Siapakah Istri-Istrnya Pangeran Rangga Gede?


Siapakah isteri-isterinya Pangeran Rangga Gede? Itulah pertanyaan dari juru kunci makam Pangeran Rangga Gede yang menanyakan kepada saya dan Aria Bayu, ketika berziarah ke makam Pangeran Rangga Gede atau Adipati
 Rangga Gede yang dimakamkan di Jalan Panday, Desa Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Sekatan, yang tidak jauh dari rumah saya di jalan Mayor Abdurahman Sumedang, Waktu itu saya belum mendapat referensi tentang nama isteri-isterinya Pangeran Rangga Gede.


Pasca Prabu Geusan atau Pangeran Angka Wijaya, bentuk pemerintahan Kerajaan berubah menjadi Kabupatian karena pengaruh dari intervensi dan ekspansi Kesulltanan Mataram. Karena Prabu Geusan Ulun mempunyai dua putra mahkota yaitu Pangeran Rangga Gede dan Pangeran Soeriadiwangsa.  


Pangeran Rangga Gede  adalah putra pertama dari Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya dan Ratu Cukang Gedeng Waru, yang memerintah di Canukur, Sukatali - Situraja lalu dipindahkan ke Parumasan, Conggeang.



Pangeran Soeriadiwangsa memerintah di Tegalkalong (beliau putra kedua dari Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya) yang kemudinan diangkat menjadi Senapati di Mataram, karena kepentingan politis kesultanan Sultan Agung Mataram, untuk menguasai wilayah Madura dibawah kekuasaan kesultanan Mataram pada waktu itu. 


Lihat Bekas Ibukota kabupatian dibawah ini ;

Namun pada akhirnya Pangeran Soeriadiwangsa mengalami nasib yang naas karena fitnah dari Bupati Purbalingga. Atau dalam bahasa sindiran karena Burung Beo (dalam artian siloka), sehingga badannya dimutilasi beberapa bagian potongan tubuhnya karena kedigjayaaannya, yang jasadnya dikuburkan di antara tiga tempat yang berbeda  di daerah Lempuyangan Jogja, di Jalan Karasak - Kota Baru, dan di Blunyah Gede Malati Sleman. 

Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji  
1.3 Deman Watang 
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear (Pangeran Bungsu)

Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipakoe

Generasi 3
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)  menikahi dengan Nyimas Sulhalimah, anak ke 6. putranya Santowan Awiloear dan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres), berputra :
1.1.13.1 Rd. Karta Wijaya (Rd. Aria Soeriadiwangsa II), keturunannya ke Banten dan Tanggerang
1.1.13.2 Rd. Mangun Rana (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.3 Rd. Tampang Kil (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah ditikah oleh Pangeran Koesoemadiningrat atau Pgn Koesoema Diningrat, [Keseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976.
1.1.13.5 NR. Moestawiyah yang diperistri oleh Penghulu Legok.
1.1.13.6 NM Mariah atau NM Murda atau NM Gedeng Muda dinikah oleh R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar bupati Galuh III (1636-1678 M), keturunan ada di Pegang oleh keturunan Sumedang dari Gending Sumedang.

Cat : Santowan Awiloear adalah putra Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata, sedangkan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres) adalah salah satu putranya Prabu Surya Kancana Nusiya Mulya (Panembahan Pulosari) dan Nyimas Euis Oo Imahu.


