Makam Dalem Kulanata Maja (Mbah Sadim) Di Desa Licin Kecamatan Cimalaka

Di kaki Gunung Tampomas, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, terdapat pemakaman putra no 2 Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang), yaitu Makam Dalem Dalem Kulanata Maja (Mbah Sadim). Kompleks pemakaman ini mudah dijangkau oleh para peziarah. Lokasi makam Dalem Kulanata Maja (Mbah Sadim) dekat danau Ciburai yang juga dianggap keramat ini tidak terlepas dari banyak beredarnya kabar dan banyak peziarah yang datang di komplek pemakaman Desa Licin Ciburial.



Menurut keterangan Kuncen, makam yang dimakamkan di Ciburial ada makam Balung Nunggal yang dikenal manusia tanpa pusar, yang memiliki nama asli Dalem Kulanta Salam atau Mbah Sadim. Dalem Kulanata Maja atau Dalem Kulanta Salam (Mbah Sadim) merupakan keturunan ke tiga dari Raden Ranggamantri (Parunggangsa) dan Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung), penguasa Talaga Majalengka.

Menurut riwayat, Mbah Sadim disebutkan bersaudara kandung dengan Wangsa Goparana, penguasa Segala Herang Subang. Dia lahir dari keturunan Sunan Wana Perih yag merupakkan keturunan keempat dari Ki Jaka Raksa atau Kusuma Laya. Secara tidak langsung, ia adalah cucu dari Nyiman Wulan Sari Ratu Parung yang bergelar Ratu Sunia Larang.


KERAJAAN TALAGAMANGGUNG
Raden Panglurah
Ketika Raden Panglurah tidak ada di keraton karena sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya, Sunan Talaga Manggung.

Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia mati.

Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada di antaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya.. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok, oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah Palembang Gunung itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka diangkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke Sangiang dia merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya tampak situ saja dan setelah dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).


Ratu Simbar Kencana
Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar Kencana sendri.

Dan dia akan menyusul ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut dia beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang. Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.


Sunan Parung
Batara Sokawayana atau Sunan Parung  mempunyai putra istri bernama Ratu Parung (Ratu Sunia Larang), melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Ranggamantri putranya Raden Munding Sari Ageung, putra Prabu Siliwangi dari isterinya Padmalarang atau Padmawati

Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum. Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari semula beragama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah. 

Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum.  Prabu Pucuk Umum mempunyai putra bernama Sunan Wanaperih yang akhirnya menjadi raja bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). 

Sunan Wana Perih mempunyai putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wana Perih meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.


Raden Ragamantri dan Ratu Sunyalarang
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadat, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta'ala.

Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu : Prabu Haur Kuning; Aria Kikis, Sunan Wanaperih; Dalem Lumaju Ageng Maja; Sunan Umbuluar Santoan Singandaru; Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagai batu nisan.


Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang)
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih) putera kedua Ratu Parung (Ratu Sunyalarang). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanu I atau yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah ( lagi susah ), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.

Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.

Kesepakatan Keraton Ciburang Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.

Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.

Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan Talaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung (Caruban) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu.Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis). Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang Talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”

Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati. 

Sunan Wanaperih mempunyai 7 orang putra, lima putera dan dua puteri, di antaranya :
1. Sunan Giri Laya
2, Dalem Cageur Darma
3. Dalem Kulanata Maja
4. Sang Senapati Raden Apun Surawijaya
5. Nyi. Ratu Radeya
6. Nyi. Ratu Putri
7. Pangeran Ngabehi Aria Wangsa Goparana
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning. Makam Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning, Desa Banjaran Kec. Banjaran Kab. Majalengka sedangkan Ratu Putri menikah dengan Syekh Sayid Faqih Ibrahim (Sunan Cipager) putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya. Dari Talaga Majalengka Dalem Kulanata Maja berhijrah ke Sumedang, sampai akhir hayatnya.


