Dari Kendan, Galuh Sampai Dengan Tembong Agung

Situs Batu Kerajaan Kendan terletak di Kampung Kendan,
Desa Citaman, Kecamatan Nagreg.

Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa Negara, seperti : Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.


Penerus Tahta Kerajaan Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.

Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.

Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.

Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.

Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.


Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.

Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (harfiah : permata, Kerajaan Galuh). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.

Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).

Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).

Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.

Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.

Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.

Kisah lengkap Kerajaan Kendan bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta)


Raja-Raja Kerajaan Kendan ini adalah
1. Raja Maha Guru Manikmaya antara 536-568 M, adalah seorang Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu di tanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana kepada Maha Guru Manikmaya ini sebagai Istri dan memperkenankan sang Menantu mendirikan Kerajaan Kendan ditambah sebagian dari Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan Maha Guru Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan Jawa Barat. 

2. Raja Putra Suraliman antara 568-579 M, menikah dengan Dewi Mutyasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.

3. Raja Kandiawan antara 597-612 M, memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan/Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman 

Kertawarman (wafat 628 M) adalah raja Kerajaan Tarumanagara yang kedelapan yang mewarisi bapaknya, Suryawarman, yang mangkat pada tahun 561 M dan memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561-628 M.

Pada saat kepemimpinannya terjadi peristiwa besar pada masa Raja ke 8. Kertawarman menikahi Setyawati dari golongan sudra. Keadaan bertambah rumit karena Setyawati berpura pura hamil, padahal Kertawarman diketahui mandul. Untuk menutupi skandal ini sang Raja mengangkat anak angkat, Brajagiri, dari golongan sudra juga. Manuver yang gagal, karena suasana kerajaan memanas. Namun sampai akhir hayatnya, Kertawarman tetap menjadi raja.

Kertawarman kemudian digantikan oleh adiknya, Sudhawarman. Sudhawarman digantikan anaknya, Hariwangsawarman,  yang beribu India, dan dibesarkan di kerajaan Palawa. Didikan India menjadikannya keras dalam memegang aturan kasta. Sehingga Brajagiri yang saat itu memegang jabatan senapati diturunkan pangkatnya menjadi penjaga gerbang keraton. Brajagiri yang sakit hati kemudian membunuh Hariwangsawarman. Tragedi kembali menyelimuti Tarumanagara.

Kertawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudhawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat Hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut. Putrinya Setiawati dinikahi Kertawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan (dan mungkin dilupakan).

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia. Anaknya oleh Ki Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali bin Abi Thalib (599-661 M) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.

Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Rakeyan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan putra Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja Sangara, yang menurut Babad Godog terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci.

Tidak terdapat banyak maklumat tentang Kertawarman. Namanya hanya tercantum dalam Naskhah Wangsakerta. Baginda mangkat pada tahun 628 dan diwarisi oleh puteranya, Sudhawarman .

4. Raja Wretikandayun antara 612-702 M, memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan/Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan, Kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang putra yaitu ; 
a. Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, 
b. Jantaka atau Amara menjadi Resi Guru Deneuh 
c. Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan/Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan atau Kelang Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan/Kelang menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;
- Kerajaan Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita  Parahiyangan, sedangkan menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan Ibu kota kerajaan di Bogor. 
- Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan/Kelang dengan Rajanya Wretikandayun, menguasai wilayah bagian Timur, ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati putri Maharani Shima Putri dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya, Sri Baduga Maharaja yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi Kedua Kerajaan ini lalu disatukan menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1482 Masehi. hal ini berdasarkan carita Parahiayangan.


Mandala Kendan
“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan. Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru : Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?

Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.(Carita Parahyangan, Drs. Atja dan Saleh Danasasmita, 1981).

Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, di atas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).

Barulah kemudian tahun ± 512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana. Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian di bawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :

“Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan” (carita parahyangan; Danasasmita, 1983:41)

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya.

Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal (Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :

“Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”

“ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”. (Carita parahyangan,  Atja, Danasasmita, 1983:37-38)

Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.

Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya mengubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu di antara sungai Cimuntur dan Citanduy.

Sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada di bawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun hidup berdampingan”

Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.

Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas mengubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.


Dalam Kropak kropak
“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.

Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell.  Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh: jala=air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan (pendiri Galuh) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya (Pendiri Sunda).

Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu. Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Pwah Pohaci Sang Hyang Asri.

Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Pwah Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama. Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.

Begitu pula pada upacara Nuras sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala (air) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Pwah Pohaci Sang Hyang Asri (Dewi Padi).


