Tanggapan Prabu Geusan Ulun (Cerita Rakyat)

Prabu Geusan Ulun (Cerita Rakyat) 

Kenging : Perdana Wahyu Santosa

Pada jaman dahulu di Sumedang berdiri sebuah kerajaan yang besar sekali yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang artinya Suka Madangan (menerangi). Rajanya bernama Prabu Geusan Ulun. Adapun arti "Geusan" ialah tempat dan "Ulun" artinya orang yang dapat dimintai pertolongan. Jadi, Prabu Geusan Ulun itu ialah seorang raja, tempat rakyat meminta pertolongan kepadanya, tempat rakyat berlindung dari segala marabahaya. Demikianlah, sesuai dengan namanya Prabu Geusan Ulun adalah seorang raja yang adil, sangat mencintai rakyatnya, bersungguh-sungguh dalam mengolah negara, dan lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyatnya daripada kepentingan dirinya sendiri.

Prabu Geusan Ulun itu sebetulnya masih keturunan Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Prabu Geusan Ulun adalah putra Pangeran Santri dari Ratu Pucuk Umum, sedangkan Ratu Pucuk Urnum itu adalah putri Sunan Corenda dari Ratu Nyi Mas Patuakan. Adapun Sunan Corenda adalah putra Guru Gantangan dan Guru Gantangan itu putra Prabu Siliwangi. Jadi, dengan demikian, Prabu Geusan Ulun itu dapat dikatakan keturunan keempat dari Prabu Siliwangi.

Siliwangi - Guru Gantangan -Sunan Corenda - Ratu Pucuk Umum - Geusan Ulun

Kerajaan Sumedang Larang terletak sebelah selatan berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sebelah timur laut berbatasan dengan Kerajaan Cirebon, dan sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Pajajaran. Ibu kotanya bernama Kutamaya, yang dikelilingi oleh gunung, di sebelah utara, berdiri tegak Gunung Gede (Gunung Tampomas) laksana seorang perajurit yang sedang menjaga negara, diapit oleh dua buah bukit, dan dilalui oleh Sungai Cipeles yang mengalir tepat di tengah - tengahnya.

Bertepatan dengan waktu Prabu Geusan Ulun akan dinobatkan menjadi Raja Anom menggantikan ayahanda Pangeran Santri, datanglah empat orang utusan dari Pajajaran. Keempat orang utusan itu ialah Embah Jaya Perkosa atau Embah Sayang Hawu, Embah Nanganan atau Embah Batara Wiyati Wiradijaya, Embah Sangiang Kondang Hapa, dan Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot.

Adapun maksud keempat orang utusan itu ialah untuk menyerahkan Negara Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun, sebab Raja Pajajaran mendapat wangsit dari Dewa Sangiang Agung bahwa Negara Pajajaran akan dikuasai oleh agama baru. Setiba di Sume¬dang Larang Embah Jaya Perkosa, sebagai ketua utusan berkata kepada Pangeran Santri.

"Paduka yang mulia! Hamba rnenyerahkan jiwa raga hamba, hamba mohon maaf atas segala kesalahan hamba bahwasanya kedatangan hamba ini tidak hamba beritahukan lebih dahulu ke¬pada Paduka. Adapun hamba sekalian ini membawa titah Baginda Prabu Pajajaran."

Mendengar berita dari utusan itu Pangeran Santri bersabda.

"Saudaraku, janganlah ragu-ragu! Dengan lega hati aku menerima kalian. Aku bersyukur, kita dapat bertemu muka. Silakan seka¬rang ceritakan titah apa gerangan yang kalian bawa?"

Segeralah Embah Jaya Perkosa menjawab.

"Paduka yang mulia, Prabu Pajajaran menitipkan negara ke¬pada Prabu Geusan Ulun, putra paduka, sebab telah tiba saatnya Negara Pajajaran akan hilang. Adapun orang yang dipercaya mengolah negara tidak ada lagi kecuali keturunan Prabu Pajajaran yang tinggal di Sumedang Larang ialah Prabu Geusan Ulun. Karena itu, mohon putra Paduka menerimanya. Demikianlah titah Baginda Prabu Pajajaran."

"Tidak jauh dari dugaan. Betul, sudah tiba saatnya. Sebenarnya waktu ini aku sedang menobatkan anakku menjadi Raja Anom Sumedang Larang dan kebetulan kalian membawa amanat dari Prabu Pajajaran. Karena itu, lebih baik kalian jangan pulang ke Pajajaran, tinggallah di sini membantu Raja Anom dan kalian akan dijadikan sesepuh negara," titah Pangeran Santri.