Generasi 4
Raden Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar (1636 - 1678 M) alias R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsa menikahi Nyi Gedeng Muda / Murda / Nyi Mariah salah satu putra-putri Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1, Bupati Sumedang Masa Mataram mp. 1601 – 1625 M), beputra :
1.1.13.6.1 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679)
1.1.13.6.2 Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja / Bupati Galuh ke-5 : Angganaya (1679-1693) 
1.1.13.6.3 NM. Koerawoet 
1.1.13.6.4 NM. Galuh 
1.1.13.6.5 Rd. Angganata II 
1.1.13.6.6 R. Adp. Anggamadja Bupati Imbanagara ke 3

Generasi 5
1.1.13.6.2 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679), berputra : 
1.1.13.6.2.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I 

Generasi 6
Dlm. R. Soetadiwangsa I, berputra :
1.1.13.6.2.1.1 Dlm. R. Tjandrakoesoemah 
1.1.13.6.2.1.2 Dg. Anggapradja 
1.1.13.6.2.1.3 Kjiai Soetapria 
1.1.13.6.2.1.4 Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang 
1.1.13.6.2.1.5 R. Anggapradja 

Generasi 7
Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I
1.1.13.6.2.1.4.2 Rd. Rajinala
1.1.13.6.2.1.4.3 Rd. Abdoel Rachman

Generasi 8
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1.1 Rd. Kapi Ibrahim II 
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin 
1.1.13.6.2.1.4.1.3 Ki Kapioedin 
1.1.13.6.2.1.4.1.4 Ki Noersamid / Noersahid 
1.1.13.6.2.1.4.1.5 Ki Anggawinata 
1.1.13.6.2.1.4.1.6 Rd. Kahfi Ibrahim II 

Generasi 9
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin 

Selanjutnya lihat silsilah keturunan Gending Sumedang dibawah ini :


Lihat Photo-photo  Makam Pangeran Soemadiwangsa (Rangga Gempol) di tiga Lokasi yang berbeda di Daerah Istimewa Jogjakarta dibawah ini :

1. Makam Kaki dan Tangan Pangeran Soeradiwangsa (Dipati Rangga Gempol) di Lempunyangan, Jogjakarta




2. Makam Badan Pangeran Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) 
di Jalan Krasak Kotabaru, Jogjakarta






3. Makam Kepala Pangeran Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) 
Di Blunyah Gede Kota Sleman, Jogjakarta




Kemudian Pangeran Rangga Gede menggantikan kedudukan Pangeran Soeriadiwangsa se Priangan dalam Masa Kesultanan Mataram yang mengantikan Pangeran Soeriadiwangsa dan lokasi Ibukota Pemerintahan kembali ke Talun dengan jabatan Bupati Wedana Se Priangan (1625 - 1633).

Untuk lebih jelasnya baiknya kita jelas mengenai Pangeran Rangga Gede, Pangeran Soeriadiwangsa kita jelaskan berikut ini :

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri ke 2 dan memiliki 3 orang anak salah satunya bernama Soeriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki 12 anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh ke dua putranya diatas. 

Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram - Jawa Tengah dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatarbelakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Soeriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan. 

Setibanya di Mataram beilau menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I, penghargaan lain dari Sultan Agung menjuluki wialayah kekuasaan Sumedang dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus, di kemudian hari dengan lafal setempat nama prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahiangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang). 

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri dibawah pretensi / proteksi Mataram : 
1. Hanya Kesultanan Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten. 
2. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa / Rangga Gempol I). 
3. Seperti halnya Sumedang Larang, Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan. 
4. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran. 
5. Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon. 
6. Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi. 

Catatan :  Kesultanan Banten, Cirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, karena mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu, Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. 

Soeriadiwangsa / Kusumadinata IV / Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede, tidak berapa kemudian beliau mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang MaduraWilayah kekuasaannya dititipkan kepada Rangga Gede karena putra-putranya belum ada yang dewasa. 

Beliau berhasil menaklukkan Sampang Madura namun tidak berapa lama sekembalinya ke Mataram malah beliau dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung akibat fitnah dari Bupati Purbalingga.

Mendengar saudaranya telah dihukum mati. Rangga Gede mengambil-alih dan mempersatukan wilayah titipan dengan wilayah miliknya, berarti Sumedang Larang kembali keluas asalnya, salah satu putra Soeriadiwangsa / Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa (Soerdiwangsa II) menuntut kembali wilayah kekuasaan ayahnya namun tidak ditanggapi, akhirnya ia pergi dan meminta bantuan Sultan Banten. 

