahman-Rahim, padahal Allah telah menetapkan Rahmat bagi
segenap ciptaanNya, yang menghendaki Cahaya-Nya, yang akan dituntun
untuk mendapatkannya. Dari sebuah Hadist kita ketahui bahwa Allah
memancarkan Cahaya dari Cahaya-Nya, terwujudlah Nur Muhammad,
nah dari Nur Muhammad inilah Allah menjadikan Alam Semesta,
dan sebenarnya dari Nur Muhammad inilah proses pemancaran
Cahaya yang berlapis-lapis, sehingga terwujudlah (terbentuk) JAGAT
RAYA, sebagaimana yang ada sekarang ini.
Hal
ini tidak diragukan lagi dari sudut Fisika modern, ternyata apa yang
disebut materi (benda-benda), sebenarnya merupakan perwujudan dari
Cahaya. Cahayalah yang dapat kita saksikan dalam ber-Meditasi dan
Shalat, ketika kembara pikiran sudah berhenti. Warna cahaya yang
tampak oleh Pe-Zikir. Ada yang melihat Cahaya pertama kalinya,
cahaya berwarna merah, kuning, hitam dan cahaya putih. Ada yang
melihat pertama kalinya, cahaya biru, ungu dll. Semakin Intens
(Khusyu) ber-Zikir, semakin hilang warna warni itu, bahkan
kita tidak menyadari bahwa kita sedang ber-Zikir atau
ber-Meditasi, yang ada ialah keheningan dan kesenyapan.
1. PENCAPAIAN KEPADA “NUR ILLAHI”
Pencapaian
kepada Kurnia Allah, dalam istilah Ma’rifat orang-orang
terdahulu disebut dengan Neng, Ning, Nung, Nang, dan hal ini
sama sekali berbeda dengan istilah-istilah di dalam ilmu Tasawuf,
tapi dalam prakteknya sangat dominan dan diikuti oleh berbagai
kalangan, baik dari kalangan tasawuf sendiri maupun dari kangan
Filsafat.
Adapun
pencapaian Zikir Menurut Kitab Tertua Ini.
- PENCAPAIAN TAHAP PERTAMA “NENG”
Diambil
dari kata Meneng yang berarti Diam yaitu sikap duduk yang
tak bergerak kesana kemari. Ini harus dilatih, bukan karena kita bisa
melakukan secara tiba-tiba, mula-mula kaki mungkin terasa kesemutan
atau ada rasa penat, atau mungkin terasa nyeri. Tapi dengan
kehendak yang kuat, pada latihan-latihan berikutnya, rasa penat,
nyeri dan kesemutan itu akan hilang, perhatian kita dengan mata
terpejam menjadi terkonsentrasikan dan terpusatkan. Dalam keadaan
diam total ini akan terungkapkan berbagai manifestasi pikiran yang
tak pernah terpikirkan dalam kesadaran.
- PENCAPAIAN TAHAP KEDUA “NING”
Diambil
dari kata Wening/Bening, dimana dalam keadaan
kondisi ini kita masuk ke alam hening/jernih. Yang kita saksikan
adalah cahaya terang, sejuk, tak berwarna. Suasana jernih, sunyi
senyap, tak ada apapun yang mengusik, seolah-olah kita Fana
(lenyap), tapi kita menyadari bahwa itu Fana !, ini bukan
karena kita mengosongkan pikiran, atau dalam istilah Sufi disebut
Hal. Kondisi ini muncul karena tarikan Allah, bukan karena di
upayakan dalam kondisi Fana ini. Sebenarnya pe-Zikir telah membuka
pintu hati dan pikirannya untuk kehadiran Allah. Dalam keadaan
Hening tak ada lagi ilusi atau rekayasa pikiran, tak ada
angan-angan dan khayalan. Pikiran dan hati tak bergerak !, sehingga
terciptalah layer kosong, lalu, apa yang terjadi ?, Ya Allah
sendiri yang akan memancarkan isyarat pada layar yang bersih itu,
Allah sendiri yang akan mengisikan lukisan pada hati yang bening itu,
dalam kondisi demikianlah sebenarnya terjadinya proses peng-Ilhaman/proses peng-Wahyuan dalam kategori ke-Nabian.