Kemudian diadakan pesta penobatan Prabu Geusan Ulun. Seluruh rakyat Sumedang Larang menyaksikan Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Raja Anom Sumedang Larang, yang sekarang daerahnya ditambah dengan Pajajaran sehingga batas di sebelah barat sepanjang Sungai C'tsadane, di sebelah timur batasnya Cipamali, di sebelah utara batasnya Laut Jawa, dan di sebelah selatan Laut Kidul. Pada waktu penobatan itu Prabu Geusan Ulun menge-nakan mahkota Kerajaan Siliwangi yang dibawa oleh keempat utusan. Demikian pula keempat utusan itu diangkat menjadi patih oleh Raja Anom, agar membantu mengolah negara karena terkenal akan keberaniannya da lam menghadapi musuh, mahir dalam silat, memanah dan menombak.

Demi menegakkan negara dan menunaikan seruan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam, Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak untuk menuntut ilmu agama Islam. Setelah berunding dengan para penggawa, baginda berangkat diiringkan oleh keempat pembantunya.

Ketika mesantren di Demak, Prabu Geusan Ulun adalah santri yang terpandai. Kepandaiannya tidak ada yang menandinginya. Demikian pula keempat pembantunya selang-selang dari menjaga baginda, mereka ikut juga belajar ilmu agama sehingga mereka tidak saja mahir dalam ilmu perang, tetapi juga mahir dalam ilmu agama serta taat dalam menjalankan ibadah.

Berita kepandaian dan kecerdasan Prabu Geusan Ulun itu sam-pai juga ke Cirebon sehingga Pangeran Cirebon mengutus peng-gawanya ke Demak agar Prabu Geusan Ulun sebelum pulang ke Sumedang Larang singgah dulu di Cirebon untuk bertukar pikiran tentang ilmu agama.

Karena sangat pandai dan cerdas tak sampai dua tahun Prabu Geusan Ulun sudah selesai belajarnya, bahkan ilmunya menyamai gurunya. Sebelum pulang Prabu Geusan Ulun singgah dulu di Cire¬bon.

Al kisah, Prabu Geusan Ulun sudah berada di Cirebon. Ketika baginda memasuki pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung, keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah. Pangeran Girilaya bersabda kepada para penggawa, "Agaknya Raja Sumedang Larang ini bukanlah semba-rang raja, melainkan raja keramat sebab berbeda dengan raja lain. Keningnya yang bercahaya itu menandakan seorang raja yang unggul penuh dengan ilmu dan kesaktian."

Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisyuri Pangeran Girilaya menyajikan santapan. Ketika permaisyuri melihat Prabu Geusan Ulun, permaisyuri itu terpukau oleh ketampanan Prabu Geusan Ulun, jantungnya berdebar-debar, tangannya bergetar, air dalam cawan yang dipegang-nya bergoyang - goyang sehingga tumpah. Melihat kejadian itu Prabu Geusan Ulun hanya tersenyum simpul dan mengucapkan terima kasih atas hidangannya, selanjutnya meneruskan percaka-pannya dengan Pangeran Girilaya, Permaisyuri Pangeran Girilaya, yang bernama Ratu Harisbaya. agaknya sejak saat itu jatuh hati kepada Pangeran Geusan Ulun.

Pada suatu waktu Pangeran Girilaya mengadakan jamuan. Kebiasaan waktu itu sebelum jamuan dimulai, para tamu ditetesi minyak wangi lebih dulu untuk merapatkan persaudaraan. Ketika itu yang meneteskan minyak wangi ialah Ratu Harisbaya, Pada waktu giliran sampai pada Pangeran Geusan Ulun, Ratu Harisbaya men-cubitnya sehingga Pangeran Geusan Ulun menahan diri agar jangan sampai terlihat oleh Pangeran Girilaya . Akan tetapi, hal itu diketahui oleh keempat pengawal Prabu Geusan Ulun yang merasa khawatir takut diketahui juga oleh Pangeran Girilaya.

Perbuatan semacam itu bukan hanya sekali dua kali, melainkan setiap Prabu Geusan Ulun akan bersantap selalu mendapat cubitan. Oleh karehajtu, demi tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Prabu Geusan Ulun berkata kepada Pangeran Girilaya bahwa baginda tidak akan bermalam di keraton, tetapi di mesjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Oleh Pangeran Girilaya permintaannya itu diizinkan.

Sebetulnya, Prabu Geusan Ulun bukannya tidak tertarik oleh kecantikan Ratu Harisbaya, melainkan perbuatan itu bertentangan dengan kepribadiannya. Prabu Geusan Ulun selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan bersikap tenggang rasa. Oleh karena itu, perbuatan Ratu Harisbaya dianggapnya hanya sebagai rintangan atau godaan yang akan menjatuhkan dirinya, negara, dan rakyatnya.

Pada suatu malam, ketika Prabu Geusan Ulun tidur di mesjid, tengah malam terdengar bunyi langkah orang yang mendekati ba¬ginda. Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan, pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat. Segeralah baginda memanggil keempat pengiringnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan bunuh diri jika tidak terlaksana. Prabu Geusan Ulun sangat bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu sebab dihadapi berbahaya, tak dihadapi pun berbahaya, bagai makan buah malakama, dimakan mati ibu, tak dimakan mati bapak. Tidak lama, Embah Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun.

