SEJARAH KERAJAAN GALUH (Lanjutan 2)

Antara Galuh, Saunggalah dan Pakuan

Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.

Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M). Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan sebagai “kerajaan kembar” bersama Sunda.

Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa mendirikan panti pendidikan dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi semacam sinkretisasi (pembauran) dalam hal kepercayaan-kemagisan-keagamaan, sebagaimana yang telah terjadi di Jawa Timur. Kebijaksanaan Dharmasiksa ini diperoleh dari arahan para wiku yang mengamalkan keaslian Sunda, berpegang teguh kepada ajaran dharma, dan menjalankan aturan agama (ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuhan Sanghyang Dharma, ngawakan Sanghyang Siksa).

Gejala pemerintahan yang condong ke timur Jawa Barat ini sesungguhnya telah ada sejak masa Prabu Ragasuci (1297-1303). Tatkala naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Guru Darmasiksa), Prabu Ragasuci tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja daerah di wilayah timur (Galuh). Namun, pada masa pemerintahan putranya, Prabu Citraganda, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Sunda.

Yang sebenarnya berhak menggantikan Dharmasiksa adalah Rakeyan Jayadarma, kakak Ragasuci. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka dari Kerajaan Singasari di Jawa Timur karena ia menikah dengan Dyah Singamurti atau Dyah Lembu Tal. Mereka berputrakan Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang lahir di Pakuan, yang kelak pendiri kerajaan besar di Jawa Timur, Majapahit. Akan tetapi, karena Jayadarma wafat dalam usia muda, takhta pun berpindah ke Ragasuci.

Setelah Jayadarma mangkat, Lembu Tal enggan tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, ia bersama putranya, Wijaya, pulang ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran. Kematian Jayadarma mengakibatkan kekosongan takhta karena putra mahkota, Wijaya, memilih tinggal di Jawa Timur. Prabu Dharmasiksa kemudian menunjuk cucunya, yakni putra kedua Prabu Ragasuci, bernama Citraganda, sebagai ahli waris Kerajaan. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, putri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana istri Kertanegara Raja Singasari. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya.

Mengenai Ragasuci ini, yang oleh Kropak 632 disebut sebagai Sang Lumah ing Taman (Yang dikebumikan di Taman, tak jauh dari Winduraja), ada kemungkinan ia memiliki saudara lain, tepatnya kakak perempuan. Hal ini dapat dilacak melalui Prasasti Gegerhanjuang yang terletak di Singaparna, Tasikmalaya, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1033 Saka (1111 M). Disebutkan pada prasasti tersebut adanya kegiatan panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembuatan Kabuyutan Linggawangi yang merupakan lokasi ditemukannya prasasti bersangkutan. Panyusukan ini dilakukan atas perintah Batari Hyang, yang merujuk kepada seorang wanita (batari, bukan batara) yang setidaknya memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat. Tokoh Batari Hyang ini kemungkinan besar yang ditunjuk untuk mengurusi Kabuyutan Linggawangi, yang memang terdapat dalam wilayah Gunung Galunggung. Dengan begitu, sangat mungkin bahwa Batari Hyang ini adalah kakak perempuan Sang Lumah ing Taman (Rajasuci), dan ia melakukan upacara sakral dalam merestui/menyambut penobatan adiknya menjadi raja di Saunggalah.

Setelah Prabu Darmasiksa mangkat, untuk sementara Citraganda menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya, Ragasuci, di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311 M, Citraganda lalu menjadi Raja Sunda di Pakuan. Setelah wafat ia dipusarakan di Tanjung.

Baca Juga :

Tidak ada komentar