JEJAK SEJARAH KERAJAAN TALAGAMANGUNG 
I. SILSILAH TALAGA MENURUT BACAAN BABON TALAGA
Betara Gunung Picung / Sang Ciptapermana II hing Sunda Galuh and Alas Talaga (1053 tug to 1073),  mempunya anak 6 orang :
  1. Rahiyang Cungkilak di Alas Talaga.
  2. Rahiyang Benda di  Sunda Galuh.
  3. Rahiyang Gombang di Panjalu.
  4. Sang Romahiyang Ratu Ponggang di Gunung Padang / Gunung Bitung.
  5. Sang Watugunung / Prabu Dharmasuci / Sanghiyang Talagamaggung di Alas Talaga.
  6. Sang Romahiyang Mayang Karuna di Curug Dadap Gunung Bitung.
II. ALAS TALAGA INGIN MANDIRI LEPAS DARI KERAJAAN SUNDA
Sang Watugunung / Prabu Dharmasuci I (1073-1136) sebagai Raja ketika beranjak dewasa dengan gelar Sanghiyang Talaga Manggung, hingga mencapai usia 50 tahun belum dikaruniai seorang putra kandung, beliau mengangkat anak :
Anak angkat bernama Abiseka Guru Gantangan (1136-1146) anak Begawan Bagaswara dari Kahiyangan Mahameru, setelah keluar dari kependetaan untuk menjalankan Tapa Wadat Brahma Caria yang dikenal dengan Begawan Garasiyang. Sang Katong Dharmasuci Abirawa / Prabu Talagamangagung di Alas Talaga.

Ketika Sang Abirawa lahir di Mayapada di bulan setelah gempa terjadi, Djaladara Madiya Buana bengkah, dan selanjutnya membangun pertanian besar Cilutung dan Talagasaat di sebelah utara Alas Talaga. Kemudian setelah menjadi lahan pertanian padi ketan dibawa Panglima Tan Bong Siu (tahun 1209) ke Talaga, Tegalan tersebut dirubah menjadi pesawahan sampai sekarang disebut Sawah Tegal. Prabu Dharmasuci moksa ketika Dharmasuci belum dewasa, dan setelah cukup  umur Begawan Garasiang menikah dengan Narpati.

III. BERDIRINYA KAPRABUAN ALAS TALAGA
Sang Katong Prabu Dharmasuci Abirawa (1146-1219) memiliki dua putra :
1. Purwayana Kancanadewa / Raden Panglurah, setelah memeluk agama Buddha, ia dikenal sebagai Kang sarwatiwasda Dharmasakiya Dang Purwayana; Sebelum menimba ilmu di Nalanda Sriwijaya, ia menikah dengan Ratu Mayangsari dari Kaputren Baruhjaksi, seorang wanita bernama Cantrika putrinya Begawan Garasiang yang melahirkan seorang putri bernama Mayangkaruna, yang diurus sejak kecil oleh kakeknya Begawan Garasiang. 

Ketika sedang menuntut ilmu di Nalanda Sriwijaya hanggarbeni tertarik kepada putri Champa nagari yang bernama Ratu Kaniya. Selama di Nalanda, ia berteman dengan seorang Bhiksu yang dijuluki Dharmasakiya Wira Nalanda Bhiksutam Dang Sambhara Bhumi. Sinatria pinandita terah Isyana Syailendra sering diundang ke Talaga dan dikenalkan dengan mendiang ayahnya Prabu Dharmasuci. Raja terkesan dengan kecerdasan para Bhiksu dan akhirnya diangkat menjadi kepala keraton dan diberi gelar Patih yang mengurusi Kawah Candradimuka, tempat Olah Krida Calon Tamtama Karadjaan di Walangsudji.

2. Simbar Kencana.

III. MENDIRIKAN KERATON WALANGSUDJI DI ALAS TALAGA
Ratu Simbarkancana di Walangsuji Alas Talaga (1295-1305 M), singgasana yang kedua dari (1338-1379 M).
a. Patih Palembang Gunung, seorang biksu Buddha Mahayana alias Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi. Setelah melakukan pembunuhan terhadap Prabu Talagamaggung, ia diangkat sebagai Penguasa kota Walangsuji (1267 hingga 1295) dinamai Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah Warih, tidak menurunkan keturunanan. Tercatat dengan saudara misannya Djayakatwang  dalam penyerbuan Prabu Kartanagara (Kala Gemet) di Kerajaan Singosari.

Pa Lemban Gunung artinya menebar benih Padi Huma oleh jasa Patih Palembang Gunung Alas Talaga akrab dengan pertanian baru yaitu Padi Ketan, menggantikan pohon Djawawut (Kunyit) peninggalan Sanghiyang Ronkob, Pertanian Padi terutama Huma (ladang), Budidaya Padi Huma (ladang), Tembikar yang disebut Pariuk untuk memasak Pa, Kalapa = KalaiPa (nasi ketan tanpa amburatel), juga dibudidayakan.