"Paduka yang mulia! Ratu Harisbaya lebih baik kita bawa saja ke Sumedang Larang sebab kita bawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan. Kita tetap akan dituduh berbuat tidak baik sebab Ratu Harisbaya meninggalkan suaminya pergi ke sini tengah ma¬lam."

"Ya, kalau kalian bertanggung jawab, sanggup menahan serangan tentara Cirebon, apa boleh buat Ratu Harisbaya akan kami bawa ke Sumedang Larang", titah Prabu Geusan Ulun.

"Paduka, hal itu serahkan saja kepada kami," jawab Embah Jaya Perkosa dan ketiga pengiringnya yang lain juga mengangguk-kan kepalanya tanda setuju.

Malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada Pangeran Girilaya.

Keesokan harinya di karaton Cirebon gempar bahwa Ratu Ha¬risbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya. Dicarinya ke mes¬jid, temyata tamu pun sudah tidak ada. Tidak ayal lagi tentu Putri Harisbaya dicuri oleh Prabu Geusan Ulun. Demikianlah dugaan orang - orang yang mencarinya.

Segeralah Pangeran Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu Harisbaya. Tempat itu kemudian disebut Darmawangi. Pasukan tentara Cirebon bersiap - siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun. Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan pasukan tentara Cirebon. Dalam pertempuran itu keempat pengiring ada di pihak yang unggul. Pasukan tentara Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkosa sehingga lari tunggang langgang.

Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda Prabu Geusan Ulun tidak beranidekat-dekatapalagi memegang tangannya sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh Pangeran Girilaya.

Pada suatu hari Ratu Harisbaya melihat pedagang peda (sejenis ikan asin). Karena Ratu Harisbaya terkenang waktu di Cirebon akan peda maka dibelinya. Sesudah beliau membeli peda, pedagang itu bergegas - gegas pulang ke Cirebon. Ternyata pedagang ilu adalah utusan dari Cirebon untuk menyelidiki Ratu Harisbaya.

Setiga Ratu Harisbaya di keraton diceritakannya kepada Prabu Geusan Ulun bahwa telah dibelinya peda dari seorang pedagang. Begindaterkejuttentu pedagang itu mata- mata dari Cirebon sebab di Sumedang Larang tidak ada pedagang peda. Segeralah baginda memerintahkan Embah Jaya Perkosa menangkap pedagang peda. Pedagang itu tertangkap oleh Embah Jaya Perkosa dan dibunuh-nya. Mayatnya diselipkan pada pohon gedang. Sampai sekarang tempat itu disebut Selagedang, di daerah Situraja. Demikian pula, waktu pedagang itu menumpahkan pedanya di suatu tempat karena berat dan tergesa -gesa pulang ke Cirebon, sekarang tempat itu disebut Pasir Peda, dekat kampung Serang.

Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh Embah Jaya Perkosa bahwa tentara Cirebon akan menyerang Sumedang Larang. Berita itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirun-dingkan. Dalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon sebe-lum menyerang harus dihadang di perbatasan jangan sampai Sume¬dang Larang dijadikan medan pertempuran. Embah Jaya perkosa ber-kata kepada Prabu Geusan Ulun, "Paduka yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh.

Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi) di sudut alun - alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang, tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang."

Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkosa segera mena¬namkan pohon hanjuang di sudut alun - alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja. Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya. Sesampainya di perbatasan, betul juga bahwa tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang. Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung. Terjadilah perang yang seru sekali. Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkosa meng-amukditengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik. Mayat bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya sehingga beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang - langgang. Tentara Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih. Embah Jaya Perkosa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus lari mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya.

Setelah sekian lamanya embah Jaya Perkosa tidak kelihatan kembali, sedangkan ketiga temannya sudah merasa kesal menunggu. Karena tidak kunjung datang saja, ketiga, temannya pulang ke Sumedang Larang akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Per¬kosa kepada Prabu Geusan Ulun.

Setiba di keraton mereka bertiga ditanya oleh Prabu Geusan Ulun.

"Hai, mana Embah Jaya Perkosa, tidak kelihatan?" "Paduka yang mulia, hamba tidak tahu. Ketika musuh sudah habis, kami bertiga menunggu Embah Jaya Perkosa yang sedang mengejar musuh yang masih hidup, tetapi dia tak kunjung kembali, entah pergi ke mana," kata Embah Nanganan.

Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, baginda mondar-mandir tidak karuan, bagai ayam lepas bertaji kehi-langan tulang punggung Sumedang Larang, andalan Kutamaya. Akhirnya dengan suara gugup tanpa melihat pohon hanjuang di sudut alun-alun, baginda memerintahkan agar semua rakyat yang mau mengabdi kepada baginda segera meninggalkan Sumedang Larang. Mendengar titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa saja yang dapat dibawanya. Waktu itu sebagian rakyat sedang bergotong-royong mendandani pasar, sedang memperbaiki pasar. Rakyat yang sedang bergotong royong itu melihat rajanya berangkat diiringkan oleh barisan rakyat yang panjang sekali, mereka pun ikut berangkat tidak peduli kepada pasar yang sedang didandani, semua bahan dan perkakas untuk pasar ditinggalkan. sampai sekarang tempat itu disebut Kampung Darangdan.

Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di Batugara. Disana permaisyuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru, sakit keras sampai wafatnya. Karena Batugara tidak cocok untuk keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat melihat pemandangan ke mana - mana. Sesudah beristirahat, lereng gunung itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur.

Syahdan, Embah Jaya Perkosa yang mengejar - ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke medan perang semula, tempat ketiga temannya menunggu. Ketika tiba di sana ketiga teman-nya tidak ada, dicarinya ke mana - mana tidak dijumpainya, kemu¬dian dia berteriak sekeras-kerasnya, "Nanganaan! Kondaaang! Buanaaa! di mana kalian!"

Dengan marah Embah Jaya Perkosa lari sekuat tenaga, cepat bagai anak panah yang dilepaskan menuju Kutamaya. Setiba di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Dengan demikian dia bertambah marah. Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi, seketika itu juga dia sudah berdiri, sudah "ngadeg" di lereng gunung itu. Gunung itu sekarang disebut Gunung Pangadegan. Tidak lama Embah Jaya Perkosa sudah ber-hadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian berkata.

"Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah Gusti percaya kepada hamba?"

Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara perlahan - lahan.

"Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana - mana dan musuh pun dari jauh sudah terlihat".

"Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?".

"Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa."

"Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas?"

"Dari Embah Nanganan."

Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkosa menjadi - jadilah marahnya. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu embah Kondang Hapa dan EmbahBatara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung. Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang pendu-duk Citengah masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuh-nya di daerah Cibungur.

Konon, setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahan-nya, Embah Jaya Perkosa mengucapkan kata - kata, "Kalau ada keturunan di Kutamaya sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali - kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa)"

Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkosa terus ke Gunung Renngganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghiang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkosa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. 


Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
=============
(Sumber: Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)

Tanggapan :
Erwin Rudiyanto :
Maaf kang cerita diatas tidak benar, nanti saya kan buatkan cerita yang utuh tentang perang cirebon-sumedang larang. Sekarang saya lagi susun cerita lengkap temtang Galeuh Pakuan Pajajaran secara lengkap mulai dari Prabu Tajimalela sampai akhiir dalam bahsa Sunda (menurut versi karuhun)

Lucky Hendrawan :
Sampurasun...! Nuhun mani kersaan ngutip buku ti Depdikbud...Kang Wahyu heu..heu..heu...abdi gaduh paningal anu rada benten yeuh, tapi keun waenya...da namina oge kokoreh di nu poek...wajar we pami urang-urang pating ti dagor barenjol. Kieu anu saterang abdi mah:

Kajantenan ieu kinten abad ka 14.
1). "Sumedanglarang" teh nyaeta sesebutan keur Pulo Jawa waktu harita, ngagantikeun ngaran "Medangkamulan" (Medang Kamuliaan). Pang na diganti sabab geus cacad hukum gara-gara para raja Nusantara parasea di Bogor tug nepi ka perangna. Laju, Maharaja Nusantara (Rakean Wastukancana/Prabhu Silihwangi I) turun tangan ngeureunkeun eta peperangan. Ti harita Rakean Wastukancana ngagentos Medangkamulan jadi "Sumedanglarang" (Su = Bener, Medang = Daerah anu makmur, Larang= Gede/Lega).

Di beda jaman nyaeta abad ka 16 :
2). "Geusan Ulun" nyaeta ledekan/sindiran ti Pangeran Jaya Perkasa salaku raja Sumedanglarang ka anakna Sultan Trenggana (Terong Peot). Kalimat komplitna nyaeta "GEUSAN ULUN KUMAWULA KA PAJAJARAN" anu hartina mah "Penghianat" (hianat ka Pajajaran), sabab Pangeran Jaya Ningrat (Maharaja Nusantara) nuju di gempur di Talaga.

3). Pangeran Jaya Perkasa anu sah jadi raja Sumedanglarang (P. Jawa), oge mangku jabatan jadi Mahapatih Kamaharajaan Nusantara Pajajaran Nagara,...janten sanes patih Sumedanglarang. Anu mawi darajatna langkung luhur ti 'Geusan Ulun'. Harita Jaya Perkasa ditugaskeun nahan gempuran tentara Portugis di pantai utara (tebih ti Sumedang mah) maka karajaan kosong terus dipasrahkeun ka 'Geusan Ulun'.

4). Kamaharajaan Nusantara harita disebut Pajajaran Nagara, anu jadi Maharajana nyaeta Pangeran Jaya Ningrat, gelarna "Sultan Agung Hanyakrakusumah Sayyidin Panatagama" (Sunan Gunung Jati...anu asli, punten...sanes anu di Cirebon ayeuna).

