Ciung Wanara Melakukan Tapa Brata Manurajasunya

Pembahasan sejarah Sunda-Galuh tiada habisnya. Demikian pula untuk sosok Prabu Ciung Wanara yang tak lekang di telan zaman. Banyak kisah dikaitkan dengan namanya. Diantaranya tentang kisah masa akhir kepemimpinannya sebagai raja Galuh. Bersumber dari naskah Lontar sunda kuno, menyatakan bahwa Prabhu Ciung Wanara Tapa Brata Manuraja Sunya.

Ciung Wanra merupakan nama untuk Sang Manarah, penguasa Galuh dari tahun 739-783 M.  Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.

Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permana Dikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Setelah menginjak remaja, ia kemudian merebut kembali kekuasaan dari keturunan Sanjaya yaitu Sang Tamperan Barmawijaya alias Raja Bondan, dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki Balangantrang atau di Darmaraja lebih dikenal dengan Sanghyang Resi Agung orang tua Prabu Aji Putih atau kakeknya Prabu Brata Kusuma alias Prabu Tajimalela. 

Ibunya Ciung Wanara adalah Nhay (Nyai/Dewi) Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah Permana meninggal ia menjadi istri kedua Sang Tamperan.

Setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya sendiri yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung suami dari Putri Purbasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara,  berkuasa dari tahun 783 - 799 M. Prabu Manarah, pada tahun 783 Masehi,  melakukan Manurajasunya di Darmaraja Sumedang Larang.

Transkrip (alih bahasa) Pupuh Darmaraja menceritakan sebagai berikut :
415. CIUNG WANARA mundur dari keprabuan, dengan maksud membuka lahan baru, muara Cipaku namanya, dan berganti nama RAJA UDIK namanya.
416. Di muara CIPAKU membuat ciri, untuk menyepi raga (tapabrata manurajasunya) dan tempatnya di NANGGERANG dan menjadi pedukuhan, serta membuat saluran air, saluran memanjang ke arah timur, dan menjadi saluran CIPAKU yang bermuara ke CISEUMA.

Sesungguhnya yang disebut kesucian hidup di hutan bagi seorang raja dari suatu negara pergi ke gunung (adalah) menganggap tubuhnya sebagai hutan belukar dan mulai bersiap-siap untuk merabasnya. Menghilangkan rerumputan di dalam hati yang senantiasa menumbangkan kehendak nafsu buruk. sehingga tidak dapat berperilaku baik. la bagaikan rumput di kahyangan, ia bagaikan hari yang jelek (naas).

Rerumputan yang tak terbatas dibersihkan karena penghalang pikiran suci. Dicabuti dan tidak diberikan tumbuh nafsu duniawi itu. Nafsu berarti keinginan yang menarik bagaikan anak panah yang siap menghapus tanpa pertolongan: ia bagaikan rumput yang menimbulkan berbagai hal, seperti: cara, kula, maryyadha, kama, krodha. artha, raga, dwasa, moha, satwa, rajah, tamah, citta, buddhi, manah, bayu. sabda, hedap, maya, pradhana, dan tresna.

Semua itu dibersihkan. Dikendalikan satu persatu agar tenang dan dilupakan segala macam indria itu . Lidah atau alat pengecap (jitendriya) dilupakan sampai mati sehingga tidak ada kemarahan. Hasilnya bernama tapa (pengendalian) yang berarti kesetiaan; brata berarti tak henti-hentinya beryadnya kepada Tuhan; yadnya puja berarti segala suguhan yang baik. Itu dipersembahan kepada Tuhan yang menjaga Sanghyang Atma (jiwa) . Dengan melakukan pemujaan terus-menerus. Sedangkan arcana berarti segala kesenangan Tuhan yang menjadi sumber segala pengetahuan.