Usaha budidaya tanaman Padi dilakukan oleh Patih dalam satu sebuah tempat bernama Dharmalarang yang dipimpin oleh seorang ahli pertanian Cina dari negara Sriwijaya yang diberi gelar Raden Panji. Letaknya di situ Ci Pamintar sekarang persawahan antara desa Sangiyang dan desa Darmalarang. Ketika kekuasaan Talaga dipegang oleh Andana warih, dia melakukannya politik pintu terbuka, yang terutama ditujukan kepada pedagang Pa dari Chunghua (Nagri Atas Angin) yang dipimpin oleh Tan Bong Siu, mantan Panglima Perang Kerajaan Beng. Ia kabur ke Talaga karena kalah perang oleh kerajaan Chin. Sejak saat itu perbatasan di Talaga penuh dengan orang Tionghoa; pengaruh agama Buddhisme Mahayana - Konfusianisme dan Budaya Tiongkok sangat kuat.

IV. TERAH SUNDA GALUH DI KERAJAAN WALANGSUDJI TALAGA
Demi menghilangkan sakit hati setelah wafatnya Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlaya tidak kembali  ke Istana Walangsuji melainkan pindah di Buni Asih Puri yang terletak dilereng utara desa Cimeong (sekarang desa Wates) menghadap ke barat Parakan Muncang, Gunung Cakrabuana dan Gunung Tampomas di Sumedanglarang.

Yang menjalankan roda pemerintahan di kota Talaga dibantu oleh istrinya Raden Kusumhlaya dan kembali bekerja di Pasanggrahan Agung. 

Di Pasanggrahan Agung, dua pasang pengantin melakukan upacara pernikahannya. Pasangan pertama Ratu Mayang Karuna, putranya Raden Purwayana Kancana Dewa (Begawan Garisiang), menikah dengan Raden Mundingsari Ageng, putranya Prabu Jaya Dewata, cucunya Prabu Niskala Dewa dari negeri Padjadjaran (kemudian mereka dibawa pindah dan tinggal di kaki Gunung Sanggabuana, Lereng Selatan (Lembur Talaga, Kecamatan Tanjungsari, Bogor).  Pasangan kedua adalah Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlaya. Dalam pertemuan Agung ini Ratu Simbar Kencana mengucapkan sandi prabawa : "Yen isuk Jaganing Geto “Talaga Ngadaun Ngora”.

Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlayya memiliki delapan orang putra:
1. Betara Sokawayana (Sunan Parung)
2. Mangkurat Mangkureja (Sunan Cihaur)
3. Mangkurat Mangunnagara (Sunan Bungbulang)
4. Sang Kerok Batok (Sunan Cengal)
5. Sang Suryakusumah (Sunan Jerokaso)
6. Raden Kultul Putih (Sunan Santoan Luar)
7. Dalem Ciburang (Ratu Kamana)
8. Dalem Tegal Cau (Sunan Corenda Sumedang Larang)

Betara Sokawayana / Sunan Parung (1440 hingga 1490) hanya memiliki satu anak perempuan
1. Ratu Suniya Larang / Ratu Parung, menikah kepada Raden Ranggamantri, putra Raden Mundingsari Ageung, cucu Raden Pamanharasa (Prabu Siliwangi), buyutnya Menak Kancana Prabu Niskaladewa dari Kerajaan Pajajaran.  Dan Raden Rangga mantri  Narpati di Talaga dengan gelar raja Pajajaran "Prabu Pucuk Umun" (1490 - 1550), pada tahun 1529 Raden Ranggamantri dan Ratu Sunialarang masuk Islam oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana / Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati. Raden Rangga Mantri  sang narpati yang dikenal sebagai Sunan Pucuk Umum (Penguasa Bale Baru).

Ratu Suniya Larang / Ratu Subanglarang dari Istana Parung Champaga, ditikah oleh  Raden Ranggamantri, putra Raden Pamanahrasa (Prabu Siliwangi), mempunyai anak  :
1. Raja ke tiga Haurkoneng (Ratu Galuh Panyocok), oleh sebab adanya Galugu Citanduy, kerajaan terendam berubah menjadi Rawa Lakbok, (1550-1560 M). Ketika ia menjadi Narpati di Talaga, kerajaan Talaga menjadi pengikut Kesultanan Demak dan diambil alih oleh Dipati Carbon sesuai isi kesepakatan Keraton Ciburang (1557 M)
2. Ariya Kikis / Sunan Wanaperih (1560-1565 M).
3. Ariya Tjutjuk / Dalem Lumaju Agung (Bupati Majaagung).
4. Pangeran Singalodra / Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan Umbul Luar)
5. Dalem Pantungung / Santoan Patra Djenar.(Girilawungan)
6. Dalem Panaekan / Siriwati.

