Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih 696 - 721 M.
Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732 M) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan. Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Prabu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balangantrang alias Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh.
Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732 M) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan. Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Prabu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balangantrang alias Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh.
1. Prabu Guru Adji Putih
Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M .
Sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam keindahan istana, karena tinggal di Karesian, sehari-hari mendapat tempaan budi pekerti, olahan batin dan ilmu keagamaan. Setelah tumbuh dewasa kira-kira berusia 20 tahun, diperintah olah ayahnya bernama Prabu Komara agar mengamalkan ilmunya, maka sejak dari itu Prabu Guru Adji Putih mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Bagala Asih Panyipuhan dengan melintasi Gunung Simpay, Mandalasakti, Gunung Penuh, Sawalangsungsang, kaki Gunung Sanghiyang, kemudian tiba di sebuah dusun kecil bernama Kampung Muara yang tidak jauh dari kali Cimanuk.
Pada awalnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan / Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168 ). Agama Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (satu tuhan) seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : "Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana".
Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan Surat Al Ikhlas. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan "Orang Sunda kudu Nyunda". Disitulah beliau mulai mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.
Kerajaan yang didirikan sederhana belum mendapat dukungan atau pengakuan dari seluruh rakyatnya, oleh karena sarana atau keperluan kerajaan belum terpenuhi. Dalam perkembangannya meminta bantuan kepada Raja Galuh sehingga terjadilah hubungan erat, selanjutnya menghantarkan pertemuan dengan putri Galuh bernama Nyi Mas Dewi Nawangwulan yang bergelar Ronggeng Sadunya.
Setelah melangsungkan pernikahan, Nyi Mas Dewi Nawangwulan diboyong ke Istana Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi), ungkapan cita-cita bahwa kelak akan menjadi kerajaan yang besar dan berdaulat.
Perkawinan dengan Nyi Mas Dewi Nawangwulan melahirkan putra mahkota :
1. Prabu Tadjimalela (diperkirakan lahir + tahun 700 M)
2. Prabu Sakawayana
3. Prabu Harisdarma
4. Prabu Langlang Buana
Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.
Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi.
Setelah putra mahkota tumbuh dewasa, Prabu Guru Adji Putih turun tahta selanjutnya menobatkan putra sulungnya Prabu Tadjimalela pada saat terang bulan tahun Saka atau pada tahun 721 – 778 M.
Sedangkan Prabu Sakawayana mendapat perintah untuk memperluas wilayah kekuasaan ke kawasan Gunung Tampomas maka beliau mendirikan Medang Kahiyangan.
Prabu Harisdarma mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke kawasan Garut di sekitar kaki Gunung Haruman, beliaulah yang menurunkan para menak di kawasan Garut.
Putra bungsu atau Prabu Langlang Buana mengadakan perluasan wilayah ke kawasan Barat disekitar kaki Gunung Manglayang atau daerah Sukapura (Bandung).
Prabu Guru Adji Putih yang bertahta dari tahun 696 - 721 M, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya menjadi Resi, dengan mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Cipeueut. Kemudian menetap di daerah tersebut, selanjutnya mengembangkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan yang telah dirintis oleh Sanghyang Resi Agung (pada abad ke-7).
Kesibukan mengajar para catriknya, tak menjadi perintang dalam mengembangkan niaganya. Beliau dikenal sebagai saudagar rempah-rempah yang mempunyai hubungan dengan Kerajaan Sunda Galuh.
Pada abad itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Garut dan Cirebon. Saudagar tersebut mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Islam yang telah disebut-sebut dalam wangsit leluhurnya.
Kedatangan mereka mendorong Prabu Guru Adji Putih melakukan pengkajian wangsit-wangsit leluhurnya (amanah), diantaranya : “Hiji waktu jalan kaarifan baris molongpong ti panto Mekah nepi ka Pulo Tutung (Afrika), jalma antay-antayan neangan kaarifan, tapi maranehna teu nyaho nu disebut arif”. Artinya : “Suatu saat jalan kaarifan akan membujur dari pintu Mekah sampai ke Pulau Hitam (Afrika), mereka berbondong-bondong mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang disebut arif”.
Wangsit itu mendorong untuk membuka hubungan niaga dengan saudagar rempah-rempah dari Teluk Persia yang menetap di Cirebon Girang. Hubungan kerjasama niaga menghantarkan Prabu Guru Adji Putih berlayar menuju negeri Mekah, dengan tujuan mengembangkan niaga.
