Jenis-jenis Kaarifan Lokal Darmaraja

Kisah raja-raja Sunda yang bertahta di Galuh. Tradisi hidup turun-temurun. Hal ini, dapat dilihat dari aspek dasar intuisi pencitraan adanya tradisi-tradisi yang  beragam bentuk serta tujuan berbeda-beda. Pada hakekatnya berasal dari sumber yang sama yaitu Agama. Tujuan utamanya adalah untuk mengadakan hubungan manusia dengan Sanghiyang Widi, dengan mengagungkan kesufian yang membawa kebebasan dan keseimbangan dari semua lingkungan, dibangun oleh keadaan yang mewarnai realitas akhir yang tidak dapat diredukasi menjadi keadaan kosong, kebenarannya hanya terdapat dalam nilai-nilai sucinya. Pandangan ini turut melanggengkan benang merah tradisi beserta berbagai kemudahan-kemudahannya.
          
1. Tradisi Muharaman
Tradisi ini, merupakan salah satu peninggalan Prabu Guru Adji Putih, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Darmaraja, diselenggarakan dalam tempo satu tahun sekali. Pada tanggal 14 Muharam, berlangsung semalam suntuk. Sarana ritual didukung oleh macam-macam dan jenis makanan yang dibuat dari seribu macam biji-bijian. Pengolahnya dilakukan oleh kaum ibu dalam keadaan suci atau tidak haid serta dalam keadaan berpuasa.

Menjelang tengah malam menggelar pembacaan Babon. Buk yang biasa dibaca adalah Buk Cipaku yang terdiri dari Wawacan uwung-awang, danga-danga, sajarah ciciptaan dan kisah raja-raja Sunda di Galuh. Pelaksanaan ritual dipimpin oleh pemuka adat, setelah kedatangan agama Islam dipimpin oleh kiai.


2. Wawacan Uwung-awang
Uwung-awang  (langit) merupakan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena kemampuan manusia sangat terbatas, dalam melihat alam maya. Alam tersebut berada pada tingkatan alam marifat yang hanya diketahui oleh keyakinan yang agung. Babon ini, menerangkan Tentang Dzat Tuhan, Sanghiyang Widi, Sanghiyang Wenang menciptakan para dewa, dalam Islam adalah malaikat, mereka makhluk penghuni langit. Malaikat-malaikat itu diturunkan bersama manusia ke muka bumi. Mereka bertugas mengawal, membimbing, melindungi, sebagai  penasehat, pengabdi, pelurus, penyelamat, petunjuk dan pencatat amal baik dan buruk. Semua ini atas Kun Pangeran (Gusti) . Ada juga yang bertugas menghidupkan pohon-pohon, rumput, penjaga dan pelindung satwa, Binatang kecil maupun besar.

Ada juga yang bertugas menjaga keseimbangan alam semesta dari gangguan–gangguan makhluk jin, karena suatu ketika alam mayapada/kajinan bergesekan dengan alam manusia dan satu sama lainnya saling mendukung. Rahyang  yang diturunkan di bumi Sumedang tidak dijelaskan apakah malaikat atau bukan, tetapi berada dalam kapasitas sebagai Rahyang atau Ruh Suci yang ditugaskan melindungi dan menjaga alam dengan segala isinya. Menurut mitos sosok  Gaib dalam kitab tersebut dalah penjelmaan mahluk gaib bernama Dewi Rengganis, diturunkan di Gunung Rengganis.


3. Wawacan Danga-danga
Kisah dalam Naskah ini, telah banyak dipengaruhi prinsip-prinsip Islam. Naskah ini, menerangkan tentang asal usul bumi dan manusia, dengan menggunakan simbol atau silib. "Bumi lir ibarat endog, sabeulah langit sabeulah bumi. Cai tegesna alam samudra pananggeuy dunya, bobodasna Lir ibarat alam mayapada, lamadna ibarat alam arwah, Lamad nu pang ipisna ibarat alam Malaikat, kulit teuas kadituna ibarat alam hakekat, tegesna alam nu teu bisa  diudag ku akal manusa. Beubeureumna ibarat bibitna manusa ngawujud Purbawisesa, Terahwisesa jeung Ratu Galuh". 