Berujar ujar Ratu Sabda Radja Kandjeng Sunan Ariya Kikis memberi perintah dalam pertemuan di Pesanggarahan Besar Kerajaan Talaga (1561), bahwa seluruh Dalem agar mandiri dalam rangka berusaha mengolah wilayah masing-masing negara urusan bala keprajuritan Kapindo setiap tahun di bulan Syafar Para Dalem bersama Ketua Pradjurit Utama, harus hadir di pertemuan besar setiap tahun. Kebijaksanaan ini diterapkan langkah demi langkah Perebutan kekuasaan antara Sultan Demak, Pajang dan Mataram yang mempengaruhi ketentraman umat.


SUNDA GALUH : RANGKAIAN KEJADIAN DI TALAGA BERDASARKAN BABAD HING WALANG SUJI (BABON TALAGA)
1. Narayan Adhikusumah alias Betara Gunung Picung alias Sang Ciptapermana II Terah  Sunda Galuh dan Alas Talaga (Mp. 1003-1073 Masehi).

2. Pada tahun 1076 Masehi, Sang Watugunung alias Prabu Dharmasuci alias Sanghiyang Talagamaggung di Alas Talaga memisahkan diri dari kekuasaan Sunda Galuh, beliau menyebarkan pendidikan Hindu Maisanawa di Alas Talaga yang saya cirikan sebagai pendirian kembali Kahiyangan Argalingga dan benteng Kapanditaan di Lembur Pendetan Sanghiyang Rongkob (Sanha Maya Puruhita) Gedung Puri Nulad Puri Kahiyangan Mahameru.

Pada usia sembilan belas tahun, dia belum diberi hadiah dari Sang Widhi Wasa, meskipun dia telah bekerja untuk Raja Suya di Puri Kahiyangan Ageng dan Puri Argalingga, tetapi isternya tetap belum  mempunyai anak, akhirnya mengadopsi seorang bayi yatu Abiseka Guru Gantangan putranya Begawan Bagaswara saka Kahiyangan Mahameru. Ki Abiseka adalah seorang sinatria pinandita yang telah menguasai ilmu-ilmu  dan  ajaran Hindu Dharma dan telah menyelesaikan studinya di Rig Veda dan Jayur Veda, Upanishad dan Bhagawatgita, sehingga ia adalah seorang sinatria yang terampil dalam akhlak dan budi pekerti, disebut juga Sinatria Pinandita yang luasnya daya nalarnya dan sastranya; raja menempatkan anaknya ke Perguruan Garasiyang yang dikenal sebagai Ajar Garasiyang.

Sanghiyang Talagamaggung dibangun keprabuan Puri Kahiyangan Agung untuk Ibukota negara. Kawasan hutan Talaga merupakan kampung yang menghubungkan satu sama lain  jalan yang dilintasi  dibuat menggunakan batuan dari gunung Kahiyangan Argalingga, terus ke Cibunut terus ke Pasir Bitung naik ke Kaputren Baruhjaksi dan Citaman, turun ke Puri Kahiyangan, ke barat, di Paguron Garasiyang, turun ke Citando tempat tandu membawa orang. Turun dari Sindang Palay ke kota Walangsudji dan Banjaran tempat para Prajurit Wadiya Balad berkemah. Di arah utara terdapat hutan tutupan tempat berburu binatang yang disebut Suniya ing daksina, dekat dengan daerah Kancana tempat Wadiya Ponggawa keraton dan Gunungmanik tempat telik sandi Yudha berada.

Dari Gunung Manik turun ke pesisir kuno Djaladara Madiya yang disebut Banjaransari dimana tempat latihan para prajurit Wadiya Balad bertanding.

Turangga yang digunakan adalah kuda kacang, walaupun kecil, linghas trengginas. Alas Talaga hingga Gunung Picung dan Gunung Candana hingga Gunung Padang / Gunung Bitung masih merupakan tanah huma petani Djewawut (Kunyit) jasanya Sanghiyang Rongkob yang telah hilang sama sekali akibat Prahara Ciremai di Padabeunghar. (sekarang disebutnya dusun Pendetan dan Apuy yang artinya terbakar api). 

Para cacah saking Padabeunghar nyaralametkeun diri nya ngababakan di sisi Alas Talaga Beulah kulon kidul sisieun dalan utami hing Kraton Sunda Galuh lan Kabataraan Gunung Picung (nepikeun kaayeuna ngarana tetep Blok Babakan di tengah kota Talaga lebah Kidul-Kulon)

Warga Padabeunghar menyelamatkan diri dengan membuat pemukinan baru di sisi Alas Talaga si sebelah Barat Daya, di sisi jalan utama Keraton Sunda Galuh dan Kabataraan Gunung Picung  (sampai sekarang masih disebut Blok Babakan  di tengah kota Talaga  di sebelah  Barat Daya).


