Tarekat Syattariyah
Pentingnya Mempelajari Ilmu Hati (Ilmu Tarekat)
Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadits Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan. Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan. Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
- Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
- Bagaimana cara membersihkan hati?
- Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
- Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Menurut Syekh Muda ahmad Arifin yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin satu-satunya cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu tarekat. Menurutnya tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”. (Q.S. An-Najm: 11)
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Menurut Syekh Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan kamu kepada Allah”.
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya, sebab kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”, bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati mereka.
Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad menurut Syekh Muda Ahmad Arifin pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa “Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah manusia dapat mengenal Allah.
Menurut Syekh Ahmad Arifin kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah:
Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadits Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan. Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan. Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
- Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
- Bagaimana cara membersihkan hati?
- Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
- Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Menurut Syekh Muda ahmad Arifin yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin satu-satunya cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu tarekat. Menurutnya tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”. (Q.S. An-Najm: 11)
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Menurut Syekh Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan kamu kepada Allah”.
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya, sebab kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”, bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati mereka.
Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad menurut Syekh Muda Ahmad Arifin pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa “Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah manusia dapat mengenal Allah.
Menurut Syekh Ahmad Arifin kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah:
فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah sebatas percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang mengabaikan atau tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat) sesungguhnya adalah orang-orang yang mengabaikan tauhid.
Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid yang sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat)
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun.
A. ISI AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH
1. Hubungan Antara Tuhan dengan Alam
Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari seorang saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termauk dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
2. Dzikir dalam Tarekat Syattariyah
a. Aturan-aturan berdzikir
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
b. Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat tanziyyah dan ma’rifat tasybiyyah. Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengiktikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
c. Cara Berdzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laailaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17 :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut :
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini : enggan, acuh, pamer, ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya : berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
d. Syarat-syarat berdzikir
Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.
B. HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT SYATTARIYAH
Sebelum diuraikan tentang Hubungan Antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat.
Ulama mutaakhirin memberikan istilah syariat sama dengan hukum fikih yaitu ‘peraturan yang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’. Peraturan itu disusun secara terperinci yang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang salah.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti ‘jalan atau mazab’ atau ‘cara’.
Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing oleh seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak dzikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
1. Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
2. Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
3. Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah
1. Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan dzikir. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah dzikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan dzikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan dzikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan dzikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan dzikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berdzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, dzikir itu tidak diucapkan secara lisan. Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Dzikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada dzikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan).
2. Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.
a. Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinya, ‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan’.
b. Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah’.
c. Al Quran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh ‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian).
d. Al Quran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-Wasilah’ (Channel..berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).
3. Tujuan pengamalan dzikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.
C. MAKNA MAKRIFAT DALAM SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah dikemukakan tentang tiga pengertian ma’rifat yaitu:
1. Makrifat Tanziyyah adalah pengetahuan makrifat yang diperoleh dengan cara memperhatikan/mempelajari segala sesuatu dari segi batiniah/hakikatnya. Orang yang memiliki makrifat ini mengiktikadkan bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Hal ini didasarkan pada Alquran surat Asy-Syura: 11.
2. Makrifat Tasybiyyah adalah ma’rifat yang diperoleh dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriahnya. Di dalam makrifat ini mereka mengiktikadkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat (Q.S.Asy-Syura: 11).
3. Himpunan antara makrifat Tanziyyah dan Tasybiyyah, yaitu makrifat yang diperoleh oleh orang-orang sufi dengan cara mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriah dan batiniahnya. Makrifat inilah yang dianggap sempurna oleh orang-orang sufi, hal ini didasarkan kepada firman Allah bahwa “Ia (Maha Kuasa) terhadap hal-hal yang lahir dan yang batin (Q.S. Al-Hadid: 3). Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syech Abu Sa’id Al-Harazi bahwa ”Hakikat ke-Tuhanan itu dapat dikenal meialui pemaduan dari dua hal yang bertentangan” (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus naskah Syattariyah adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang masalah ketauhidan dan hal ihwal ma’rifat.
D. SANAD ATAU SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para guru atau wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Di dalam tarekat ini, wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan).
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para guru atau wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Di dalam tarekat ini, wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan).
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithah-nya di Indonesia:
1. Nabi Muhammad SAW kepada
2. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada
3. Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada
4. Imam Zainal Abidin, kepada
5. Imam Muhammad Baqir, kepada
6. Imam Ja’far Syidiq, kepada
7. Abu Yazid al-Busthami, kepada
8. Syekh Muhammad Maghrib, kepada
9. Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
10. Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada
11. Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
12. Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada
13. Syekh Muhammad Asyiq, kepada
14. Syekh Muhammad Arif, kepada
15. Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada
16. Syekh Hidayatullah Saramat, kepada
17. Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada
18. Syekh Muhammad Ghauts, kepada
19. Syekh Wajihudin, kepada
20. Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
21. Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada
22. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad,
23. Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada
24. Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai
25. Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada
26. Kiai Mas Bagus Nida’ (Muhyiddin) di Safarwadi, kepada
27. Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada
28. Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada
29. Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada
30. Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada
31. Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada
32. Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada
33. Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada
34. Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
35. Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada
36. Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada
37. Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada
38. Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
39. Kiai Muh. Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada
40. KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
=========================
Referensi :
Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al Ikhlas.
Abdurrauf Singkil dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrauf_Singkil diakses tangal 10 Februari 2009.
Istadiyantha. 2006. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis. Solo. dalam http://istayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi-2006.doc diakses tanggal 15 Maret 2009.
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.
Tarekat Syattariyah http://www.sufinews.com/index.php/thoriqoh/thoriqoh/syattariyah
Referensi :
Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al Ikhlas.
Abdurrauf Singkil dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrauf_Singkil diakses tangal 10 Februari 2009.
Istadiyantha. 2006. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis. Solo. dalam http://istayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi-2006.doc diakses tanggal 15 Maret 2009.
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.
Tarekat Syattariyah http://www.sufinews.com/index.php/thoriqoh/thoriqoh/syattariyah
Post a Comment