Artinya : Telor ibarat bumi dan langit, lapisan air ibarat alam samudera, lapisan putih ibarat alam kajinan, selaput tipis ibarat alam arwah, selaput yang paling tipis ibarat alam Malaikat, kulitnya ibarat alam hakekat yang tidak dapat  Dipelajari oleh akal pikiran manusia. Gumpalan merah ibarat cikal bakal manusia menjelmalah Purbawisesa, Terahwisesa dan Ratu Galuh. yang pertama kali hidup dibumi Sumedang.

Mitos Lemah Sagandu, menerangkan tiga sosok manusia yang pertama kali hidup di bumi Sumedang. Mereka adalah keturunan Nabi Nuh, mengembara di gunung Jagat. Mereka bertapa kemudian mendapat perintah gaib, agar melakukan perjalanan keliling. Purbawisesa pergi ke Jawa Timur, Terahwisesa pergi ke Jawa Kulon, Ratu Galuh pergi ke Selatan Jawa. Anak cucu Purbawisesa merupakan cikal bakal raja-raja di Jawa Timur, turunan Terahwisesa cikal bakal raja-raja sunda, sedangkan turunan Ratu Galuh cikal bakal raja-raja yang bertahta di Kalingga Pakidulan (Galuh Selatan).


4. Wawacan Ratu Galuh
Menerangkan kisah hidup raja-raja yang di Kalingga Pangkidulan dan Tatar Sunda, dengan keunggulan-keunggulannya. Ratu Galuh diyakini sebagai sosok manusia sempurna diidentikan dengan Raja adil dan Bijaksana.

Selain itu menerangkan hubungan darah keturunan (genekologi) atau pancakaki. Bertolak dari raja-raja Salakanagara, Tarumanagara, Galuh Sunda menerangkan bahwa manusia hidup menyatu dengan alam, bukan hidup di alam. Apabila manusia menyadari hidup di alam maka akan merawat alam lingkungan dengan baik. Apabila berpandangan bahwa hidup di alam, maka manusia akan melakukan penaklukan terhadap alam dengan berbagai cara yang dianggap benar oleh aturan manusia.


5. Tradisi Ngalaksa
Pada abad ke-8 Masehi, penduduk Rancakalong menderita kemiskinan akibat dilanda musim kemarau panjang. Pada saat turun hujan benih padi sulit di dapat. Penduduk mengganti tanaman pokok dengan tanaman hanjeli sebagai pengganti makanan pokok sehari-hari. Namun tidak berlangsung lama. Konon seorang gadis jatuh ke tempat penggilingan biji hanjeli hingga tewas dengan mengerikan. Sejak saat itulah mereka tabu menanam hanjeli.

Pupuhu hampung bernama Wisanaga dengan anaknya berkelana kesetiap penjuru desa dengan tujuan mencari benih padi, namun benih padi sulit di dapat. Mereka tidak putus asa dan sampailah ke negeri Mataram. Di sanalah mereka mendapatkan benih padi, yang didapat dari seorang penduduk. Setelah mendapatkan benih padi Wisanagara kembali ke kampung halamannya. Benih padi dibagi-bagikan kepada penduduk, mereka serempak menanam padi disesuaikan dengan keadaan tanah alam dan iklim. Padi tumbuh dimana-mana sehingga mereka panen.

Sebagai tanda syukur terhadap Tuhan, mereka mengadakan tradisi ngalaksa, mengolah makanan yang terbuat dari seribu macam biji-bijian disebut subur laksa, tradisi tersebut dilaksanakan secara gotong royong. Ritual gaib digelar di tempat-tempat terbuka yang disebut panglaksana. Selesai melakukan ritual gaib dilanjutkan dengan membagi bagikan Bubur laksa kepada penduduk. Tradisi ini pada hakekatnya sebagai perwujudan dari konsekuensi masyarakat petani dalam memelihara lingkungan, agar pengolahan tanah dilakukan dengan tertib dan agar hasil bumi meningkat.