5). Aya tilu tokoh anu ngalakon bumela ka Ibu Pertiwi diwaktos runtagna Kamaharajaan Nusantara di Talaga nyaeta :
1. Pangeran Jaya Ningrat = Maharaja Nusantara Pajajaran Nagara (Prb. Siliwangi ka VII) ... Sunan Gunung Jati.
2. Pangeran Jaya Nagara = Duta Pajajaran Nagara / Perdana Mentri? / Wali Nagara (Prb. Siliwangi VIII) ...Sunan Kali Jaga (Kawali - Jaya Nagara).
3. Pangeran Jaya Perkasa = Raja Sumedanglarang - Mahapatih Pajajaran Nagara (Prb. Siliwangi IX).

Nuhun Kang Wahyu...Cag!



Lucky Hendrawan :
Punten.... panjang teuing !

Erwin Rudiyanto :
Maaf kang Lucky, cerita akang bersumber dari mana? Karena banyak sekali menyinggung dan menyimpang dari sejarah yang sebenarnya terutama tentang Mbah Jaya Perkasa dan Prabu Geusun Ulun atau babad Sumedanglarang. Mbah Jaya Perkasa sampai sekarang menghilang dan tidak diketahui dimana makamnya kecuali tongkatnya yang ada di Dayeuh Luhur, Pedangnya di Mesjid Agung Karawang dan Tasbihnya di Medangasem dekat Batu Jaya Karawang. Dan satu hal mbah Jaya Perkasa tidak mempunyai anak alias jomblo dan beliau termasuk salah satu dari 4 Patih Kerajaan Pajajaran yang kemudian disatukan kedalam kerajaan Galeuh Pakuan oleh Prabu Mundiwangi tahun 1579 sehingga bernama Galeuh Pakuan Pajajaran (tanda penyatuan itu dapat dilihat di foto saya/grup Ti Mana Karuhun Urang Sunda yang berupa Giok) dan selanjutnya kerajaan Galeuh Pakuan Pajajaran berubah dan melebur menjadi Kerajaan Sumedang Larang Tandang Nyandang kahayang Terima kasih

Perdana Wahyu Santosa :
Ayo janten rame...he he he Justru eta nu di pilarian supados aya pembenaran di sajarah urang sunda teh. Apan tadi tea, kokoreh di nu poek, jadi ti dagor barenjol...sawios. Intina mah sajarah urang sunda teh kedah dikorehan deui, tur dianalisis sareng dibadamikeun sareng kasepuhan supados langkung nyuksruk kana pitutur....Jrek Nong...Nuhun

Lucky Hendrawan :
Nya...seru tah ari tos kieu mah...tapi sanes kanggo piributeun, engke lainna ngahiji kalah paburencay deui...omat ah!

Kang Erwin leres pisan, pasti bakal seueur anu kasinggung upami masalah Karajaan Sunda dibukakeun sajentre-jentrena...eta sababna salami ieu sok ditarutupan ku para sepuh urang sadaya, aranjeuna pasti sok nyarios "Engke oge bakal kaparanggih ku maraneh!".

Kitu oge perkawis asa nyimpang tina sajarah, anu kedah diwaspadaan ku urang sadaya:
1. Siloka anu nyumput dina handeuleum jeung hanjuang.
2. Kasampak Gagak ngelak dina tutunggul (+ kalakay).
3. Ujian ka urang sadaya, adegan dina batu satangtung.
4. Catetan sejarah anu ditulis ku Barat jeung bangsa ... (mangga di bongkar deui UGA Siliwangi wangsit ti Maharaja Nusantara - Pajajaran Nagara keur somahna anu satia ka anjeuna. Omat saha wae anu kokoreh sing wening hate, sing surti kana wawangi sajati, satia ka Karuhun Bangsa).

Dasarna uji kayakinan keur urang sadaya nyaeta:
1. Moal aya Raja Nusantara (nu sajati) ngalih pamadegan/kayakinan atawa ninggalkeun ajaran para karuhun jeung Ra-Buyut na...pan konsep ajaranna oge SILIHWANGI. (Tilem = ti lemah cai, keur lemah cai, ka lemah cai)
2. Ayana unsur politik keur ngaruntagkeun kayakinan bangsa SUNDA (Indonesia) sangkan parasea nepi ka leungiteun/pareum obor.
3. Ayana pihak ka 2 jeung ka 3 anu ngacak-ngacak sajarah urang sadaya.

Perkawis catetan sajarah mah Kang Erwin (punten sewu dihapunten) :
1. Nyampak aya di Alam nu mangrupa ngaran-ngaran (gunung, walungan, danau, laut, tatangkalan dsb.)
2. Aya dina cacaritaan (cocoretan) anu nyampak dina kahirupan urang sadidinten.
3. Aya dina pupuh jeung dongeng (kisah).
4. Aya dina babasaan jeung sesebutan.
5. Aya dina guguritan, jst.