3. Prabu Dharmasuci Abirawa (Mp. 1196-1269) melanjutkan Sanghiyang Talaga Manggung ketika ia berusia tujuh belas tahun setelah Sanghiyang Talaga Manggung meninggal; sebelum tinggal di Puri Agung, ia adalah Abiseka Guru Gantangan narpati (1162. 1196). Prabu Dharmasuci Abirawa, Raja Puri Kahiyangan Agung, dan tilem  (moksa) di Setu Sangiyang.

4. Dalam tahun 1209 masuknya pertanian Pa (Ketan), Kalaipa (Kalapa), Garabah Pariuk di bawa ke Talaga oleh Bhiksu Budha Mahayana disebut juga Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi, dan pedagang  China name Tan Bong Siu bekas panglima kerajaan Beng yang kalah perang oleh karajaan Chin. Sang Bihiksu di Talaga dikenal sebagai  Ki Pa-Lemban – Gunung (tukang menyemaikan padi Ketan di Gunung).

5. Dalam tahun 1268 Dharmasuci Abirawa membuat usaha melestarikan budidaya Tanaman Padi Bulu Bagolo di Setu Ci Pa-Mintar terhalang sebelah Timur Puri Kahiyangan Agung yang disebut talatah Dharmalarang dipimpin seorang ahli pertanuan bangsa Cina dari  Sriwijaya yang diberi gelar Raden Pandji  (makamnya di sisi utara dusun atau Desa Darmalarang).

Tanaman Padi Bulu Bagolo merupakan cikal bakal semua tanaman Padi (Padi Ranggeuyan/ Padi Geugeusan) utamanya yang sekarang di tanam dipahumaan (sawah darat) ditatar Sunda;  dan turunanya yang disebut Cere (Pa murag) Seperti Segon, Poslen, Delanggu, Solok dan turunan-turunannya seperti IR-12 – 21 dstnya yang ditanam dalam sawah tanah Basah. 

6. Dalam tahun 1265 Ratu Simbar Kancana, dikawinkan oleh Prabu Dharmasuci dengan Patih Palembang Gunung sinatria terah Isyana yang diberi nama Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshu tama Sambhara Bhumi (semasa mudanya disebut Satriya Indrayana sahabatnya Rakey Pikatan Danur Rayana buyutnya SMR Rakeyan Pikatan). 

Kawah candradimuka wadiya balad Wirautama Walangsudji dirobah menjadi Istana Kapatihan, Puri dan Taman tempat tinggal Ratu Simbar Kancana dibuat disebelah  di sisi barat laut keraton, tepatnya di sisi Cipamintar disebat Kaputren Cigumawang. 

Di  Sebelah Barat Daya Kaputren ada sebuah hutan tutupan yang disebut Kebon Wana yang isinya tanaman yang menghasilkan bahan sogan (wana) sepertu Kesumba (warna merah tua) , Ki Beusi (bahan tinta pena warna hitam), Cangkudu (warna coklat), Burahol (warna biru) dan  salam (warna coklat tua) yang digunakan oleh Ratu Simbar Kancana untuk menyelup hasil sentegan (tinun), Jamang (baju laki-laki), Cinde Manik  (samping), Cinde Cagak (celana) dan Ambetan (kain penutup dada - leher).

7. Dalam tahun 1269 M, terjadi pembunuhan Prabu Dharmasuci Abirawa yang dilakukan oleh Ki Centangbarang suruhan Patih Palembang Gunung. Ki Centangbarang seorang abdi dalem kesayangan yang dipercaya untuk mengurus semua pusaka dan rahasia kerajaan termasuk senjata awisan konta yang disebut Cis. Ki Centangbarang seorang anak Santana Jero yang jadi teman bermainnya Prabu Dharmasuci (Ki Abirawa) dari sejak kecil sampai dewasa, yang sama-sama mendapatkan atikan kesinatriaan dari Begawan Garasiyang (Ajar Garasiyang). 

Dan Ki Centangbarang itu, bukan nama aslinya tetapi gelar kepangkatan abdi dalem keraton sama dengan gelar Girang Serat (Bendahara Raja) di keraton Pakuan. Ki Centangbarang diberikan kekuasaan di Citando tempat berkumpulnya para bebahu dan tunggangan  Joli, Tandu, Jampana, Dongdang Agung, sampai kuda tunggang para ahli jurit pengawal Istana.

