tag:blogger.com,1999:blog-22847534713055319702024-03-13T17:07:04.238+07:00Cipaku DarmarajaBerita, Sumedang, Sejarah, Kerajan, Naskah, Situs, Ziarah Makam, Wacana dan BahasanUnknownnoreply@blogger.comBlogger778125tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-15305043397289490582024-02-06T12:49:00.003+07:002024-02-06T12:49:37.555+07:00Watu Gilang dan Berakhirnya Masa Kerajaan Pajajaran<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sampurasun</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Mugia Rahayu Sagung Dumadi</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Setelah kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran dan hilang dari peradaban, yakni setelah hancur lebur akibat serangan Kesultanan Banten. Saat itu kerajaan Pajajaran dipimpin oleh raja Ragamulya. Dimana ia merupakan raja terakhir dari kerajaan Pajajaran, yang memerintah sekitar tahun 1567 hingga 1579 Masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Akibat serangan dari Kesultanan Banten itu, akhirnya ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya ke Pulosari, Pandeglang, yakni bukan lagi di ibu kota Pakuan Pajajaran, karena sudah dihancurkan oleh pihak Kesultanan Banten di pase serangan keduanya. Sedangkan raja terakhir dari kerajaan Pajajaran adalah prabu Suryakencana di Banten, dan ia lebih terkenal dengan sebutan Pucuk Umun.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara Watu Gilang atau Palangka Sriman Sriwacana telah diboyong ke Surosowan-Banten oleh Maulana Yusuf, yaitu di pengujung tahun 1526 masehi, akhirnya menjadikan kerajaan Pajajaran resmi berakhir, terlebih saat itu batu tempat penobatan calon raja Pajajaran Watu Gilang telah diboyong dari Pakuan-Pajajaran ke Keraton Surosowan. Setelah batu tersebut diboyong ke Banten, sudah tidak dimungkinkan lagi ada proses penobatan raja baru di internal Pakuan Pajajaran. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sedangkan Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya memang puteri dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, raja Kerajaan Pakuan-Pajajaran. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dengan tidak adanya Watu Gilang ini kerajaan Pajajaran tidak bisa mengangkat raja baru. Oleh karena itu, secara tidak langsung, maka habislah riwayat kerajaan Pajajaran (tahun 1579). Bahkan, setelah Pakuan-Pajajaran dikuasai oleh Kesultanan Banten, namun saat itu Sultan Maulana Yusuf juga tidak menempatkan pemerintahannya di bekas pusat kerajaan Pajajaran yaitu Bogor. Namun, eks Istana kerajaan Pajajaran itu akhirnya tak bertuan kurang lebih selama 100 tahun. Dan Sultan Maulana Yusuf, akhirnya ia telah melenyapkan Kerajaan Sunda terakhir di tanah Parahyangan. Bahkan, serangan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten membuat Kerajaan Pajajaran benar-benar luluh lantah. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dan Sang Raja Prabu Ragamulya atau Raja Suryakancana pun, di akhir kehidupannya terpaksa meninggalkan Pulasari karena sudah terdesak. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Berakhirnya zaman kerajaan Pajajaran antara 1482 – 1579 masehi, hal itu ditandai dengan diboyongnya batu Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan-Pajajaran ke Surasowan, Banten, yakni oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik saat itu mengharuskan demikian. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pertama, dengan diboyongnya Palangka tersebut, akhirnya di internal kerajaan Pakuan-Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan seorang raja baru. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Sultan Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya memang puteri dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara mengenai asal-usul dari Palangka Sriman Sriwacana atau Batu Gilang itu, sebagaimana dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, “Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata”. Artinya, Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan-Pajajaran yang bersemayam di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu Istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sedangkan secara etimologis atau bahasa bahwa makna kata Palangka secara umum berarti tempat duduk atau pangcalikan. Bagi raja berarti tahta. Dalam hal ini adalah tahta nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan untuk upacara penobatan seorang raja. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja Pajajaran diberkati atau diwastu oleh para pendeta tertinggi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sesuai dengan tradisi, bahwa tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu tahta seperti itu oleh masyarakat biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, apabila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa. Sedangkan Batu Gilang Palangka Sriman Sriwacana sendiri hingga saat ini masih bisa kita saksikan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, maka masyarakat Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara dalam konteks sejarahnya, bahwa setelah serangan ketiga yang dilancarkan oleh Kesultanan Banten ke Istana kerajaan Pajajaran, akhirnya membuat tamat riwayat Kerajaan Pakuan-Pajajaran. Dengan kata lain, di akhir masa Kerajaan Pajajaran ini ditandai dengan diboyongnya atau dipindahkannya Batu Gilang yang merupakan simbol dari kerajaan Pajajaran saat bertahta. Dengan diboyongnya Batu Gilang ke Kesultanan Surosowan Banten, hal itu menandakan tamatnya riwayat Kerajaan Pajajaran. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pemindahan batu tersebut dilakukan oleh Sultan Maulana Yusuf, yang telah melakukan ekspansi ke Ibu kota Pakuan-Pajajaran. Sementara kisah pemindahan batu Palangka tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul Hitam Putih Pajajaran : Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran. Buku tersebut karya dari Fery Taufiq El Jaquenne. Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang proses dipindahkannya Batu Gilang itu oleh Sultan Maulana Yusuf. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara istilah batu Palangka sendiri secara umum memiliki arti tempat duduk, yang dalam konteks bahasa Sunda berarti pangcalikan, dan secara kontekstual bagi Kerajaan Pajajaran adalah tahta atau kedudukan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dan tahta tersebut melambangkan tempat duduk khusus, yang diperkenankan ketika pada upacara penobatan seorang raja. Dan di atas Palangka itulah, calon seorang raja diberkati dengan berbagai prosesi upacara oleh seorang pendeta tertinggi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sedangkan tempat Palangka itu sendiri ketika saat itu berada di kabuyutan kerajaan Pajajaran, dan bukan di dalam Istana. Bahkan, sesuai dengan budaya Kerajaan Pajajaran, maka tahta tersebut dibuat dari batu dan diasah hingga halus mengkilap. Kemudian diberi bahan tertentu yang fungsinya menjadikan batu itu serasa memiliki kesakralan tersendiri. Sementara masyarakat Sunda menyebut batu tersebut sebagai batu pangcalikan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Watu Gilang atau Watu gigilang atau lengkapnya Watu Gilang Sriman Sriwicana adalah batu andesit berbentuk persegi panjang, yang berukuran sekitar 190 x 121 centimeter dan tebal 16,5 centimeter. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Adapun letak batu tersebut saat ini berada tidak jauh dari Masjid Agung Banten dan di dekat Keraton Surosowan, tepatnya di wilayah Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Watu atau Batu yang telah menjadi benda cagar budaya ini, dalam konteks perjalanan sejarahnya, memang ketika zaman dulu merupakan benda sakral karena menjadi tempat penobatan para raja atau para sultan Banten.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun ada dua versi mengenai asal-usul Watu Gilang ini. Versi pertama menurut salah seorang sejarawan, yajni Claude Guillot, bahwa saat Sultan Maulana Hasanudin berhasil menaklukkan Banten Girang pada tahum 1526 nasehi, akhirnya Sunan Gunung Jati memerintahkan Sultan Maulana Hasanuddin untuk mendirikan sebuah Kota baru di tepi pantai. Sementara di lokasi tersebut ada seorang resi bernama Batara Guru Jampang yang sedang bertapa di atas sebuah batu. Dan batu bekas pertapaan Batara Guru Jampang itu diberi nama Watu Gilang. Dan Watu Gilang itu akhirnya menjadi tempat penobatan Maulana Hasanudin dan raja-raja penerusnya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sedangkan versi kedua menyebutkan, bahwa setelah Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Kesultanan Banten pada tahun 1526 masehi, yakni sebagaimana telah dijelaskan di bagian atas, akhirnya batu tempat penobatan para raja Pajajaran yang dinamakan Batu Gilang Palangka Sriman Sriwacana itu, kemudian diboyong dari Istana Pakuan-Pajajaran ke Keraton Surosowan-Banten oleh Sultan Maulana Yusuf. Alasannya, karena batu itu tidak akan digunakan lagi untuk prosesi penobatan raja baru di Kerajaan Pajajaran dari trah yang telah takluk. Karena Sultan Maulana Yusuf yang mengklaim sebagai penerusnya (buyut perempuannya merupakan putri dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun terlepas dari kedua versi tersebut, yang jelas Watu Gilang pernah menjadi benda sakral di Kesultanan Banten. Ia tidak boleh dipidahtempatkan karena dipercaya akan menyebabkan keruntuhan Kerajaan atau Kesultanan Banten. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika zaman yang terjadi, akhirnya peran Watu Gilang itu mulai memudar alias tidak lagi disakralkan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Hal itu dimulai ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sekitar tahun 1596 masehi, bersama para penasihatnya, yang mengambil keputusan untuk melantik Sultan bukan lagi di Watu Gilang melainkan di lokasi lain yang bernama Darpragi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Saat itu, walaupun Batu Gilang itu masih berada di tempat semula, tetapi fungsi Watu Gilang itu hanya menjadi simbol saja, yakni akan kejayaan Banten di masa lalu. Dan hingga saat ini oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, maka Watu Gilang itu telah dijadikan sebagai benda cagar budaya serta di sekelilingnya telah dibuatkan pagar besi dan papan nama yang berisi penjelasan tentang asal-usul batu tersebut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara menurut Babad Banten, bahwa Watu Gilang itu kerapkali dipergunakan sebagai tempat pentahbisan atau penobatan raja-raja di Kesultanan Banten. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Babad Banten pupuh 18 yang menyebutkan bahwa Maulana Hasanuddin, yakni sang raja pertama di Kesultanan Banten mempunyai sebuah batu yang besar dan rata, yang diduduki Batara Guru Jampang ketika melakukan tapa, ia tidak bergerak dalam jangka waktu yang sangat lama, begitu lamanya tidak bergerak, akhirnya ketunya atau ikat kepala Betara Guru Jampang itu, dijadikan sarang burung oleh burung-burung emprit atau burung pipit. Cerita tersebut sebagaimana dijelaskan juga oleh doktor Husein Djayadiningrat, yakni di dalam bukunya yang berjudul “Tinjauan Kritis Terhadap Sejarah Banten”, terutama di halaman 35-36 di dalam buku sebagaimana judul diatas.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara dalam Naskah Carita Parahyangan disebutkan juga bahwa Batu Gilang dapat dihubungkan dengan batu Sitinggil. Sedangkan Batu Siti Hinggil umumnya ada di keraton-keraton Jawa. Dan Batu Hinggil itu merupakan takhta raja yang diduduki baginda raja pada saat maseban di hadapan para punggawanya. Sementara Batu Sriman Sriwacana, sebagaimana telah dijelaskan diatas, merupakan penanda kedudukan Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten yang secara anumerta dijadikan usurpator (pengambil kekuasaan) Kerajaan Sunda, yakni dengan memindahkan Watu Gigilang dari Pakuan-Pajajaran ke Banten.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, di lokasi dekat Watu Gigilang itu (di sekitar Istana Pakuan Pajajaran), terdapat pula batu lingga, namun batu tersebut tidak dibawa ke Banten karena dianggap ”kebudan”, yakni yang tidak sesuai dengan agama Islam. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Proses pemindahan Watu Gilang dari bekas pusat kerajaan Pajajaran yang hinduistis ke pusat kerajaan Banten yang Islam, hal itu dianggap secara geneologis-sakralistik maupun kharismatiknya, bahwa raja-raja Pakuan-Pajajaran turun ke raja-raja Banten.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, kalau kita coba kritisi ketika penaklukan Banten Girang dan Kerajaan Pajajaran yang sama-sama terjadi di tahun 1526 masehi itu, bisa jadi dua cerita tentang Watu Gilang sebagaimana telah diungkapkan diatas itu, memang merupakan satu rangkaian. Karena, Banten Girang yang dulu di bawah penguasaan Kerajaan Pajajaran, akhirnya berhasil dikuasai dan di duduki oleh Kesultanan Banten, yakni setelah Ki Jongjo, salah satu petingginya masuk Islam dan bergabung dengan Maulana Hasanudin.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan menurut sejarawan Claude Guillot, bahwa batu sejenis Watu Gilang itu sebetulnya sudah digunakan juga dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta, yaitu dengan sebutan Sela Gilang. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dalam bahasa Jawa, sela adalah padanan kromo dari watu. Sementara Sela Gilang di Surakarta, dianggap sebagai takhta kuno Kerajaan Majapahit. Bahkan, ketika diadakan proses pemindahan ibu kota Majapahit dari Kartasura ke Surakarta tahun 1746, maka benda satu-satunya yang dibawa adalah Sela Gilang dan Bangsal Pangrawit yang merupakan penutupnya. Lebih dari itu, di situs tertua Keraton Mataram misalnya, yakni Keraton Panembahan Senopati, teryata Sela Gilang itu ditempatkan di sebelah pohon beringin.