Mulailah pemerintahan Pangeran Rangga Gede (Pangeran Kusumadinata III) baik sebagai Bupati Sumedang maupun sebagai Bupati Wadana Prayangan (Priangan) dari tahun 1625 sampai tahun 1633, dibawah pengaruh Mataram dan terdapat berbagai perubahan baik struktur organisasi dan pengenalan nama jabatan antara lain Bupati, Wadana, Kabupaten (dari Ka-Bupati-an), termasuk nama Sumedang Larang menjadi Sumedang saja tanpa Larang, juga berbagai gelar kepangkatan, dalam silsilah dianggap sebagai Bupati Sumedang ke 4. 

Beberapa waktu kemudian terjadilah intervensi Kesultanan Banten akibat pengaruh Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) putra Dipati Aria Soeriadiwangsa  (Rangga Gempol  1) yang ingin memperoleh kembali haknya, beberapa wilayah Sumedang ditaklukan dan dikuasai Banten.  Karena dianggap tidak mampu menghadapi serangan Banten akhirnya Rangga Gede dipecat oleh Sultan Agung dan dipenjarakan di Mataram. 

Jabatan beliau sebagai Bupati Wadana Prayangan dicopot dan diserahkan kepada Dipati Ukur yang memindahkan pusat pemerintahan ke Daerah Ukur (Bandung sekarang) dengan misi pertama mengusir tentara Kesultanan Bamten dari wilayah Priangan. Setelah berhasil mengusir Banten misi kedua adalah menyerang Batavia namun misi kedua ini gagal dan Dipati Ukur tidak berani pulang ke Mataram. Oleh Sultan Agung tindakan Dipati Ukur dianggap desersi dan harus dihukum berat, namun tidak ada yang sanggup menangkap Dipati Ukur yang terkenal gagah berani serta memiliki sisa-sisa pasukan yang kuat. 

Akhirnya Sultan Agung membebaskan Rangga Gede dari hukuman dan memberi tugas menangkap Dipati Ukur hidup atau mati, namun tugas tersebut tidak dapat terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia sewaktu pusat pemerintahannya di Parumasan - Conggeang dan Pangeran Rangga Gede dimakamkan Jalan Panday Desa Regol Wetan Kecamatan Sumedang Sekatan. 

Sedangkan Dipati Ukur sendiri akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup oleh Bahureksa salah satu panglima perang Mataram akibat pengkhianatan beberapa pengikutnya, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana. 

Tidak ada keterangan siapa dan berapa jumlah istri Rangga Gede hanya tercatat beliau memiliki 29 orang anak, oleh karenanya penulis membahasnya dibawah tulisan ini.

Pemerintahan Kabupaten Sumedang selanjutnya dipegang oleh salah seorang putra Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh yang kemudian bergelar Pangeran Rangga Gempol II sebagai Bupati Sumedang ke 5 dari tahun 1633 sampai tahun 1656, dan terjadi lagi pemindahan ibu-kota dari Canukur ke Kampung Sulambitan Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan, berbeda dengan pendahulunya beliau bukan Bupati Wadana sebagai akibat peristiwa Dipati Ukur karena dalam masa awal pemerintahnya terjadi pemecahan wilayah di Prayangan / Priangan oleh Mataram menjadi empat Kabupaten yang sejajar kedudukannya yaitu Kabupaten Parakan Muncang, Bandung, Sukapura dan Sumedang sendiri, berarti wilayah Kabupaten Sumedang menjadi kecil hanya seperempat dari wilayah semasa Prabu Geusan Ulun, maksud pemecahan ini adalah penghargaan terhadap 3 orang bekas pengikut Dipati Ukur yang membelot dan ikut serta dalam operasi pengejaran serta penangkapan Dipati Ukur oleh Bahureksa dan masing-masing diangkat sebagai Bupati juga dalam rangka persiapan penyerangan ke Batavia untuk yang ketiga kalinya, namun tidak terwujud karena Sultan Agung keburu meninggal dunia. 