6. Tradisi Numbal Bumi
Bumi adalah tempat mencakup dengan segala kekayaannya. Tanah yang diwariskan oleh leluhur kebutuhan hidup. Doktrin nilai yang telah terekam dalam tradisi-tradisi ini, pada umumnya berbasis lingkungan. Tanah yang mereka tempati tak pernah lepas dari unsur mistik, nilai-nilainya sebagai pedoman untuk menjaga dan melindungi gangguan dari roh jahat dalam pandangan lain adalah gangguan jin.

Tradisi numbal bumi dilakukan hampir setiap Desa, dengan dukungan sarana ritual sederhana. Cirikhas tradisi ritual gaib ini adalah mengubur kepala kambing kenit berbulu hitam. Hal ini bukanlah bentuk pemujaan tetapi sebagai mediasi halus dalam melaku- kan hubungan dengan gaib, agar tidak mengganggu tanah yang mereka tempati dan terbatas dari kungkungan penyakit lahir dan batin. Mereka selalu mengharapkan tanah tetap subur dan lestari, iklim bersahabat membangun suasana lingkungan yang nyaman dan damai.

Tradisi ini, didasarkan kepada pandangan tertentu. Mereka memahami dan menghayati kedudukan makhluk semesta alam, selain manusia dan binatang, mengenal makhluk jin, mereka hidup di alam maya yang terangkum dalam cakrawala alam semesta. Pelaksanaannya pada saat menjelang pergantian musim. Ada juga yang melaksanakan dalam waktu setahun sekali. Dilaksanakan dengan gotong royong, baik pengadaan sarana ritual maupun gerakan menata saluran-saluran air seperti selokan, sungai-sungai, penataan jalan, pematang sawah dan lain-lain. Ritual gaib digelar pada siang hari menggunakan tempat-tempat terbuka yang dianggap memiliki kekuatan gaib.          


7. Tradisi Hajat Owar
Pandangan manusia hidup menyatu dengan alam, telah lama mereka pahami dan hayati, sehingga nilainya tetap dijaga dan digunakan sebagai dasar untuk menangkap tanda alam. Owar artinya berita atau bewara karena adanya tanda seperti bentang kukus jatuh, ratu geni turun ke bumi dengan segumpal sinar merah melingkar-lingkar dilangit, lini lain-lainna. Itulah sebagian isyarat alam yang  mereka pahami dan muncul diwaktu-waktu tertentu. Mereka memandang bahwa isyarat tersebut berhubungan dengan kejadian buruk, oleh karena itulah mereka melaksanakan hajat owar di Setiap kampung, dengan cara mengolah makanan seperti kupat, leupeut, Tantang angin, daun-daunan dan lain-lain digantungkan di gapura-gapura Kampung yang mereka buat. Pada malamnya di Sinari obor bambu.

Pada hakekatnya tradisi tersebut sebagai wujud dari nilai kearifan dalam menangkap isyarat-isyarat alam, agar tidak menakutkan, menegangkan dan menyeramkan. Owar itu sendiri mengajarkan tentang kewaspadaan, terhadap adanya isyarat-isyarat alam. Tujuannnya untuk memohon keselamatan kepada Tuhan agar alam lingkungan dan penghuninya terbebas dari bencana alam maupun bencana kemanusiaan.

8. Tradisi Ngaruat Lembur
Ngaruat adalah menjaga, dan menyelamatkan lembur, menunjukan lingkungan perkampungan. Tradisi ini lebih dikenal dengan istilah “ngarot” Hampir disetiap desa melaksanakan tradisi ini, digelar waktu menjelang pergantian musim. Tujuannya untuk memohon perlindungan dan keselamatan agar tanah bertambah subur, masyarakat cukup sandang, pangan dan papan.

