Ziarah ke Makam Lembu Agung Darmaraja Sumedang

Hari Minggu 3 April 2016 saya bersama Ratna Muliasari (Legok Paseh) dan Away Kurnia dari Cipaku Darmaradja berziarah ke makam Prabu Lembu Agung, di sekitar makam Astana Gede Cipaku juga makam Siti Binti Mujiah, Embah Jalul  (Sakawayana Adiknya Prabu Tajimalela) dan Situs Deundeum atau makom Parung Jaya atau Gontang Nata yang dipindahkan.








Tak jauh dari makam tersebut kurang lebih 300 meteran kelihatan genangan Air Waduk Jatigede di daerah ini, entah makam keturunan prabu Tadjimalela ini juga akan tergenang oleh waduk Jatigede.


Kerajaan Tembong Agung
Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan TembongAgung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun (612 – 702), sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih (696 – 721).

Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya.

Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan.

Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balangantrang / Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh kemudian tinggal bersama putranya.

Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M . Pada tahun 696 M, Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kp. Cileuweung Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela diperkirakan lahir + tahun 700 M, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana. Dalam Kitab Waruga Jagat bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra kedua dari Ratu Komara / Mundingwangi keturunan Baginda Syah, putra Nabi Nuh yang ke-10 dari permaisurinya ke dua, sedangkan putra sulungnya yaitu Prabu Permana.

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi di Kabuyutan Citembong Girang Kp. Cileuweung Ds. Ganeas Kecamatan Ganeas. Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh…..( Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani….).

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Sanghyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.


Cikal Bakal Nama Sumedang
Dalam Kropak 410 (abad ke-18) dan Naskah Carita Ratu Pakuan disebutkan bahwa Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demang Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura dan disebutkan pula bahwa Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) penguasa di Kawali dan Suryadewata ayahanda Batara Gunung Bitung di daerah Majalengka? Dalam buku Sejarah Sumedang (Kitab Pancakaki) karya R.A.A. Soerialaga (Dalem Talun) bahwa Prabu Tajimalela dengan Prabu Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah saudara misan. Sedangkan berdasarkan historiografi tradisional yang berkembang di masyarakat Sumedang bahwa Tajimalela bertahta pada tahun (721 – 778) atau sejajar dengan Prabu Sanjaya (723 – 732) penguasa Galuh yang kemudian penurunankan raja-raja di Jawa.

Ketika Prabu Tajimalela menjadi raja, usia Sanghyang Resi Agung alias Aria Bimaraksa
+ 68 tahun dan Prabu Guru Haji Aji Putih berusia 46 tahun. Tradisi waktu itu menjadi seorang raja harus berusia diantara 21 s.d. 23 tahun. Munculnya berbagai versi mengenai Tajimalela karena kurangnya data otentik mengenai masa kerajaan Sumedanglarang khususnya masa sebelum Geusan Ulun bertahta, hanya pada masa Prabu Pagulingan pernah tercatat dalam Catatan Bujangga Manik (1473) dan naskah Carita Ratu Pakuan yang waktu itu berkedudukan di Ciguling dan masa Prabu Geusan Ulun tercatat dalam Pustaka Nagara Kretabhumi (1694). Sedangkan masa sebelumnya hanya berupa historiografi , mitos dan babad yang ditulis sesudah masa Prabu Geusan Ulun. Seperti yang diceritakan dalam Kitab Waruga Jagat (1656) yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, hanya sedikit menceritakan mengenai Sumedanglarang.

Berdasarkan Historiografi Tradisional dan Babad Sumedang, setelah Prabu Guru Haji Aji Putih menyerahkan kerajaan Tembong Agung ke putranya Batara Tuntang Buana, oleh Batara Tuntang Buana nama kerajaan Tembong Agung diganti menjadi Hibar Buana yang berarti menerangi alam. Ketika Batara Tuntang Buana, berkelana mencari tempat untuk untuk mempelajari “elmu Kasumedangan” yang terdiri dari 33 pasal dalam pencariannya Batara Tuntang Buana melewati beberapa tempat seperti Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainnya, yang akhirnya sampailah di Gunung Mandala Sakti, Batara Tuntang Buana segera memperdalam elmu Kasumedangan hingga gunung Mandala Sakti terbelah dan Batara Tuntang Buana mampu membalut (menyimpay) kembali gunung tersebut sehingga gunung tersebut dikenal sebagai Gunung Simpay.