Di Kota Mekah bertemu dengan Sayyidina Ali r.a. Sejak itulah Prabu Guru Adji Putih mulai mengenal ajaran Islam, bahkan secara ikhlas masuk agama Islam. Kemudian sepulangnya dari Mekah, diperintahkan agar mendirikan tempat wudhu tujuh muara, setelah itu diharuskan mendirikan Mesjid Jami (Rumah Allah).
Setibanya di tanah air, beliau mendirikan tempat wudhu tujuh muara, dikenal dengan nama-nama yang menggunakan bahasa ibunya, seperti : (1) Cikahuripan, (2) Cikajayaan, (3) Cikawedukan, (4) Cikatimbulan, (5) Cisundajaya, (6) Cimaraja, (7) Cilemahtama.
Cikahuripan
Maknanya adalah barangsiapa yang berwudhu di situ, maka akan memperoleh kemulyaan hidup, ditemukan di sekitar kaki Gunun Lingga kawasan Desa Cimarga Kecamatan Darmaraja.
Cikajayaan
Maknanya adalah simbol dari keinginan, barang siapa yang berwudhu disitu, akan memperoleh keunggulan (kejayaan) termasuk disegani dan awet muda. Ditemukan di kawasan Paniis kampong Cieunteung Desa Sukanagara Kecamatan Darmaraja.
Cikawedukan
Maknanya barang siapa yang berwudhu dan mandi disitu, dilandasi keyakinan, akan memperoleh kekuatan lahir batin, atau tidak akan tembus senjata tajam.
Cikatimbulan
Maknanya adalah barang siapa yang melakukan ma’rifat. Kemudian berwudhu dan mandi disitu maka akan mampu menghilang (halimunan) atau dapat tembus pandang, timbul tenggelam adalah khasiat yang sangat utama.
Cisundajaya
Maknanya adalah barang siapa yang meyakini ilmu-ilmu leluhur Sunda, kemudian berwudhu dan mandi disitu, akan memperkuat kejayaan Kisunda. Sunda dalam pandangan Prabu Guru Adji Putih, (Sun = bagus, Da = Dawa artinya panjang, terbagus dan terpanjang dalam rentang kejayaan).
Cimaraja
Maknanya adalah barang siapa yang mempelajari ilmu kepemimpinan, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan memperoleh kharisma dalam memimpin rakyat. Raja adalah pemimpin utama yang menentukan arah kehidupan rakyatnya.
Cilemahtama
Maknanya barang siapa yang menderita penyakit lahir maupun batin, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan disembuhkan dari bencana penyakit. Situs tersebut ditemukan di Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan.
Darmaraja.
Setelah menyelesaikan tempat-tempat wudhu tersebut, Prabu Guru Adji Putih berniat mendirikan Mesjid Jami, dengan memilih tempat di kawasan Nagrog yang terletak di kaki Gunung Lingga. Akan tetapi rencana tersebut gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan Gunung Masigid.
Selanjutnya beliau kembali ke Keresian Bagala Asih Panyipuhan, bahkan lebih memusatkan kepada syiar agama, dengan memanfaatkan pendekatan adat tradisi budaya, kesenian dan pendekatan sosial kemasyarakatan.
Pandangan-pandangan Budaya
Prabu Guru Adji Putih setelah pergi ke Mekah dinobatkan sebagai Haji Darmaraja atau disebut Haji Purwa Sumedang (sosok yang pertama kali gelar haji di Darmaraja atau Sumedang), dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih.
Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.
Selain Resi yang cukup dikenal, juga sebagai ahli fikir/tarekat yang merangkai pandangan-pandangan budaya yang mengunakan landasan Islam. Beliau menciptakan Syahadat dan ilmu Kacipakuan, artinya Pengakuan atau Ikrar kesaksian terhadap leluhurnya, yang berbunyi : “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula”.
Kemudian disempurnakan oleh anak cucunya menjadi “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Eyang Haji Darmaraja, maring Ingsun”. Artinya: "Getaran jiwa menciptakan perasaan, getaran perasaan menjembatani jasad, dzat (ruh) untuk mengetahui diri sendiri, dekatlah dengan Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Haji Darmaraja, masuklah ke dalam jiwaku.