Saur para sepuh urang sadaya: "Yen maraneh kudu bisa nepi ka CEKENG (ceuk aing) lain ceuk batur komo ceuk ceunah! Sabab, ieu nagara maraneh, bangsa maraneh, sajarah kolot maraneh...omat ulah nepi kabuyutan karebut ku bangsa deungeun, amun nepi karebut maka darajat maraneh leuwih hina batan kulit Lasun di jarian...!" kitu sanggem aranjeuna.

Salam Asah-Asih-Asuh...Cag!



Pujabrata Satria :
Sampurasun Baraya sadayana, Ningal karangan Prabu Geusan Ulun versi Depdikbud nu diserat ku Kang Perdana Wahyu Santosa emang na ge aya nu manyingsal, namung eta mah wajar da namina ge carita rahayat. Ari carita rahayat mah emangna ge loba jalirna kusabab maksadna suukur ngahibur rahayat jeung ulah poekeun teuing kana sajarah sunda nu katelah pabelitna. Teuing ari kanggo kapentingan pulitik mah.


Ari officer Sundapura mah rupina mah para ahli kana naluktik sareng ngulik sarta angeung pisan perhatosanana kana sajarah sunda buhun, babakuna tumali jeung Karajaan Pajajaran atanapi Karajaan Sunda..


Ieu diskusi teh sae pisan kedah teras dilanjutkeun...hayu terus laju jeung analisis jeung pek geura guarkeun sagala ilapad wangsit uga siliwangi teh...ulah kapiheulaan ku bangsa deungeun lain...? Hatur nuhun



Erwin Rudiyanto :
Kalau saya baca komen kang Lucky jadi memang benar belum ada cerita/sejarah Sunda yang memang sebenar-benarnya benar. Karena apa? masing-masing punya sumber dan masing-masing punya alasan.


Sumbernya darimana? Buktinya apa? Tolong dinyatakan? Kalau diceritakan Babad Cirebon-Sumedanglarang versi saya akan terungkap juga satu aib bagi seorang yang sangat dihormati oleh kerajaan Islam di Nusantara ini tetapi saya tidak akan mengungkap itu karena menjaga Perasaan orang yang mengaguminya, menyayanginya dan menghormatinya. Kesimpulannya adalah "TIDAK ADA YANG TAHU KECUALI YANG TAHU"

Lucky Hendrawan :
Sampurasun...! Terima-kasih Kang Erwin, saya sangat setuju mengenai sumber-sumber sejarah yang saling berlainan versi dan kita hanya menerima apa adanya. Saya yakin Kang Erwin juga mengerti dan memahami tentang adanya penyelewengan sejarah di negara kita dan kita saat ini sedang berusaha mencoba meluruskan kembali dengan segala keterbatasan sumber serta pengetahuan yang kita miliki. Tentunya "yang paling benar adalah kebenaran itu sendiri".

Soal sumber sebenarnya sudah ada runtunan yang cukup jelas (walaupun sebagian hanya "tersirat"). Begini Kang Erwin, masalah pokoknya adalah kita tidak mau jujur mengakui bahwa.... (terpaksa cerita harus rada mundur jauh dulu) :

1. Pada mulanya Kerajaan Samudra Pasai (abad 14) jatuh hingga gelar DATUK diganti menjadi SULTAN (kisah masuknya Laksamana Laut BONG SWI HO (Sunan Bonang) lewat perairan Selat Malaka, lihat catatan sejarah jatuhnya kerajaan Malaka hingga Aceh disebut SERAMBI MEKAH....lihat juga babad Kesultanan Delhi.

2. Bocornya pertahanan di Aceh (14 M), mengakibatkan jatuhnya kerajaan INDRA GIRI di Padang, dan itulah cikal bakal kehancuran kerajaan SRIWIJAYA di Palembang (sejarah menulisnya bahwa Majapahit menyerang Sriwijaya...itu salah, justru Majapahit membantu Sriwijaya hingga pasukan perang musuh kocar-kacir, akhirnya mereka bersembunyi di P. Bangka dan Belitung untuk mengacaukan jalur urat nadi perairan Jawa dan Sumatera, musuh menjadi perompak sebagai bajak laut).

3. Kejadian diabad 14, serangan GAJAH MADA (Laksamana Laut GAN ENG CU) ke P. Jawa, tercatat 36.000 jung (kapal perang) mendarat di pantai utara Jawa. Setelah gagal menaklukan Hayam Wuruk atas rekomendasi Kaisar Cina yang bersifat politis Gajah Mada malah menjadi Patih di Kahuripan. Ingat, bahwa negara kita akan dijadikan NANYANG (Cina Selatan), ingat sumpah PALAPA? misi
GAJAH MADA mempersatukan Nusantara dengan NANKING artinya di bawah kekuasaan Kekaisaran Cina), maaf ini juga mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung.