Dan ketika Batara Tuntang Buana sedang bertapa terjadi fenomena alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga ia berkata “ Ingsun Medal Ingsun Madangan” (Ingsun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang.

Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon (Litsia Chinensis) sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.

Setelah selesai bertapa Batara Tuntang Buana segera turun gunung dan menggantinya namanya menjadi Prabu Tajimalela (Taji = tajam, Malela = selendang) dikenal pula sebagai Prabu Agung Resi Cakrabuana dan Kerajaan Hibar Buana diganti menjadi Sumedanglarang, kata Sumedanglarang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas tidak ada tandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).


Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang dan merupakan raja pertama Kerajaan Sumedanglarang (721 – 778) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Setelah wafat Prabu Tajimalela dimakamkan di puncak Kabuyutan Gunung Lingga terletak di Desa Cimarga Kecamatan Cisitu Sumedang. Situs Gunung Lingga berbentuk bangunan teras berundak terdiri dari beberapa teras yang tersusun dari batu. Pada teras teratas terdapat batu “Lingga” dengan tinggi + 1.5 Cm yang dipercaya sebagai makam Prabu Tajimalela. Kemunculan Sumedanglarang sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga. Dirintis oleh tokoh Praburesi, tumbuh otonom tetapi yuridis berada dibawah Galuh.

Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedanglarang adalah Lembu Agung (778 – 893) kemudian digantikan oleh Gajah Agung .


Prabu Gajah Agung
Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja.  Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke puncak Gunung Nurmala (sekarang Gunung Lingga).

Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Ketika ujian berlangsung Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Gajah agung seorang diri , panas sinar matahari membuat Prabu Gajah Agung sangat kehausan, karena tak kuat menahan rasa dahaga kemudian ia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Sumedanglarang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara (Darma Ngarajaan) yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela.

Sehingga daerah bekas Prabu Lembu Agung disebut Darmaraja.  Setelah itu Kerajaan Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi dan membangun sarana keagamaan Mandala Kawikan disebut Karang Kawikan sebagai sarana ritual gaib di kabuyutan Gunung Lingga.

Selain itu juga mendirikan beberapa padepokan di Gunung Rengganis, Gunung Cakrabuana, Gunung Tampomas dan Gunung Jagat . Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun putera ketiga Prabu Tajimalela dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Setelah wafat Prabu Lembu Agung dimakamkan di Astana Gede terletak di Kampung Astana Gede Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang, tidak jauh dari Situs Cipeueut makam Prabu Guru Haji Aji Putih. Akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998) sebagai raja Sumedanglarang ketiga, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan. Setelah Prabu Gajah Agung menerima keputusan dari ayahnya sebagai raja Sumedanglarang dan diperintahkan untuk mencari tempat sendiri untuk mendirikan Ibukota baru Sumedanglarang.

Setelah beberapa lama berjalan ke arah barat menyusuri sungai Cipeles sampailah Prabu Gajah Agung di daerah Geger Sunten (sekarang dikenal sebagai kampung Ciguling), daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon Ki Menyan dan terdapat sebuah batu besar yang berdiri (nangtung).

Prabu Gajah Agung merasa sedih karena tidak bisa mengalahkan musuhnya kemudian Prabu Gajah Agung bersemedi mohon petunjuk kepada Yang Maha Tunggal tidak beberapa lama kemudian terdengar suara ayahnya Prabu Tajimalela yang perintahkan Gajah Agung untuk menghancurkan sebuah batu didepannya. Setelah batu tersebut dihancurkan dari dalamnya terdapat sebuah keris yang bernama Ki Dukun.