Jalan
Neng, Ning dan Zikir-Pikir sebenarnya untuk mencapai
tujuan untuk mendapatkan Hidayah dari Allah, yang dalam bahasa
Qur’an Surat An-Nur (24) : 35 disebutkan : “YAHDILLAAHU LI
NUURIHII MAN YYASYAA’U”. Yang artinya : Allah memberi
petunjuk kepada Cahaya-Nya, terhadap orang-orang yang menghendaki
petunjuk itu, dilanjutkan pada Qur’an Surat An-Nur (24) : 36,
dimana dalam ayat ini dijelaskan, bahwa orang yang sungguh-sungguh
menuju Cahaya-Nya akan dibimbingNya untuk memasuki rumah-rumah yang
diperkenankan Allah untuk di mulyakan. Adapun maksud rumah yang
dimulyakan adalah Hati yang bersih atau Al-Qalbu Salim (Hati yang
damai). Dan dalam hati yang damailah Allah senantiasa di ingat dari
pagi hingga petang. Allah di ingat sepanjang hari baik ketika mata
dalam keadaan melek, maupun terpejam Allah selalu disebut dalam
keadaan bangun maupun tidur, yang demikian itu hanya dapat dipenuhi
oleh orang-orang yang mencapai Maqom Rijalah yaitu orang-orang
yang mempunyai pendirian dan keyakinan yang kokoh.
- Dan setelah melampaui tahap “Hening” atau “Pikir”, pe-Zikir memasuki tahap berikutnya, yaitu “NUNG” ia menjadi manusia Dunung artinya tahu arah dan tujuannya. Tahu makna hidup dirinya, kalau diumpamakan sebagai orang yang membeli emas dan bukan loyang, kalau makan yang tahu apa yang di makan, gizi apa yang diperoleh dari makanan tersebut. Jadi bukan sekedar ramai-ramai mengikuti doktrin atau didikte oleh orang lain.
Bila
seseorang sudah tahu arah yang ditujunya, maka Tahap terakhirnya
adalah “NANG”. Ia yang telah sampai pada tahap “Nang”,
tentu saja memiliki kewenangan untuk mengambil langkah ke arah yang
hendak dicapainya itu. Seperti halnya kita sudah tahu ke Jakarta,
maka kita punya kewenangan untuk memilih jalan mana yang harus saya
lalui, dan menggunakan kendaraan macam apa. Dengan melatih program
“Neng, Ning, Nung, Nang” ini, akan terciptalah suasana
batin yang tenang, karena semuanya menjadi jelas, oleh karena kita
telah di tuntun Allah menuju Cahaya-Nya.
2. KEGELAPAN BAGI ORANG YANG JAUH DARI CAHAYA ALLAH
Orang
yang mengingkari kebenaran, berada dijalan Thagut, dan
sekaligus menjadikan Thagut sebagai pelindung mereka. Thagut akan
mengeluarkan mereka dari Cahaya, menuju DZULUMAT, yakni
kegelapan. Kata “Dzulumat” seakar kata dengan Zalim/lalim yaitu
perbuatan yang menyakitkan atau merugikan, baik terhadap orang lain
maupun dirinya sendiri. Karena itu “Dzulumat” diterjemahkan
kegelapan, dengan demikian orang yang mengabdi pada Thagut ialah
orang yang hidup diwilayah yang gelap. Ditempat yang gelap manusia
tak akan mampu mengetahui arah, tak akan bisa membedakan sesuatu yang
menguntungkan / yang merugikan. Tak akan tahu mana yang benar dan
mana yang salah, dani itulah wilayah Thagut. Jadi didaerah yang
gelap, meski mata tidak buta tapi tak akan bisa melihat, meski
telinga tidak tuli, tapi tak akan dapat menuntun ke sumber kebenaran.