8. Setelahnya kejadian pembunuhan Prabu Dharmasuci, Palembang Gunung mengangkat dirinya menjadi penguasa keraton Walangsuji (1267 - 1295), namanya diganti menjadi  Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah Warih, dan matinya dibunuh oleh Ratu Simbar Kancana lehernya ditusuk dengan Ampel (tusuk konde) yang biasanya digunakan oleh para  putri karaton yang berupa pisau kecil sebesar jari kelingking dari besi aji panjangnya, dan gagangnya dari Rusa  ditretes manik-manik, yang sewaktu-waktu bisa jadi senjata penutup untuk menjaga kehormatan diri. 

Selama sang Andana Warih bertahta di Keprabuaan Walang Suji di Alas Talaga diterapkan aturan-aturan baru, yaitu  : Agama resmi nagari Walangsuji yaitu Budha Mahayana, rakyat tidak boleh memjual Pa (Padi Ketan / Padi Huma) ke Kota tapi mesti ke Pangagung (membuahkan sistim Pejabat Mantri Lumbung), tiap-tiap rakyat Alas Talaga diwajibakan membayar Pa-Jeg (Pajak) ke nagara berupa hasil pertanuan ditambah sacaeng Pa-rabon (Pajak Panghasilan) dari hasil lahan pertanian Sabahu tanaman Pa, mesti disetorkan sacaeng.  Wihara atawa Klenteng Agung dibangun di blok Karang Anyar sedangkan kuburan Budha / Bong disediakan  di Pasir Cicanir sampai ke Citungtung ditambah dengan pemakaman Banusan Gede di sebelah utara (Jaman Islam disebutnya Astana Gede).

9. Di Tahun 1292. Prabu Kertanagara alias Sang Kalagemet jatuh oleh panyerbuan Djayakatwang dan  dibantu oleh Radja Wurah Warih (Palembang Gunung).

10. Ratu Simbar Kancana dinobatkan menjadi penguasa Kraton Walangsuji - Alas Talaga (1297-1328, lalu dilanjutkan tahta ke 2,  1338-1379).



11. Di tahun 1328 sampai dengan 1338 M Ratu Simbar Kancana, di dadanya tersembur darah Palembang Gunung mengalami peyakit radang payudara (kanker payudarakah?), berorbat ke salah seorang Sinse yaitu Adjar Kutamanggu alias Pa-Linggih (bekas penjaga pedagang Padi Tan Bong Siu) yang maguron di Kutamanggu Karajaan Saunggalah (Kuningan). Selama sakit Ratu Simbar Kencana mengasingkan diri di Gunung Cupu Mandalayu (Desa Cageur - Cipasung - Darma Kuningan) namanya diganti menjadi Nay Lara Amis sebab bau boroknya tercium dari jauh sampai dua tumbak. Tahta Talaga diwakilkan ke Ratu Mayang Karuna, putri  angkatnya Begawan Garasiyang / Ki Abiseka Guru Gantangan, selama sepuluh tahun.

12. Dalam tahun  1338, Ratu Simbar Kancana menikah kedua kalinya ke sang Pandita Adjar Kutamanggu; yang sejatinya bernama Raden Kusumahlaya putranya Prabu Ningratkancana dari Karaton Sunda Galuh Madiya atau Kawasen Surawisesa. Sesudah menikah Ratu Simbar Kancana; dinobatkan menjadi penguasa Keradjaan Talaga (1339- 1406). Sandi Atma “ Talaga Ngadaun Ngora” kagelar dalam pesta rajah suya meniko.

Ratu Mayang Karuna putranya Purwayana Kancana Dewa menikah dengan Raden Munding Sari Ageung putranya Prabu Pamanah Rasa alias Prabu Jaya Dewata, putranya Prabu Ningrat Kencana, putranya Prabu Niskala Wastu Dewa dari kerajaan Pajajaran (1239 M); selanjutnya dibawa pindah ke Pajajaran dan tinggal di sisi gunung Gunung Sanggabuana sebelah selatan yang ditata seperti keadaan puri Baruhjaksi diberi nama dusun Talaga (adanya di desa Cibeureum Kacamatan Tanjungsari Bogor Timur).

13. Betara Sokawayana alias Prabu Parunggangsa, putra pertama Ratu Simbar Kencana dan Kusumahlaya, menjadi Narpati Alas Talaga (1406-1456 M).

14. Ratu Talaga Sunyalarang, putranya tunggalnya Betara Sokawayana alias Prabu Parunggangsa  dari isterinya Mayasari putranya Prabu Langlang Bhuana Saunggalah Kuningan menjadi Narpati Talaga (1456-1514 M).