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun seiring perjalanan waktu, akhirnya peran Watu Gilang ini tak lagi dianggap sakralistik dan dominan. Bahkan, sedikit demi sedikit Batu Gilang ini mulai memudar dan tergantikan oleh sikap politik yang praktis-pragmatis, dan Watu Gilang pun hanya menjadi suatu simbol atau lambang saja, yakni yang menggambarkan tentang kenangan masa lalu.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Hingga saat ini di internal Kesultanan Banten, bahwa Batu Gilang yang konon dulu menjadi tempat penobatan raja atau Sultan Banten itu, saat ini masih ada dan menjadi salah satu benda cagar budaya di Kesultanan Banten. Dan batu tersebut berada di sebelah Utara di sisi kiri luar Keraton Surosowan. Sementara di dalam catatan data base cagar budaya di Kota Serang, bahwa Watu Gilang adalah batu berbentuk empat persegi panjang berukuran 190 cm, lebar 121 cm, dan tebal 16,5 cm. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan dalam konteks sejarahnya, dengan diboyongnya Watu Gilang ke Surosowan-Banten, akhirnya pihak kerajaan Pajajaran tidak lagi bisa mengangkat raja baru. Dengan demikian habislah riwayat kerajaan Pajajaran tahun 1579 masehi. Setelah Pakuan-Pajajaran dikuasai oleh Kesultanan Banten, malah Sultan Maulana Yusuf, ia tidak lagi menempatkan pemerintahan di bekas pusat kerajaan Pajajaran, namun bekas Istana Pajajaran itu malah mejadi daerah tak bertuan kurang lebih selama 100 tahun. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sultan Maulana Yusuf telah mampu melenyapkan Kerajaan Sunda Terakhir di Parahyangan. Dan serangan demi serangan dari Kesultanan Banten, membuat Kerajaan Pajajaran benar-benar luluh lantah. Dan sang raja terakhir dari kerajaan Pajajaran, yakni Prabu Ragamulya atau Suryakancana, atau yang lebih dikenal sang Pucuk Umun itu, karena terdesak akhirnya meninggalkan Keraton nya di Kadu Hejo Pandeglang Banten.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Raja terakhir dari kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya Surya Kencana antara 1567-1579 Masehi. Bahkan di dalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja Pajajaran yang terakhir. Sementara menurut penulis Carita Parahyangan, ia memberikan nama Nusiya Mulya kepada raja terakhir Pajajaran itu. Dan di dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakencana. Raja ini tidak lagi berkedudukan di Pakuan sebagaimana raja Pajajaran lainnya, tetapi di Pulosari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulosari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pasca penyerangan Banten ketika di masa raja Nilakendra, Pakuan-Pajajaran sudah tidak lagi berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan raja Nilakendra dan para kerabat keraton, yang akhirnya mereka mengungsi ke berbagai wilayah. Pakuan-Pajajaran kemudian diurus oleh para pengawal Istana dan oleh para penduduk, dan mampu bertahan sampai dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang kedua kalinya dan memboyong baru Sriman Sruwacana, yakni tempat dinobatkannya seorang raja Pakuan Pajajaran (raja Sunda). </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, ada sebagian penduduk yang mengungsi ke wilayah pantai Selatan, yang akhirnya membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah. Tentang proses pelarian dari keluarga Keraton kearah Selatan, hal itu sebagaimana dikisahkan pada awal abad yang lalu oleh Ki Baju Rambeng, yaitu seorang juru Pantun dari Bogor selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, yaitu yang mengetengahkan tentang keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan Kalang Sunda. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit Siliwangi, yang diyakini diamanatkan oleh Prabu Siliwangi di daerah tersebut, padahal Prabu Siliwangi, ia hidup di zaman Pajajaran masih berdiri dan Prabu Siliwangi masih mampu memerintah kerajaan Pajajaran.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Rombongan lainnya mengungsi menuju ke arah Timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Raden Aji Mantri dan 4 kandaga Lente yaitu Jaya Perkasa atau Sanghyang Hawu, Dipati Wiradijaya atau Nangganan, Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Terong Peot.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Aji Mantri dan 4 Kandaga Lante memboyong Mahkota dan atribut raja Pajajaran yang disebut Sanghiyang Pake ke Kerajaan Sumedang Larang, dikarenakan mendapat perintah dari Prabu Raga Mulya Surya Kencana.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Karena, di dalam tradisi raja-raja Pajajaran, bahwa Sanghiyang pake dan Batu Gilang atau Palangka batu Sriman Sriwacana dianggap sangat penting untuk menunjukan legalitas seorang raja. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, ada juga sebagian penduduk Pakuan Pajajaran yang mengungsi ke arah Barat daya, tepatnya di Lereng Gunung Pulosari, Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh adik raja Nilakendra, dan sekaligus ia bersedia untuk meneruskan tahta kerajaan Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut legenda, bahwa di Kadu Hejo, yakni di daerah Pulosari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia memerintah sebagai Prabu Resyi, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Kesultanan Surasowan Banten yang menyerang kerajaan itu. Hal itu, sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul Sejarah Bogor Bagian 1, Buku tersebut diterbitkan oleh Pemda Bogor tahun 1983.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ketiadaan perangkat dan atribut raja sebagaimana telah diungkapkan di atas, hal itu dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan atribut kerajaan tersebut diboyong oleh Aji Mantri dan 4 Kandaga Lente yaitu Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Nangganan, Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana atau Terong Peot, kemudian diserahkan pada Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun Sumedang Larang dan digunakan oleh Prabu Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Prabu Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Sunda (Pakuan-Pajajaran).</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, yakni bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi, saat itu Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati Cirebon wafat. Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun sesudahnya atau pada tahun 1570 Fadilah Khan wafat, maka tahta Cirebon selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu murid sekaligus menantu dari Adiwijaya. Demikian juga di Banten, pada tahun 1570 Masehi, akhirnya Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ia sangat berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran. Karena para penandatangan perdamaian Cirebon dengan Pajajaran itu sudah pada wafat, oleh karenanya ia (Maulana Yusuf) tidak lagi merasa harus menghormati perjanjian tersebut. Awalnya Maulana Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan. Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, namun benteng Pakuan masih belum dapat diterobos. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Padahal ketika itu Pakuan-Pajajaran sudah ditinggalkan rajanya, namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahan kerajaan Pakuan Pajajaran. Untuk melakukan penyerangan, akhirnya Sultan Maulana Yusuf, ia memerlukan persiapan yang matang, antara lain untuk mempersiapkan pasukan yang lebih lengkap dan menebar para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon. Hal itu, sebagaimana diceritakan di dalam Wangsakerta dalam Pustaka Rajya-rajya Bhumi Nusantara parwa 3 sargah 1, di halaman 219. : “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala”. Artinya; Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, di dalam Babad Banten (Sejarah Banten) diceritakan tentang keberangkatan pasukan Banten ketika mau melakukan penyerangan ke Pakuan-Pajajaran, hal itu sebagaimana di dalam Pupuh Kinanti : “Nalika kesah punika/ing sasih Muharam singgih/wimbaning sasih lapisan/dinten ahad tahun alif/punika sakalanya/bumi rusak rekeih iki (Waktu keberangkatan itu/terjadi bulan Muharam/tepat pada awal bulan/hari Ahad tahun Alif/inilah tahun Sakanya/satu lima kosong satu”.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibuka dari dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan-Pajajaran yang dibuat oleh Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12 tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara khusus dan halus, yakni untuk menembus benteng itu. Nasib Pakuan-Pajajaran beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh pasukan Banten dan Cirebon, akhirnya tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari naskah-naskah tua. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit Pajajaran berubah menjadi harimau.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Berakhirnya zaman kerajaan Pajajaran antara 1482-1579 masehi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik saat itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara tentang keberadaan batu palangka, hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan : “Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata”. Artinya, Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sedangkan kata Palangka secara umum berarti tempat duduk atau watu pangcalikan. Bagi raja berarti tahta. Dalam hal ini adalah tahta nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati atau diwastu para pendeta tertinggi (konsep tilu tangtu di Buana yaitu : Rama - Resyi - Ratu). </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa. Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pasca penghancuran Pakuan kemudian Sultan Maulana Yusuf mengarahkan serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya tersudutkan di Pulosari dan terkenal dengan Panembahan Pulosari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada posisi raja terakhir di kerajaan Pajajaran, yakni ketika dimasa raja Ragamulya (Pucuk Umun) memang dinamika maupun realitas sosial ekonomi di kalangan masyarakat kerajaan Pajajaran, sudah amat sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi ketika dimasa kepimpinan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan, berdasarkan sumber naskah Carita Parahyangan, tidak semua raja Pajajaran yang ketika di masa kepememimpinannya itu berhasil dan bisa membawa kejayaan. Namun setidaknya, ada satu raja yang membawa harum nama Kerajaan Pajajaran utamanya ketika di masa keemasannya, yaitu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ia berhasil memerintah kerajaan selama 39 tahun yang pusatnya saat itu berada di Pakuan Pajajaran. Ia juga berhasil membawa kerajaan Pajajaran ke puncak masa kejayaannya, karena setia kepada keaslian dan kebiasaan leluhur. Bahkan tidak hanya itu, ia juga membebaskan beberapa desa dari tuntutan membayar pajak bagi kepentingan keagamaan. Langkahnya telah mencerminkan perhatiannya pada keagamaan dan tradisi leluhur. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada masanya, hak itu menjadi perhatian utama dalam menentukan kebijakan pemerintahan. Prasasti Batutulis bahkan telah mengungkapkan upaya Sri Baduga untuk melaksanakan pembangunan ibu kota. Bahkan jejak-jejaknya bisa dilacak hingga saat ini. Sri Baduga membuat hutan-hutan lindung, mengeraskan jalanan dengan batuan, mendirikan gunung-gunungan, membuat telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya, dan membuat parit di sekitar Pakuan Pajajaran.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut seorang sejarawan berkebangsaan Portugis, yakni Tome Pires, bahwa kerajaan Sunda memiliki sistem pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Takhta kerajaan diberikan secara turun temurun kepada para keturunannya. Namun, jika si raja tidak memiliki keturunan atau anak, maka yang akan menggantikannya adalah salah seorang raja yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Untuk kehidupan ekonomi kerajaan ini, para pedagangnya sudah bisa melakukan transaksi perdagangan dengan para pedagang asing dari kerajaan lainnya seperti Sumatra, Jawa Tengah, Makasar, dan Malaka. Kegiatan perdagangan tersebut didukung dengan adanya pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda. Sedangkan komoditas yang diperdagangkan saat itu yaitu lada, hewan ternak, sayuran, buah-buahan, dan beras. Selain dari sektor perdagangan, mereka juga mengembangkan sektor perdagangan seperti berladang. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara watak masyarakat Sunda yang senang berpindah ini terlihat dari kegiatan berladangnya. Untuk itulah, mengapa ibu kota kerajaannya juga seringkali berpindah-pindah. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara susunan masyarakat berdasarkan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, kelompok ekonomi mereka terbagi menjadi : Pahuma (petani ladang), Penggembala, Pemungut Pajak, Mantri, Pandai besi, Bhayangkara dan prajurit, Kelompok, Cendekiawan dan rohani dan lain sebagainya. Apa yang telah penulis ungkapkan diatas mudah-mudahan dapat menginsfirasi, karena mencoba mengungkapkan tentang eksistensi kerajaan Pajajaran, yakni tentang berbagai peninggalannya, letak (geografis), prasasti, pendiri, raja, masa kejayaan, silsilah kerajaan, sistem pemerintahan, kehidupan sosial ekonomi, politik, dan masa keruntuhan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Akhir kata, Sebagaimana tidak ada gading yang tidak retak, apa yang saya tuliskan juga pasti tidak luput dari kekurangan dan kesalahan,</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-87471588004876214392024-01-05T18:16:00.004+07:002024-01-05T18:16:20.687+07:00Ibukota Sumedang Larang Pernah 11 Kali Berpindah Tempat<p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1aY5zWa8VcCnQJJcXhDnN8MVulVHbObaH_Yr_-1lHjuqpnh0aTL0q5fI2J5lpaFhWIYFW98zhIZ0yvMR2nFTHVrNxNQHcbb9Vs-t_5BvnGj54pcXz5bxVgHofj2BOaUoOzmt8dhKQQRrR6GvjgyBQO3gr7ZnPWWJXJ_Uv4Bo1BYXzBbLGi1k-6ZXJULFd/s1080/Ibukota%20Sumedang%20Larang%20Pernah%2011%20Kali%20Berpindah%20Tempat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="607" data-original-width="1080" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1aY5zWa8VcCnQJJcXhDnN8MVulVHbObaH_Yr_-1lHjuqpnh0aTL0q5fI2J5lpaFhWIYFW98zhIZ0yvMR2nFTHVrNxNQHcbb9Vs-t_5BvnGj54pcXz5bxVgHofj2BOaUoOzmt8dhKQQRrR6GvjgyBQO3gr7ZnPWWJXJ_Uv4Bo1BYXzBbLGi1k-6ZXJULFd/w640-h360/Ibukota%20Sumedang%20Larang%20Pernah%2011%20Kali%20Berpindah%20Tempat.jpg" width="640" /></a></div><span style="font-size: medium;">Sejarah ibu kota Kerajaan Sumedang Larang sejak didirikan tahun 721 Masehi oleh Prabu Tajdjimalela, putra dari Prabu Aji Putih, putra dari Prabu Bimaraksa, putra dari Jantaka putra dari Prabu Sang Wreti Kandayun Maha Raja Kerajaan Sunda Galuh Pertama, sempat mengalami perpindahan ibu kota hingga 11 kali pindah.<br /><br />Adapun fenomena perpindahan itu disesuaikan dengan kondisi alam dan peristiwa sosial politik zaman yang terjadi pada saat itu.<br /><br />Seperti diungkapkan salah satu keturunan Raja Sumedang Larang dari garis keturunan Pangeran Soegih, yang kini menjadi Ketua Yayasan Nazir Wakaf Pangeran Sumedang (YNWPS), juga menjadi Radya Anom Keraton Sumedang Larang, Rd. Luky Djohari Soemawilaga, bila sebelas kali perpindahan itu memang disesuaikan dengan kondisi saat itu,<br /><br />”Perpindahan ibu kota Kerajaan Sumedang Larang hingga sebelas kali pindah itu disesuaikan dengan perkembangan zaman kondisi alam dan keadaan sosial politik saat itu termasuk juga alasan keamanan, seperti perpindahan ibu kota masa Prabu Geusan Ulun dari daerah Kutamaya ke Dayeuh Luhur saat itu faktor utamanya segi keamanan untuk menghindari serangan kerajaan Cirebon saat peristiwa Harisbaya “, ujar Luky dijumpai di Keraton Sumedang Larang.</span><p></p><p><span style="font-size: medium;"><br />Dikatakan Luky ke 11 lokasi itu diantaranya, diawali dari petilasan Prabu Guru Aji Putih di Citembong Girang, Ganeas.<br /><br />Dan selanjutnya era ibu Kota Sumedang Larang, yaitu :<br />1. Tembong Agung – Darmaraja (721 – 980), masa Prabu Guru Aji Putih, Prabu Tajimalela dan Prabu Lembu Agung.<br />2. Ciguling – Sumedang Selatan (980 – 1529), masa Prabu Gajah Agung s/d Ratu Nyi Mas Patuakan<br />3. Kutamaya – Sumedang Selatan (1529 – 1585), masa Ratu Pucuk Umun dan Prabu Geusan Ulun <br />4. Dayeuhluhur – Ganeas (1585 – 1610), masa Prabu Geusan Ulun<br />5. Tegal Kalong – Sumedang Utara (1610 – 1625), masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I<br />6. Canukur - Situraja (1625 – 1633), masa Pangeran Rangga Gede <br />7. Parumasan - Paseh (1633), masa Pangeran Rangga Gede<br />8. Tenjo Laut – Conggeang (1633-1656), masa Pangeran Rangga Gempol II<br />9. Sulambitan - Regol Wetan (1656), masa Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III<br />10. Tegal Kalong – Sumedang Utara (1656 1706) masa Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III<br />11. Srimanganti , Regol Wetan- Sumedang Selatan (1706) Dibangun oleh Pangeran Panembahan dan diteruskan oleh putranya yakni Tanumadja dan seterusnya <br /><br />”Itulah ke 11 nama lokasi perpindahan Ibu Kota Kerajaan Sumedang Larang”, tandas Luky.<br /><br />Pada saat perpindahan ibu kota ke 3 kali yakni saat di Kutamaya, lanjut Luky, disitulah terjadinya peristiwa penyerahan Mahkota Kerajaan Padjajaran, Bino Kasih Syanghyang Pake , ke Raja Sumedang Larang (saat itu) yakni Prabu Geusan Ulun pada tahun 1578 yang diantarkan dari Padjajaran diantaranya 4 Kandaga Lante. Ke 4 Kandaga Lante itu yaitu bernama Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Bayara Dipati Wiradidjaya ( Nangganan), Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot.<br /><br />Ke 4 nya diutus Prabu Seda Mulya Surya Kancana Raja Padjajaran terakhir untuk menyerahkan Mahkota Binokasih yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Raja Galuh pada tahun 1375 – 1371 dan seluruh atribut kebesaran kerajaan pada Kerajaan Sumedang Larang.<br /><br />Kerajaan Padjajaran pada saat itu mengalami desakan yang hebat dari serangan pasukan gabungan Banten, Cirebon, dan Demak dan sebelum terjadi puncak perang saudara, Padjajaran memutuskan ” burak” dan memasrahkan kekuasaan penuh ke Sumedang Larang dengan diserahkannya Mahkota Kerajaan Sunda Binokasih sebagai simbol legitimasi kekuasaan.<br /><br />”Dan untuk Pangeran Angkawijaya atau dikenal Prabu Geusan Ulun itu sendiri merupakan putra dari Pangeran Soleh Abdurahman atau Pangeran Santri yang menikah dengan Ratu Pucuk Umum ratu Sumedang Larang . Sementara Pangeran Santri sendiri merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW ke 26 dari silsilah garis keturunan ayahnya bernama Pangeran Muhammad atau Pangeran Pamelekaran , putera dari Pangeran Panjunan putra dari Syech Nurjati Cirebon atau Datuk Kahfi dan Syech Nurjati sendiri merupakan keturunan Nabi Muhammad ke 23 “, pungkas Luky.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-63971095707438151302023-11-12T21:12:00.002+07:002023-11-12T21:12:13.335+07:00Pertempuran Batavia: Penyebab, Kronologi dan Dampaknya <p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6717rw7DbaPQwEjqcFoD1fzJ1FNiWPr9n5qKSOV1Qc4x07ArFkLsSVUxxCoYKmsBPRX4YPQ3cZ9bUhd07v9Kq4Ewl7gjlqs5PTIRtdcgzMn4dM0jIZOsrKLaqv9_a9PwVx9RWb1cPysVFGIYeX_umTNj1-bYZWsenahXyh5eCcRBrjQnMJTnf4-rQo1dw/s1024/Penyerangan%20Batavia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="521" data-original-width="1024" height="326" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6717rw7DbaPQwEjqcFoD1fzJ1FNiWPr9n5qKSOV1Qc4x07ArFkLsSVUxxCoYKmsBPRX4YPQ3cZ9bUhd07v9Kq4Ewl7gjlqs5PTIRtdcgzMn4dM0jIZOsrKLaqv9_a9PwVx9RWb1cPysVFGIYeX_umTNj1-bYZWsenahXyh5eCcRBrjQnMJTnf4-rQo1dw/w640-h326/Penyerangan%20Batavia.jpg" width="640" /></a></div><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pertempuran Batavia adalah serangan tahun 1628 dan 1629 yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram ke Batavia. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kala itu, Batavia merupakan pusat VOC atau persekutuan dagang Belanda di kepulauan Nusantara, sehingga pertempuran ini bertujuan untuk mengusir VOC dari Pulau Jawa. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tanggal 29 Agustus, Mataram melemparkan serangan pertamanya kepada Batavia. Namun, serangan itu berhasil dihalau oleh 120 pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten. Kemudian, pada Mei 1629, </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mataram melakukan serangan kedua. Akan tetapi, dalam serangan kedua ini, Mataram kembali gagal menaklukkan Batavia. Akibatnya, VOC berhasil memperluas pengaruhnya dengan mengakuisisi dataran tinggi Priangan serta pelabuhan pantai utara Mataram, seperti Tegal, Kendal, dan Semarang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><b>Penyebab </b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pertempuran Batavia bermula pada 1961, saat Mataram menjalin hubungan dengan VOC. Kala itu, VOC mengirimkan duta besarnya untuk mengajak Sultan Agung agar mengizinkan VOC mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Agung, karena jika ia memberi izin, maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai oleh VOC. </span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Penolakan ini kemudian membuat hubungan antara Mataram dan VOC merenggang. Tahun berlalu, pada 1969, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten yang kemudian mengganti namanya menjadi Batavia. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Markas VOC lantas dipindahkan ke Batavia. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Menyadari bahwa Batavia dipenuhi oleh VOC, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Setelah Surabaya berhasil ditaklukkan oleh Mataram, mereka menyerang Banten. Akan tetapi, untuk dapat menyerang Banten, Mataram harus mengatasi Batavia terlebih dahulu. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Bulan April 1628, Kyai Rangga, Bupati Tegal, dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai kepada VOC. Namun, tawaran tersebut ditolak, sehingga Sultan Agung memilih untuk mengibarkan bendera perang.</span></p><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div style="text-align: justify;"><b>Kronologi 22 Agustus - 3 Desember 1968 </b></div></span><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Pada 25 Agustus 1628, garda depan angkatan laut Sultan Agung tiba di Batavia. Armada angkatan laut Mataram membawa perbekalan dalam jumlah besar, yaitu 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 kelapa, dan 12.000 karung beras. </div></span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Awal mula kedatangan Mataram ke Batavia, mereka mengaku ingin berdagang di sana. Namun, karena ukuran kapal pihak Mataram berukuran besar, hal ini membuat Belanda curiga. Keesokan harinya, Belanda mengizinkan sapi untuk dikirim, dengan syarat hanya satu kapal mataram saja yang berlabuh. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kemudian, datang lagi tiga kapal Mataram. Mereka mengklaim bahwa Mataram ada di Batavia untuk meminta izin perjalanan untuk berdagang dengan Malaka. Pihak Belanda merasa semakin curiga dengan peningkatan jumlah kapal secara tiba-tiba ke Batavia. Berlanjut lagi, pada sore hari sejumlah 20 lebih kapal Mataram tiba dan mulai menurunkan pasukannya di utara benteng. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Peristiwa ini membuat Belanda memperingatkan pasukannya untuk menarik semua prajurit ke dalam benteng dan mulai menembaki orang-orang Jawa yang masuk. Pada 28 Agustus 1628, sebanyak 27 kapal Matarm memasuki teluk dengan berlabuh cukup jauh dari Batavia. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari selatan Batavia, pasukan Mataram yang berjumlah 1000 orang mulai berdatangan. Tanggal 29 Agustus, Mataram melemparkan serangan pertamanya kepada Batavia. Serangan mereka lancarkan terhadap Benteng Hollandia, yang terletak di tenggara kota. Namun, serangan itu berhasil dihalau oleh 120 pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten. Bulan Oktober, tentara Mataram tiba dengan jumlah 10.000 pasukan. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mereka memblokade semua jalan dari selatan hingga barat kota, serta mencoba membendung Sungai Ciliwung untuk membatasi pasokan air Belanda. Akan tetapi, serangan mereka ini tidak menghasilkan apa-apa, justru hanya memberikan kerugian besar bagi Mataram. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Memasuki bulan Desember, Mataram sudah kehabisan persediaan. Karena kegagalannya, pada 2 Desember, Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum salah dua prajuritnya, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Esok harinya, Belanda mendapati Matarm telah meninggalkan Batavia dan 744 mayat anak buahnya yang tanpa kepala. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><b style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mei - September 1629 </b></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Setelah gagal di serangan pertama, Sultan Agung menemukan penyebab kekalahannya. Ia menyadari bahwa rintangan utamanya terletak pada logistik, jarak yang sangat jauh (300mil). </div></span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Untuk itu, ia memutuskan mendirikan banyak desa pertanian padi yang dikelola oleh petani Jawa di pantai utara Jawa Barat, dari Cirebon hingga Karawang. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Setelah banyak orang Jawa menduduki Batavia, pada Mei 1629, Mataram siap melakukan serangan kedua. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Serangan kedua terdiri dari dua kekuatan, yaitu tentara Sunda Dipati Ukur, Bupati Priangan, serta tentra utama Jawa, dipimpin Adipati Juminah. Total pasukannya adalah sekitar 20.000 orang. Rencana awal, </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dipati Ukur diminta menunggu pasukan utama bertemu dengannya di Priangan dan kemudian berangkat bersama pada bulan Juni. Namun, karena kekurangan persediaan, Ukur memutuskan untuk menyerang Batavia terlebih dahulu. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Saat Juminah tiba di Priangan, ia merasa marah terhadap apa yang Ukur lakukan. Ukur berniat untuk mundur dari pertempuran tersebut. Namun, ia teringat atas apa yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sultan Agung paling tidak menyukai kegagalan. Ukur akhirnya memutuskan untuk bertahan. Pasukan Mataram kemudian mendirikan perkemahan di selatan Batavia, yang dikenal sebagai Matraman. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mereka mengepung Batavia dengan mencemari Sungai Ciliwung, sehingga menyebabkan wabah kolera tersebar di Batavia. Akibatnya, pemimpin VOC, Jan Pieterszoon Coen tiba-tiba meninggal pada 21 September 1629. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Karena mengalami masalah internal di antara komandan mereka, adanya penyakit, dan kekurangan pasokan, pasukan Mataram terpaksa mundur. </span></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><b style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dampak </b></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Setelah Mataram mundur, Belanda berhasil mempertahankan kedudukannya di Jawa. Kegagalan Batavia ini membuat Sultan Agung mengalihkan ambisinya ke timur dengan menyerang Blitar, Panarukan, dan Blambangan di Jawa Timur. Karena kedisiplinan Sultan Agung terhadap kegagalan, sejumlah besar pasukan Jawa menolak kembali ke Mataram. </div></span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Banyak dari mereka memutuskan menikahi wanita lokal dan menetap di desa-desa Jawa. Dekade-dekade berikutnya, VOC memperluas pengaruhnya dengan mengakuisisi dataran tinggi Priangan serta pelabuhan pantai utara Mataram, seperti Tegal, Kendal, dan Semarang. </span></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><u style="font-family: helvetica; font-size: large;">Referensi: </u></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Bertrand, Romain. (2011). Kisah Pertemuan Timur-Barat. Paris: Seuil. hlm. 420-436.</div></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-48342225770048520162023-10-24T18:11:00.004+07:002023-10-24T18:11:41.211+07:00Batu Kasur Pamoyanan Ciguling di Dusun Cibogo Desa Sukaluyu Kecamatan Ganeas<p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUtSmm5-9T8JNJtoih6WHPvYSKTu-CTifhRp3DZoTYYPyAOTxp2mYCGKE_W8wZr9ZVk9DQE9XB4EHuPkyml97yRwQ-yy37yAgihn6KdLXGRaPoYwZZnraRgBc7tbuo4Xx9NbcIMYgWRwIsdcnOa-pQVOLvjj5KMyncGnAk0VeLn2W3Bth1gis19m8AZT3l/s1280/Batu%20Kasur%20Pamoyanan%20Ciguling%20%20di%20Dusun%20Cibogo%20Desa%20Sukaluyu%20Kecamatan%20Ganeas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUtSmm5-9T8JNJtoih6WHPvYSKTu-CTifhRp3DZoTYYPyAOTxp2mYCGKE_W8wZr9ZVk9DQE9XB4EHuPkyml97yRwQ-yy37yAgihn6KdLXGRaPoYwZZnraRgBc7tbuo4Xx9NbcIMYgWRwIsdcnOa-pQVOLvjj5KMyncGnAk0VeLn2W3Bth1gis19m8AZT3l/w640-h360/Batu%20Kasur%20Pamoyanan%20Ciguling%20%20di%20Dusun%20Cibogo%20Desa%20Sukaluyu%20Kecamatan%20Ganeas.jpg" width="640" /></a></div><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sampurasun</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Penyimak Blog saya yang kebetulan mampir di blog Cipaku Darmaraja, mugia rahayu sagung dumadi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sejarah asal usul nama Genas hingga kini masih menjadi misteri, konon asal usul Ganeas tidak lepas dari misteri Batu Kasur dan Sungai Ciguling di Dusun Cibogo Desa Sukaluyu Kecamatan Ganeas Kabupaten Sumedang Jawa Barat.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut Abah Embut tokoh setempat mengatakan, berdasarkan cerita dari orangtuanya pada Jaman dulu. Pada masa kerajaan Galuh Pakuan ada seorang putri yang membawa bayi, warga setempat memanggil bayi tersebut dengan sebutan Agan Ea.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Jadi seiring berjalannya waktu nama Agan Ea berubah menjadi Ganeas yang sampai saat ini menjadi nama dan Kecamatan”. Jelas Abah Embut </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Lebih jauh Abah Embut mengatakan, ketika tuan putri memandikan Agan Ea di sungai kecil. Tiba-tiba bayi tersebut berguling-guling di sungai tersebut maka sampai saat ini masyarakat menyebut sungai Ciguling.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><b style="font-size: large;">Nama Sungai Ciguling</b></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">“Sampai saat ini masyarakat menyebutnya sungai Ciguling karena bayi atau Agan Ea yang sempat berguling guling waktu mau dimandikan tuan putri,” tuturnya.</div></span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Setelah dimandikan disungai Ciguling, lanjut Abah Embut. Agan Ea lalu ditidurkan di atas batu tidak jauh dari lokasi tersebut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Setelah Agan Ea dimandikan di sungai Ciguling, lalu di ‘Poyankeun’ (Dijemur) di sebuah batu yang saat ini disebut Batu Kasur yang saat ini berlokasi di Desa Sukaluyu Ganeas,” jelasnya</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sementara menurut Kepala Desa Sukaluyu Dendi Permana mengatakan. Dulu di Sungai Ciguling sering digunakan untuk ritual budaya orang-orang tertentu.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Dulu suka ada yang ‘ngabungbang‘ mandi tengah malam di bulan maulid atau malam Jumat kliwon di sungai Ciguling,” kata Dendi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Selain itu, lanjut Dendi, sebagian masyarakat masih ada yang percaya khasiat dari air sungai Ciguling tersebut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Masih ada yang meyakini bisa menjadi wasilah atau perantaraan semacam buang penyakit batiniah atau yang lainnya,” ujarnya menandaskan.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-35728167029605158342023-10-24T03:10:00.005+07:002023-10-24T18:12:03.956+07:00Batu Lingga Purusha atau Batu Menhir Di Citembong Girang Ganeas<p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaQcPtn0huSuuiOwxJCM2WzfqO4CAHMRuaz5JLhEpPAEeQ-w-MQcvrN_2gJcxhb3Tzf3g9hvjLT-gBnubdpRftG9j8EIT-FBoHzciSsK1TDp3ttqhHvgAe8NEYAJ1ODskUTOPrelo9NclDMSrwlKrgoNJycTKfBp8GbpwMsbHqRb31HbN9HQ6QWd7Y6MDZ/s1660/Bartu%20Lingga%20Purusha%20di%20Bukit%20Cucut,%20Blok%20Citembong%20Girang..jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="934" data-original-width="1660" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaQcPtn0huSuuiOwxJCM2WzfqO4CAHMRuaz5JLhEpPAEeQ-w-MQcvrN_2gJcxhb3Tzf3g9hvjLT-gBnubdpRftG9j8EIT-FBoHzciSsK1TDp3ttqhHvgAe8NEYAJ1ODskUTOPrelo9NclDMSrwlKrgoNJycTKfBp8GbpwMsbHqRb31HbN9HQ6QWd7Y6MDZ/w640-h360/Bartu%20Lingga%20Purusha%20di%20Bukit%20Cucut,%20Blok%20Citembong%20Girang..jpg" width="640" /></a></div><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Warga di Desa Ganeas Kecamatan Ganeas tak sengaja menemukan sebuah batu berdiri tegak di atas perbukitan. Batu berbentuk persegi empat dengan tinggi 1 meter itu ditemukan warga di Bukit Cucut, Blok Citembong Girang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Kuat dugaan batu berwarna hitam itu merupakan menhir yang digunakan untuk pemujaan di era pra aksara. Dikonfirmasi Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Sumedang, M. Budi Akbar, penemuan batu yang diduga menhir itu berawal dari warga yang sedang melintas di Bukit Cucut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Kebetulan pada saat kami dengan tim ahli ke Citembong Girang atau Kabuyutan itu, ada warga yang menyampaikan bahwa di atas sekitar 1,5 dari lokasi Kabuyutan itu ada struktur batu diduga merupakan cagar Budaya,” kata Budi </span></p><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span>Adapun kata Budi, yang menjadi dasar bahwa b</span>atu yang dimaksud merupakan batu menhir berdasarkan para ahli dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN) yang meneliti situs kabuyutan. Tim ahli berpendapat bahwa di kawasan kabuyutan itu pernah ada kehidupan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Bahkan setelah digabungkan dengan buku Sumedang dari masa ke masa, ternyata kawasan kabuyutan Citembong Girang ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sumedang Larang sebelum ke Darmaraja.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Namun disaat yang sama ada sebuah laporan dari warga yang menemukan struktur batu yang diduga menhir. Setelah kami mendapatkan foto, maka saya kirimkan lagi ke Arkeolog dari BRIN yaitu Doktor Lutfi. Melalui foto dari warga, Pa Doktor Lutfi membenarkan bahwa struktur batu itu merupakan menhir yang digunakan oleh manusia ora aksara untuk melakukan upacara atau ritual,” jelasnya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Lanjut Budi, jika sebuah kawasan ditemukan struktur menhir biasanya ada struktur penunjang lainnya. “Kami mencoba konfirmasi lagi ke masyarakat, masyarakat bilang bahwa menurut kacamata awam itu seperti pondasi atau ‘ngentep’. Bahkan ada kemungkinan sebuah punden berundak untuk melakukan ritual pada jamannya yang kemungkinan sekitar 600 sampai 700 tahun sebelum masehi,” terang Budi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Budi juga mengatakan, bahwa penentuan batu yang dimaksud adalah menhir bukan hanya dugaan semata. Namun berdasarkan hasil pengamatan Doktor Lutfi yang melihat hasil foto dari warga.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Oleh sebab itu diyakininya, temuan baru ini juga akan mengekor kepada temuan lainnya di sekitar lokasi ditemukannya struktur baru menhir. Mengingat di lokasi kabuyutan yang tidak jauh dari lokasi struktur batu menhir, masih diterapkan hukum adat. Yang mana dari ujung Kampung Cisedong sampai ke Cibogo tidak boleh dibuat bangunan rumah sampai saat ini.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ini juga bisa menguatkan bahwa disitu pernah kehidupan. Bahkan di Cibogo itu tidak boleh ada yang namanya hiburan atau bangreng hingga dilarang keras menabuh ‘go’ong’ besar. “Sampai sekarang hukum-hukum adat ini masih dipegang, ini menjadi bukti penunjang bahwa di kabuyutan itu pernah ada kehidupan,” ungkap Budi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dengan demikian Budi meyakini, jika tim ahli bisa menggali dan mengembangkan temuan baru ini akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, kajian sejarah, geologi dan arkeologi, struktur batu menhir Bukit Cucut akan menjadi wisata edukasi sejarah.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Selain itu juga bisa menjadi bukti peradaban manusia yang ada di Kabupaten Sumedang. “Kalau kita berbicara Sumedang dahulu tanpa ada bukti otentik seperti ini, cerita dan narasi yang kita punya enggak akan ada apa-apanya. Karena ini merupakan bukti otentik kebesaran leluhur kita di zaman dahulu. Mudah-mudahan disamping ditemukannya struktur batu, kita juga bisa menemukan naskah kuno yang kemungkinan tersebar di masyarakat,” paparnya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sejauh ini tim arkeolog dan Disparbudpora Sumedang belum melakukan penelitian secara detail terkait batu Benhir tersebut. Sehingga pihaknya akan mencoba mengajak tim arkeolog untuk mendatangi lokasi penemuan batu mirip menhir itu, sekaligus mengkajinya. Pengkajian dimaksud dari sisi geologi, paleontologi dan sejarahnya. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Warga yang sadar bahwa batu tersebut tak sekedar batu biasa itu memotret dan langsung mengirimkan foto batu tersebut ke Disparbudpora via pesan instan. Secara spesifik lanjut Budi, lokasi batu mirip menhir itu ditemukan tak jauh dari Situs Kabuyutan Citembong Girang Ganeas.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Salam Santun</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-62452019762173957562023-10-12T21:00:00.029+07:002024-03-11T14:36:24.799+07:00Pupuh Wawacan Sejarah Sumedang Jaman Prabu Geusan Ulun <p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiKQMC2XhVQNlV2Eqz2dvflc3sbPXf02NUmiWcGE4ax8FpB0WEpQfBrbOEZXOAWUeP7ueq-L_L_7YideKZXsdgWIV3Ot8aN5unZ5eWl2A21KiGO1MIodRUirPj9EBz3Z2uOXNcJIvXzGOX6AtHPLN_QZ3UU9qF96TQ34uKYK2wReHgxXsVYCLeQVnzmeo6/s1920/Polish_20231101_222225106.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1920" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiKQMC2XhVQNlV2Eqz2dvflc3sbPXf02NUmiWcGE4ax8FpB0WEpQfBrbOEZXOAWUeP7ueq-L_L_7YideKZXsdgWIV3Ot8aN5unZ5eWl2A21KiGO1MIodRUirPj9EBz3Z2uOXNcJIvXzGOX6AtHPLN_QZ3UU9qF96TQ34uKYK2wReHgxXsVYCLeQVnzmeo6/w640-h360/Polish_20231101_222225106.jpg" width="640" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Dalam sebuah Pupuh Wawacan Sejarah Sumedang B, karya Haji Muhamad Jen dari Cibitung Padasuka maupun Pupuh Wawacan Sejarah Sumedang Karya R.A.A Martanagara Bupati Bandung Periode 1893-1918, yang intinya menceritakan kisah di jaman Prabu Geusan Ulun, sebagai berikut :</span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>1. Pupuh Sinom<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Ieu carita dikarang, dianggit dijieun dangding, carita tanah Sumedang, jaman baheula bihari, tapi éstu saperti, tutur anu tanpa dapur, ngan urutkeun caritana, kolot-kolot nu bihari, anu asli bibit buitna Sumedang.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Turun manurun carita, anu tepi ka kiwari, méh sarupa caritana, kolot-kolot ménak kuring, anu jadi bibit buit, kasebut nagara galuh, kaganti ku pajajaran, sanga parubi siliwangi, nu kasebut mencarkeun satanah Jawa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Ratu-ratu sunan-sunan, nu jadi pangagung nagri, sesebutan nu baheula, cara ayeuna bupati, ngaran pangagung nagri, ratu atawana perbu, ari ayeuna nu kocap, tedak perbu siliwangi, tina wates sanga perbu linggahiang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Jadi ratu di Sumedang, bibit tedak siliwangi, dikebatkeun caritana, jadi ratu nu diganti, ku putra anu kakasih, sanga perbu linggawastu, gancangna kacarita, putrana ngan hiji istri Mutiasari, jeung panungtung ratu nu agama budha.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Kota Sumedang harita, kiduleun gunung kacapi, disebutna kutamaya, sakaléreun palasari, nyandi ngan walungan cai, sisina beulah ti kidul, lahanna lempar pisan, awas ningal sakuriling, ngan tilu pal ti kota anu ayeuna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Sisi walungan cisugan, tepi ka jaman kiwari, nelah lembur kutamaya, ayeuna nu jadi bukti, tanda aya urut nagri, aya na téh rada luhur, ngembat sarupa jeung kuta, jiga pasir ngan masagi, ayeuna mah geus dirombak jadi sawah.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Ayeuna ganti carita, ratu di nu séjén nagri, di Cirebon nagarana, kangjeng sunan Gunung Jati, kasebutna ratu wali, tedak kangjeng nabi rosul, harita éta sajaman, pada mangku ngéréh nagri, di Cirebon sareng di negri Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Ayeuna ratu anu dua, mimitina kulet dalit, tatapi misah agama, budha jeung agama muslim, sinuhun Gunung Jati, teu pisan kersa ngaganggu, maksa ngasupkeun islam, tapi tetep silih asih, kacaturkeun lila-lila bébésanan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Putrana ratu Sumedang, nya éta ngan hiji istri, ditikahkeun ka putuna, kangjeng Sunan Gunung Jati, maolana magribi, atawa nu sok disebut, pangéran pamalé karna, saéstuna kudu sarif, nya éta téh putra pangéran Panjunan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Ari pangéran Pacunan, putra Sunan Gunung Jati, énggalna kangungan putra, pameget kasép jeung segut, siga enggeus mawa ciri, ahir jadi pangagungna, kocapna ratu Sumedang, kalangkung nya suka galih, réh kagungan putra pameget utama.