Selanjutnya disempurnakan lagi oleh anak cucunya : "Sir budi cipta rasa, sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Terah wisesa, ratu galuh, galih kula aji putih, ngamupuk aji putih, ngabanyu aji putih, ngaraga sukma tembong aji sajati agung, sajatining diri tembong agung, marifat jati keursaning Allah. La ilaha illallah, Muhammaddarosullullah".
(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/ Nurani, penyaksian terhadap (Adam & Nabi syits), keturunan Syits dan Ratu Galuh (ketunanan nabi nuh), didalam saya ilmu putih, menggunakan ilmu putih...dst).
Selain itu beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan kedalam bentuk pusara atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees artinya u artinya usaha.
Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup. “Akal hade, usaha getol lamun teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal hebat tapi embung usaha hirupna ngayuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyempitkeun ilmu agama”.
Menjelang akhir hayatnya, beliau melakukan marifat di Cipeueut (menyempurnakan ilmunya) hingga meninggal dunia.
Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di di Pajaratan Landeuh Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Eyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.
Catatan :
Jikalau kita lihat wangsit leluhurnya sebelum prabu aji putih menjadi menjadi resi islam kita bisa lihat dalam kitab hindu berikut ini :
- Manu (Nuh) sebagai nabi juga memiliki hukum, yang oleh umat Hindhu disebut Manusmriti (Law of Manu). Dalam Atharvaveda Book 20 Hymn 127 verses 1-13 dikatakan tentang datangnya nabi Muhammad, mengatakan: “Dia adalah Resi yang naik Onta.
- Tidak mungkin itu orang India karena Reshi India (Brahman) tidak boleh naik Onta berdasarkan “Sacred Book of the east”, Volume 25, Law of Manu page 472. Menurut Manu Smirti Bab 11 ayat 202 “Seorang Brahman dilarang menaiki Onta atau Keledai.
2. Prabu Tadjimalela
Prabu Tadjimalela naik tahta pada tahun 721 – 778 M, dengan batas wilayah kekuasaan meliputi sepanjanng kali Cimanuk yang membujur dari selatan ke utara. Batas wilayah tersebut berdasarkan pengakuan yang berpijak di atas landasan teori perkiraan. Di awal pemerintahannya, mengganti nama Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Hibar Buana yang memuat tentang angan-angan atau suatu cita-cita. Hibar = temaran cahaya, Buana = alam, menyimbolkan keinginan bahwa satu saat kerajaan tersebut akan menjadi kerajaan besar.
Pada saat sedang menata kerajaan, muncul pemberontakan di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana, dipimpin oleh Gagak Sangkur yang didukung oleh wadya balad Talaga. Tujuannya ingin menghancurkan kekuasaan Prabu Tadjimalela. Kemudian Prabu Tadjimalela membawa pasukan ke kawasan tersebut, terjadi pertempuran di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana lalu melebar ke daerah Malangbong dan Limbangan Garut. Pasukan Gagak Sangkur dapat dipukul mundur, lalu ditangkap. Sewaktu akan diadili, ia menyerah atau tunduk, bahkan bersedia untuk mengabdi kepada Prabu Tadjimalela. Selanjutnya diangkat sebagai Patih Agung. Berkat dukungan Patih Gagak Sangkur, Prabu Tadjimalela berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke wilayah selatan, sejak itulah Limbangan dan Malangbong Garut berada dalam kekuasaan Prabu Tadjimalela.
Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M .
Sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam keindahan istana, karena tinggal di Karesian, sehari-hari mendapat tempaan budi pekerti, olahan batin dan ilmu keagamaan. Setelah tumbuh dewasa kira-kira berusia 20 tahun, diperintah olah ayahnya bernama Prabu Komara agar mengamalkan ilmunya, maka sejak dari itu Prabu Guru Adji Putih mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Bagala Asih Panyipuhan dengan melintasi Gunung Simpay, Mandalasakti, Gunung Penuh, Sawalangsungsang, kaki Gunung Sanghiyang, kemudian tiba di sebuah dusun kecil bernama Kampung Muara yang tidak jauh dari kali Cimanuk.
Pada awalnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan / Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168 ). Agama Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (satu tuhan) seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : "Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana".
Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan Surat Al Ikhlas. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan "Orang Sunda kudu Nyunda". Disitulah beliau mulai mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.
Kerajaan yang didirikan sederhana belum mendapat dukungan atau pengakuan dari seluruh rakyatnya, oleh karena sarana atau keperluan kerajaan belum terpenuhi. Dalam perkembangannya meminta bantuan kepada Raja Galuh sehingga terjadilah hubungan erat, selanjutnya menghantarkan pertemuan dengan putri Galuh bernama Nyi Mas Dewi Nawangwulan yang bergelar Ronggeng Sadunya.