Demikian seorang raja yang memahami ajaran kependetaan dan memahami ajaran tapa, dan berkehendak menyiapkan tapa yang suci. Inilah yang dilakukan Prabu Ciung Wanara untuk memilih Manuraja Sunya, mengasingkan diri dengan tapa brata dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini merupakan puncak pertapaan, pasti dinanti ibarat sebuah tutup kantong dan akhir dari penganut ajaran kesunyataan, yang siap memayunginya. Bunyi yang terdengar di angkasa tampak menyatu, itulah isinya kantong. la tampak halus bagaikan tanpa cinta. Kekal sebagai hadiah kependetaan sehingga menjadi wawas melihatnya. Mampu menghilangkan kotoran untuk mencapai kebahagiaan di alam Niskala. Tidak ada rasa takut kepadanya di saat memahami atau mengajarkan tentang kependetaan.

Kesucian atau keteguhan pikiran (prabhanjita) menjadi tujuannya. Sedangkari di dalam hati diibaratkan medan pertempuran dan rasa sebagai senjata yang tidak bergerak- beranak dan beristri. Badan itu tidak sebagai badannya. Semua alat makan tempatnya tidur, permaisuri, taman, singasana, tidak ada rasa bimbang dan sedih padanya, juga kesaktian atau kewibawaan bagi orang di istana. Segala tempat beliau disembah dan diutamakan.

Demikianlah Prabhu Ciung Wanara sebagai raja utama bertapa di kerajaannya. Adapun negaranya diperintah oleh menantunya sendiri. Tidak henti-hentinya meraih kesempurnaan sehingga tentramlah Kerajaan Galuh ini. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun. "Daulat Prabu Ciung Wanara."

Tapabrata dianggap oleh para penganut spiritual sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu, yaitu tapas, yang berasal dari buku-buku Weda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.

Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali pada abad ke 16 Masehi, berbagai cara menjalankan tapa adalah :

  • Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
  • Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam ( nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
  • Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
  • Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
  • Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
  • Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
  • Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
  • Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
  • Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
  • Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
  • Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat saja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang Hindu-Budha dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.

Transkrip Potongan Pupuh Cipaku Darmaraja menceritakan sebagai berikut :
392. Ciung wanara, pulang ke Dharmaraja, pada kumpul balad patih mantra, di tempat tersebut ngadegkeun agama Budha......

OM AHHUNG VAJRA GURU PADMA SIDDHI HUM
Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha
Amitayus Dharani
Namo Ratna Trayaya,
Namah Arya Amitabhaya,
Tathagataya, Arhate
SamyakSambuddhaya.
Tadyatha:
Aum, Amrite, Amritodbhave,
Amrita Sam-bhave,
Amrita Garbhe,
Amrita Siddhe,
Amrita Teje,
Amrita Vikrante,
Amrita Vikranta, Gamine,
Amrita Gagana, Kirti Kare,
Amrita Dumdubhi, Svare,
Sarvartha, Sadhane,
Sarva Karma, Klesha,
Kshayam, Kare, Svaha.
Om, Bhrum, Hum.


Referensi
  • Ekajati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Yayasan Cipta Loka Caraka.
  • Noorduyn, J.. 2005. Three Old Sundanese poem. KITLV Press.
  • Naskah Carita Parahyangan (1580), fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi: Perpustakaan Nasional RI.
  • Sukardja, H. Djadja, 2002. Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S. Cet-2.
  • "Kerajaan Sunda Galuh" wikipedia.org Diakses 10 Juni 2019.
  • Tim Penulis Sejarah. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat
  • Dinas Pariwisata Ciamis, 2003. Wisata Ciamis.
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1996/1997. "Ajaran-ajaran dalam Naskah Singhalangghaya Parwa". Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 
  • "Sekilas Sejarah Galuh" sejarahtatarpasundan.blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.
  • "Kerajaan Galuh" West Java Kingdom blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.
  • "Pohaci Rababu & Dewi Pangrenyep: Skandal Demi Skandal Penyulut Gonjang Ganjing" Babad Wong Wedok Nusantara blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5
  • Saleh Danasasmita. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Kiblat Buku Utama, Bandung. ISBN

Baca Juga :

Tidak ada komentar