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Énggal lajeng ngadeuheusan, ka sinuhun Gunung Jati, pihatur ratu Sumedang, ka sinuhun Gunung Jati, lajeng barina melas melis, sim kuring agung panuhun, éta pun incu téa, manawi paidin gusti, disuhunkeun rék diingu di Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Teu gaduh deui anak, jabi awéwé mung hiji, ku sinuhun geus kamanah, pijadieun awal ahir, wantuning bangsa wali, ngawalonan sinuhun, teu aya pisan halangan, wantuning sarua wajib, tapi éta bapana téh jalma islam.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Agama nurut ka bapa, muda jadi islam deui, pihatur ratu Sumedang, ku sim kuring geus kapikir, sinarengna jisim kuring, nurutkeun riwayat sepuh, pitutur anu baheula, disebutkeun jisim kurig, panungtungan jadi ratu di Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Nu agama-agama budha, mangké geus tangtu diganti, nya éta ku incu téa, éta téh anu mimiti, ganti nyembah ka Yang Widi, ku agama nabi rosul, sareng tedak tumedak, dugi kana jaman ahir, sirna budha kaganti ku agama islam.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Ketakeun ieu carita, perbu lingga waktu tadi, lambat lambut jumenengna, ahirna mangké diganti, ku putra-putra anu tadi, anu kasebut diluhur, ngéréh nagri Sumedang, ratu agama muslimin, awit ngeéréh eusi nagri bangsa budha.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Tatapina lila-lila, saréhna ratu muslimin, pangeusi nagri Sumedang, anu jaradi muslimin, teu kacatur éta deui, sababna pada aranut, pantes geus nurut riwayat, kacaturkeun deui tadi, di Sumedang saeusining manjing islam.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Sanggeus lila jumenengna, ratu Sumedang muslimin, ayeuna ganti anu kodrat raja geus bangsa muslimin, tékadna Majapait, jenengannana sinuhun, ngaratonan di Mataram, panembahan senapati hingalaga mangkurat buana.<span style="white-space: pre;"> </span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Nu ngréréh satanah Jawa, kabéh jaradi muslimin, ngan kari tanah Pasundan, ratuna ngéréh pribadi, dina hiji-hiji nagri, gancangna nu mangun catur, saantéro Pasundan, digulungkeun jadi hiji, kabéh sujud ka sinuhun di Mataram.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Henteu kacatur waktuna, panembahan senapati, ngéréhna tanah Pasundan, margana nya kitu deui, naha kalawan jurit, harti perang ngadu pupuh, saantero tanah Jawa, sumujud ka senapati, gancangna mah geus kawengku ku Mataram.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Sanggeus nyaho Mataram, nu pangkat ratu satadi, kabéh diganti ngaranna, kudu disebut bupati, saban-sabanna bupati, kabéh diganjar jujuluk, jeung bupati di Sumedang, jaman harita mimiti, jujuluk Pangeran Kusumah dinata.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Terus turun tumurun, sakur nu jadi bupati, nya kitu jenengannana, tepi ka ayeuna adat, sadayana eusi nagri,</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">lumbrahna sok digantina, lamun bupati geus pupus, jeung mangké anu ngaganti, ieu ogé pangéran Kusumah dinata.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Dina saenggeus wafatna, disebut pangéran santir, nelah nepi ka ayeuna, kasebut ngaran makamna, dalah tepi ka kiwari, lamun reugeuna geus pupus, salin disarebutna, lain keur jumeneng tadi, karéana disebut makamna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>2. Pupuh Asmarandana<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Sasurudna pangéran Santri, tuluy diganti ku putra, terus jenengannana téh, Pangéran Kusumahdinata, tatapi disarebutna, jeung pangéran Geusan Ulun, réa pisan caritana.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Sanggeus jumeneng bupati, Geusan Ulun téh garwana, nu kasebut wargi ogé, estuna urang Sumedang, ngan tedakna Pajajaran, nami Nyimas Gedang Waru, putri Sunan Pada nu ahli tatapa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Anu disarebut wali, Sunan Pada disebutna, dina jaman harita téh, mashur gedeng karamatna, nu cara di tanah Jawa, réa ulama nu mashur, nu sarupa Sunan Pada.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Laku nu jadi Raja, sanggeus ka bawah Mataram, saban taun kudu caos, ngadeuheusan ka Mataram, geus jadi kawajiban, lalakon sakitu jauh, komo susah perjalanan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Tatapi henteu dipikir, waktu kawajiban téa, dina saban taun caos, diiring ku waja balad, mawa gagaman perang, réana tepi ka ratus, kumaha geder nagrina.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Upacara jeung pangiring, anu marawa ampilan, nu disebut kaparabon, Geusan Ulun kacarita, kagungan kapetengan, pamanggul Ki Sayang Hawu, kaduana ki Nangganan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Anu ka tiiluna deui, disebut Ki Kondang Hapa, nu ka opat Ki Térong Péot, éta opak kapetengan, mungguh nu ayeuna upas, beurang peuting tara jauh, disaréngkak dicacandak.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Ngan Sayang Hawu pribadi, ngaranna Jaya Perkasa, ari baturan nu séjén, heunteu disebut ngaranna, tapi geus tangtuna aya, tatapi heunteu kacatur, yén aya deui ngaranna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Aya anu kocap deui, jeung pangéran Panembahan Ratu, Sultan di Cirebon, pernah sadérék misan, réhna tunggul tetedakna, jeung Pangéran Geusan Ulun, loma wantu sadérékna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Pada tedak Gunung Jati, ari Pangéran Panembahan Ratu, geus lami jumenengna téh, malah ka asih ku sunan, datang ka enggeus diganjar, ku putri anu disebut, Ratu Emas Harisbaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Éta estuning putri, putrana Pangeran Adipati Katawengan </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Malah ari radén putri, Radén Emas Pancawarna, geus numutkeun ka Cirebon, ngabéla ankara kana, ayeuna nu kacarita, jeung Pangeran Geusan Ulun, geus sugema jumenengna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Réh kasebut aya wali, jadi paguron tarékat, Geusan Ulun lajeng baé, jengkar ka nagara Demak, ditengahna perjananan, dumadak gok baé tepung, jeung Pangéran Girilaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Langkung sami suka galih, teu kamanah ti tadina, baris tepung jeung sadérék, Panembahan Ratu pék mariksa, rayi téh badé kamana, pihaturna Geusan Ulun, seja jarah ka Demak.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Sadalah raka pribadi, ayeuna malah ti Demak, nya kitu nu dimaksud téh, nepangan paguron téa, istuna utama pisan, baris ngahususkeun élmu, karaos sugema pisan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Sambung pamuji kang rayi, sakersa puji laksana sareng wewekas kakang téh, samulih rayi ti Demak, méga sindang ka si kakang, di Cirebon urang ngumpul, sareng kadang kulawarga.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. ( … ) geus maksud ti tatadi, Geusan Ulun pangwalonan, rék dumeuheus ka Cirebon, ayeuna aya timbalan, digetakeun caritana, Panembahan Ratu, Geusan Ulun, lajeng baé séwang-séwang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Panembahan Ratu lajeng mulih, Geusan Ulun terus ka Demak, kocapkeun énggalna baé, Geusan Ulun di Demakna, henteu panjang caritana, ngaji rahu enggeus cukup, sakersana geus laksana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Geusan Ulun enggeus mulih, teu kacatur dijalanna, enggeus sumping ka Cirebon, dipapag ku Panembahan Ratu, dina gok baé patepang, duanana sami munjung, jeung dihaturanan linggih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Geus lami pada caralik, kalangkung suka manahna, patepang pada sadérék, dasar beunang ngajangjian, Panembahan Ratu, lajeng ngagentraan nyaur, riya ratu Harisbaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Énggalna téh geus jol sumping, Ratu Emas Harisbaya, pilahirna raka na téh, réh urang carang patepang, jeung prabu ti Sumedang, manéhna kakara tepung, ieu téh sadérék misan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Tenggal tedak Gunung Jati, manéh ulah asa-asa, nya ngaboja ka rama téh, réh urang carang patepang, Ratu Emas Harisbaya, tungkul jeung pasemon imut, sanggeus pada silitingal.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Banget kapincut nya galih, ti beurang gok gé patepang, kakara ningal nu kasép, sarta mancur cahayana, Ratu Emas Harisbaya, banget pisan ngalilibur, ulah katawing gagiwang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Geus sami rék caralik, adat pangboja karmana, ti dinya Geusan Ulun téh, diperenahkeun kulemna, ku Panembahan Ratu, dikulemkeun dina tajug, anu parek ka bumina.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Panembahan Ratu tadi, sanget ngolah agamana, sabawah nagri Cirebon, ragem ngolahna agama, panganggeuna Panembahan Ratu, sok mindeng nyauran kumpul, Kiyai para ulama.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">26. Ngahususkeun élmu dahkik, di waktu jaman harita, luluguna di Cirebon, nu agem ngolah agama, réhna loba urang Arab, ayeuna gancang kacatur, saur Pangéran Girilaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">27. Ka sadaya para alim, supaya sakabéh terang, kawula keur bungah haté, enggeus tangtu ka rujukan, yén kawula ayeuna, ieu kasémahan dulur, Raja ti Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>3. Pupuh Kinanti<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Ti dinya pada marunjung, para alim silih genti, Geusan Ulun suka manah, ningal kumpul para alim, ku Panembahan Ratu, ditujulkeun hiji-hiji.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Anu anom anu sepuh, dijenengan para alim, Geusan Ulun suka manah, lajeng nganggo para alim, pilahirna ka sadaya, nuhun jeung andum pamuji.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Ramé muslim unjuk nuhun, pihaturna para alim, jeung teu pegat malencrongna, aromongna para alim, ieu bupati Sumedang, éstu jalma luhur singgih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Eukeur mah pangagung luhur, nya kasép nya hadé budi, lain jalma samanéa, pantes karamatna leuwih, saur Pangéran Girilaya, paménta akang ka adi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Mun tong waka gura giru, nya kersa mulih ka bumi, di dieu ngeureunan palé, mulih angkat ti nu tebih, ti dieu kana gigir Demak, lalakon welasan peuting.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Pihaturna Geusan Ulun, sadaya-daya kairing, kocap Ratu Harisbaya, saban poé saban peuting, tambah-tamnah kagiunganna, méh teu bisa mengkek galih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Tampolana hayang gapruk, ngerewes muaskeun ati, sakuat-kuat ditahan, kacarita hiji peuting, Geusan Ulun enggeus tibra, kulemna di masjid tadi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Pamajikan nu kacatur, Girilaya jeung Nyi Putri, tapi nu tiba kulemna, ngan Girilaya pribadi, ari Ratu Harisbaya, nyileuk teu pegat ka éling.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Geus teu tahan nahan napsu, tuluy gugah terus indit, ninggalkeun raka nu tibra, kaluar ti jero bumi, rérépéhan ……………. ngajugjug golodog masjid.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Pakuleman Geusan Ulun, pantona nutup di konci, tuluy baé diketrokan, suganna aya nu nyaring, tina hantem diketrokan, Ki Sayang Hawu ngalahir.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Kacaturkeun Sayang Hawu, hudang tuluy muka konci, dibuka tuluy kaluar, digolodog geus papanggih, Geusan Ulun Harisbaya, pihaturna mangga gusti.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Tidinya tuluy arasup, Geusan Ulun geus ngalahir, tuluy gugah gok patepung, henteu antaparah deui, Geusan Ulun Harisbaya, silirangkul jadi hiji.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Sarupa puyuh keur tarung, duanana pada nangis, bawaning kaliwat suka, manahna pameget istri, teu nyana gancang laksana, beunang mikir beurang peuting.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Kacatur Ki Sayang Hawu, kacida atina ketir, hookeun ningal gustina, pikirna banget nya watir, Ki Sayang Hawu unjukan, aduh deudeuh teuing gusti.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Tanpa guna sedih kalbu, ayeuna pihatur abdi, langkung saé urang jengkar, urang mulih sapeupeuting, montong rék sumelang manah, jamakna tanda lalaki.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. ( … ) na aya nu nyusul, montong rék sumelang galih, abdi enggeus ihlas pisan, pecah dada mucrat getih, ku Geusan Ulun kamanah, ajang nyaur ka Nyi putri.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Ku eulis tangtu kadangu, bieu pihaturna aki, mun éstu sapuk jeung manah, hayu atuh urang indit, pihaturna Harisbaya, sumerah raga jeung pati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Kajeun lebur bubuk ajur, lamun katampi ku gusti, kebatna ieu carita, kapisutri jero masjid, pada angkat rérépéhan, dina wanci tengah peuting.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Kacaturkeun Sayang Hawu, bari ngagandong Nyi putri, ari gandek nu tiluan, dipengkeureunana ngiring, kébat kaluar ti kota, Geusan Ulun jeung Nyi Putri.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Ayeuna anu kacatur, Girilaya jero bumi, barang ngalilir kulemna, ngarampa rayi Nyi putri, teu aya gédébgeunana, Girilaya hameng galih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Lajeng Girilaya nyaur, saurna kamana eulis, naha mana waka hudang, kapan ieu masih peuting, lila digentraannana, lajeng nyaur eusi bumi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Ger daratang nu disaur. dawuhna mana Nyi putri, geta anu dipariksa, réh pada kakara nyaring, ku Girilaya kamanah, gerwana tangtu ngaleungit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Ti dinya tuluy pahibut, gujrud jalma pada nyaring, gujrud (…) kahuruan, karagét leungiteun putri, pating salebruk dipapay, najan masih poék peuting.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Gancangna tepi ka isuk, saurang taya nu cicing, tepi kabar beurang pisan, tacan aya nu mikir, yén putri dibawa minggat, kabéh deudeupeun teu hari.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Beuki tambah tingsalebrung, katambah balad perjurit, pada sadia dangdanan, sabab pada geus kapikir, moal salah teu karuhan, Nyi putri tangtu dipaling.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">26. Komo nu asup ka tajug, geus tuluy baé kapikir, yén sémahna geus teu aya, mo gagal éta nu malimg, ku sémah urang Sumedang, tangtu hamo salah deui.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>4. Pupuh pangkur<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Saur Pangéran Girilaya, ka sakabéh wadiya balad perjurit, ku maranéh kudu susul, sémah urang Sumedang, mun kasusul éta téh si Geusan Ulun, manusa kurang tarima, ka ngaran pangkat bupati.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Gancangna nu diparéntah, kapetengan saukur para perjurit, ting salebrung ngulon gidul, réh aya dua jalan, saharita ka kulon reujeung ka kidul, ti Cirebon ka Sumedang, tur jalanna kabéh rumpil.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Kacaturkeun anu minggat, ka Sumedang Geusan Ulun jeung Nyi putri, jongjon lakuna geus jauh, ninggang wates Sumedang, kacaturkeun awasna Ki Sayang Hawu, manéhna ningal katukang, rasana geus rék katepi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Nu nyarusul pirang-pirang, Sayang Hawu taya pisan nu gimir, pihatur ka Geusan Ulun, gusti sumangga tingali, itu jalma pirang-pirang tangtu nu nyusul, tapi montong seber manah, lamun masih hirup aki.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Anggur lajeng kebat angkat, malah ogé kaleng rayi Nyi putri, abdi mah di dieu kantun, badé ngadagoan Jawa nu nyarusul, najan puluh najan ratus, teu gimir bulu salambar, geus téga labuh pati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Ki Sayang Hawu opatan, jeung baturna caricing taki-taki, kacatur anu nyarusul, geus jol pada daratang, nu nyarusul patepung jeung Sayang Hawu, henteu panjang silitanya, geus prak baé tarung jurit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Sarupa banténg bayangan, Sayang Hawu jeung opat batur tadi, galak ngamukna ka musuh, unggul pisan jayana, tingjaloprak musuhna anu rarubuh, tingjolopong patulayah, Sayang hawu mandi getih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Kakepratan ku musuhna, tina gulet ngadu pedang jeung keris, Sayang Hawu kotak weduk, teu terak ku pekarang, nu nyusul sakarina nu rarubuh, pada mabur lalumpatan, taya kari dahiji.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Ki Sayang Hawu opatan, jeung baturna di dinya nagen cicing, réh musuhna kabéh mabur, ayeuna kacarita, nu keur angkat Nyi putri jeung Geusan Ulun, kacatur di jalanna, ka Sumedang eggeus sumping.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Nya éta ka kutamaya, pada hébat sakabéh abdi, pada maruru ngarubung, saréh lami angkatna, kagét héran cacatur jeung pada batur, ngiring atoh gusti urang, mulihna ngaboyong putri.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Pada hayang narongtonan, réh kakara aya di dinya putri, kacaturkeun Geusan Ulun, banget sumelang manah, réh sawadi Harisbaya geus miunjuk, enggeus ngadeg dua bulan, ngan kantun sumelang ati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Kitu hatur Harisbaya, tayoh ulah raka sumelang galih, tatapina Geusan Ulun, banget sumelang manah, réh geus angkat nyacat nu sakitu jauh, ti Cirebon ka Sumedang, tur angkatna beurang peuting.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Ratu Emas Harisbaya, sasumpingna kalangkung hégar galih, hébat ningal gunung, leuweung mah sumawona geus kalangkung istu leuweung luwang liwung, ti Cirebon ka Sumedang, nanjak mudun komo rumpil.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Tapi teu raos sangsara, katukeran ku katresna galih, lajeng Geusan Ulun nyaur, jeung pasemon marahmay, Eulis ulah rék ngagugu manah reungu, réh nénjo tanah Sumedang, jeung Cirebon lain deui.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Kaéndahan kamulyaan, hanteu aya ayeuna mah diganti, nya leuweung luwang liwung, jalma ngan sakur aya, geus ngapasten kudrating Alloh nu agung, warna eusi alam dunya, nu aya di kolong langit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Ratu Emas Harisbaya, ngawalonan pasemon hégar galih, saurna kuring saumur, teu acan gaduh rasa, nu sakieu bungahna sagunung-gunung, paribasa laut lega, lega kénéh ati kuring.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Ku Geusan Ulun kamanah, pangleuleunjar salahir-lahir putri, leleb mésem Geusan Ulun, puguh gé lalawanan, paribasa gula katinyuh ku madu, nya éta bandingannana, nu kasép reujeung nu geulis.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span>18. Sigeg mu di kutamaya, gusti abdi pada barungah galih, </span><span>Ki Sayang Hawu kacatur, sabaturna tiluan, tacan ingkah ti urut tarung jeung musuh, di dinya didaragoan, bisina baralik deui.</span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Caturna Ki Kondang Harpa, snggur hayang nyarusul gusti, di dieu téh tambuh laku, gé geus sakitu lilana, tanpa guna urang nyangadago musuh, tugenah si Jawa édan, hirup téh jerenih ati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Sanggeus rempeg jeung baturna, tuluy baé ti dinya arindit, gustina anu diburu, ngajugjug kutamaya, sadatangna ku baturna dibaruru, aromongna baragéa, catur awéwé lalaki.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Nu aya di kutamaya, teu nyahoeun yén entas tarung jurit, ti dinya Ki Sayang Hawu, ngadeuheusan ka gustina, ngadadarkeun mentas tarung jeung musuh, nu paéh gempur bangkéna, nu hirup malabur miris.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Purwa abdi henteu énggal, ngadagoan bilih baralik deui, pilahirna Geusan Ulun, nuhun ka Gusti Alloh, kadarkeun urang mulus jeung rahayu, jeung kula banget tarima, tina kabélaan aki.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Jeung sabaturna tiluan, gumelana pada naruh ati, mangsa bodo anu agung, nu pimalesenana, ka opatan nu geus ngadu tarung pupuh, dipaparin kaunggulan, lepas tina baya mati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>5. Pupuh Dangdanggula<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Tunda heula nu keur bungah galih, Geusan Ulun reujeung Harisbaya, sasat eukeur oléng pangantén, beurang peuting dirubung, ku sadaya ais pangmapih, pada meungpeung kasukaan, ayeuna kacatur, Girilaya sadatangna, nu nyarusul baladna perjurit, éta nu nyusun garwana.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Nari unjuk salampahna tadi, nyusul rayi Harisbaya, dugi ka wates Cirebon, geus méh kasusul baé, istu sidik rayi dipaling, ku bupati Sumedang, dicandak ka gunung, purwa henteu terus kebat, réh dijagi ngantos lami tarung jurit, jeung kapetengannana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Gancangna téh nyaur Ki nyai patih, dawuhanana Pangeran Girilaya, bapa patih ayeuna téh, urang montong rék gugup, enya ogé sidik dipaling, Nyi Ratu Harisbaya, ku si Geusan Ulun, tangtu enggeus di Sumedang, tapi urang kudu nyaho sidik, na dimana cicingna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Lajeng baé ngawalonan patih, maksud abdi badé ngajurungan, nu rupa dagang pépéték, nya éta badé nyamur, di dituna ulah katawis, badé milih abdina, nu badé dijurung, ku Girilaya kamanah, pilahirna rempug pisan bapa patih, gancangna baé milampah.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Sanggeus kitu tuluy baé patih, nyiar anu beunang dipercaya, gancangna geus meunang baé, dua jalma geus laju, ku Sumedang lakuna demit, sarupa nu dagang, dagang lauk laut, layur pépéték jeung peda, teu kacatur dijalanna enggeus tepi, datangna ka Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Dina pasar dagang wara wiri, teu katangen yén éta utusan, ayeuna gancangna baé, Harisbaya kacatur, sasumpingna di jero puri, tacan angkat-angkatan, kara kapihatur, hoyong ningali di pasar, lajeng angkat pirang-pirang anu ngiring, enggeus sumping ka pasar.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Geus tinangtu pasarna leutik, tuluy ngider ningali dagangan, béh anu dagang pépéték, jeung rupa-rupa lauk laut, Harisbaya manahna éling, di Cirebon hargana, éta lauk laut, tuluy mariksa hargana, hiji peda pihaturna genep duit, bangun kagét manahna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Harisbaya kagét jeung ngalahir, banget teuing dimahalkeunana, kami nyaho di Cirebon, hargana lauk laut, lamun hiji peda saduit, lajeng anjeunana angkat, ayeuna kacatur, anu nyamar dagang peda, narenjoan ka Nyi putri, enggeus sidik nya éta nu ditéangan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Tuluy baé gura giru indit, teu kacatur lakuna di jalan, jol geus datang ka Cirebon, tuluy baé ngajugjug, ka bumina Kiyai patih, jeung pada arunjukan, salakuna untung, estu kabeneran pisan, tacan lila di jalanna geus jol sumping, Nyai putri ka pasar.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Puguh ogé waktuna satadi, réa jalma geus pada terang, ka Ratu Harisbaya téh,<span style="white-space: pre;"> </span>geus pertéla pihatur, éta dua utusan tadi, dibawa ngadeuheusan, ka jero kadaton, diunjukeun titih pisan, sanggeus tamat ku Girilaya ka galih, tuluy mindel sakedap.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Sanggeus kitu milahir ka patih, bapa patih geura paréntahan, kapetengan perjurit, tuluy baé ngarurug, ka Sumedang sabab geus sidik, Harisbaya ayana, tuluy baé tempuh, masing samakta gagaman, Sumedang téh wantuning nagara leutik, sajongjongan gé bedah.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Tapi urang leuwih hadé titih, Geusan Ulun disuratan heula, ditanya sapakarepan téh, naha karepna taluk, jeung nyanggakeun deui Nyi putri, lamun niat ngalawan, geus tangtu ditempuh, ulah sambat kaniaya, moal burung bangkéna manéhna disiksik, keur hakaneun buhaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Ti dieu nu mawa surat tadi, campur baé jeung balad anu réa, montong bareng datangna téh, balad mah kudu tunggu, sabalikna utusan tadi, nu mawa surat téa, mun si Geusan Ulun, teu taluk sarah bongkokan, tuluy tempuh sing datang ka burak barik, ka pangradegan téa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Saharita jalan leutik rumpil, gedena gé ngan satapak, ngan anu ratana téh, turut sisi Cimanuk, geus didinya balad perjurit, mapay cai ka girang, sisi Cimanuk, milihan nu rada lempar, ka Cipeles muarana geus nepi, di dinya manggih lempar.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Tuluy mapay ganti sisi cai, enya éta sisi Cipeles girang, ti dinya balad-balad téh, kandeg ka gunung batu, nu rarenges luhur ngadingding, kabéh pada nareuba, ngeureunan lumaku, pada nyieun pamondokan, sakadarna pernahna di sisi cai, pada ngasokeun badan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Marondokna kakara sapeuting, dumadakan méh kabéh muriang, réa anu ngadadak paéh, tuluy pada pahibut, sakuatna pada arindit, nyaringkahan ti dinya, bari meuli catur, tangtu ieu téh gogoda, tah tidinya anu nepi ka kiwari, sebut ngaran godang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Kocap anu mawa surat tadi, teu ngarandeg terus mawa surat ka Sumedang, tuluy disanggakeun baé, surat ka Geusan Ulun, geus diaos ungeling tulis, henteu kaungel panjangna, tapi enggeus tangtu, kukuh atawana pasrah, caritakeun kanu mawa surat kami, Geusan Ulun dawuhna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Ayeuna mah manéh geura balik, hég béjakeun ka si Girilaya, beurang peuting didago, lamun niat ngarurug, tanda enya anak lalaki, montong rék adu balad, ku kami ditunggu, utusan téh geus bral mulang, kacaturkeun Ki Sayang Hawu caringcing, saréh geus meunang béja.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Ti Cirebon geus datang perjurit, rék nempuh nagara Sumedang, tapi ayeuna ngadago, didinya karumpul, kapetengan para perjurit, Ki Sayang Hawu kocap, tuluy baé nyamur, néang anu ngumpul téa, manéhna ngajadikeun aki-aki, anu geus ripuh pisan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Kacaturkeun geus gok baé panggih, balad ti Cirebon nu keur ngumpul téa, pok nanya Sayang Hawu téh, naha mana ngarumpul, lebah dieu tempat nu suni, naha teu naréangan, nu deukeut ka lembur, diwalon ku wadiya balad, lamun aki teu nyaho dikasi, sabatur wadiya balad.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Ti Cirebon nu rék nempuh jurit, rék ngagesek pangeusi Sumedang, dina burak barik kabéh, komo si Geusan Ulun, rék diwejek jeung dijejewing, kadéngé aromongna, ku Ki Sayang Hawu, tuluy indit lalaunan, Sayang Hawu leumpangna téh api-api, ripuh rarampayakan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Kundang iteuk ku awi sapasi, sanggeus jauh ti nu ngumpul téa, tuluy gagancangan baé, mareuk ka Geusan Ulun, terus unjuka salaku tadi, réh ratusan baladna, ti Cirebon ngumpul, gugundukan tengah jalan, jeung manéhna nyamur jiga aki, jeung barina tatanya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Aromongna wadiya balad tadi, kaunjukeun taya nu kaliwat, Geusan Ulun mindel ngomong, pamikir Sayang Hawu, gustina sumelang galih, Sayang Hawu unjukan, agung panuhun, montong rék sumelang manah, rehing badé urang téh dirurug jurit, ka baladna Girilaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Najan tambah baladna perjurit, asa teu gimir bulu salambar, diketrukeun sa Cirebon, baréto nu nyarusul,</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">geuning kabéh malabur miris, abdi neda jiadna, sumeja ditempuh, nu badé ngarurug téa, ulah kantos kadieu aya anu nepi, sina kabur barurakan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Pilahirna Geusan Ulun aki, kula henteu alang kumapalang, nya percaya ka aki téh, ngan kudu mawa batur, urang kudu laku jeung titih, da nyorangan mah nista, catur Sayang Hawu, sinareng gaduh paneja, hadé melak hanjuang jadi partawis, abdi téh nya gumelar.