Tradisi ini, dilaksanakan secara gotong royong dari mulai pengadaan bahan-bahan makanan sampai kepada kebutuhan sarana ritual ditanggung secara rereongan. Digelar di tempat terbuka seperti lapangan, di halaman bale desa dan di tempat-tempat lain yang dianggap memenuhi syarat. Ditempat itu pula melakukan doa bersama, dipimpin oleh pemuka adat atau ulama dan tokoh masyarakat yang memahami dan menguasai tata tertib tradisi tersebut.

Selain melaksanakan upacara ritual, dilanjutkan kepada hiburan pertanda sebagai ungkapan syukur dengan menggelar kesenian tradisional yang di sukai masyarakat setempat, seperti tayuban, bangreng, seni pantun dan sebagainya.

Tempat hiburan dan panggung dilengkapi dan dihiasi oleh macam-macam hasil bumi dan kerajinan Sarana pertanian. Tradisi ngarot yang menggelar seni pantun atau wayang golek pada umumnya mengungkapkan carita batarakala, bagi penonton dapat menjadikan rahmat dan karomah kepada anak cucunya. Tradisi dihubungkan dengan tibanya bulan puasa yaitu bulan yang penuh dengan rahmat, karena pada bulan puasa jiwa umat muslim ditempa oleh ujian dahaga, lapar dan nafsu. Tradisi ini dilaksanakan oleh perseorangan atau keluarga dengan cara-cara yang  sederhana. Selesai melakukan upacara ritual, membagi

makanan kepada tetangga, terutama kepada mereka yang perlu mendapat bantuan. Dilaksanakan pada tanggal 1 bulan reuwah.


9. Tradisi Berbasis Sosial
Tradisi-tradisi yang mereka pahami, hayati dan dipraktekan tidak hanya sisi ritualnya saja, tetapi selalu dihubungkan dengan sosial. Ciri lain adalah adanya berbagi pikiran, kesibukan dan berbagi kesenangan.


10. Tradisi Ngareuwahkeun
Ngareuwahkeun berasal dari kata arwah (sukma) yang telah berpisah dengan alam jasad. Ia berada di alam arwah setelah mengalami proses kematian. Alam kubur merupakan pintu yang menghubungkan ke alam arwah. Untuk mendoakan para arwah dari siksaan kubur atas dosa- dosanya disimbolkan dalam tradisi ini. Itu sebabnya tradisi ini untuk melakukan hubungan dengan para arwah leluhur, melalui ritual gaib yang didukung oleh doa-doa agar dibebaskan dari siksa kuburnya.                                   

Bagi para arwah yang telah disucikan dari dosa-dosanya, dipandang   mengetahui ilmunya dan terjadi dalam situasi dan kondisi tertentu tersalurkan dalam rasa dan alam pikiran serta alam impian (mimpi). Hal itu dapat melahirkan sesuatu yang gaib dengan simbolisme yang berbeda-beda, ada yang berupa petunjuk dan ada juga yang berupa  isyarat, gagasan atau macam-macam perintah. Tradisi ini paling menonjol di Desa Cipaku, kampung Paniis dan di desa yang menerima amanah leluhurnya. Menurut tokoh adat bahwa ngikis artinya membersihkan jiwa dalam saluran keyakinan terhadap Hiyang gaib. Tradisi ini, tidak hanya berupa upacara ritual semata, akan tetapi didukung oleh gerakan kerja bakti dengan membersihkan lingkungan makam keramat seperti jalan, areal pemakaman dan lain-lain.

11. Tradisi Ngikis
Dalam melaksanakan tradisi ini, dilakukan secara kolektif dan digelar di makam-makam keramat. Pada hakekatnya berdoa bersama dipimpin oleh pemuka adat atau kiai dengan tujuan agar arwah leluhur diampuni dosa-dosanya dan oleh Tuhan ditempatkan di alam kesucian. Atas doa yang disampaikannya dapat memberikan rahamat karomah dari keunggulan-keunggulan leluhur atas ilmu dan keteladanannya. 

Tawasul-tawasul dari para kuncen atau perawat makam keramat pada umumnya memuat pandangan bahwa ruh atau sukma tidaklah mati. Para rohiyang atau sukma berada pada alam gaib tempat para arwah berkumpul, disebut alam arwah. Makam leluhur nilai-nilainya dianggap mempunyai karomah.