Lain halnya dengan orang yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya.
DIA mengeluarkannya dari kegelapan kepada Cahaya-Nya. “YUKHRIJUHUM
MINAL DZHULUMATI ILLAL’ NUR” (DIA-lah yang mengeluarkan mereka,
yang menjadikan Allah sebagai pelindung dari kegelapan menuju
CAHAYA).
3. MENJAUHI THAGUT
Makna
Thagut
berasal dari kata Arab. Thagut
(ﻄﺎﻏـﻮﺖ
) yang
berasal dari kata Thagha yang artinya : Melewati atau melampaui
batas-batas yang sebenarnya. Dalam hidup di dunia ini ada
batas-batas yang tidak boleh dilanggar, agar manusia selamat. Pada
mulanya batas itu bersifat alami !, batas-batas yang bebas dari
kepentingan politik maupun golongan. Batas ini sudah dipasang oleh
Allah, baik di alam dunia ini maupun pada diri manusia.
Batas-batas
di alam yang merupakan faktor penentu bagi lingkungan hidup,
lingkungan hidup yang benar, ya bila didaur energi yang lengkap ada
didalamnya. Ada binatang, ada tumbuhan, baik pepohonan, semak,
maupun rumput-rumputan. Ada kecukupan lingkungan abiotik, seperti
cahaya, udara dan air. Lha kalau batas-batas ini dirusak yang
artinya mengikuti Thagut berjalan ke dunia gelap, contoh nyatanya
orang yang mengikuti Thagut adalah orang yang memerintahkan
penebangan hutan tanpa memperhitungkan keselamatan masyarakat, mereka
yang punya wewenang untuk mencegah, tapi malah membiarkan terjadinya
penebangan liar juga termasuk penyembah Thagut.
Di
alam ada batas-batas, pada diri manusia juga ada batas-batas, lapar
dan kenyang adalah batas-batas alami pada diri manusia, kalau lapar
dan tidak diisi makanan yang cukup, akan terjadi kelaparan, kalau
sudah kenyang dan tidak berhenti makan maka akan terjadi kekenyangan
yang selanjutnya mengundang penyakit. Tetapi yang paling berbahaya
adalah Hawa Nafsu atau keinginan. Batas keinginan amat Abstrak,
sehinga ada ungkapan “hanya keimginan manusia yang tak ada
batasnya”, manusia harus dapat mengerem keinginan, kalau tak di
erem, maka keinginan itulah yang merupakan wujud sejati dari Thagut.
Adanya keinginan melahirkan kepentingan, keinginan atau hasrat
manusia merupakan sumber segala penderitaan manusia. Tapi tanpa
keinginan yang kuat keserakahan tak akan ada kesuksesan dalam hal
apapun Keinginan tidak untuk dimusnahkan akan tetapi dikendalikan,
kalau tidak di kendalikan, maka manusianya yang akan dikendalikan
oleh keinginan hawa nafsunya.
Arti Hawa Nafsu sebenarnya ?
Hawa
artinya jatuh, tenggelam atau keinginan yang kuat tanpa dipikirkan
terlebih dahulu. Mengikuti Hawa Nafsu berarti memperturutkan
keinginan tanpa pikiran akan dapat menjatuhkan diri kedunia hampa,
dunia yang tidak kekal, dunia yang penuh kegelapan. Karena itu dari
segala macam jenis berhala, yang paling berbahaya bagi manusia adalah
mempertuhankan kepada Hawa Nafsu, alias Thagut lihat Q.S. 25
: 43 dan Q.S. 45 : 23. Jangan sampai keimanan gugur gara-gara
secara tak sadar kita ber-Tuhankan pada hawa nafsu kita sendiri.