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>6. Pupuh Durma<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Unamina éta téh tangkal hanjuang, katingali ku gusti, aralum (……), atawa paéh pisan, éta téh jadi pertawis, kasoran perang, musuh nu unggul jurit.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Tapi lamun hanjuang téh belegerna, montong sumelang galih, ulah kurang jiad, abdi masih gumelar, Sayang Hawu nyembah indit, nyiar hanjuang, teu lila enggeus manggih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Sayang Hawu melakkeun tangkal hanjuang, reujeung di ati-ati, teu aya nu ningal, di alun-alun pisan, wantuning keur laku demit, geus kitu mangkat, baris mapag ngajurit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Dibarengan ku batur tiluanana, pada dangdan jurit, nya éta nangganan, rawuh Ki Kondang Hapa, Térot péot kitu deui, geus bral mariang, datang ka urut tadi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Kapicatur geus prak baé tarung perang, teu silinanya deui, jalma nu opat, dihurup ka ratusan, tapi henteu pisan gimir, sanajan opat, pada maratek aji.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Weduk banyu kabedasan halimunan, mun dikadék sakali, liput ku harita, sakitu jajatén, balad Cirebon mariris, nungtutan lumpat, malabur burak-barik.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Burakna téh ngidul ngulon ngalér ngétan, hantem baé dibeberik, opat kapetengan, sayang Hawu nanganan, jeung anu duaan deui, enggeus papisah, musuhna dibeberik.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Dua tilu poé harita perangna, pada tacan baralik, kocap Ki Nangganan, pangheulana mulangna, tuluy unjukan ka gusti, lakuna perang, musuhna kabur miris.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Mariksakeun aki Sayang Hawu mana, walonna duka gusti, saréh papisahan, waktu ngalawan perang, tilu dinten tilu wengi, teu pisan tepang, jajah pada ngajurit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Pilahirna Geusan Ulun karangganan, sugan katempuh jurit, walon Ki nangganan, duka gusti dimana, ngan batur nu dua deui, rajeun katingal, dina waktu ngajurit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Gausan Ulun ngadangu hatur nangganan, banget manahna sedih, jadi dimanahan, Ki Sayang Hawu tiwas, ngan éta andelan jurit, ayeuna tiwas, na rék kumaha deui.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Geusan Ulun nyaur Ratu Harisbaya, pok ngalahir ka rayi, eulis urang tiwas, Ki Sayang Hawu tilar, teu timu ihtiar deui, taya andelan, atuh cilaka diri.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Taya lian hayu urang ingkah gancang, marubus ka nu buni, walon Harisbaya, abdi ngiringan pisan, Geusan Ulun nyaur patih, dawuhannana, harayu bapa patih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Arajakan jalma kabéh sanegara, urang pada arindit, ninggalkeun negara, bawa saraja banda, urang mubus ka nu buni, urang ihtiar, sugan nolak bala’i.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Réhna aki Syang Hawu katiwasan, maot katitih jurit, geus teu aya andelan, kajaba ti éta, walonan Kiyai patih, sadaya-daya, ngiring sakersa gusti. </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Kacaturkeun ti kutamaya barudal, nanjak ka leuweuh sami, di jaman harita, teu acan dingaranan, cara perti kiwari, nelah ngaranna, dayeuh luhur nagri.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Geusan Ulun lali kana perjangjian, Sayang Hawu satadi, geus nyieun tangara, tangkal hanjuang téa, upama masih walgri, montong sumelang, pertawis unggul jurit.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Geus bral mangkat sapangeusi kutamaya, sabogana diringkid, ti dinya pernahna, ka kidul méngkol ngétan, narajak di pasir reungit, terus kawétan, sami marentas cai.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Ari nu dimaksud dijugjug téa, suku gunung Rengganis, anu pangwétanna, réh luhur momonggorna, disebut ku kiwari, nya kabuyutan, mashur kamana mendi.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Éta nu disebut kabuyutan, sipatna batu Curi, nangtung cara tihang, kawas ti jaman budha, nepi ka jaman kiwari, taya robahna, ngadeg di puncak pasir.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Gancangna téh teu kacatur dijalanna, Geusan Ulun sumping Sumedang manéhna, réh Ratu Harisbaya, ngandegna geus dua sasih, waktu harita, tur nyorang jalan rumpil.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Tapi Ratu Harisbaya berag pisan, kocapkeun abdi-abdi, pangeusi nagara, sakabéh geus daratang, jeung ngirid saanak rabi, pada bebenah, baris enggona cicing.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Henteu lila geus jadi rupa negara, najan taringgul rumpil, tina kaperluan, geus diatur ditata, bumi ménak abdi-abdi, komo lebetna, pantes bumi bopati.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Kacaturkeun malikan deui carita, Ki Sayang Hawu tadi, keur waktu perangna, unggul pisan gagahna, musuhna kabur miris, hantem diudag, teu weléh ngabeberik.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Kiyai Sayang Hawu ngarandeg ngudagna, tina kacida teuing, jauh ti urutna, tadi mimiti perang, tuluy hohorakna tarik, dagoan Jawa, nurus tanjung jejerih.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>7. Pupuh Sinom<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Éta jadi sasakala, urut Sayang Hawu tadi, hookeun ka musuhna, nu diudag mabur miris, tepina ka kiwarina, aya lembur disarebut, ngaranna dago Jawa, picaturna nini aki, di Sumedang mashur kitu riwayatna.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Kebatkeun ieu carita, Ki Sayang Hawu téh tadi, ngarandeg eureun di dinya, ka manéh téh kapikir, ayeuna anggur balik, tanpa guna sedih kalbu, sakieu dihookan, taya anu balik deui, ti dinya téh Sayang Hawu terus mulang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Bari néangan baturna, dipapay diilik-ilik, dina urut tarung perang, bari gegeroan tarik, barina diilik-ilik, ka nu buni ka nu singkur, pikirna palangsiang, pada kasoran ngajurit, hantem srok jeung bari bingung pikiran.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Sayang hawu henteu nyangka, yén batur enggeus baralik, panyangkana katiwasan, sugan layonna kapanggih, jeung dihantem disungsi, di nu buni di nu singkur, sanggeusna weléh néangan, Sayang hawu datang pikir, leuwih hadé kami gancang baé mulang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Tina geus weléh néangan, rék diunjukkeun ka gusti, tuluy Sayang hawu mangkat, henteu weléh alak ilik, ka kanan sareng ka kiri, nya éta ngilikan batur, barina jeung gegeroan, gancangna baé geus nepi, kagét bengong ningal dayeuh kutamaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Kagéteun kabina-bina, pikirna asa ngimpi, jeung nénjoan imah-imah, kosong nepi runtang ranting, taya jalma sahiji, alak ilik ngalér ngidul, tuluy Jaya perkasa, ingeteun jangjina tadi, enggeus nyieun tatanda tangkal hanjuang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Ti dinya tuluy ditéang, teu lila geus béh kapanggih, éta téh tangkal hanjuang, belegerna hirup hurip, ti dinya téh kapikir, tayohna téh Geusan Ulun, henteu ningali hanjuang, teu ngadeuleu kana jangji, abong-abong ka jalma bangsa urakan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Manéhna datang pikiran, kakara manéhna indit, nénjo urut jalma budal, mapay ka kanan ka kiri, taksiranana sidik, pangkosong pada murubus, paranan ngidul ngétan, hantem dipapay disungsi, jeung papanggih jalma anu lalar liwat.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Ti dinya meuang carita, di gunung geus ngadeg nagri, nu budal ti kutamaya, beuki lila beuki sidik, ti dinya ganti pikir, Sayang hawu datang napsu, leumpangna beuki gancang, teu karasa jalan rumpil, kacaturkeun ka dayeuh luhur geus datang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Tuluy baé ngadeuheusan, Geusan Ulun eukeur calik, dideuheusan ku baturna, Geusan Ulun kagét galih, barang rét katingali, tuluy digupay disaur, kocap jol kapayuneun, lahir bagéa aki, Sayang hawu tungkul heunteu ngawalonan.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Ngan tuluy baé unjukan, kunaon margina gusti, mana ngalih ti negara, ka nu luhur ka nu suni, eujeung sakieu rumpilna, pilahirna Geusan Ulun, nya dalah kumaha, ihtiar salamet diri, mending mubus tibatan badan cilaka.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Sanggeus kula meunang béja, yén aki kasambut jurit, teu aya deui andelan, kajaba aki pribadi, tuluy baé ngagidir, awakna Ki Sayang hawu, jeung bari piunjukna, kapan abdi enggeus jangji, nyieun tanda tangkal hanjuang nu nyata.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Upami éta hanjuang, nu didamel tawis tadi, rubuh atawa perang, komo mun paéh sakali, éta pertawis abdi, kasoran paéh ku musuh, tatapina kagét pisan, barang dongkap béh baé kapanggih, béh ditingal nagara geus burak pisan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Bengong baé sajongjongan, teu aya jalama sahiji, ku hayang nanya sababna, dayeuh kosong runtang ranting, ti dinya datang pikir, boa hanjuang téh rubuh, tuluy baé di téang, barang béh istu walagri, heunteu robah hirup belegerna pisan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Na kumaha katingalna, ku gusti waktu satadi, Geusan Ulun pilahirna, kami nya poho téh teuing, eujeung kaburu kapanggih, jeung batur aki nu tilu, anu tadi babarengan, ti dieu rék mapag carita, sadatangna ku kami gancang ditanya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Aki Sayang hawu mana, mana henteu bareng balik, pihatur aki nangganan, sumuhun duka gusti, réh tilu opat wengi, abdi henteu tepang, dina saméméh mulang, sareng batur disarungsi, dilalahan dina urut perang téa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Ieu ku batur tiluan, weléh baé teu kapanggih, manawina katiwasan, paéh katitih ku jurit, bangkéna disumput buni, saakal-akalna musuh, kami téh ka kabéh pisan, banget nya ngahelas ati, ngalenggérék sarupa anu kasima.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Leungit pikiran ihtiar, sarehing teu aya deui, anu dijieun andelan, kajaba aki pribadi, ti dinya datang pikiran, anggur gura giru mubus, ngingetkeun santosana musuh, nu garagah sakti, tangtu pisan ngaburu ka kutamaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Harita Ki nangganan, aya dipayuneun gusti, ti dinya Jaya Perkasa, napsu awakna ngagidir, ngejat ujung nyabut badi, jeung ngarontok bari numbuk, nu keuna Ki nangganan, geus teu bisa hudang deui, Ki nangganan paéh babar pisan. </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Geusan Ulun jengkar ngejat, jeung lajeng nguncikeun bumi, ayeuna nu kacarita, ki Sayang hawu indit, kawas anu henteu éling, bari ngomong turun jadu, wates ieu ngawula, moal ngawula deui, nu gumela henteu pisan katarima.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Sakieu nya ngabélaan, sosoroh ngalebuh pati, angger ngagugu nangganan, manusa bohong jejerih, ngomongna bari ceurik, bari leumpangna téh ngidul, ieu téh panganggeusan, moal rék ngawula deui, kadunungan nu teu boga panarima.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Sayang hawu bari leumpang, ngeuwah napsu liwat saking, mayitna Aki nangganan, pinuh kabalur ku getih, kabéh pada careurik, reujeung pada ngagugulung, nu araya di dinya, geus teu kacaturkeun deui, Ki nangganan mayitna geus dikaluwat.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Ari Ki Jaya Perkasa, tonggoy atina sedih, tapi henteu kacarita, manéhna merenah cicing, ngan tahoyna henteu pati, jauhna ti dayeuh luhur, samalah ka carita, wasiatna wanti-wanti, talatahna kasakur anak incuna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Pokna lamun aing ajal, teruskeun paménta kuring, kubur deukeut kayuyutan, rada béh kalér saeutik, jeung mangkéna mayit aing, dikuburna sina diuk, jeung ulah sina nangkarak, sabab aing henteu sudi, nyanghuluan ka lebah urut dunungan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Saréhna ti kabuyutan, ngalér ngulon saeutik, kana palebah bumina, dunungannana nu tadi, jeung talatahna deui, kuburan aing …… papaduan ulah maké cara Jawa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">26. Anu kasebut batikan, totopong atawa samping, karembong jeung salianna, anu kangaranan batik, kusababna aing ijid, ka Jawa Cirebon musuh, saha anu ngamaha, kana ieu papagon aing, seug rasakeun mangké ayay babalesna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">27. Tepi ka jaman ayeuna, nu daratang ménak kuring, lamun jarah ka makamna, Aki Sayang hawu tadi, maké kangaranana batik, kudu bangsa nu ditinun, tapina jaman ayeuna, tara aya anu wani, jarah ka makam Jaya Perkasa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">28. Makamna Jaya Perkasa, rupana istu pasagi, teu siga makam nu loba, téténggérna gé ngan hiji, babasan malawading, tanda dikuburna diuk, sakitu caritana, ki Sayang hawu tadi, tedak catur aya nurun manurun. </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>8. Pupuh Dangdanggula<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Kacaturkeun nu keur pada sedih, Girilaya rawuh ponggawana, saeusi nagri Cirebon, réhna geus kapiunjuk, ku baladna para perjurit, nu kakara daratang, mareuntas ngarurug, ngarurug kutamaya, nu harirup pada mabur mariris, nu paéhna pirang-pirang.