Arwah leluhur dapat berhubungan, jika mengetahui ilmunya dan terjadi dalam situasi dan kondisi tertentu tersalurkan dalam rasa dan alam pikiran serta alam impian (mimpi). Hal itu dapat melahirkan sesuatu yang gaib dengan simbolisme yang berbeda-beda, ada yang berupa petunjuk dan ada juga yang berupa isyarat, gagasan atau macam-macam perintah. Tradisi ini paling menonjol di Daerah Cipaku, Kampung Paniis dan di desa-desa yang menerima amanah leluhurnya. Menurut okoh adat, bahwa ngikis artinya membersihkan jiwa dalam saluran keyakinan terhadap Hiyang gaib.

Tradisi ini, tidakhanya upacara ritual semata, akan tetapi didukung oleh gerakan kerja bakti dengan membersihkan lingkungan makam keramat seperti jalan, areal pemakaman dan lain-lain.


12. Tradisi Hajat Tujuh Bulan
Hubungan suami istri adalah “sir pada sir gumulung di kenya puri”, artinya dari hubungan (ngalambangsari) menciptakan jabang bayi dalam rahim sang ibu. Proses pembentukan jabang bayi dalam pandangan budaya masyarakat, sabulan ngaherang, dua bulan kumambang, tilu bulan gumulung, opat bulan mangrupa, lima bulan tumpak banyu, tujuh bulan kamarullah, dalapan bulan nurallah, salapan bulan medal ka dunya”. Menginjak usia bayi tujuh bulan berada dalam tahapan “kamarullah” artinya mendekati kesempurnaan, telah diisi ruh. Hal ini yang menentukan  harapan ibu dan ayahnya agar bayi lahir ke dunia dalam keadaan sempurna “mulus rahayu, berkah salamet”. Tradisi ini dilaksanakan di dalam rumah, dipimpin oleh paraji yang Bertugasmerawat ibu yang sedang mengandung. Esensi dari tradisi ini adalah sebagai media komunikasi untuk menghubungkan keinginan maupun harapan kepada khaliknya, agar bayi lahir ke dunia dalam keadaan selamat dan kelak menjadi anak yang shaleh.


13.  Tradisi Ngayun Orok
Anak bagi sang ibu dan ayahnya merupakan “jimat parepeh hirup”, hakekatnya generasi yang melanjutkan perjuangan ayah ibunya kelak. Sang ibu perang sabil pada saat melahirkan, hal itu merupakan detik-detik yang menentukan kelahiran sang bayi ke dunia. Bayi menginjak usia empat puluh hari disambut oleh upacara tradisi ngayun orok. Pelaksanaan ritual tak jauh berbeda dengan tradisi lainnya, hanya berbeda oleh cara, situasi dan kondisi tertentu. Cara yang khas dalam tradisi ini adalah “mahinum” sejenis makanan  yang dibuat dari biji-bijian dan dedaunan seperti biji kacang, daun sirih dan lain-lain. Doa bersama dipimpin oleh pemuka adat/kiai yang menguasai bidang tradisi tersebut.

Bayi kemudian digunting rambutnya oleh hadirin secara bergiliran. Setelah islam datang dan menjadi agama rakyat diadakan marhabaan Setelah melaksanakan tradisi ini orok (bayi) yang berusia 40 hari boleh dibawa ke luar rumah atau  menginjak bumi, kisahnya bayi itu dibawa berjalan dengan mengelilingi leuit (lubung padi). Seorang di tugaskan oleh saehu menarik sebutir kalapa tua dan kored. Inti dari simbul tersebut merupakan simbul dari harapan orang tua bayi agar kelak sudah menginjak. dewasa menjadi anak yang rajin, pekerja keras, hidup mandiri dan mengabdi kepada orang tua.