Setelah melangsungkan pernikahan, Nyi Mas Dewi Nawangwulan diboyong ke Istana Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi), ungkapan cita-cita bahwa kelak akan menjadi kerajaan yang besar dan berdaulat.
Perkawinan dengan Nyi Mas Dewi Nawangwulan melahirkan putra mahkota :
1. Prabu Tadjimalela (diperkirakan lahir + tahun 700 M)
2. Prabu Sakawayana
3. Prabu Harisdarma
4. Prabu Langlang Buana
Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.
Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi.
Setelah putra mahkota tumbuh dewasa, Prabu Guru Adji Putih turun tahta selanjutnya menobatkan putra sulungnya Prabu Tadjimalela pada saat terang bulan tahun Saka atau pada tahun 721 – 778 M.
Sedangkan Prabu Sakawayana mendapat perintah untuk memperluas wilayah kekuasaan ke kawasan Gunung Tampomas maka beliau mendirikan Medang Kahiyangan.
Prabu Harisdarma mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke kawasan Garut di sekitar kaki Gunung Haruman, beliaulah yang menurunkan para menak di kawasan Garut.
Putra bungsu atau Prabu Langlang Buana mengadakan perluasan wilayah ke kawasan Barat disekitar kaki Gunung Manglayang atau daerah Sukapura (Bandung).
Prabu Guru Adji Putih yang bertahta dari tahun 696 - 721 M, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya menjadi Resi, dengan mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Cipeueut. Kemudian menetap di daerah tersebut, selanjutnya mengembangkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan yang telah dirintis oleh Sanghyang Resi Agung (pada abad ke-7).
Kesibukan mengajar para catriknya, tak menjadi perintang dalam mengembangkan niaganya. Beliau dikenal sebagai saudagar rempah-rempah yang mempunyai hubungan dengan Kerajaan Sunda Galuh.
Pada abad itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Garut dan Cirebon. Saudagar tersebut mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Islam yang telah disebut-sebut dalam wangsit leluhurnya.
Kedatangan mereka mendorong Prabu Guru Adji Putih melakukan pengkajian wangsit-wangsit leluhurnya (amanah), diantaranya : “Hiji waktu jalan kaarifan baris molongpong ti panto Mekah nepi ka Pulo Tutung (Afrika), jalma antay-antayan neangan kaarifan, tapi maranehna teu nyaho nu disebut arif”. Artinya : “Suatu saat jalan kaarifan akan membujur dari pintu Mekah sampai ke Pulau Hitam (Afrika), mereka berbondong-bondong mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang disebut arif”.
Wangsit itu mendorong untuk membuka hubungan niaga dengan saudagar rempah-rempah dari Teluk Persia yang menetap di Cirebon Girang. Hubungan kerjasama niaga menghantarkan Prabu Guru Adji Putih berlayar menuju negeri Mekah, dengan tujuan mengembangkan niaga.
Di Kota Mekah bertemu dengan Sayyidina Ali r.a. Sejak itulah Prabu Guru Adji Putih mulai mengenal ajaran Islam, bahkan secara ikhlas masuk agama Islam. Kemudian sepulangnya dari Mekah, diperintahkan agar mendirikan tempat wudhu tujuh muara, setelah itu diharuskan mendirikan Mesjid Jami (Rumah Allah).
Setibanya di tanah air, beliau mendirikan tempat wudhu tujuh muara, dikenal dengan nama-nama yang menggunakan bahasa ibunya, seperti : (1) Cikahuripan, (2) Cikajayaan, (3) Cikawedukan, (4) Cikatimbulan, (5) Cisundajaya, (6) Cimaraja, (7) Cilemahtama.
Cikahuripan
Maknanya adalah barangsiapa yang berwudhu di situ, maka akan memperoleh kemulyaan hidup, ditemukan di sekitar kaki Gunun Lingga kawasan Desa Cimarga Kecamatan Darmaraja.
Cikajayaan
Maknanya adalah simbol dari keinginan, barang siapa yang berwudhu disitu, akan memperoleh keunggulan (kejayaan) termasuk disegani dan awet muda. Ditemukan di kawasan Paniis kampong Cieunteung Desa Sukanagara Kecamatan Darmaraja.