Thagut
berasal dari kata Thaga, Thaghi, Thagiya yang artinya
melampaui batas-batas yang telah ditetapkan. Bukankah alam raya ini
dibangun oleh Allah dengan ukuran Qadar yang tepat. Ada tumbuhan ada
batas, begitu juga didalam diri manusia ada batas-batasnya. Jadi inti
hidup ber-Agama adalah mengingkari Thagut, menolak ber-Tuhan
pada Hawa Nafsu. Adapun Jenis Thagut yang ada di Jaman
sekarang adalah Penyembahan kepada Kekuasaan, Kekayaan, Kecantikan,
Kedudukan, Pangkat dan Jabatan, serta Uang. Karna uang pada jaman
sekarang ini adalah merupakan segala-galanya. Adanya orang kaya karna
uangnya, begitu juga adanya orang miskin karena uang, Mereka kaya
karena banyak uangnya, dan mereka miskin karena sedikit uangnya.
Maka hanya merekalah yang ber-Duit yang akan menjadi Tuan dan Tuhan
bagi simiskin yang tidak ber-Tuhan kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Dulu
Nabi Muhammad SAW diutus untuk membasmi para penyembah Thagut,
mereka ditaklukan bukan karena mereka itu menyembah patung dalam
pengertian lahiriah, bukan demikian !. Tetapi mereka itu menyembah
patung yang ada di dalam hatinya. Penyembah Thagut, mengapa patung
mereka disekitar Ka’bah dihancurkan?
Karena
patung-patung itu sudah dikaitkan dengan kekuatan Thagut dalam diri
mereka. Nah Thagut yang disembah oleh mereka para elit-elit Quraes
itulah yang dihancurkan. Oleh karena patung-patung sudah menjadi
symbol kekuasaan Thagut, sudah diberhalakan ! sehingga tatanan
masyarakat Quraes hancur, masyarakatnya rusak, mentalitasnya lemah,
maka patung-patung itu pun perlu dihancurkan. Itu semua yang membuat
masyarakat Quraes pra Islam disebut masyarakat Jahiliah.
Dalam
masyarakat Jahiliah, manusia tidak dimanusiakan, kemiskinan dan
perampokan meraja lela, dunia yang diciptakan Allah dengan segala
keindahannya di korupsi. Keadilan hanya omong kosong ! itu yang
menyebabkan bencana alam datang silih berganti dengan berbagai macam
bentuknya. Sehingga dunia sudah menjadi neraka, kalau demikian lha
apa ya bisa menjadi Sorga?.
4. TUJUAN HIDUP
Tujuan
hidup kita adalah Selamat, yang juga mempunyai makna Widada
yaitu selamat dimana saja dan kapan saja, hingga selama-lamanya.
Suatu keselamatan yang bebas dari ruang dan waktu. Karena itu konsep
Neraka dan Sorga pada mulanya tidak dikenal, konsep yang ada dan
digunakan adalah Rahayu, dalam konsep ini terkandung
kebenaran, keselamatan, kebaikan, dan ketepatan. Jadi kehidupan yang
rahayu adalah hidup yang teratur, tertib, sejahtera, sehat, indah,
dan penuh kebajikan.
Hidup
di dunia ini hanya untuk meminum air (kehidupan), hanya datang untuk
minum, dengan minum itu kita mempunyai tenaga untuk melanjutkan
perjalanan, Perjalanan kemana ? Perjalanan ke kehidupan Sejati !
hidup yang tidak tersentuh oleh kematian, yang dalam istilah Islam
disebut Akhirat, dan akhirat sebenarnya tidak harus datang setelah
alam raya ini hancur. Karena akhirat yang sebenarnya adalah “keadaan”
yang bisa di alami sekarang ini, ia tidak terikat waktu, bukan dulu
atau nanti. Karena hidup sekarang ini merupakan wahana (Jalan) untuk
menuju kekehidupan sejati, hidup yang rahayu, maka dalam hidup
sekarang ini, manusia harus tahu dulu pintu-pintu atau jalan yang
harus dilewati. Harus mengetahui dengan benar air yang di minum,
jangan sampai minum air yang kotor atau mengandung racun.
