Nyucruk Galur Mapay Laratan Rundayan Kerajaan Sumedanglarang (Kadua)

• KEBUPATIAN SUMEDANG

1. PANGERAN RANGGA GEMPOL I (1620 – 1625)

Setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun pada tahun 1601, Sumedanglarang dibagi dua kerajaan, yang pertama dibawah kepemimpin Pangeran Rangga Gede putra pertama Prabu Geusan Ulun dari Permaisuri Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, yang berkedudukan di Canukur Ganeas dan kerajaan kedua dibawah kepemimpinan Pangeran Suriadiwangsa putera tiri Prabu Geusan Ulun dari Harisbaya dengan kedudukan di Tegal Kalong. Dibagi duanya Sumedanglarang dikarenakan Prabu Geusan Ulun tidak menginginkan terjadinya perselisihan diantara para putranya biarpun Pangeran Suriadiwangsa merupakan anak tiri tetap mendapatkan perlakuan hak yang sama seperti halnya anak kandunngnya, sebenarnya hak kerajaan di tangan Pangeran Suriadiwangsa karena adanya “campur tangan” sang ibu Harisbaya menginginkan tahta untuk putranya, karena rasa kasih sayang Geusan Ulun terhadap putra tirinya maka tahta kerajaan pun dibagi dua.
Akibatnya negeri-negeri bawahan Sumedanglarang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedanglarang secara de facto Merdeka, karena Sumedanglarang sudah lemah secara kekuatan yang terbagi dua sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Rangga Gede dan Suriadiwangsa menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi raja “kedua” Pangeran Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III .
Sejak tahun 1614 Kesultanan Mataram menguatkan eksistensinya di Tatar Sunda, Sultan Agung menyampaikan pretensi kepada VOC bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon berada dibawah kekuasaan Mataram.

Pretensi Mataram ini membuat posisi Sumedanglarang terdesak karena waktu itu Sumedanglarang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan sepeninggalan Prabu Geusan Ulun, setelah berunding dengan saudaranya Pangeran Rangga Gede yang akhirnya Pangeran Aria Suriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedanglarang bergabung menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Sebenarnya bergabungnya Sumedanglarang dibawah Mataram pernah dilakukan pada masa Prabu Geusan Ulun, yang waktu itu karena alasan politis Sumedanglarang bersekutu dengan Mataram karena teracam dapat serangan dari Banten, Cirebon dan VOC. Sedangkan pada masa Pangeran Suriadiwangsa kekuatan Sumedanglarang sudah melemah dan ancaman serangan makin kuat khususnya dari Mataram.

Sejak Sumedanglarang menjadi bagian dari Mataram, wilayah bekas Sumedanglarang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti “tulus ikhlas”. Sebagai penghargaan atas kedatangan dan ketulusan hati Pangeran Suriadiwangsa atas pengakuan kekuasaan Mataram di Jawa Barat, Sultan Agung memberikan gelar kepada Pangeran Suriadiwangsa yaitu Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau lebih dikenal sebagai Rangga Gempol I . Dengan demikian sejak tahun 1620 status Sumedanglarang pun berubah, tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka tapi sebagai Kabupaten yang menjadi bawahan Mataram dan Pangeran Suriadiwangsa bukan sebagai raja lagi tapi sebagai bupati yang membawahi beberapa umbul saja.

Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Suriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Banten dan Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Priangan (1620 – 1625).

Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Pangeran Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan tunduk kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang.

Menurut Rutjatan Sadjarah Sumedang, karena sukses menaklukkan Sampang melalui jalan kekeluargaan, Pangeran Suriadiwangsa merasa bangga dan senang sambil bercanda ia berkata kepada Pangeran Rangga Gede bahwa dirinya sanggup menundukkan Mataram. Konon ucapannya di dengar oleh Raden Wangsanata (Dipati Ukur) yang iri terhadap Pangeran Rangga Gempol, yang akhirnya perkataan Rangga Gempol ini di sampaikan kepada Sultan Agung. Akibatnya Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata di hukum mati, badannya di mutilasi 3 bagian dan dimakamkan di tiga tempat ; makam bagian kepala terletak di makam Pasarean Dalem Banyu Sumurup Yogya Selatan. Makam bagian badan terdapat di Jl. Krasak Kota Yogyakarta, dekat pemandian Umbang Tirto. Sedangkan bagian kaki terletak di Lempuyangan Wangi dekat Stasiun Kareta Api Lempuyangan Yogyakarta.