Cikawedukan
Maknanya barang siapa yang berwudhu dan mandi disitu, dilandasi keyakinan, akan memperoleh kekuatan lahir batin, atau tidak akan tembus senjata tajam.
Cikatimbulan
Maknanya adalah barang siapa yang melakukan ma’rifat. Kemudian berwudhu dan mandi disitu maka akan mampu menghilang (halimunan) atau dapat tembus pandang, timbul tenggelam adalah khasiat yang sangat utama.
Cisundajaya
Maknanya adalah barang siapa yang meyakini ilmu-ilmu leluhur Sunda, kemudian berwudhu dan mandi disitu, akan memperkuat kejayaan Kisunda. Sunda dalam pandangan Prabu Guru Adji Putih, (Sun = bagus, Da = Dawa artinya panjang, terbagus dan terpanjang dalam rentang kejayaan).
Cimaraja
Maknanya adalah barang siapa yang mempelajari ilmu kepemimpinan, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan memperoleh kharisma dalam memimpin rakyat. Raja adalah pemimpin utama yang menentukan arah kehidupan rakyatnya.
Cilemahtama
Maknanya barang siapa yang menderita penyakit lahir maupun batin, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan disembuhkan dari bencana penyakit. Situs tersebut ditemukan di Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan.
Darmaraja.
Setelah menyelesaikan tempat-tempat wudhu tersebut, Prabu Guru Adji Putih berniat mendirikan Mesjid Jami, dengan memilih tempat di kawasan Nagrog yang terletak di kaki Gunung Lingga. Akan tetapi rencana tersebut gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan Gunung Masigid.
Selanjutnya beliau kembali ke Keresian Bagala Asih Panyipuhan, bahkan lebih memusatkan kepada syiar agama, dengan memanfaatkan pendekatan adat tradisi budaya, kesenian dan pendekatan sosial kemasyarakatan.
Pandangan-pandangan Budaya
Prabu Guru Adji Putih setelah pergi ke Mekah dinobatkan sebagai Haji Darmaraja atau disebut Haji Purwa Sumedang (sosok yang pertama kali gelar haji di Darmaraja atau Sumedang), dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih.
Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.
Selain Resi yang cukup dikenal, juga sebagai ahli fikir/tarekat yang merangkai pandangan-pandangan budaya yang mengunakan landasan Islam. Beliau menciptakan Syahadat dan ilmu Kacipakuan, artinya Pengakuan atau Ikrar kesaksian terhadap leluhurnya, yang berbunyi : “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula”.
Kemudian disempurnakan oleh anak cucunya menjadi “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Eyang Haji Darmaraja, maring Ingsun”. Artinya: "Getaran jiwa menciptakan perasaan, getaran perasaan menjembatani jasad, dzat (ruh) untuk mengetahui diri sendiri, dekatlah dengan Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Haji Darmaraja, masuklah ke dalam jiwaku.
Selanjutnya disempurnakan lagi oleh anak cucunya : "Sir budi cipta rasa, sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Terah wisesa, ratu galuh, galih kula aji putih, ngamupuk aji putih, ngabanyu aji putih, ngaraga sukma tembong aji sajati agung, sajatining diri tembong agung, marifat jati keursaning Allah. La ilaha illallah, Muhammaddarosullullah".
(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/ Nurani, penyaksian terhadap (Adam & Nabi syits), keturunan Syits dan Ratu Galuh (ketunanan nabi nuh), didalam saya ilmu putih, menggunakan ilmu putih...dst).
Selain itu beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan kedalam bentuk pusara atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees artinya u artinya usaha.
Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup. “Akal hade, usaha getol lamun teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal hebat tapi embung usaha hirupna ngayuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyempitkeun ilmu agama”.
Menjelang akhir hayatnya, beliau melakukan marifat di Cipeueut (menyempurnakan ilmunya) hingga meninggal dunia.
Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di di Pajaratan Landeuh Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Eyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.
Catatan :
Jikalau kita lihat wangsit leluhurnya sebelum prabu aji putih menjadi menjadi resi islam kita bisa lihat dalam kitab hindu berikut ini :
- Manu (Nuh) sebagai nabi juga memiliki hukum, yang oleh umat Hindhu disebut Manusmriti (Law of Manu). Dalam Atharvaveda Book 20 Hymn 127 verses 1-13 dikatakan tentang datangnya nabi Muhammad, mengatakan: “Dia adalah Resi yang naik Onta.