Adapun
jalan yang harus dilewati/dilalui itu adalah Jalan Hati,
Hati yang bisa mencapai kebenaran, hati yang demikian itu harus bebas
dari berbagai penyakit atau kotoran, tanpa pamrih dalam bertindak,
tidak dengki dan mendengki, Hati yang pemaaf, Sombong.., sudah
jauh-jauh harus ditinggalkan, tidak dumeh, tidak mentang-mentang
berkuasa atau punya kuasa, lalu berbuat semaunya. Tentunya jika hati
sudah lurus itu tercermin dalam perilakunya, tercermin tutur katanya,
terepleksi dalam cahaya wajahnya, terpantul dalam suaranya ketika
berbicara!.
Dalam
kondisi hati yang jernih seseorang akan dapat melihat jalan hidup
yang harus di laluinya. Dengan hati yang tulus, kita yang sekarang
hidup di alam dunia ini, harus berusaha mengetahui rahasia alam.
Rahasia alam yang paling rahasia adalah pintu-pintu kematian, setiap
seseorang menyadari bahwa dirinya pasti mati.
5. PENCAPAIAN MANUSIA SEJATI
Manusia Sejati merupakan kenyataan yang satu, karena itu ia
berasal dari Agama Islam, Hindu, Budha atau yang lainnya, satu wujud
Cuma namanya berbeda. Tak perlu mempermasalahkan nama, kemanusiaan
adalah Universal !, tak ada satupun Kitab Suci yang mengklaim, bahwa
hanya dirinya yang menjadi petunjuk bagi manusia, justru yang ada
ialah penafsiran manusia terhadap Kitab Suci.
Manusia
Sejati mempunyai Sifat 20 Allah, Wujud, Qidam, dan
Baqa adalah hak bagi Manusia Sejati. Manusia dapat disebut
hidup sejati bila dia dapat mengepresikan dirinya tidak dikuasai oleh
orang lain, bahwa didalam ini manusia berinteraksi dengan yang lain,
itu merupakan kodratnya, tapi manusia tidak boleh saling menguasai
dalam kehidupan ini, menguasai orang lain itu sama halnya dengan
melanggar Hak Hidup.
Hidup
bersifat Qidam = Dari dulu, ini hidup dalam artinya yang
hakiki, bukan hidup dalam arti fisik/jasmani sebagai kenyataan,
bakat dan potensi manusia bukanlah warisan dari orang tuanya, juga
tidak diterima dari orang lain, ia merupakan hak dalam dirinya,
karena itu bila kehidupan di bumi sekarang ini, wujud dari hidup
sejati, setiap orang akan bisa mengekpresikan bakat dan potensinya.
Hidup
juga bersifat Baqa = Kekal, berarti hidup tak tersentuh
kematian, tapi di bumi ini hidup telah terperangkap oleh badan
jasmani yang dapat mengalami kematian. Sifat Baqa manusia
telah terbungkus oleh badan yang bersifat bangkai, akhirnya hidup
mengalami keterbatasan, ada duka, derita, sengsara, sakit, Neraka dan
Sorga saling mengisi satu sama lain, ada bahagia dan nestapa saling
menutupi. Baqa juga berarti tetap, manusia sejati ini tetap
dari awal hingga akhir. Secara jasmani, dia memang merasakan
sifat-sifat kejasmanian, seperti duka, bahagia, sakit, dan sehat
dll. Hidup di bumi manapun jika kita masih terbungkus badan jasmani,
kita tetap tersentuh duka, meskipun di dalam Sorga ! lho, kan di
Sorga manusia tidak mengalami keletihan, tidak tersentuh kematian,
dan bahagia terus menerus ?. Jika seandainya kita yakin Sorga
seperti itu bisa memilih kesenangan apa saja didalamnya, tak
putus-putus pohon berbuah, penghuninya dapat memetik buahnya dengan
mudah, bidadari dan bidadara berada di sekililingnya, tapi selama itu
berupa hiburan dan kesenangan dari luar dirinya, maka penghuni Sorga
akan pilih-pilih mana yang lebih menyenangkan, artinya apa ?, berarti
di Sorga pun kita masih ada Duka.