15. Raden Ranggamantri putranya Raden Jaka Puspa alias Prabu Munding Sari Ageung meneruskan Ratu Sunyalarang yang ditikahinya  (1514-1534 M).

16. Raden Ranggamantri  alias Prabu Pucuk Umun putranya Prabu  Mundingsari Ageng dengan Ratu Talaga Ratu Sunyalarang diislamkan oleh uwaknya yaitu Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dalam tahun 1469 Masehi (pamekaran dakwah ajaran Islam ke raja-raja Sunda - Galuh di wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Gelar Prabu Pucuk Umun (pemingpin Hindu yang Utama) diganti memjadi  Sunan Pucuk Umum (pemimpin baru umat). Islam yang dibawa oleh Pangeran  Walang Sungsang baru merupakan Islam Syahadah belum masuk kepada Islam Syariat dan  Ibadat.  Tata kehidupan di masyarakat masih menganut ajaran Hindu - Budha tetap hidup tidak dirubah.

Pada tahun 1917 diadakan rundingan oleh Para Ulama Talaga mengenai kemusyrikan-kemusyrikan yang dilakukan oleh para peziarah di Situ Sangiang, maka diputuskeun di Sangiang mesti ada makam keturunan Kerajaan Talaga Manggung, agar ritual penyembahan ke situ bisa hilang, maka pilihan diputuskan bahwa kuburan Batara Sokawayana yang berlokasi di Desa Champaga Kecamatan Talaga dialihkan makamnya ke Situ Sangiang. Sidang pertemuan dipimpin oleh para Kiyai Terbuka keturunan Sayed Ibrahim Cipager," Kata Rd. Sastradilaga - Ulama Talaga.

Tahun 1922 jasad Prabu Parunggangsa alias Batara Sokawayana alias Sunan Parung yang masih utuh, akibat pengaruh ajian ilmu Batara Karang yang dipunyai, dan jasadnya dialihkan dari Champaga ke Sangiang. Rd. Djayadipradja menjadi saksi wakil keturunan Ratu Laubarangsari, dan mertuanya Rd. Sastradilaga jadi saksi wakil keturunan Pangeran Natadilaga / Sunan Maro, dan banyak  saksi lainya yang waktu itu disaksikan juga oleh 20 orang termasuk   Rd. Acap Kartadilaga menantunya Rd. Natadiputra saksi wakil keturunan Pangeran Dipati Wiranata.

Di tahun 1921 di pinggir Situ Sangiang ada kuburan Islam ditemukan oleh tukang ngala Howe (Penjalin), ditengah-tengah kuburannya ditanami pohon Howe (Penjalin), pohon howenya tidak bisa dipotong dengan golok. Berdasarkan mimpi (wangsit) yang keterima oleh juru kuncinya makam di Sangiang Bapa Uho (1961), ketika mengantar  Esu Sutrisno bin Djoyowinangun (73 tahun) berjiarah ke Sangiang,  itu makam adalah tempat dikburkannya  jasad Raden Ranggamantri, beliau meninggal sesudah berusaha menyelam di situ Sangiang dengan pinggangnya diikat dengan tali yang panjangnya kira-kira seratus depa. 

Berdasarkan cerita Raden Djayadipradja (dongeng sepuh), Raden Ranggamantri ketika menyelam hanya bisa bergantungan satu tumbak dari pucuk pohon bambu bitung yang tumbuh di pekarangan Puri Ageng yang moksa. Sesudah naik  ke  darat beliau ngalemar (makan sirih) lalu bersuci dan  sidakep sinuku tunggal mengheningkan cipta rasa dan karsa menghadap ke situ, tidak lama kemudian kira-kira waktu tunggang gunung (antara pukul 16.00 - 17.00 sore hari), beliau meninggal dan dikuburkan di sana juga serta pohon howe yang melilit dipinggangnya yang dipake untuk menyelam, dan rupanya pohon howe tersebut sirungan (tumbuh) lagi. Ini howe dipakai oleh ahli Maenpo (silat) Ujungan, sebab sangat manjur untuk memukul musuh dan kalau howe kemasukan  roh karuhun katanya bisa berdiri. (Wallohu a’lam).
  