1. SEKILAS SEJARAH PEMERINTAHAN PADA MASA RANGGA GEDE
Daerah Galuh yang sudah ditaklukan  terlebih  dahulu  oleh  Mataram  pada  tahun  1595. Selanjutnya Sultan Mataram  membagi-bagi  wilayah Priangan, yang dalam sumber-sumber Belanda disebut Westerlanden, menjadi kabupaten-kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang  bupati.  

Untuk  mengawasi  serta  mengkoordinasikan  para bupati  ini,  salah  seorang  bupati  yang  dianggap  terkemuka  atau cukup  berpengaruh  diangkat  menjadi  wedana  bupati.  Wedana bupati  per-tama  adalah  Rangga  Gempol  I  (1620 -1625 M),  yang kedua adalah Dipati Ukur (1625 - 1629 M), dan yang terakhir adalah Pangeran Rangga Gempol II (1641 - 1656 M). 

Setelah yang terakhir  ini,  jabatan  wedana  bupati  dihapuskan  dan  selanjutnya  para bupati  bertanggung  jawab  langsung  kepada  Sultan  Mataram.

Adapun berpindahnya jabatan Wedana Bupati dari Rangga Gempol I (Rd. Aria Soeriadiwangsa) kepada Dipati Ukur, bermula dari perintah Sultan Mataram kepada Rangga Gempol I untuk membantu menaklukkan daerah Sampang, Madura. 

Jabatan sebagai penguasa Sumedang diserahkan kepada kakak tirinya, yaitu Rangga Gede. Oleh karena Rangga Gempol I meninggal, putranya, yaitu  Rd. Kartadjiwa alias Rd. Aria Soeriadiwangsa II, menuntut  haknya atas tahta Sumedang. Rangga Gede menolak  sehingga Rd. Kartadjiwa alias Rd. Aria  Soeriadiwangsa  II  meminta  bantuan  Sultan  Banten untuk merebut  kekuasaan  dengan  janji,  ia  akan  tunduk  kepada Kesultanan Banten. 

Permintaan ini dipenuhi oleh Sultan Banten karena dukungan Sumedang diperlukan dalam menghadapi persaingan dengan Mataram. 

Dipati Rangga Gede ternyata tidak mampu menahan serangan Banten.  Ia  kemudian dipanggil  ke Mataram dan ditahan di sana. Jabatan wedana bupati kemudian diserahkan kepada Dipati Ukur dari Tatar  Ukur karena  ia  menyanggupi membantu  merebut Batavia dari  VOC.  Ternyata  usaha Dipati Ukur  gagal.  Ia  ditangkap  tentara  Mataram  dan dihukum  di Mataram.  Jabatan  Wedana  Bupati  diserahkan kembali  kepada Rangga Gede.  

Untuk  mengembalikan  stabilitas  politik yang terganggu akibat  peristiwa   Dipati  Ukur,  Sultan Mataram melakukan reorganisasi wilayah Priangan antara tahun 1641-1645 M. 

Wilayah  kekuasaan Dipati Ukur yang meliputi Sumedanglarang dahulu, yaitu Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan mungkin Cianjur dibagi menjadi  4  kabupaten  yaitu : Sumedang,  Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung pada tahun  1641 Masehi. 

Daerah Galuh kemudian dipecah-pecah menjadi  Bojonglopang,   Imbanagara,  Utama, Kawasen dan  Banyumas.  Selain  itu, di  Krawang  dibangun koloni-koloni yang penduduknya didatangkan dari Jawa. Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, putranya yaitu Sunan  Amangkurat I meneruskan reorganisasi  wilayah  barat. Daerah itu dibagi menjadi dua belas ajeg yaitu : Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Krawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Galuh), Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.