Dalam
satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berasal
dari Sahabat Anas bin Malik R.a. disebutkan : “Bahwa ada orang
yang dimasukan kedalam Sorga karena Mati Syahid, tapi di Sorga dia
minta di kembalikan lagi ke Dunia untuk mati Syahid 10 kali, ternyata
orang yang mati syahid itu tidak puas dengan Sorga yang dihuninya,
karena yang ia inginkan adalah Sorga yang lebih nikmat. Jadi jelas
bahwa selama diri manusia itu masih menemukan badan jasmaninya, ia
tak bisa lepas dari duka dan derita, meskipun ia telah menemukan
berbagai macam kenikmatan.
Manusia
Sejati itu bersifat Baqa, Ia bergeming dengan adanya
bahagia dan derita di dunia. Tak terpengaruh oleh duka dan sentosa,
ia menyadari bahwa dunia itu Fana, tidak Baqa !.
Derita, duka dan nestapa itu lenyap bila ia mampu menjadi manusia
sejati. Di bumi senantiasa untuk memenuhi kewajibannya, tidak mau
konflik, apalagi Cuma konflik pandangan. Orang yang suka berebut
pandangan entah itu karena beda Agama, kepercayaan, suku, Ideologi
atau apapun yang bisa menimbulkan konflik, sama saja dengan orang
yang berebut kulit tanpa isi, berebut tulang tanpa daging. Wujud,
Qidam, Baqa adalah hidup Hak seseorang. Sifat manusia sejati
berbeda dengan yang baru atau Mukhalafatun Lilhawaditsi, ia
memang dilahirkan sebagai Bayi yang baru, tetapi setelah dia
dewasa dan nglakoni, mengamalkan hidup sejati, dia memang unik. Dia
berbeda dengan manusia umumnya yang masih mengejar kenikmatan
duniawi. Dia tidak ikut menderita bila ada bencana atau musibah.
Berbeda dengan sesuatu yang baru adalah kemandirian, orang tidap
disebut mandiri bila masih tergantung kepada orang lain, fisik memang
bersifat baru, tapi jiwanya berbeda dengan segala yang baru. Amal
Saleh adalah buah bagi manusia sejati, dia beramal bukan karena
ingin masuk Sorga, ataupun dia beramal karena takut akan ancaman
Neraka. Ia yakin dan tahu bahwa tak ada Neraka yang hinggap pada
diri manusia sejati. Kesalehan adalah Budhi Pekert. Manusia adalah
Khalifah Allah, Ia berbuat kesalehan merupakan wujud Khalifah Allah
di bumi, tak ada konfromi antara Kesalehan dan Neraka. Karena itu
tak perlu ada yang diharapkan dan tak perlu ada yang di takuti. Amal
Saleh sejati memang amal yang tumbuh dari Hati Nurani.
Manusia
Sejati adalah sifat Qiyamuhu bi Nafsihi, dimana hidupnya
tidak ingin di topang atau dibantu orang lain, apalagi membebani. Dia
tidak merugikan orang lain. Tetapi bagi orang yang masih tertutup
pintu hatinya, kehadirang seorang yang mandiri ini, dianggap
merugikan dirinya, karena dipandang mengurangi kewibawaannya, karena
orang yang mandiri itu tidak tunduk pada kekuasaan ataupun perintah
orang lain. Ia indah bukan untuk dirinya tapi bagi mereka yang
memandangnya, bukan agar dikagumi. Keindahan sebagai manifestasi
(perwujudan) kemandiriannya. Kehadirannya, sebenarnya berkah bagi
sekelilingnya, berkah bagi bumi. Agamanya adalah Agama Sejati,
yang tumbuh dari dalam dirinya.
