Asal Mula Kerajaan Galuh
Asal Mula Galuh
Konon
kabar kata Galuh berasal dari kata Galeuh atau inti. Menurut Yoseph
(2005), dari pengertian tersebut, timbul pergeseran kata menjadi hati,
sebagai inti dari manusia. Dalam pengertian lain, kata Galeuh
disejajarkan dengan Galih, kata halus dari beuli (beli), namun menurut
Purbacaraka mengartikan Galuh sebagai permata. Lain halnya menurut Van
Deur Mulen. Galuh sama artinya dengan yang dipahami dalam bahasa
tagalog, yakni ‘air’. Galuh berasal kata dari Saka lo atau Sagaluh (hal.
96).
Leluhur Raja-raja Galuh
Kisah
Kendan dan Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah
Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan
menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang
prasastinya ditemukan di Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang
hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli
sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama,
yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya
dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita
Parahyangan dianggap data sekunder.
Sejarah
ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam.
Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk
menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan “pamali” – “teu wasa”.
Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan
karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka aib atas
cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya istilah
tabu bukan lagi berasal dari teu wasa, melainkan takut dicemoohkan
sebagai “mamake payung butut”, masalah inilah yang ikut menghambat tutur
tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.
Kisah
karuhun Galuh di dalam kesejarahannya yang pernah menjadi rahasia umum
adalah Mandiminyak dan Tamperan. Cerita Mandiminyak dianggap tidak lazim
karena berhubungan dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakaknya, hingga
melahirkan Bratasenawa. Demikian pula cerita Tamperan yang dianggap aib
setelah berhubungan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah.
Tetapi hukum dan realitas penyusunan sejarah modern memerlukan data
formal. Mungkin alasan ini pula yang berakibat urang sunda tidak
memiliki data sejarah, sehingga dianggapnya kurang bersejarah.
Carita
Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh. Sang Resiguru berputra
Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang
Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi
rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang
Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang
Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandanggreba dan
Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah
Wretikandayun.
Sang
Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerintahannya didaerah
Kendan, ia sekaligus bertindak menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia
digantikan oleh Sang Suralim, putranya yang memerintah di Kendan. Sang
Suralim sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih
dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suralim
tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang
sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat
pemerintahannya.
Sang
Suralim memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang
Kandiawan kemudian di jadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita
Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar
Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya ia tidak
lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalan pemerintahannya di
Medang Jati.
Menurut
buku penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), alasan
Kandiawan menetap di Medang Jati sangat terkait dengan keagamaan. Di
Kendan waktu itu sudah mulai banyak para penyembah Syiwa, sedangkan ia
penyembah Wisnu.
Sang
Kandiawan memiliki 5 orang putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah,
Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit
dicari alasannya adalah mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya
kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita
Parahyangan disebabkan berhasil menombak kebowulan, mungkin maksud
penulis Carita Parahyangan menceritakan adanya sayembara diantara lima
bersaudara tersebut. Namun mengingat penulis Carita Parahyangan sangat
irit mengisahkan suatu masalah, maka ia ditulis demikian.
Hal
yang paling mendekati terhadap masal ini adalah kemungkinan adanya
alasan yang terkait dengan masalah keagamaan. Pemegang kekuasaan dalam
tradisi kendan biasanya dipegang oleh seorang rajaresi. Dari kelima
palaputra Sang Kandiawan yang memenuhi syarat sebagai raja resi hanyalah
Wretikandayun.
Tentang
Keturunan Kandiawan yang diuraikan dalam Cerita
Parahyangan,diterjemaahkan oleh Atja (1968) dengan menggunakan bahasa
sunda ‘Kiwari’, sebagai berikut :
- Enya kieu Carita Parahiyangan teh.
- Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
- Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.
- Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.
- Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
- Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
- Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
- Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.
Menurut Van Deur Meulen, Galuh
berasal kata dari Saka Loh, hanya saja lidah orang Banyumas menyebutnya
Sagaluh. Demikian pula penggunaan kata untuk suatu daerah, yang banyak
menggunakan nama Galuh adalah para penduduk Jawa Tengah bagian barat, seperti
Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbolinggo), Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan
Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Sagaluh (Purwodadi).
[Ibid] Bahkan ada suatu daerah di Jawa Tmur yang bernama Ujung Galuh.
Didalam Babad Banyumas, dijelaskan pula, sebagai berikut :
- Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut - Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai.
-
Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas.
-
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan.
-
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.
Galuh dalam versi
Banyumasan mungkin tidak mengenal eksistensi Karang Kamulyan - Ciamis,
sebagai lokasi Galuh pasca Kendan, sehingga jamannya langsung melompat
ke masa Kawali. Jika saja versi Banyumas digunakan sebagai acuan pokok
maka sejarah Sunda Terusbawa menjadi hilang dan tidak memiliki hubungan
dengan Pajajaran. Dalam hal ini kiranya perlu
mempertimbangkan keberadaan Naskah Pararathon Parahyangan dengan Carita
Parahyangan, kedua naskah itu lebih fokus membincangkan masalah Galuh
(Parahyangan), sehingga runtutan sejarah yang sudah ditemukan dapat
dikaji lebih jauh.
Galuh versi Banyumasan tentunya dapat menunjukan keberadaan tungtung Sunda sebagaimana yang ditulis Bujangga Manik, pada abad ke-16, dan lalampahan Banyak Catra di Kerajaan Pasir Luhur.
Dalam
Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan
sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa
menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan
pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke Karang
kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan
pemerintahan dan kegiatan keagamaan.
Sebagaimana
diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal
Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan
Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada
tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda,
kerajaan penerus Tarumanagara.
Kondisi
Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9) memang sudah kurang
wibawanya dimata raja-raja daerah. Masalah ini terus berlanjut hingga
para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tida
memiliki putra Mahkota, pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni
Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan Tarumanagara.
Tarusbawa
bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman
Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura. Keinginannya
tersebut diwujudkan dengan cara ia memindahkan dan mengubah Tarumanagara
menjadi Sunda, namun ia tidak memperhitungkan akibatnya terhadap negara
bawahannya, yang merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan.
Pada
tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang
menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar.
Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah
timur Citarum berdiri kerajaan Galuh.
Dilihat
dari masa periodenya, Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni
Galuh dapat dibagi menjadi tiga jaman. Pertama Galuh jaman pemerintahan
Sempakwaja – Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak –
Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu
terancam oleh kedua pemerintahan diatas.
Sumber bacaan :
- Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
- Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
- wikipedia.org/Babad_Banyumas, 24 April 2010
Post a Comment