SENI TRADISIONAL
Menelusuri seni tradisi yang berkembang pada jaman Sumedang Purwa, berhubungan dengan sejarah perkembangan kesenian di Tatar Sunda. Sewaka Dharma Kropak 408 yang ditulis pada tahun 1099 Masehi, sarga 45 menerangkan : "Sada canag, sada gangsa tumpang kembang, sada kumbang tarawangsa, ngeuik, sada titular bumi, sada tatabeuhan jawa, sada gobeng direka calituh dianjung, sada handaru kacapi langa, sada keruk sagung", Artinya : suara canang, suara gamelan tumpang kembang, suara kumbang dan tarawangsa menyayat, suara baling-baling ditingkahi calituh di dangau, suara kecapi penuh khawatir, (Enokh Atmadibrata : 2005).

Keterangan di atas menunjukan bahwa sebelum abad masehi di Tatar Sunda telah ada seni suara, kecapi, gamelan dan tabuh-tabuhan lainnya. Sesuai dengan perkembangan jaman, dengan melahirkan keanekaragaman kesenian yang tersebar di setiap daerah. Seni tardisional berkaitan erat dengan kebenaran yang termuat di dalam tradisi, yang termasuk ekspresin formal dan artistik. Keasliannnya bukan asli manusiawi. Lebih jauh, seni tersebut harus bersesuaian dengan simbolisme yang inheren dalam obyeknya dengan mana ia diperhatikan begitu juga simbolisme yang berkaitan langsung dengan intuisi yang dimiliki dimensi bathin sebagai manifestasi. Seni semacam ini sadar akan sifat esensial sesuatu dari pada aspek-asoek aksidentalnya. Kesesuaiannya dengan harmoni meliputi kosmos dan hirarki eksistensi, yang terletak di atas bidang material dengan mana seni berkaitan dan merembes ke dalam bidang tersebut. Seni ini berdasarkan pada kenyataan bukanrekaan, sehingga tetap sesuai dengan alam objek yang lebih terikat, dari pada membentuk selubung subyektif dan dibuat-buat diatasnya.

Seni tradisional bersifat fungsional dalam pengertian yang mendalam, yakni di buat untuk kegunaan khusus, apakah sebagai penyembahan pada Tuhan dalam kegiatan liturgi atau sebagai kuburan. Seni tradisional karena itu dimanfaatkan dan bermanfaat.

Tetapi bukan dengan makna yang terbatas, yang diidentifikasi pikiran manausia semata-mata. Fungsinya berkaitan dengan kesalehan manusia bagi kecantikan se-esensi dengan dimensi hidup dan kebutuhan rumah yang melindungi manusia. Disini tidak ada tempat bagi gagasan “seni untuk seni”, dan peradaban tradisional tidak pernah menghasilkan karya seni untuk seni itu sendiri.

Seni trasdisional boleh dikatakan didasarkan pada ise bahwa Tuhan di muka bumi aksial pada tahap realitas, akhirnya berarti seni untuk Tuhan, menciptakan sesuatu untuk manusia sebagai wujud teormofik adalah menciptakannya bagi Tuhan. Dalam seni tradisional ada kecendrungan kecantikan dan kegunaan yang membuat setiap objek seni tradisional, menjadi milik peradaban tradisional yang sedang tumbuh, bukan ada tahap keruntuhan, sesuatu yang berguna dan cantik.


Jenis-jenis Kesenian
Sejak jaman Purwa, masyarakat Sumedang telah memahami dan menghayati keindahan, terefleksi di dalam aneka macam dan jenis kesenian. Filosofinya selalu dihubungkan dengan keagamaan. Oleh karena   Itu mereka mengenal seni ritual dan seni pertunjukan. seni ritual berperan sebagai penghantar pemujaan terhadap para roh atau para Dewa, dengan bentuk nyanyian, tarian dan sebagainya. Seni pertunjukan berperan sebagai sarana hiburan, berhubungan dengan aspek sosial dan ekonomi.