Kekuasaan  Mataram  atas  Priangan  berakhir  dengan  adanya perjanjian 19-20 Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC. Dalam perjanjian pertama disebutkan bah-wa Mataram  menyerahkan  wilayah  Priangan  Timur  kepada  VOC, sedangkan dalam perjanjian kedua Mataram menyerahkan wila-yah Priangan Tengah dan Priangan Barat kepada VOC. Penyerahan wilayah Priangan kepada VOC dilakukan Mataram sebagai balas  jasa  kepada  VOC  yang  telah  membantu  menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram. 

Pengambil alihan wilayah Priangan  tidak  berlangsung  cepat.  Baru  pada  tanggal  15  Nopember 1684,  Komandan  Jacob Couper.  dan  Kapten Joachurn Michiels menangani daerah Priangan atas  perintah  Gubernur  Jenderal Johannes  Camphuijs. Bupati  pertama yang  mendapat  surat pengangkatan  dari  VOC  adalah  Wangsatanoe  yang  ditetapkan menjadi Bupati Pamanukan pada tanggal 24 Desember 1701.

Pada  tahun  1706  Pangeran Aria Cirebon  diangkat  sebagai pengawas (overseer) bupati-bupati  Priangan, kecuali Krawang dan  Cianjur  yang  sudah  dianggap  termasuk  wilayah  Batavia. Kedudukan  Pangeran  Aria Cirebon dikukuhkan berdasarkan Resolusi 9 Februari 1706. Sebelumnya, Pangeran Sumedang juga mengajukan permohonan untuk menjadi Wedana Bupati. Permohonan ini ditolak karena VOC berpendapat  bahwa  kedudukan para  bupati  Priangan  semuanya  sama  dan  semuanya  mengabdi langsung kepada VOC.

Setelah  Pangeran Aria Cirebon meninggal  tahun  1723,  ternyata tidak diangkat penggantinya. Putra Pangeran Aria Cirebon, Martawijaya,  mencoba  mengajukan permohonan untuk mengisi jabatan  ayahnya, tetapi ditolak karena jabatan wedana  bupati tidaklah untuk diwariskan.


1.1 ISTERI-ISTERINYA PANGERANG RANGGA GEDE
Tidak ada keterangan siapa dan berapa jumlah istri Rangga Gede hanya tercatat beliau memiliki 29 orang anak, oleh karenanya penulis membahasnya. Dalam Buku Silsilah Pangeran Santri tidak tercatat siapa saja istrinya Pangeran Rangga Gede. Pangeran Rangga Gede mempunyai 3 isteri, yaitu :
1. Nyimas Romlah, putrinya Arasuda dari istrinya Nyimas Ngabehi Mertayuda.  
Arasuda adalah putra dari Santowan Cikeruh dari istrinya Nyimas Sari atau Buyut Sedet, makamnya di Kampung Cijambe Legok Paseh Sumedang, sedangkan Nyimas Ngabehi Mertayuda putrinya Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya dari isterinya Ratu Cukang Gedeng Waru atau Nyimas Sari Hatin.
 
2. Nyimas Asidah, adalah putra ke 4 dari Sutra Bandera atau Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Nyi Hatimah.
Sutra Bandera atau Pangeran Sastra Pura Kusumah adalah putra ke 4 dari Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakencana dari Isterinya Oo Imahu atau Harom Muthida, sedangkan Nyi Hatimah adalah adik dari Terong Peot dan Nangganan, putra dari Kusnaedi Kusumah dari Nyi Harsari.
 
Sutra Bandera atau Pangeran Sastra Pura Kusumah menikah dengan nyi Hatimah,mempunyai anak
1. Sutrra Mulut (Eyang Haji Baginda).
2. Mara Suda
3. Rohimat
4. Asidah.
 
Dari Istrinya NM Asidah, Pangeran Rangga Gede berputra salah satunya yaitu Rd.  Bagus Weruh atawa digelari Rangga Gempol 2 (1633 - 1656 M).

3. Nyimas Roro atau Nyimas Kokom Ruhada atau Buyut Lidah, putra dari Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakencana dari isterinya Oo Imahu atau Harom Muthida. Makam Nyimas Roro di Kampung Cijambe Legok Paseh Sumedang).  