17. Ratu Sunya Larang dari kerajaan Parung Champaga, yang ditikah oleh Raden Ranggamantri, mempunyai anak 6 orang, yaitu :
  1. Prabu Haurkoneng (Ratu Galuh Panyocok) tanggal 3 oleh adanya  Banjir sungai Citanduy kerajaan tenggelam berubah menjadi Rawa Lakbok, (Mp. 1550-1560). Ketika Prabu Haurkoneng menjadi  Narpati di Talaga, kerjajaan Talaga menjadi vatsal Kasultanan Demak namun menjadi bagian dari wilayah Cirebon oleh  Dipati Cirebon berdasarkan perjanjian  Karaton Ciburang (1557 Masehi)
  2. Ariya Kikis alias Sunan Wanaperih (Mp. 1560-1565).
  3. Ariya Tjutjuk alias Dalem Lumaju Agung (Bupati Majaagung).
  4. Pangeran Singalodra alias Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan Umbul Luar).
  5. Dalem Panungtung alias Santoan Patra Djenar (Girilawungan).
  6. Dalem Panaekan alias Siriwati

18. Ariya Kikis alias Sunan Wanaperih (Mp 1560 tug dugi ka 1565), puputrara nem:
  1. Dalem Kulanata (Maja).
  2. Dalem Cageur (Darma Kuningan).
  3. Pangeran Apun Surawijaya (Sunan Lemah Abang).
  4. Ratu Aradeya ditikah oleh Ariya Saringsingan (Lurah Prajurit pilih tanding cucunya Mantri Citrasingha meninggal di Banjaran Girang). 
  5. Ratu Putri Cipager ditikah oleh Sayid Ibrahim bin Syekh Muhyi Pamijahan Tasikmalaya.
  6. Dalem Wangsa Goparana Padaherang Cianjur, yang kemudian hijrah ke Sagala Herang kabupaten Subang, menurunkan para Bupati Cianjur dan Wanayasa.



Generasi 1
Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) beristerikan dengan Ratu Haspari Kancana (isteri ke 10), berputra salah satunya : *)
1. Jaka Puspa atau Prabu Munding Sari Ageung 
*) Catatan : Putra-putri Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) dari istreri Ratu Raja Mantri (Ratu Ratnasih) putranya Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) dan Ratu Nurcahya dari Sumedang Larang,  adalah :
1. Rd. Tenga 
2. Rd. Meumeut atau Rd, Cameut, dari Padma Larang
3. Munding Keleupeung atau Munding Kelemu Wilamantri, dari Padma Larang 
4. Rd. Saken, dari Nyai Ageung 
5. Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Surya Ageung, dari Ratu Bancana 

Generasi 2 
1. Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Wangi (Prabu Jaka Puspa) berristerikan Ratu Putri Mayang Karuna putrinya Purwayana Kancana Dewaberputra :
1.1 Rd. Sonda Sanjaya atau Santa Jaya digelari Sunan Corendra
1.2 Rd. Ranggamantri digelari Sunan Parung atau Sunan Parunggangsa.

Generasi 3
3.1 Raden Ranggamantri (Sunan Parungganggsa) dari isterinya Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung), berputra :  
1.2.1. Prabu Haurkuning, yang merintis Galuh Pangauban Salawe Nagara di Ciamis.
1.2.2. Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang) di Talaga
1.2.3. Dalem Lumaju Agung.
1.2.4. Dalem Panuntun.

Generasi 4
1.2.2. Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang) di Talaga, berputra :
1.2.2.1 Sunan Giri Laya
1.2.2.2 Dalem Cageur Darma 
Dalem Cageur atau biasa disebut Mbah Cageur adalah salah satu tokoh pejuang islam di kuningan. Nama aslinya adalah Eyang Satariah (Satari), beliau juga seaorang abdi dalem kesultanan Cirebon. Mbah Cageur adalah putra Sunan Wanaperih (Majalengka). Beliau bersama pimpinan pasukan nya, Syech Rama Haji Irengan mendapatkan tugas dari Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan Islam di wilayah Kuningan sekaligus menjaga wilayah tsb dari serangan pasukan Galuh Ciamis, makamnya Dalem Cageur Konplek Makam  Cageur Kab. Kuningan.
1.2.2.3. Dalem Kulanata Maja, di Licin Kecamatan Cimalaka Sumedang
1.2.2.4. Apun Surawijaya digelari Sunan Kidul, di Talaga 
1.2.2.5. Ratu Radeya, di Talaga 
1.2.2.6. Ratu Putri (Putri Sunan Wanaperih) x Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim atau Sunan Cipager, di Talaga
1.2.2.7. Pangeran Aria Wangsa Goparana (Sunan Sagalaherang), makambya di Blok Karang Nangka Beurit, Desa Sagalaherang Kaler, Kecamatan Sagalaherang - Subang,

Baca Juga :

Tidak ada komentar