a. Seni Tarawangsa    
Seni ini, muncul di daerah Rancakalong diperkirakan pada abad ke-8, dipergunakan sebagai sarana ritual dalam melaksanakan pemujaan terhadap Nyai Sri sebutan untuk Dewi Padi. Menggunakan alat karawitan kacapi dan rebab ( ngekngek ). Digelar pada saat pesta panen. Musik Tarawangsa berfungsi sebagai pengiring tarian pemujaan terhadap Nyai Sri. Nilai-nilai ritual tercermin dari tarian dan lagu-lagu yang dipersembahkan. Pangapungan menggambarkan pada saat Nyai Sri ngahiyang atau pergi ke langit. Menurut pandangan mereka Nyai Sri ngahiyang ka langit telah menyebabkan kehilangan benih padi di daerah Rancakalong.

Untuk menghadirkan kembali Nyai Sri dengan mempersembahkan lagu pangamat atau sapaan agar Nyai Sri turun kembali ke bumi, dengan harapan benih padi kembali tumbuh subur. Dalam perkembangan seni tarawangsa telah menjadi seni pertunjukan rakyat.

b. Seni Pantun
Pantun identik dengan cerita lisan,memuat unsur-unsur sejarah. Seni ini, muncul sejak peradaban Purwa. Cerita-cerita pantun pada umumnya menggambarkan keunggulan raja-raja Sunda dan berhubungan dengan peran dewa-dewa. Tersketsa dalam babak awal (ngarajah), esensinya mengagungkan Nu Ngersakeun dan dewa-dewa.

Alat karawitan yang dipergunakan adalah jenis kecapi. Pelaku seni ini, disebut juru pantun. Nilai-nilai lainnya adalah bahwa Seni Pantun tidak sembarang disajikan, tetapi digelar dalam waktu-waktu tertentu dan ceritanyapun tertentu pula. Misalnya : Sulanjana untuk syukuran panen, Mundinglaya untuk syukuran pernikahan, Lutung Kasarung untuk kesejahteraan, Panggung Keraton untuk kenaikan jabatan, Paksi Keling untuk ngaruat.

c. Seni Tayub
Menurut salah satu sumber, Seni Tayub muncul kira kira pada saat Kerajaan Sumedang Larang. Seni ini, dikembangkan di lingkungan keraton oleh Prabu Tajimalela. Pendukung utama adalah perangkat gamelan dan tarian. Gamelan Seni Tayub ditemukan di daerah Situraja.

Seni Tayub bukan hanya liburan para penganggung semata, tetapi berperan sebagai mediasi hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta, dengan harapan mampu mengatasi ujian-ujian dan mampu mempertahankan azas hidup gotong royong (Talari). Dalam seni ini, mengenal “Ronggeng” berperan sebagai juru tari. Ronggeng menempati posisi terhormat, karena sebagai penggambaran Dewi Pertiwi penyelamat bumi. “Juru baksa” menempati posisi Koromong menempati posisi Ajeng, karena sering dipergunakan dalam upacara kenegaraan, berfungsi sebagai penyambut tamu kebesaran atau raja-raja.

Lagu buhun diantaranya mingkrik, dongdang dua, dongdang opat, balebandung dan sebagainya. Gamelan keromong merupakan peninggalan masa Kerajaan Tembong Agung, terdapat di Sukaratu, Darmaraja, Nanggerang, Cisitu, Cisarua Cimalaka, dan Sukamaju Rancakalong. Dalam perkembangannya seni Koromong telah menjadi seni pertunjukan rakyat.

d. Angklung Jengklung
Ditemukan di Cirangkong Sumedang Selatan. Menurut sesepuh Cirangkong. Angklung tersebut merupakan peninggalan Prabu Geusan Ulun. Pada saat melangsungkan pesta khitanan Pangeran Angkawijaya dihibur oleh seni Angklung tersebut.

Angklung tersebut dalam ukuran besar atau ukurannya sangat berbeda dengan Angklung buncis sebanyak lima buah. Dalam proses perkembangannya telah menjadi seni pertunjukan rakyat bahkan dipadukan dengan seni reog, sehingga lahirlah seni reak (reog dan angklung).

Tidak ada komentar

Posting Komentar