4. Jatuhnya wilayah Demak ketangan Laksamana Laut JIN BUN (Raden Patah), hingga jatuhnya kerajaan Majapahit. Maka berdirilah kerajaan Islam di Pulau Jawa. Ribuan penganut ajaran Syi'ah dibantai oleh tentara Suni. (lihat sebab keruntuhan kerajaan-kerajaan Cina oleh bangsa Tar-tar dimasa Temudzin/Jenghis Khan... "khan = ulama". Ia murid paling cerdas dari seorang Imam di Buchara (Imam Bukhara).

5. Raden Patah (Jin Bun) adalah bapak dari Sultan Trenggono (Trenggana). Itu sebabnya kerajaan Sumedanglarang jadi terpisah atau melepaskan diri dari persatuan Kemaharajaan Nusantara Pajajaran Nagara. Jaya Perkosa adalah Mahapatih Pajajaran Nagara yang mengabdi setia kepada Maharaja Nusantara Jaya Ningrat (Prabhu Siliwangi VII). Akhirnya Sumedanglarang jatuh menjadi kerajaan Islam dan Kemaharajaan Pajajaran Nagara yang menganut ajaran para KARUHUN (versi Barat disebut Hindu, dan itu salah...!) akhirnya jatuh di Talaga akibat diserang oleh beberapa kerajaan.

6. Keratuan Cirebon terpecah menjadi dua kubu (Hilir dan Girang)...silahkan dianalisa sebab-sebabnya...begitu juga Kerajaan Banten jatuh hingga kemudian rajanya bergelar SULTAN. Hampir semua raja yang akhirnya bergelar "Sultan" itu menandakan bahwa ia telah "JATUH"...dan (maaf) artinya tidak berpihak kepada PAJAJARAN...(punten pisan...pun paralun ku mawantun bubuka rusiah nu geus lawas ditunda di Handeuleum sieum Hanjuang siang).

8. Sejarah adalah mata-rantai panjang dan besar yang tidak dapat dipisahkan antara kejadian satu dengan yang lainnya, dan kesejarahan Nusantara ibarat puzzle rumit yang perlu ketelitian dalam menyusunnya, kadang seperti benar - kadang seperti salah...

Kesimpulan : KITA SULIT MEMPERCAYAI BAHWA "laskar hijau" TELAH MENYERANG IBU PERTIWI sejak tahun 1200 Masehi dan mereka tidak pernah masuk lewat PERDAGANGAN melainkan lewat agresi militer dan politik.  KITA JUGA SULIT MENOLAK BAHWA "ajaran laskar hijau" TELAH MERASUK DALAM DIRI KITA BEGITU DALAM (pemikiran dan mentalitas) hingga AKHIRNYA NASIB NEGERI MERAH PUTIH SEPERTI HARI INI.

Semoga tidak ada yang tersinggung, dan jika ada... saya PUTRA GALEUH PAKUAN PAJAJARAN mohon maaf yang sebesar-besarnya...sebab tidak ada maksud menyinggung siapapun "ngan sa ukur katitipan saur keur anu neang"...sangkan nagara jadi cageur, bageur, bener, dipayungan ku kahormatan para Karuhun nagara anu sajati...

Salam Asah-Asih-Asuh, khususna kanggo Kang Erwin (ulah bendu atuh ah...)

Cag !

(maap...panjang deui wae...Kang Erwin ieu teh gara-gara Kang Wahyu...yeuh...manehna mah ayeuna keur sura-seuri we...biasalah penganut aliran DE VIDE AT IMPERA...!)

Erwin Rudiyanto :
Jadi kesimpulannya yang membuat kita menjadi berpanjang-panjang kata gara-gara politik Devide At Impera-nya Kang Wahyu ...perlu dipupuk tuh ha..ha..ha...ha..ha. Salam sejahtera buat Kang Lucky dan Kang Wahyu

Lucky Hendrawan :
Hehehehehe...enya tah gara-gara si Kang Wahyu...aing mah jadi ka useup euy...! Cag ah urang cukup keun ulah di papanjang deui...ngarah teu lalieureun nu maca na...Salam Hormat!

Perdana Wahyu Santosa :
Sampurasun, Ngiringan deui ah, bari sura seuri urang sunda...ha,,,ha,,,ha, da ciciren urang sunda mah kedah beuki seuri ... ha,,,ha,,,ha. Tos ah..ayeuna mah urang sadayana ngantosan wae nu dijangjikeun ku kang Erwin dimana anjeuna bade geura buru-buru ngaluarkeun buku (kitab) pusakana asli ti Galeuh Pakuan perkawis sajarah Sumedang Larang. Da sateuanacana ge kang Erwin tos badami sareng simkuring ngenaan rancana publikasi eta kitabna. Hatur nuhun, ka para saderek sadulur sareng baraya sunda anu jembar pisan pangartina dina sajarah sunda buhun....ha ha ha (seuri deui ah). Jrek jrek nong...tutup heula lawang sigotama

Yoga Sundana Perkasa :
sampurasun, rame nya...heu hue hue heu.. nambihan pangartos tah nu model kieu teh..