Semua
manusia sejati bersifat Wahdaniat, mereka bersatu walau
berbeda-beda tetapi satu tujuan yakni Tak ada kebenaran yang mendua,
perbedaan hanyalah pancaran ke-Agungan-Nya. Jadi hidup sejati atau
Hidup Hakiki merupakan wujud Haq kemandirian dan Qodrat
yang di sifati dengan Sifat 20 Allah, dengan demikian sifat
Qudrat, Iradat, Sama, Bashar, Kalam, Ilmu dan Hayat ,
merupakan Sifat Qudrat dari manusia sejati. Dia sadar
bahwa dirinya meruapakn Qodrat. Wujud dari qodrat, kuasa yang ada di
dalam benih diri. Qodrat itu tersimpan didalam Biji, Yakni
benih dari manusia itu sendiri. Karena itu Wahdaniat disebut
“Siji Sawiji” yaitu satu bagaikan biji, biji yang tampak
mati itu bila di lingkungan yang subur, akan tumbuh akar, batang,
daun dan akhirnya berbunga dan berbuah, begitupun perkembangan
manusia.
Pertumbuhan
dan perkembangan dirinya itu merupakan Qodrat, bukan orang
lain yang memberikan kekuasaan, juga bukan ibunya, orang lain hanya
memberikan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhannya. Manusia
sejati memiliki Kodrat, Dia tidak tunduk dibawah kekuasaan siapapun,
tapi juga tidak menundukan siapapun. Tidak merugikan dan tidak pula
dirugikan.
Manusia
Sejati adalah manusia yang berkehendak, berbudhi luhur, dan
bukan dibawah kehendak orang lain. Dia berbuat baik, beramal saleh,
bukan karena di iming-iming Sorga oleh orang lain, juga bukan karena
di takut-takuti Neraka. Semua tumbuh dari Iradat-nya sendiri.
Berbuat baik itu merupakan kesadaran hidupnya. Qudrat dan
Iradat manusia sejati adalah untuk menjalani kebaikan.
Mendengar dan mendengarkan suara Illahi, melihat dan
menyaksikan kebenaran, berkata dan senantiasa berbicara tentang
kenyataan, tahu dan selalu mengetahui yang benar. Hidup semua itu
kodratnya manusia sejati.
Sifat
20 Allah juga dapat menjadi keinginan duniawi yang
melelahkan, apabila sifat ini dikuasai oleh Panca Indera,
bukan manusia sejati yang tercipta, tetapi yang ada hanyalah
manusia-manusia yang durhaka. Semua sifat Mulia tadi menjadi kotor
dan racun bagi kehidupan. Apa tidak beracun, bila keinginan manusia
menjadi Iradat tanpa arah ?
Keinginan
yang terbentuk karena berbagai warna dan bentuk ilusif dunia ini.
Keinginan yang demikian ini, yang membuat manusia menjadi nestapa
hidup di dunia, baik di darat dan di laut manapun, di angkasa akan
rusak binasa akibat ulah manusia yang telah mengumbar Nafsu dan
Iradat-nya tanpa arah.
Hidup
harus sejiwa dengan Dzat-Nya, berbudi pekerti seperti budi
pekerti-Nya. Hidup Wahdaniat, wujud hamba hanya sebagai wadah
bagi keberadaan-Nya, dalam keadaan demikian manusia akan menjadi arif
dan bijaksana. Bila manusia sudah manunggal dengan Gusti-Nya,
maka sungguh hanya manusia yang merupakan eksistensi-Nya
(keberadaanNya). Bumi dan langit menjadi milik manusia sejati, segala
daya yang ada di luar dirinya tidak mengikat keberadaannya, karena
bumi dan langit itu miliknya, sarang kehidupannya. Maka dia serta
merta menjaga memeliharanya, apa ada manusia berbudi yang merusak
tempat tinggal sendiri?.