- Tidak mungkin itu orang India karena Reshi India (Brahman) tidak boleh naik Onta berdasarkan “Sacred Book of the east”, Volume 25, Law of Manu page 472. Menurut Manu Smirti Bab 11 ayat 202 “Seorang Brahman dilarang menaiki Onta atau Keledai.
2. Prabu Tadjimalela
Prabu Tadjimalela naik tahta pada tahun 721 – 778 M, dengan batas wilayah kekuasaan meliputi sepanjanng kali Cimanuk yang membujur dari selatan ke utara. Batas wilayah tersebut berdasarkan pengakuan yang berpijak di atas landasan teori perkiraan. Di awal pemerintahannya, mengganti nama Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Hibar Buana yang memuat tentang angan-angan atau suatu cita-cita. Hibar = temaran cahaya, Buana = alam, menyimbolkan keinginan bahwa satu saat kerajaan tersebut akan menjadi kerajaan besar.
Pada saat sedang menata kerajaan, muncul pemberontakan di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana, dipimpin oleh Gagak Sangkur yang didukung oleh wadya balad Talaga. Tujuannya ingin menghancurkan kekuasaan Prabu Tadjimalela. Kemudian Prabu Tadjimalela membawa pasukan ke kawasan tersebut, terjadi pertempuran di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana lalu melebar ke daerah Malangbong dan Limbangan Garut. Pasukan Gagak Sangkur dapat dipukul mundur, lalu ditangkap. Sewaktu akan diadili, ia menyerah atau tunduk, bahkan bersedia untuk mengabdi kepada Prabu Tadjimalela. Selanjutnya diangkat sebagai Patih Agung. Berkat dukungan Patih Gagak Sangkur, Prabu Tadjimalela berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke wilayah selatan, sejak itulah Limbangan dan Malangbong Garut berada dalam kekuasaan Prabu Tadjimalela.
Satu saat beliau melakukan tafakur tujuannya untuk memperoleh petunjuk dan kekuatan dari khaliqnya, dengan harapan Kerajaan menjadi besar. Bisikan gaib mendorong beliau untuk meninggalkan Istana Kaprabon, kemudian melakukan tafakur di sebuah bukit Sangkanjaya yang terletak di deretan Gunung Sanghiyang. Saat melakukan tafakur beliau melihat tebaran cahaya yang menyilaukan, laihrlah sebuah ungkapan “Ingsun medangan” kira-kira aku melihat cahaya di tempat yang mulia. Dari ucapan tersebut berkembang menjadi nama sebuah Kerajaan, yaitu Kerajaan Sumedanglarang. Su dari perkataan insun = aku, medang = cahaya, larang = suatu tempat yang penuh dengan pantangan dan tantangan atau tempat yang mulia. Sejak itulah Kerajaan Sumedanglarang dikenal ke pelosok kota Sunda Galuh.
Menurut Silsilah Sejarah Kerajaan Tembong Agung - Sumedanglarang Prabu Brata Kusuma (istilah landihan Prabu Tajimalela / Prabu Tuntang Buana / Prabu Cakrabuana), 712 - 778 M Raja Sumedang Larang ke 1, dari istrinya Dewi Mayakasih atau Nyimas Rangga Wulung, berputra 3 laki-laki yaitu :
1. Prabu Lembu Agung (Jayadi Brata / Aria Surya Agung), memimpin di wilayah karaton Tembong Agung Darmaraja.
2. Prabu Gajag Agung (Atma Dibrata / Aria Kancana Agung), memimpin di wilayah karaton Sumedanglarang di Sumedang (Cipameungpeuk dan Ciguling)
3. Sunan Ulun (Mariana Jaya / Aria Jaya Agung). memimpin di wilayah Limbangan bekas kerajaan Kendan - Galuh.
Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung lahir secara bersamaan atau kembar. Setelah putranya dewasa, ada tanda-tanda Prabu Tadjimalela untuk meletakkan kekuasaan. Akan tetapi sadar bahwa kedua putra yang kembar itu sama-sama mempunyai hak memangku tahta nobat. Untuk menentukan pilihan, Prabu Tadjimalela membuat simbol yang memuat tuntuan moral yang melandasi kearifan. Maka kedua putranya diperintahkan agar melakukan tapa brata denganj simbol kelapa muda (duwegan). Barang siapa kelapa muda yang ditafakurinya tidak berair, maka tidak berhak menjadi raja. Keputusan itu disepakati oleh kedua putranya, kemudian mereka pergi meninggalkan istana Sumedanglarang. Selama empat puluh hari empat puluh malam melakukan kegiatan perenungan atau mengembarakan batiniahnya kea lam dimensi luar. Setelah selesai semedi, sama-sama mengupas kelapanya, namun kelapa muda milik Prabu Lembu Agung tak ada airnya. Ia menyadari bahwa dirinya tidak berhak menjadi raja, maka mendukung adik kembarnya sebagai calon Raja Sumedanglarang.