Eka Satari :
Sampurasun..., itu geura ...euleuh euleuh ari si mamang??? Mang Uci, kumaha? cenah ulah jentre-jentre teuing ari mukakeun siloka teh....,gening..? ari ka didieu mah ... kakara nyebut saha-saha anu make pedang ge geus ditegor euy....tapi he..he.. teu nanaon ketang ditegor ge, da rumasa lain anu hak pikeun mukakeun eta, neda di hapunten bae.

SoeDi Wanus :
Kang Erwin kumaha Buku teh tos beres, punten kang sim kuring ge hoyong nalungtik budaya sunda, mintonkeun kerajaan galuh Pakwan secara utuh, hoyongna mah lebih Visual begitu,, kinten2 kedah kamana nya milarian hiji nu tos teu aya tapi bisa di ayakeun (dijejerkeun, atawa di caritakeun).

Erwin Rudiyanto :
Baru dimulai dan dalam tahap penyusunan, nantinya akan disebarluaskan kang soe

Akoer Lah :
Hapunten abdi ngiring ngarewong sanaos tos telat sataun satengah ti postingan ahir. Nataan tiap komentar dina judul ieu, katingal aya "perbedaan persepsi" da meureun benten deui sumber referensina. Komo deui pami ningal judulna ge carita rakyat ngeunaan prabu geusan ulun. Da nu namina carita rakyat teu lebet kana bagian metodologi sajarah, eta mah lebetna kana folklore. Mung abdi kataji kanu dipedar ku kang lucky, duka memang pedah tina kabodoan abdi atanapi kirang kurah-koreh kana sumber-sumber sajarah, sagala hal nu dipedar ku kang lucky boh ngeunaan prabu geusan ulun, eyang jaya perkosa (abdi tulen ti sumedang) atanapi sajarah kerajaan-karajaan jaman kuno (hindu-budha) sareng jaman madya (islam) di Indonesia, kanggo abdi mah asa nembean ngadangu atawa asa “ngalawan arus” dina historiografi sejarah nasional.

Upami ditengetan, sagala nu dipedar ku kang lucky kanggo abdi mah asa pabeulit antawis “sumber, bukti dan fakta sejarah”, kitu deui antara kronologis dan periodisasi sejarahna. Margi dina sejarah sok aya istilah “anomali sejarah” (kerancuan sejarah). Sumber-sumber tertulis sajarah nasional memang seueur pisan, mung teu sadayana “diakui sbg sumber sejarah” margi kirangna data-data sejarah nu valid.

Dina penulisan sajarah (historiografi) aya nu sifatna tradisional & modern (dumasar kana metodologi sejarah : heuristik, verifikasi, interpretasi, historiografi). Tiasa wae sagala nu dipedar ku kang lucky lebetna kana historiografi tradisional. Contona : Kitab Pararaton (Mpu Tantular), Babad Tanah Jawa (Sultan Agung), Serat Wirid Hidayat Jati (Ronggowarsito), Carita Parahyangan, jrrd, teu diaku salaku sumber sajarah margi pacampur sareng hal2 mistis-religius.

Salajengna, konsep sajarah teh aya dua, nyaeta : sejarah sebagai peristiwa (kajadian) & sejarah sebagai kisah (carita). Sajarah salaku kajadian nyaéta kanyataan, aktualitas, tapak, fakta anu sabenerna lumangsung atawa geus lumangsung dina jaman baheula, disebut oge sajarah sarwa obyek. Sedengkeun sajarah salaku carita, nyaéta carita ti gambaran atawa tafsiran manusa kana kajadian nu lumangsung dina jaman baheula, disebut oge sajarah sarwa jejer (subjek).

Memang keur “ngalempengkeun” sajarah mah kedah nunjukkeun naon2 nu pernah kajadian (wiess eigenlicht gewesen). Cicero (filsuf Romawi kantos nyarios : “Priman esse historiae legem ne quid falsi dicere audeat, ne quid veri non audeat” : “Kaidah kahiji dina sajarah nyaeta sieun ngucapkeun kabohongan, kaidah saterusna nyaeta henteu sieun ngucapkeun bebeneran.

Pamungkas Ti simkuring : “…Bumi muntir, jaman robah, atuh kabudayaan urang Sunda oge milu robah, ngindung ka waktu mibapa ka jaman, hususna di widang sajarah tina sawangan sastra (babad, dongeng, carita pantun, carita rayat – pen) sing ngajaul kana sawangan sajarah sacara ilmiah, sangkan sajarah Tatar Sunda henteu terus-terusan poek peteng. Pesek “falsafah, siloka, perlambangna“. Anu heubeul pikeun eunteung (neuleuman sajarah ngan ku sawangan sastra – babad – sasakala – dongeng). Ayeuna garapeun (cing urang sasarengan kokoreh bukti sajarah sacara ilmiah)…..Bral miang sing panjang natar lalakon kasmaran picaritaeun. Prak rumat budaya urang, sangkan ngajega nepi ka jaga“ (Sobarnas : 2).

CAG AH...

Baca Juga :

Tidak ada komentar