2. PANGERAN RANGGA GEDE (1625 – 1633)

Setelah perginya Pangeran Soeriadiwangsa ke Mataram pemerintahan diserahkan kepada kakaknya Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633) putra Geusan Ulun dari Nyi Mas Gedeng Waru. Sumedang yang sempat terbagi dua pemerintahan kembali di satukan oleh Pangeran Rangga Gede dengan berkedudukan Ibukota yang baru di Parumasan Paseh sebelah timur Sumedang.

Setelah wafatnya Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satu puteranya yang cikal yaitu Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota bupati sebelumnya, menurutnya yang berhak memimpin Sumedang adalah dirinya akan tetapi Rangga Gede menolaknya karena yang paling hak menerima tahta kebupatian Sumedang adalah dirinya Rangga Gede berhubung ia adalah putera mahkota Prabu Geusan Ulun dari permaisuri sedangkan Pangeran Suriadiwangsa adalah anak tiri Prabu Geusan Ulun dari Harisbaya dan karena kebaikan Prabu Geusan Ulun saja Pangeran Suriadiwangsa diberikan hak yang sama dengan putera kandungnya Pangeran Rangga Gede. Sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, atas permintaan itu Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa. Banten tidak langsung menyerang Sumedang tetapi menyerang daerah-daerah kekuasaan Rangga Gede sebelah utara seperti Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Mengetahui wilayah Mataram dimasuki oleh Banten membuat Sultan Agung marah dan menilai bahwa Pangeran Rangga Gede tidak mampu memegang pemerintahan dan menjaga daerahnya, sebagai hukumnya pangkat Bupati Wedana dari Pangeran Rangga Gede dicopot sedangkan jabatan Bupati Wadana diberikan kepada Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung.

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Setelah wafat Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh dan dimakamkan di Panday Kelurahan Regol Wetan Sumedang Selatan.


3. PANGERAN RANGGA GEMPOL II (1633 – 1656)

Raden Bagus Weruh menggantikan posisi Bupati Sumedang setelah Pangeran Rangga Gede wafat. Setelah menjadi bupati Rd. Bagus Weruh bergelar Pangeran Dipati Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja. Dengan Ibukota yang baru terletak di Tenjolaut Conggeang Sumedang, tidak jauh dari Parumasan Paseh Jabatan Bupati Wadana sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram dihapuskan, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada masa Rangga Gempol II terdapat beberapa kejadian penting berkait dengan pemerintahan dan kewilayahan. Pada masa itu terjadi dua kali reorganisasi pemerintahan. Reorganisasi ini dilakukan berkaitan situasi di Mataram yang mengefektifkan serangan ke Batavia dan penataan kembali Priangan setelah terjadi pemberontakan Dipati Ukur. Tahun 1633 di bekas kerajaan Sumedanglarang dibagi menjadi empat Kabupaten, antara lain : Sumedang, Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat dimakamkan di makam Gunung Puyuh Desa Sukajaya Sumedang Selatan.


4. PANGERAN PANEMBAHAN / PANGERAN RANGGA GEMPOL III (1656 – 1706)

Setelah wafatnya Rangga Gempol II posisi Bupati sumedang digantikan oleh Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) berkedudukan ibukota kembali di Tegal Kalong seperti masa Pangeran Suriadiwangsa, ia adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedanglarang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumadinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan Kusumadinata, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi .
Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.

Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan Kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedanglarang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .

Cita–cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedanglarang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang dengan kekuatan yang lebih besar dibandingkan Banten, akibat penolakan tersebut akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalannya VOC akan diberikan daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC, ini tipu muslihat dari Panembahan mengelabui VOC. Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 (perjanjian Gianti) bagi Pangeran Panembahan berarti bahwa :

1. Kekuatan dan kekuasan Mataram sangat menurun, Mataram sudah tidak mampu menguasai daerah bawahannya bahkan menguasai daerah sendiri Mataram sudah tidak mampu.

2. Yang menguasai daerah antara Citarum dan Cipunagara bukannya Susuhunan Amangkurat I melainkan Pangeran Panembahan sehingga wilayah Sumedang lebih luas, dengan batas meliputi : sebelah selatan Parakan Muncang, utara laut Jawa, barat Sungai Cisadane dan timur Kabupaten Cirebon.

3. Yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang serta memperluas kekuasaan wilayah bagian utara dan selatan.

Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.

Untuk mengembalikan kejayaan masa Sumedanglarang, Pangeran Panembahan kembali merebut daerah-daerah yang dulunya negara bawahan Sumedanglarang. Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian
daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang . Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara.

Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan Muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.

Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota Sumedang, karena Pangeran Panembahan mengetahui kedatangan Banten dan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji.

Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukanakhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong.

Serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten.

Atas keberhasilan Cilikwidara memimpin serangan ke Sumedang oleh Sultan Banten, diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun Angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung dan pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang, setelah enam bulan berada di Sumedang pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu.

Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik kembali antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti pada tahun 1706 sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang.

Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.

Pangeran Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.

Pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati – bupati Sumedang lainnya.


DALEM ADIPATI TANUMAJA (1706 – 1709)

Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh V.O.C. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.

Tumenggung Tanumaja mempunyai sifat tidak jauh dari ayahnya Pangeran Panembahan. Pada tanggal 26 Oktober 1706 Raden Tanumaja menguasai tanah yang dulunya wilayah Parakanmuncang dan Raden Tanumaja menulis surat kepada V.O.C. mengajukan permohonan kepada kompeni agar dirinya tidak dibawah Pangeran Aria Cirebon. Setelah wafatnya Pangeran Aria Cirebon Raden Tanumaja mendapat gelar Adipati.

Pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan pada masa Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota Sumedang yang baru, Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumaja. Setelah wafatnya Raden Tanumaja dimakamkan di Gunung Puyuh.


PANGERAN KARUHUN (1709 – 1744)

Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya.

Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan. Setelah wafat dimakamkan di Makam Pasarean Gede Sumedang.


DALEM ISTRI RADJANINGRAT (1744 – 1759)

Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan.

Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati. Setelah wafat dimakamkan di Makam Pasarean Gede Sumedang.


ADIPATI KUSUMADINATA/DALEM ANOM (1759 – 1761)

Selama sang ibu menjalankan tugas kebupatian, Raden Kusumadinata/Dalem Anom senantiasa mendampinginya. Dalem Anom berperan aktif memajukan kehidupan masyarakat Sumedang, seperti membangun saluran irigasi2, membuka hutan menjadi areal persawahan dan meningkatkan penanaman kopi. Karena jasa-jasanya pemerintah kompeni memberikan penghargaan kepada Kusumadinata berupa bergelar Adipati.

Raden Kusumadinata VIII (1759 – 1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya dua tahun karena keburu wafat. Setelah wafat dimakamkan di Makam Pasarean Gede Sumedang.


ADIPATI SURIANAGARA (1761 – 1765)

Adipati Kusumadinata wafat maka digantikan oleh saudaranya Raden Surianagara setelah menjadi bupati bergelar Adipati Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara mempunyai seorang putra bernama Raden Kusumadinata/Djamu setelah menjadi bupati dikenal sebagai Pangeran Kornel. Setelah wafat dimakamkan di Makam Pasarean Gede Sumedang.


ADIPATI SURIALAGA (1765 – 1773)

Setelah Adipati Surianagara wafat tidak digantikan oleh puteranya Raden Djamu karena masih anak-anak maka digantikan oleh saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773) yang bergelar Adipati Kusumadinata. Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6 orang putera dan puteri, putra sulungnya Raden Ema ketika itu masih berusia 9 tahun. Maka timbullah masalah mengenai penggantian bupati, putera Raden Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati Tanubaya Bupati Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang.

Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati. Setelah wafat Adipati Surialaga dimakamkan di Makam Pasarean Gede Sumedang.


ADIPATI TANUBAYA (1773 – 1775) Bupati Penyelang

Seperti diterangkan diatas bahwa Raden Djamu putera Adipati Surianagara belum menginjak dewasa maka gantinya pamannya Adipati Surialaga, ketika Adipati Surialaga wafat, Raden Djamu masih berusia 11 tahun sedangkan putra Adipati Surialaga Raden Ema 9 tahun. Demikian tidak ada yang dapat mewarisi Kebupatian Sumedang maka pihak kompeni mengangkat Adipati Tanubaya atau dikenal pula sebagai Dalem Adipati Wiratanubaya (1773 – 1775), Bupati dari Parakan Muncang. Pengangkatan Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang dengan syarat jika ia wafat , maka salah satu putra bupati keturunan Sumedang akan mengantikannya. Karena pengangkatan tersebut memungkinkan, memang keadaan tidak mungkin mengangkat bupati dari keturunan Sumedang dikarenakan pengganti dari Sumedang belum menginjak dewasa.
Adipati Tanubaya merupakan keturunan dari Santoan Wirakusumah (Dalem Pagaden) putra keempat dari Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, jadi sebenarnya pengangkatan Adipati Tanubaya oleh kompeni beralasan karena Tanubaya merupakan keturunan Sumedang juga.

Adipati Tanubaya merupakan seorang bupati yang baik dalam melaksanakan tugasnya, ia menyadari bahwa pengangkatannya disertai syarat bahwa jika kelak wafat puteranya tidak dapat mengantikannya akan tetapi waktu Adipati Tanubaya wafat digantikan oleh puteranya Tumenggung Patrakusumah. bukan oleh putera keturunan para bupati Sumedang. Setelah wafat Adipati Tanubaya dimakamkan di Kp. Cibodas Ds. Parakan Muncang Kabupaten Sumedang.


TUMENGGUNG PATRAKUSUMAH (1775 – 1789) Bupati Penyelang.

Pengangkatan Tumenggung Patrakusumah sebagai Bupati Sumedang menggantikan Adipati Tanubaya mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang dan setelah mendapat dukungan Patrakusumah berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Setelah menjadi Bupati Sumedang, Tumenggung Patrakusumah bergelar Adipati Tanubaya II (1755 – 1789).

Mengenai hak para Bupati keturunan Sumedang tidak ada masalah karena waktu Raden Djamu menginjak dewasa dinikahkan dengan puteri Tumenggung Patrakusumah yang bernama Nyi Raden Radja Mira dan dikaruniai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusumah termakan hasutan seorang Demang di Sumedang (Demang Dongkol) yang berambisi untuk mempunyai anaknya yang menjadi Bupati, tetapi maksudnya terhalang oleh Raden Djamu yang menikah dengan puteri Tumenggung Patrakusumah. Sehingga ia menghasut Tumenggung Patrakusumah agar Raden Djamu dibunuh. Raden Djamu yang mendengar niat buruk mertuanya segera meninggalkan Sumedang, meninggalkan anak istrinya (baca bab Pangeran Kornel).

Berhubung dalam masa pemerintahnya melakukan pelanggaran dan niat jahatnya akan membunuh Raden Djamu maka pada tanggal 31 Desember 1789 ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia di Patuakan maka dikenal juga sebagai Dalem Patuakan. Setelah wafat makamnya dipindahkan ke Gunung Puyuh.

Berhubung dalam masa pemerintahnya melakukan pelanggaran dan niat jahatnya akan membunuh Raden Djamu maka pada tanggal 31 Desember 1789 ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia di Patuakan maka dikenal juga sebagai Dalem Patuakan. Setelah wafat makamnya dipindahkan ke Gunung Puyuh.


ARIA SATJAPATI (1789 – 1791) Bupati Penyelang

Sebagai pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden Satjapati (1789 – 1791) keturunan dari Pangeran Rangga Gede, Satjapati yang waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena oleh kompeni dianggap kurang cakap maka diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali.

Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara / Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut di terima oleh kompeni dan Raden Surianagara / Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang. Setelah wafat dimakamkan di Makam Manangga Ds. Manangga Kecamatan Sumedang Selatan Sumedang.


PANGERAN KORNEL/ADIPATI SURIANAGARA III (1791 – 1828).

Raden Djamu setelah mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri dari Sumedang untuk menghidari bahaya Raden Djamu menuju ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya Raden Rangga Wangsadiredja yang menjadi Bupati Limbangan, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman atas saran kakeknya Dalem Surianagara I, Raden Djamu melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar VI. Waktu datang ke Cianjur Raden Djamu tidak langsung ke Kabupatian tetapi tinggal dulu di daerah Kalapanunggal distrik Surawenang dan tinggal dirumah seorang penduduk, ia bekerja sebagai petani Sekali-kali Raden Djamu menemani orang berburu rusa. Pada suatu hari Raden Astra Kometir Kultur kopi dari Cianjur curiga melihat ketangkasan berburu, tingkah laku dan paras muka Raden Djamu, bahwa Raden Djamu bukan orang kampung biasa, setelah ditanya oleh Raden Astra siapa sebenarnya Raden Djamu? Raden Djamu menerangkan bahwa ia merupakan putra keturunan Bupati Sumedang, setelah mengetahui siapa sebenarnya Raden Djamu oleh Raden Astra dibawa untuk menghandap Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar VI. Oleh Adipati, Raden Djamu diterima dengan baik dan dianggap sebagai anaknya sendiri.

Raden Djamu bekerja sebagai pembantu jurutulis di Kabupaten setelah melihat kerajinannya bekerja Raden Djamu diangkat menjadi jurutulis kopi. Adipati Aria Wiratanudatar VI kemudian menikahkan Raden djamu dengan salah seorang keluarganya yaitu Nyi Raden Lenggang Kusuma puteri tiri Raden Rangga Gede Wedana Cikalong, dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong menggantikan mertuanya Raden Rangga Gede yang diangkat menjadi Bupati Bogor. Setelah menjadi Wedana Cikalong Raden Djamu dikenal sebagai Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar VI memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu atau Raden Tumenggung Adipati Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata IX (1791 – 1828).

Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumahdinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.

Pada tanggal 26 November 1811 dibawah pimpinan Demang Mangkupradja dan dibawah pengawas dari Pangeran Kusumahdinata, dimulailah pembobokan gunung cadas untuk pembuatan jalan pos tersebut dalam proses pembuatan jalan tersebut banyak rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumahdinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.

Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumahdinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumahdinata menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasasra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar.

Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumahdinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumahdinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumahdinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel.

Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda/Inggris, Pangeran Kusumahdinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kusumahdinata/Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumahdinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumahdinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas sebagai penghargaan atas jasanya memajukan daerah Sumedang dan turut mengatasi pemberontakan rakyat.

Pada masa Pangeran Kornel Sumedang mengalami banyak kemajuan dalam berbagai bidang, dari segi wilayah Sumedang semakin bertambah pada masa Gubernur Raffles banyak kabupaten-kabupaten yang gagal dalam mengelola pemerintahan, kemudian pemerintahannya dibubarkan dan digabungkan ke Sumedang . Pada tahun 1816 Sumedang meliputi 15 distrik :

1.  Balubur
2.  Tanjungsari.
3.  Depok.
4.  Malandang.
5.  Conggeang
6.  Darmaraja.
7.  Darmawangi
8.  Pawenang
9.  Malangbong
10. Ciawi.
11. Pagerageung.
12. Rajapolah.
13. Indihiang.
14. Cicariang.
15. Singaparna.

Pada tahun 1820 wilayah Sumedang menjadi makin besar setelah Kabupaten Sukapura dihapuskan oleh pemerintah kolonial. Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian–kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.

Pangeran Kusumahdinata/Pangeran Kornel merupakan Bupati Sumedang yang berhasil dalam segala sektor kehidupan masyarakat. Rakyat Sumedang sangat puas atas kepemimpinannya karena beliau sangat mendukung dan mencintai rakyatnya. Pemerintah kolonialpun demikian dalam laporan Komisi Thalman disebutkan bahwa Pangeran Kusumahdinata adalah bupati yang cerdas, pintar dan aktif. Beliau merupakan bupati senior di antara bupati-bupati Priangan dan sering dimintai pertimbangan oleh bupati-bupati lainnya. Ketertiban dan keamanan di Sumedang adalah yang terbaik.

Pangeran Kornel mewakafkan pula tanahnya di daerah condong Cibeureum Tasikmalaya kepada Kyai Nawawi, daerah Condong merupakan bagian distrik Tasikmalaya merupakan bagian dari wilayah Sumedang. Pada abad ke- 18 di atas tanah wakaf itu didirikan Pesantren Riyadul Ulum Waddakwah atau lebih dikenal dengan Pesantren Condong sampai sekarang Pesantren ini masih ada.

Setelah wafat Pangeran Kumusadinata/Pangeran Kornel dimakamkan di Pasarean Gede Kelurahan Kota Kulon Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.


ADIPATI KUSUMAYUDA (1828 – 1833).

Pangeran Kornel digantikan oleh puteranya Adipati Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran Kornel, bupati sering turut bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya melawan para pengacau atau perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda yang tinggi besar oleh karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung. Setelah wafat dimakamkan di Pasarean Gede Sumedang.


ADIPATI KUSUMADINATA/DALEM ALIT (1833 – 1834).

Wafatnya Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh puteranya Raden Somanagara karena menunggu dewasa. Maka putera Adipati Adiwijaya, Adipati Kusumadinata ke-X (1833 - 1834)/Dalem Alit menggantikannya tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat. Setelah wafat dimakamkan di Pasarean Gede Sumedang.


TUMENGGUNG SURIALAGA/DALEM SINDANGRAJA (1834 – 1836).

Sebagai penggantinya sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu menjadi Patih Polisi tetapi tidak berlangsung lama juga baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun. Setelah wafat dimakamkan di Pasarean Gede Sumedang.

Tidak ada komentar

Posting Komentar