Keterangan dibawah ini :
Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakencana (1567-1579), menikah dengan Nyimas Oo Imahu (Harom Muthida), berputra :
- Harim Hotimah, makam di Bogor.
- Sari Atuhu (Buyut Eres), diperisteri oleh Santowan Awiluar (Pangeran Bungsu), putra bungsu dari Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata. Makam NM. Sari Atuhu (Buyut Eres)  di Parugpug Paseh Legok.
- Sastra Pura Kusumah alias Sutra Bandera, menikahi Hatimah putranya Kusnaedi Kusumah dan Harsari. Hatimah adalah adiknya Terong Peot dan Nangganan.  Makamnya Sutra Bandera di Sagara Manik Desa Cipancar Sumedang Selatan.
- Istihilah Kusumah atau Sutra Umbar (Embah Ucing), memperistri nyimas Pamade salah putrinya Prabu Geusan dan Ratu Cukang Gedeng Waru. Makamnya Istihilah Kusumah atau Sutra Umbar di Makam Tajur Cipancar Sumedang Selatan.
- Kokom Ruhada (Buyut Lidah), diperistri menjadi salah salah satu Istri Pangeran Rangga Gede,  makamnya di Kampung Cijambe Legok Paseh Sumedang.
- Suniasih, diperisteri oleh Jaya Perkasa alias Sanghyang Hawu. Makamnya Suniasih di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.





2. KETURUNAN SUMEDANGLARANG MULAI DARI PANGERAN SANTRI HINGGA PUTRA-PUTRINYA PANGERAN RANGGA GEDE
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / 
Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Hadji  
1.3 Demang Watang 
1.4 Santoan Wirakoesoemah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear (Pangeran Bungsu)


Makam Pangeran Santri atau Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemadinata I) dan istrinya NM. Ratu Inten Dewata / NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang)  Di Gunung Ciung Kompleks Pemakaman Pasarean Gede Kecamatan Sumedang Selatan Kab. Sumedang

Generasi ke-2
1.1 Prabu Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur

1.1 Prabu Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong 

1.1 Prabu Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipaku



Makam Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya) di Dayeuh Luhur Sumedang

Generasi ke-3
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV), berputra :
1.1.1.1 Dalem Aria Bandayuda 
1.1.1.2 Dalem Djajoeda  
1.1.1.3 Dalem Wargaita  
1.1.1.4 Dalem Wangsa Subaya
1.1.1.5 Dalem Rangga Gempol II (Koesoemahdinata V)
1.1.1.6 Dalem Loerah 
1.1.1.7 Rd. Singamanggala 
1.1.1.8 Ki Wangsaparamadja  
1.1.1.9 Ki Wiratama 
1.1.1.10 Ki Wangsaparadja  
1.1.1.11 Ki Djasinga  
1.1.1.12 Ki Wangsasabadra  
1.1.1.13 Kiyahi Anggatanoe  
1.1.1.14 Ki Martabaja 
1.1.1.15 NM. Anggadasta 
1.1.1.16 NM. Nataparana 
1.1.1.17 NM. Arjapawenang 
1.1.1.18 NM. Martarana 
1.1.1.19 NM. Djagasatroe 
1.1.1.20 NM. Wargakarti  
1.1.1.21 NM. Bajoen 
1.1.1.22 NM. Wangsapatra  
1.1.1.23 NM. Warga Komara  
1.1.1.24 NM. Joedantaka 
1.1.1.25 NM. Toean Soekadana 
1.1.1.26 NM. Oetama  
1.1.1.27 NM. Kawangsa  
1.1.1.28 NM. Wirakarti 
1.1.1.29 NR. Nalawangsa

2 komentar:

  1. Punten mau tanya : Nyimas Romlah / NM. Romlah itu putri Arasuda atau Santowan Cikeruh? nhn

    BalasHapus