Istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad
ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016
M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah
menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu)
selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus
dituruti oleh semua rakyatnya.
Kabuyutan itu frase katanya diambil
dari bahasa arab: “bait” atau “baitun”. Baitun itu berarti rumah.
Sepertinya, Kabuyutan itu menggambarkan satu miniatur lingkungan yang
strukturnya sangat lengkap. Ada Bapak, Ibu, Anak-anak, dan ruang.
Masing-masing berinteraksi secara intens, penuh kasih, dan menghasilkan
nilai-nilai.
Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci.
Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Cipaku di Kecamatan Darmaraja, Sumedang adalah salah satu contoh kabuyutan Bagi Keturunan Sumedang Larang.
Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.
Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Para-hyang-an
Nilai-nilai menghasilkan tatanan. Tatanan inilah yang menyangga
peradaban. Manusia dalam rentang waktu yang panjang, diakui
eksistensinya karena mereka membangun peradaban.
Di dalam kata “Peradaban”, ada frasa “adab”. Adab bisa bermakna tata
etika yang didalamnya mengandung seperangkat nilai-nilai. Tanpa nilai,
tidak ada “adab”. Tanpa “adab”, maka tidak ada peradaban.
Ki Sunda, menyebut miniatur kehidupan sebagai kabuyutan.
Karena didalamnya bukan hanya ada nilai-nilai yang abstraktif, tetapi
lebih jauh, kabuyutan adalah pusaran utama kehidupan manusia/ masyarakat
anggotanya.
Maka merusak suatu kabuyutan bukan hanya merusak suatu lingkungan
fisik, tetapi juga menghancurkan segala nilai yang melekat di dalamnya.
Nilai-nilai yang telah diendapkan, dan kemudian dikonstruksi
berabad-abad itu, dan menjadi energi yang menyangga peradaban manusia,
akan hilang.
Kabuyutan itu, terasa atau tidak, seperti magnet yang mengikat
manusia untuk tidak kehilangan aqal budi kemanusiaan. Maka wajar jika
ada hipotesis yang menyatakan bahwa “menghancurkan kabuyutan, berarti
menghancurkan peradaban; Menghancurkan peradaban berarti menghancurkan
kemanusian”.
Siapkah kita?
Sumber:
Wikipedia
Tantan Hermansah
Tidak ada komentar
Posting Komentar