Sifat
20 Allah, harus tumbuh dari dalam diri, bukan sifat yang
dirangsang oleh Inderawi/nafsunya. Segala yang tumbuh karena
rangsangan Indera/nafsu, akan mendorong keinginan yang melampaui
batas. Bukankah di dalam tubuh manusia ada batas-batasan, seperti
minum untuk hidup, tetapi bila minumnya berlebihan akan membuat
sakit, untuk hidup manusia perlu makan, tapi kalau yang dimakannya
berlebihan, maka makanan itu akan menjadi racun/sumber penyakit bagi
tubuh, dan akhirnya sama saja dengan membunuh jasad diri sendiri.
Orang hidup pasti punya keinginan, sama dengan makan, keinginan
diperlukan untuk hidup. Bayangkan jika orang tidak mau makan dan
minum, maka tidak akan ada energi/tenaga untuk hidupnya. Tapi
keinginan untuk makan dan minum itu harus tumbuh secara alami, sesuai
dengan keperluannya. Namun indera kita mendorong keinginan manusia
tanpa arah dan tanpa batas, yang akhirnya apa ?. keinginan, meracuni
kehidupan manusia, yang akhirnya manusia mati dalam belenggu
keinginan hawa nafsu atau keinginan diluar kendali. Inilah yang akan
menjerat kehidupan manusia di alam Barzah, yakni alam antara
dua kehidupan. Hal inilah yang disebut sebagai Neraka dunia, orang
jatuh kedalam Neraka dunia, karena ditarik oleh Panca Indera,
menuruti Nafsu Catur Warna yaitu Hitam, Merah, Kuning,
dan Putih, dalam jumlah yang besar sekali masuk kedalam
jiwa raga. Jadi walaupun raganya sudah hancur binasa, jiwanya masih
terikat Hawa Nafsu. Sungguh tersiksa dan merana.
Hakikat
Ilmu Sejati atau sejatiningg ngelmu, LUNGGUHE CIPTA PRIBADI,
PUSTINING PANGESTINIRA GINELENG DADYA SAWIJI, WIJANGING NGELMU
DYATMIKA NENG KAHANAN ENENG-ENING.
Yang
Artinya : Hakikat ilmu yang sejati itu terletak pada Cipta
pribadi, adapun maksud dan tujuannya adalah disatukan adanya.
Lahirnya ilmu unggul hanya dapat dicapai dalam keadaan sunyi dan
jernih.
Yang
dimaksud ilmu unggul disini adalah pengetahuan murni, yang terlahir
dari kreasi pribadi, yang lahir dari satunya tekad dan tujuan, serta
hanya dapat diperoleh dalam keadaan sunyi sepi dan pikiran yang
jernih. Karena ilmu itu tersembunyi di kedalaman Jiwa. Untuk
mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sunyi dari pamrih, harus
bening pikirannya, bebas dari segala kedengkian, sehingga Qalbu
betul-betul diam, tak ada gemerisik. Hati dan pikiran menjadi satu,
sehingga tak ada lagi konflik batin, maka dalam kondisi yang sepi dan
tenang ini mengalirlah ilmu dari kedalaman pribadi, mengetahui
kenyataan panca indera tak berfungsi, mengetahui bukan karena kata
orang lain dan bukan pula karena membaca buku-buku.
Dan
jika hati sudah sampai pada kebenaran, sehingga hati sudah terbebas
dari berbagai macam penyakit dan kotoran yang telah sirna dari badan,
mencegah segala keburukan, bagaikan tubuh yang bersinar, dan yang
demikian itu jika telah sampai pada luar dan dalamnya, akhirnya
seimbang bersih, jernih, tanpa campuran. Akhirnya dapat dikatakan
lenyap sudah sifat awam manusianya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar