Relokasi Situs Dari Tempat Asal Adalah Penghapusan Sejarah

Situs - Jatigede, Pemerintah dan para ahli sejarah/budaya memang lucu bagaimana logikanya Situs Cagar Budaya bisa dipindahkan? Yang telah mereka lakukan adalah membuat Replika Situs Cagar Budaya dengan bahan-bahan material yang ada disana. Pertama-tama yang mereka lakukan adalah merubah pola pikir masyarakat dengan menyebutkan bahwa itu makam padahal sebenarnya itu bukan makam/kuburan yang bisa dipindahkan. Itu adalah Situs Cagar Budaya/Punden Berundak kalau di Jawa disebut Candi, tidak ada yang dikubur disana. Patok batu tunggal adalah simbol bahwa leluhur sudah dari sejak dahulu mempercayai bahwa mereka Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dari Amanah Buyut: “Buyut nu dititipkeun ka Puun Nagara Satelung Puluh Telu (33 Nusa), Bangawan Sawidak Lima (65 Sungai), Pancer Salawe Nagara (25 Nagara). Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirubah, Lojor teu menang dipotong, Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun, Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enya kudu dienyakeun”. Amanah Leluhur Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sempalan Kebonan, Pasir Talunan, Datar Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasareun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun jeung  Basisir Jagaeun”.

Saat ini masih terdapat jejak-jejak Kabuyutan peninggalan Leluhur Nusantara yang masih terjaga keasriannya, sebagai cagar budaya dan spiritual serta warisan peradaban dunia sudah sepatutnya situs-situs kabuyutan tersebut dilestarikan oleh kita semua untuk dapat kita wariskan kepada anak cucu kita nanti.

Istilah situs kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., 1984):

“Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.”

Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata dijumpai pula dalam sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda.
Hasil pengamatan terhadap seluruh situs-situs tersebut, tak kurang dari 20 situs yang memuat istilah kabuyutan dengan makna atau rujukan pengertian yang berbeda. Berdasarkan pengamatan terhadap situs-situs yang memuat istilah tersebut, sedikitnya terdapat 10 arti, makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:

1. Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda.
2. Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah “kabuyutan Majapahit” oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup  pada abad 15-16 M.
3. Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan, gunung, sungai, atau kawasan kerajaan yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun.
4. Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang.
5. Berasal dari kata “buyut”, digunakan untuk menyebut larangan, tabu, atau pantangan  dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy.
6. Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung sampai sebelum periode pesantren.
7. Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu.
8. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahyangan; atau nama suatu jenis penyakit.
9. Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan “Buyut” atau “Dhari” adalah nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut.
10. Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan).

Penggenangan Waduk Jatigede, Sumedang selain warga dan tempat tinggalnya, setidaknya ada beberapa situs kabuyutan Sumedang larang yang telah dipindahkan. Pemindahan Situs kabuyutan tersebut padahal tidak sesuai dengan amanah buyut. Dari situs-situs setelah diverifikasi lebih detil menyisakan 48 situs yang ada.

Situs Tetengger Batu Tunggal di Wilayah Kabuyutan Cipaku, akibat dipindahkan ciri Cipakunya jadi tidak beraturan sebab situs kabuyutan dirobah dengan tidak memakai aturan, oleh karena kurangnya pengetahuan tentang simbol situs.

Akibat lain kurangnya penyuluhan kepada pihak pengurus atau pengurus makam  jadi seenaknya sendiri konstruksi situs kuno dirobah sama kontruksi semen ada yang juga asal-asalan. Selain dirusak yang mengakibatkan susah pelacakan, sudah begitu situs dibuatkan rumah sehingga keasriannya menjadi pudar.
Sebagai Contoh situs-situs dibawah ini : 

1. Situs Marongpong, berupa makam keramat Embah Sutadiangga dan Embah Jayadiningrat, pendiri Kampung Cihideung, yang berlokasi di Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Situs Marongpong yang direlokasi ke Leuwihideung-Darmaraja dirubah dengan penembokan semen permanen. 

2. Situs Keramat Buah Ngariung, makam Embah Wangsapraja, penyebar Islam di Buah Ngariung, yang berlokasi di Kampung Buah Ngariung, Desa Padajaya, Kecamatan Wado, Situs Buah ngariung yang dibangun dengan tembok rumah diatasnya, sehingga keasriannya menjadi pudar.


3. Situs Ciwangi direlokasi ke Cibogo-Darmaraja selain dipindahkan juga ditembok permanen sehingga keasriannya memudar dan kalau dilihat seperti titik pengukuran Geodesi tidak mirip seperti situs atau makam keramat.


4. Situs Deungdeum direlokasi ke Cipaku-Darmaraja dari tempat asalnya.

5. Situs Betok, kompleks makam yang berlokasi di Kampung Betok, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja; Situs Betok direlokasi yang ditembok Permanen.

6. Situs Curug Mas, berupa tiga objek, yaitu pertama, kompleks makam Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklanglarang, penyebar agama Islam dari Kesultanan Mataram dan makam pengikutnya yang bernama Angling Dharma, kedua, air terjun Curug Mas yang diyakini sebagi tempat menyimpan bokor emas, bakakak (ayam dibelah) emas, dan tumpeng emas; dan ketiga, sumur keramatyang dinamai Sumur Bandung. Situs ini berlokasi di Kampung Cadasngampar, DesaSukakersa, Kecamatan Jatigede, Situs Curugmas direlokasi ke Sukakersa-Jatigede
 



7. Situs Sawah Jambe, berupa tiga batu berdiri (menhir) yang terletak di wilayah Kampung Sawah Jambe, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Situs Sawah Jambe ditembok permanen dengan semen seperti titik pengukuran Geodesi saja.


8. Situs Pasir Limus Ditembok Permanen dan diberi Bangunan


9. Situs Pasirleutik Wangsadipa direlokasi ke Cisurat-Wado


10. Situs Gagak Sangkur, berupa makam keramat Raden Aria Sutadinata (berasal dari Banten) yang berlokasi di Kampung Sundulan, Desa Padajaya, Kecamatan Wado; Situs Tangtu Gagak Sangkur di relokasi dan ditembok permanen

11. Situs Keramat Gunung Penuh, berupa makam keramat Tresna Putih, yang berlokasi di Kampung Bantarawi, Desa Padajaya, Kecamatan Wado; Situs Gunung Penuh direlokasi juga

12. Situs Cadasngampar, berupa komplek makam Aki Angkrih, pendatang dari Sumatra yang mendirikan Kampung Cadasngampar, dan makam keluarganya, yaitu makam Aki Angkrih, Nini Angkrih, Aki Kulo, dan Nini Kulo. Situs ini terletak di Dusun Cadasngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede. Situs Cadasngampar direlokasi ke Sukakersa-Jatigede

13. Situs Cibunut direlokasi ke Mekar Asih-Jatigede

14. Situs Ciseuma direlokasi ke Pakualam-Darmaraja

16. Situs Astana Leutik direlokasi ke Pakualam-Darmaraja

17. Situs Lameta, berupa makam keramat Embah Dira dan Embah Toa, pendatang dari Betawi yang membedah aliran Cihaliwung dan Cisadane. Tokoh ini juga diceritakan sebagai orang (tempat lalandong/berobat) Prabu Siliwangi. Situs Lametaberada di pemukiman penduduk Kampung Lameta Desa Leuwihideung, KecamatanDarmaraja; Situs Lamela direlokasi ke Leuwihideung-Darmaraja

Pengertian relokasi itu bukan kawasan yang dipindahkan, site tidak bisa dipindahkan, tapi elemen-elemen situsnya seperti batu atau apa yang menjadi elemen situs tersebut seperti halnya candi cuma bedanya kalau candi dibangun besar kalo situs Cagar Budaya/Punden Berundak kalau di Jawa disebut Candi, tidak ada yang dikubur disana. Patok batu tunggal adalah simbol bahwa leluhur sudah dari sejak dahulu mempercayai bahwa mereka Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seluruhnya terdapat 48 situs di kawasan genangan Waduk Jatigede. Tiga belas yang dipindahkan, tidak termasuk tiga makam tokoh yang dipercaya sebagai cikal bakal pendiri Kerajaan Sumedanglarang.

Penyelamatan Situs Cagar Budaya

Berdasarkan catatan sejarah di daerah rencana waduk jatigede (Darmaraja) pernah ada Kerajaan Tembong Agung (678-721 M). Kerajaan tersebut  adalah merupakan akar sejarah sebagai cikal-bakal Kerajaan Sumedang Larang. Dalam konteks kebudayaan bahwa kerajaan Tembong Agung merupakan terminologi perkermbangan kebudayaan rakyat Sumedang. Pergantian generasi demi generasi mewariskan kebudayaaan baik dalam bentuk fisik maupun nilai.

Kelestarian peninggalan sejarah dan kebudayaan dibingkai oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1992, tentang Perlindungan Cagar Budaya. Di wilayah bakal genangan waduk jatigede terdapat 68 situs benda cagar budaya berupa makam keramat dan artefak, keberadaannya harus diselamatkan dan nilai-nilainya harus dilestarikan. Sejauh ini baru 6 makam yang telah dipindahkan.

Tindakan penyelematan situs cagar budaya harus didasarkan kepada kajian arkeologi dan antropologi. Mengingat hal tersebut di atas, Pemerintah memperhatikan aspirasi rakyat di wilayah rencana waduk Jatigede  karena masalah situs cagar budaya adalah masalah sensitif. Dampak ekstrim pembangunan waduk Jatigede dari perspektif sejarah dan kebudayaaan adalah :

Ø Penghancuran nilai-nilai sejarah;
Ø Menjauhkan generasi sekarang dan mendatang dari akar sejaerah budayanya;
Ø Penghilangan rasa kebanggaan rakyat terhadap jasa-jasa para leluhurnya;
Ø Bentuk mutilasi kebudayaan untuk dikuburkan;
Ø Bentuk pelanggaran Undang-undang N0. 5 Tahun 1992, tentang Perlindungan cagar Budaya;
Ø Bentuk perilaku pemerintah mengajak kepada rakyat untuk melanggar undang-undang yang berlaku;
Ø Berdasarkan disiplin ilmu sejarah (arkeologi) situs makam keramat tokoh-tokoh sejarah tidak bisa dipindahkan, karena situs adalah bidang tanah yang memiliki nilai-nilai subtansi atas peristiwa sejarah.
Mengingat hal tersebut di atas, pemerintah harus segera melakukan tindakan penyelematan situs cagar budaya  dengan memperhatikan :
Ø Penolakan (resistensi) rakyat di wilayah rencana waduk Jatigede termasuk komunitas-komunitas lain merelokasi situs Cipeueut Makam Prabu Guru Adji Putih, Sanghyang Resi, Agung, dan Ratu Ratna Inten Nawang Wulan, sebagai akar sejarah rakyat Sumedang. Situs tersebut harus diselamatkan dengan cara-cara teknologi;
Ø Melakukan studi kelayakan keberedaan situs-situs dengan melibatkan lembaga indevenden atau lembaga profesi yang berkompeten dengan bidang sejarah dan kebudayaan;
Ø Pengadaan tanah/lahan relokasi situs makam keramat harus didasarkan kepada studi kelayakan dan sesuai dengan keinginan rakyat setempat;
Ø Pemindahan situs cagar budaya bukan hanya badan makamnya saja tetapi meliputi area situs atau bidang tanah yang memiliki kaitan subtansial atas nilai di dalamnya;
Ø Pendokumentasian keberadaan situs cagar budaya dibuat jangan asal-asalan, tetapi digarap secara professional karena dokumentasi tersebut merupakan arsip kebudayaan nasional;
Ø Pendokumentasian adat istiadat dan kesenian tradisional yang akan ditenggelamkan oleh  waduk raksasa terbesar kedua di Asia.

Makam-makam kuno ini adalah peninggalan sejarah yang mencerminkan latar belakang sosio budaya masyarakat lama di Kabupaten Sumedang dan nilai makam-makam ini melekat dengan tempat (site) di mana ia berada. 





Baca Juga :

Tidak ada komentar