Prabu Gajah Agung tidak menerima begitu saja atau menolak terhadap keputusan kakak kembarnya, karena tidak mempunyai niat mengubah tradisi penyerahan Tahta Kerajaan, putra sulung yang berhak meneruskan kekuasaan ayahnya. Selain itu ajaran budaya Kasumedangan melandasi pandangan “Kasaluhureun ngahormat, kasahandapeun ngarahmat”. Hal itu pulalah yang melandasi pendapat adik kembarnya.
Namun perdebatan bertambah seru. Masing-masing mempunyai pendapat, Prabu Lembu Agung beralasan harus patuh terhadap perintah ayahnya. Akhirnya perdebatan diakhiri pertarungan seru, akan tetapi tidak ada tanda-tanda yang mengalah.
Prabu Tadjimalela peka menyimak gelagat buruk yang terjadi, kemudian memanggil putranya yang sedang bertarung, baru pertarungan berhenti. Tadjimalela menasehati agar perbedaan pendapat tak diselesaikan dengan kekuatan fisik.
Prabu Lembu Agung beralasan bahwa pertarungan tersebut membela amanat orang tua “Ciduh indung matak metu, reuhak bapa matak teurak, nuking nonggong ka indung bapa, waruga kabalur ku dosa” demikian juga Prabu Gajah Agung mempunyai alasan bahwa pertarungan itu hanya untuk membela hak kakaknya, karena saudara yang lebih dulu lahir ke dunia harus dihormati dan dijaga hak-haknya.
Prabu Tadjimalela memahami pendapat kedua putranya yang berbeda, tetapi maknanya sama-sama mengusahakan kebaikan. Kemudian menasehati bahwa kearifan penuntun kebenaran sejati, juga ibarat cahaya yang muncul dengan seketika, lalu menerangi seluruh alam pikiran manusia “Ngayuh kasampurnaan hurip bawa kasalna, ngudi sajatining becik” artinya: Mencapai kesempurnaan hidup, akan selalu mengusahakan kebenaran dan kebaikan sejati.
Setelah memberi nasehat, beliau memutuskan bahwa Prabu Lembu Agung sebagai calon raja. Lembu Agung bersedia tetapi hanya sekedar raja, sebab yang berhak memegang tahta kerajaan adalah adiknya. Maka Prabu Lembu Agung diangkat jadi raja pada saat terang bulan Tahun Saka.
Setelah Prabu Tadjimalela turun tahta, beliau menjadi resi kemudian mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Gunung Lingga, disitu melakukan marifat dalam upaya menyempurnakan ilmunya. Selama jadi Resi, banyak menciptakan pandangan-pandangan budaya yang disebut budaya Kasumedangan atau dalam istilah lain Ilmu Kasumedangan.
Masa Kerajaan
Cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pernikahan Prabu Guru Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa, terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap " In(g)sun Medal In(g)sun Madangan" (In(g)sun artinya "saya", Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya "Aku lahir untuk memberikan penerangan" dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, sedangkan kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai "tanah luas yang jarang bandingnya" (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.
Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang ketiga dan mulai dari sini pusat pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan.
Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat.
Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M) sebagai raja Sumedang Larang kelima mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat.
Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.
Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).
Pada masa Ratu Sintawati / Nyai Mas Patuakan agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan.
Putra Pangeran Palakaran / Muhammad yaitu Rd. Solih atau Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum putri Nyi Mas Patuakan, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru.
Hasil pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Santri mempunyai seorang putra bernama Pangeran Angkawijaya kelak bergelar Prabu Geusan Ulun . Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang. Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum'at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran "Sirna ing bumi" Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten
Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra, sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra
merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan
Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu
ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang
sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka
Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya
Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat
legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit
menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
terima kasih
BalasHapus