Kerajaan Galuh dan Tembong Agung
Prabu Wertikendayun penguasa kerajaan Galuh mempersunting Ratu Candraresmi melahirkan tiga putra yang bernama :
1. Sempakwaja, yang menjadi penguasa  di Saunggalah (Kuningan)
2. Jantaka, penguasa Denuh*
3. Mandiminyak yang menjadi penerus Galuh (Ciamis)

Setelah Wretikendayun lengser keprabon, Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik, Mandiminyak pemuda yang Tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.

Untuk mengobati kecemburuan putra Sempakwaja dan Jantaka maka Prabu Wretikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah Sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra Purbasora, sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri.

Setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung karena merasa tidak layak tinggal di istana dan melahirkan Bimaraksa alias Aki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda.

Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan "Bratasenawa" (Sangsena) menjadi pemangku kerajaan Galuh, penobatan tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung, karena Bratasenawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu istri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu Mandiminyak sendiri.

Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang larang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari (Nini Balagantrang) dan hasil pernikahannya melahirkan :
1. Adji Putih
2. Usoro
3. Siti Putih
4. Sekar Kencana

Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.

Kemudian Candraresmi menobatkan Bratasenawa menjadi Pemangku kerajaan Kalinggautarakemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sondjaya. Kehadiran Sondjaya di Kalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sondjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sondjaya. Sedangkan Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sondjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa.

Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) dan berakhir di kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.

Disanalah Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.

Padepokan Tembong Agung Mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda.

Padepokan Tembong Agung setelah menjadi pusat penyebaran keagamaan dan budaya sunda kemudian beralih menjadi Kerajaan Tembong Agung yang didirikan Adji Putih pada saat purnama bulan muharam dengan menobatkan PRABU GURU ADJI PUTIH sebagai Raja Tembong Agung.

Setelah Penobatan putranya Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan/tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan. Panyipuhan = tempat membersihkan/penyucian jasmani dan rohani.

Kemudian Padepokan Bagala Asih Panyipuhan Menjadi tempat bekumpulnya/tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda.

Para Resi bertujuan untuk meredakan perebutan kekuasaan/perang saudara dikerajaan Galuh dengan pendekatan melalui keagamaan dan budaya.

Berdirinyanya kerajaan Tembong Agung menarik Simpati para resi tatar sunda agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sondjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh ditatar sunda.

Dan Prabu Sondjaya berhasil menggabungkan kerajaan MedangJati, kerajaan Indraprahasta, dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat Patih Saunggalah (Kuningan) yaitu Wijayakusumah menjadi pemangku kerajaan Galuh namun tidak berlangsung lama berkuasa kemudian digantikan oleh Prabu Permadikusumah.

Kemudian diawal kekuasanya memindahkan kerajaan/keraton Galuh ke daerah Bojong Galuh Karang Kamulyan (Ciamis), kemudian mengangkat patih Agung Arya Bimaraksa dan mengangkat Tamperan Brawijaya (putra Raden Sondjaya) menjadi mentri muda kedudukanya sebagai Strategis Tempur/Perang.

Hubungan Prabu Permadikusumah dengan Patih Arya Bimaraksa bertambah dekat dan Harmonis setelah menikahkan Dewi Naganingrum keturunan Prabu Purbasora untuk mengikis perseteruan saudara dimasa lalu.

Kehadiran Bimaraksa di istana Galuh punya peranan cukup besar dalam perkembangan kerajaan Galuh yang semakin besar besar pengaruh dan disegani kerajaan-kerajaan ditatar sunda, karena Arya Bimaraksa sangatlah matang dibidang ketatanegaraan, keagamaan dan budaya sunda dan mendapat anugerah dengan sebutan "TRI TANGTU".   Artinya Tiga Penentu Kebijakan yang dapat menentukan baik dan buruk sebuah negara/Kerajaan, yaitu :
1. Rama = Sosok yang dituakan sebagai penasihat kerajaan.
2. Resi = Sosok yang dipandang berwibawa dan menguasai ilmu hukum dan kepemimpinan, tugasnya mengawal dan mengarahkan jalanya pemerintahan.
3. Ratu = Sesosok Pemimpin/Raja.
Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balagantrang/Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh. Dan menjadi Resi Batara Agung.

Ki Balagantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih.

Dalam "Kitab Waruga Jagat" bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu Komara dan keturunan Baginda Syah putra Nabi Nuh yang ke 10.

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Prabu Guru Aji Putih dari hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki beberapa putra dan Putri, yaitu :
1. Yang sulung bernama Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana atau Pangeran Cinde Kancana Wulung atau Prabu Tajimalela yang menjadi Raja Pertama di Sumedanglarang.
2. Haris Darma
3. Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana
4. Dewi Purnamasari
5. Dewi Rengganis
6. Ratna Suminar
7. Dewi Angrum (Putri Komala Dewi Kancana Sumirat)

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Prabu Resi Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Resi Demunawan merupakan putera dari Prabu Batara Sempakwaja. Serta penguasa Galuh (Hariang Banga dan Sang Manarah)

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi maha guru Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan/ Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu Tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuno sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168M).

Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan “Orang Sunda kudu Nyunda”.

Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk merperdalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang Jawa yang masuk islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.

Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh. (Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/Nurani).
 
Catatan : 
Denuh * : Kerajaan ini berlokasi di dekat Telaga Denuh (sebelah selatan Kerajaan Galuh). Bentuk dari kerajaan ini adalah kebataraan/keagamaan. Dikarenakan lokasi kerajaan ini dekat dengan Kerajaan Galuh, maka diperkirakan Kerajaan Denuh merupakan kerajaan bawahan dari Galuh.

Raja yang terkenal adalah Jantaka, Beliau lahir pada tahun 622 dan merupakan putera kedua dari Wretikandayun (raja Galuh pertama). Di saat memimpin Denuh, beliau bergelar Resiguru  Wanayasa atau Rahiyang Kidul.  Jantaka memilik putera bungsu yang bernama Bimaraksa yang lahir pada tahun 653. Bimaraksa merupakan salah satu tokoh yang ikut mendukung Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari tangan Bratasenawa di tahun 716.


Silsilah Prabu Aji Putih
Jikalau melihat Silsilah Manusia Pulau Jawa Sejak dari Nabi Adam a.s, Zaman Wayang dan melihat lintasan sejarah Kendan, Galuh dan Tembong Agung diatas, maka silsilah yaitu :

Sebenarnya pohon silsilah itu ada 3 (tiga) golongan :
1. Sejarah silsilah manusia
2. Sejarah silsilah jan yang sama sekali tidak diketahui manusia
3. Sejarah silsilah campuran (manusia dan banu jan), inipun tidak banyak di ketahui kecuali dari Nabi Sith saja.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

1.   Nabi Adam a.s (Sanghyang Janmawalijaya atau Sanghyang Adhama, usia 960 tahun
a. Pertama Kali Sareat Sholat Subuh 2 rakaat diturunkan kepada Nabi Adam a.s
menikah dengan Siti hawa atau Sanghyang Dewi Janmawanujaya, Sang Dewi Kawahnya. 
2.   Nabi Sis A.s (Sanghyang Syta), putra ke enam Nabi Adam as, Ia dilahirkannya tidak melalui rahim Siti Hawa dan menerima 50 syahifah atau mushaf. Ia berperang dengan Qobil
serta usia 900 tahun Nabi Syith wafat.
3.   Sayyis Anwar (Sanghyang Nur Cahya), menikah dengan Dewi Nurini
4.   Sanghyang Nurasa  menikah dengan Dewi Sarwati, mempunyai tiga anak :
Sanghyang Wenang, Snghyang Wening atau Darmajaka mendirikan Kerajaan di Sri Langka 
dan Sanghyang Taya
5. Sangyang Wenang atau Sanghyang Wisesa, menikah dengan Dewi Saoti putrinya Prabu Hari Raja Keling India SH - Kalingga Pati 
6.   Sanghynag Tunggal
7.   Sanghyang Manik Maya 
8.   Brahma
9.   Bramasada
10. Bramsapata
11. Parikenan 
12. Manumayasa 
13. Sekutrem 
14. Sarki
15. Palasara 
16. Abiyasa
17. Pandu Dewanata 
18. Arjuna
19. Abamanyu 
20. Parikesit 
21. Yudayana 
22. Yudanaka 
23. Jaya Amijaya 
24. Kendrayana 
25. Sumawicitra 
26. Citrasoma 
27. Pancadriya 
28. Prabu Suwela 
29. Sri Maha Punggung 
30. Resi Kandhiawan 
31. Resi Gentayu 
32. Lembu Amiluhur
33. Panji Asmarabangun 
34. Rawis Rengga 
35. Prabu Wretikandayun 
37. Resi Jantaka dan Prabu Purbasora
36. Arya Bimaraksa dan Dewi Komalasari
37. PRABU AJI PUTIH RAJA TEMBONG AGUNG (678 - 721 M) 


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود وترمذى
Barang siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
 
Saya menulis kembali catatan leluhur kami turun temurun untuk tawassul akan asal usul garis silsilah kami tiada maksud lain dan catatan silsilah ini berdasarkan catatan silsilah yang ditulis leluhur kami.  

Salam Rahayu

Wallahu a'lam bishowah

Sumber
1.  Wikipedia
2.  Bagan Rundaya Tapel Adam dan Babu Hawa dari Sumedang.
3.  http://wiyonggoputih.blogspot.co.id/2015/01/prabu-guru-haji-aji-putih.html

Tidak ada komentar

Posting Komentar