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Ku Girilaya enggeus ka galih, najan henteu sieun tatamplokan, ku pangeusi Cirebon, kutamaya dirurug, najan untung tapi kagalih, nyieun cua manahna, najan geus parabu, tapi éta Harisbaya, najan geulis réh papisah enggeus lami, dawuh ayeuna di nu lian.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Moal pegat mangké cua galih, Harisbaya masih tedak sunan, lain awéwé anu hadé, lakuna hina nusud, wani téga tinggal salaki, hina taya kawirang, Girilaya nyaur, ka anu ngadareuheusan, para ponggawa rawuh pangulu jeung patih, dawuhan Girilaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Ayeuna mah ku kami ka pikir, moal owél ku si Harisbaya, awéwé nu goréng haté, ngan inget ka sinuhun, di Mataram anu maparin, ngaranna gé ganjaran, ti Kangjeng sinuhun, pertanda kami kamanah, kumawula ngaranna pangkat bopati, tanpa raos kacida.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Lamun kami henteu gusal gasil, teu unjukan syukur kajadina, sumelang senang bebendu, siga teu sembah nuhun, ganjaran henteu dipusti, tur éta Harisbaya, alona sinuhun, nu ngadeuheus bareng nyembah, jeung tarungkul artina pada saredih, welaseun ka gustina.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Pihaturna pangulu jeung patih, kasinggihan pisan sadawuhan, awon teu kaunjuk baé, ungelna kitabna hukum, menggah lampah jalma muslimin, upami awéwéna, ka salaki nusud, najan sabaraha lilana, lamun henteu ditolak mah ku salaki, masih tetep tikahna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Pilahirna ratu ka ki patih, ayeuna mah rék unjukan heula, patih geura milih baé, jalmana anu cukup, baris mawa surat ti kami, ka sinuhun Mataram, sina terus maju, mulangna mawa walonan, gancangna téh nu mawa surat geus indit, teu kacatur dijalanna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Ka karaton Mataram geus tepi, sadatangna aya anu nampa, éta utusan Cirebon, kaunjuk ka sinuhun,<span style="white-space: pre;"> </span>jeung suratna bawa tapi, geus diaos suratna, ku sunan ka maphum, kantenan ngangres galihna, gancangna ka utusan Cirebon tadi, geus ditimbalan mulang.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Sinuhun suratna dipaparin, dua surat bawaeun manéhna, keur kabupati Cirebon, utusan terus lajeng, ka Cirebon geus datang deui, geus tangtu mulanan, lampahna nu mulang wangsul, kabatna ieu carita, gancangna téh dua surat geus katampi, ku Pangéran Girilaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Ma`lumna téh surat anu hiji, nu tujul ka Pangéran Girilaya, Yén sinuhun geus mangartos, nyieun ngangresna kalbu, pilahirna montong dipikir, tangtu papastén téa, ti Alloh nu agung, jaba kitu surat, anu hiji deui nya surat ti kami, kirimkeun ka Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Tuluy nyaur pangulu jeung patih, pilahirna Pangéran Girilaya, hadé ku pangulu ku manéh, mawa surat sinuhun, utamana manéh pribadi, merlukeun mawa kitab, pasal bangsa hukum, lamun Geusan Ulun islam, kudu turut saungeling hadis dalil, anging lamun masih budha.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Gancangna téh pangulu geus indit, ti Cirebon ka nagri Sumedang, jadi tambah susah téh, kudu nanjak ka gunung, sésélékét jalanna rumpil, harita mimitina, ngaran dayeuh luhur, tuluy ngadeuheusan, gancangna téh ku Geusan Ulun ditampi, réh enggeus loma tadina.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Tuluy baé nurut sunan tadi, disanggakeun sanggeus sing ka candak, ku Geusan Ulun diaos, saunina kamampuh, panjang teuning lamun dipikir, hai Ratu Harisbaya, ka salaki nusud, ulah jadi papanjangan, ayeuna mah ku manéh tikah sakali, tapi beuli tolakna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Ku panghulu disambungan deui, ku pitutur saunining kitab, ku Geusan Ulun kahartos, tuluy baé ngadawuh, ka panghulu kula geus ngarti, arék badami heula, jeung sabatur-batur, tidinya salah urang, para ponggawa panghulu reujeung papatih, cindekna geus kumpulan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Geusan Ulun geus milahir ka patih, bapa patih kudu saraksian, rawuh panghulu Cirebon, sarehna kula ngingu, istri anu boga salaki, Nyi Ratu Harisbaya, ka salaki nusud, geus ninggalkeun salakina, teu puruneun manéhna balik deui, hayangna tetep dikula.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Ti ayeuna kaula téh jangji, saraksian ku sakur nu aya, rawuh panghulu Cirebon, réh Harisbaya nusud,<span style="white-space: pre;"> </span> tanpa pamit tinggal salaki, saayeuna manéhna, nu masih ka kurung, ku tikahna panebahan ratu, pambrih leupas tina salaki, rék dibeuli tolakna.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Tapi lain dibeuli ku duit, dibeulina ku tanah, ti Sumedang ngétan, ngalér kidul sirah Cilubang, turut sisi walunagn cai, tepi ka muarana, tepung jeung Cimanuk, ngalér terus ka segara, satadina wates tanah tepis wiring, Cirebon eujeung Sumedang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Ti kidulna ti wates Cikijing, ngalér nanjak ka gunung Ciremay, terus ka gunung koromong, ngalér terus ka laut, méngkol ngulon sisi basisir, ti kulon sapanjangna, Cilutung Cimanuk, ningal ayeuna buktina, éta tanah pameuli tolak nu tadi, nya éta Majalengka.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Saapdeling anu lima distrik, kitu catur riwayat Sumedang, kocap panghulu Cirebon, tina geus hasil maksud, tuluy baé pamitan balik, teu kocap dijalanna, ayeuna kacatur, Girilaya ngadagoan, ngarep-ngarep teu pegat beurang peuting, mang panghulu téh datangna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Girilaya harita keur linggih, rék ningali panghulu jol datang, kalangkung manahna kagét, bengong ningali penghulu, panghulu téh nyembah ngabakti, gancang dipariksa, tuluy kapiunjuk, dina salaku lampahna, ka Sumedang nepi kana ninggang hasil, nya éta kanugrahan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span>21. Girilaya banget suka galih, meunang tanah sakitu legana, tambah jajahan Cirebon, </span><span>tina kasiwuh mujur, tuluy baé Kiyai patih, ngumpulkeun ponggawana, dipayuneun ratu, </span><span>gancangna téh didawuhan, sakabéhna cara nu disebut tadi, di Cirebon tambah lega.</span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span>22. Sigeung anu eukeur suka galih, Girilaya awit manggih duka, saréh garwa ta ngalolos, saayeuna geus lipur, </span><span>sakumaha kasebut tadi, duka gantina suka, caturna pitutur, galih, ngagarwa ka Harisbaya. ayeuna nu kacarita, Geusan Ulun geus tetep sugema </span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Ayeuna caturkeun deui, Raden Emas Pancawara téa, nu tinggaleun di Cirebon, geus lila tuluy nyusul, ka rakana numutkeun galih, harita Harisbaya, geus di dayeuh luhur, Pancawara manggih geunah, bumen-bumen tetep heunteu mulih deui, malah tedak-tumedakna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Ayeuna anu dibalikan deui, Raden Harisbaya sasumpingan, ka Sumedang eukeur bobot, saharita kasebut, ngadengna geus dua sasih, tina rada geus lawas, jadi ninggang waktu, itungan nu ngandek téa, lajeng babar wilujeng anu pinanggih, jeung pameget putrana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Geusan Ulun langkung suka galih, kitu deui Ratu Harisbaya, dimomong murangkalih téh, anggepna Geusan ulun, pangraosna putra pribadi, mangké dina ageungna, namina disebut, Raden Suriadiwangsa, kacarita Geusan Ulun lami-lami, putraan baranahan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">26. Ari putra nu sepuh pribadi, enya éta putra Harisbaya, diahirna nu ngagentos, kang rama Geusan Ulun, kalungguhan jadi bopati, nurun jenenganana, ngaganti jadi bopati,…………sawafatna ramana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">27. Lambat-lambat jumenengna bopati, Geusan Ulun nepi kasepuhna, kacatur cindekna baé, Geusan Ulun téh pupus, dugi ajal di jaman, ahir nya kitu Harisbaya, kacatur geus pupus, teu pajauh ti rakana, ninggang kana basa awét laki rabi, tepi kanganggeusanana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>9. Pupuh Asmarandana<br /></b></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Makam Geusan ulun tadi, rawuh makam Harisbaya, teu pajauh tempatna téh, saban nu jarah sadaya, kampang kaduanana, urut kota dayeuh luhur, nya éta di dinya pisan.</span></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Ayeuna malikan deui, turut uninga sajarah, garwana Geusan Ulun téh, kakocapkeun aya dua, disebut jenenganana, nami Nyimas Gedeng Waru, putrana susunan pada.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Ti dinya putrana deui, pameget ogé putrana, anu mangké ahirna téh, anu ngaganti rakana, bupatina ti Sumedang, dina sajero disebut, Pangeran Rangga gede téa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Putra Geusan Ulun tadi, nu aya dina sajarah, heunteu dikocapkeun kabéh, tatapi tedak tumedak, réa pisan nu rundayan, ieu mah anu kacatur, ngan éta baé nu dua.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Ari rakana nu tadi, anu ti Harisbaya, teu lila jumenengna téh, miturut caritaan mah, wafatna gé di Mataram, keur séséba ka sinuhun, jeung ninggalkeun dua putra.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Duanana putra istri, henteu mulang ka Sumedang, tangtu aya rundayan téh, sareh Pangeran Sumedang, kocapna di Mataram, dipiasih ku sinuhun, kongas kagagahannana.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Dalah nepi ka kiwari, henteu pegat caritana, jeung kasebut makamna téh, di desa Bembem ayana, taya anu pada jarah, ku urang dinya disebut, makamna kasumedangan,</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Réa pangagung ningali, di Solo reujeung di Yogya, éta pangeran Sumedang téh, wafatna nya di Mataram, nalika jamanna kuna, éta riwayat saistu, pantes lamun dipercaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Ayeuna malika deui, bopatina di Sumedang, Kangjeng Pangeran Ranggagede, geus putraan baranahan, jeung kami jumenengna, ngalihna ka dayeuh luhur, kawetaneun kutamaya.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Ngarana sisi cai, lega lempar lalahanna, ka kurilingan Cipeles, rapet ka kota ayeuna, sabeulah kalér wétan, malah kaitung kaasup, sisina kota ayeuna.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Ayeuna malikan deui, supaya sakabéh terang, satadi babad Cirebon, teu bisa laju jalanna, kuloneun lembur godang, kapegat ku gunung batu, jeung ngadadak maruriang.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Ari gunung batu tadi, nya gunung Cariyu téa, tepi ka sisi Cipeles, sakuloneun lembur godang, dalah jamanna ayeunna, ku jelema diserebut, yén sanget loba jurigan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Malah-malah geus kabukti, caritana nu ayeuna, dina waktu baréto,tahun lima puluh dua, baris dijieun jalan, mimiti ti Karang Sambung, anu terus ka Sumedang.<span style="white-space: pre;"> </span> </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Tatapi teu kungsi jadi, dina mangsa harita, timbanganana gupernemen, teu acan perelu pisan, tatapi dina taunan, sarébu dalapan ratus, jeung tujuh puluh dalapan.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Harita dipaju deui, neruskeun ngaganti jalan, nu ti Conggeang ka Tomo, diatur ka watersetat, nurutkeun jalan baheula, nyorang gunung Cariyu, deukeut lembur Godang téa.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Negarana sisi cai, lega lempar lalahanna, ayeunana Tegal Kalong, rapet ka kota ayeuna, sabeulah kalér wétan, malah kaitung kaasup, sisina kota ayeuna.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-15690340814091059132023-09-16T06:43:00.006+07:002023-09-16T06:46:24.274+07:00Kisah Sejarah dan Makamnya Prabu Gajah Agung di Dusun Cigintung Desa Cisurat Kecamatan Wado <iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/64zTFfnaSbE?si=IzOfBGcIfe8Pwe94" width="100%"></iframe>
<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sampurasun </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Danghyang kala wangi titi mangsa nu ti heula, lain tandang tara tanding, dingdingan tangtung sorangan ngandika anarima tangkal palias.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung dan Sunan Ulun adalah kakak beradik putra-putranya Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela atau Batara Cakrabuana atau Batara Tuntang Buana, dan beberapa sebutan lainnya yang sering dituliskan dalam naskah dan sejarah.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Cerita singkat Prabu Gajah Agung menerima keputusan dari ayahnya Prabu Tajimalela mencari pohon Ki menyan yang tumbuh di tepi sungai. Bila sudah ditemukan, tempat itu harus dibuka menjadi pemukiman.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Atmabrata menemukan pohon ki menyan di kampung Geger Sunten, kampung Ciguling sekarang. Di daerah tersebut banyak pohon ki Menyan dan ada batu Cadas Nangtung.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sesuai dengan perintah ayahnya, Atma brata atau Prabu Gajah Agung membuka daerah itu menjadi pemukiman. Banyak orang dari daerah lain datang ke tempat itu mencari lahan untuk bercocok tanam padi dan ngahuma atau berladang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mereka mendirikan rumah sederhana sebagai pasanggrahan yang artinya tempat istirahat. Itulah sebabnya pemukiman tersebut kemudian bernama wilayah Pasanggrahan, dipimpin oleh Atmabrata sebagai kepala kampungnya </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di tempat ini Prabu Gajah Agung mendirikan cikal bakal keraton Sumedang Larang, ditengah alun-alunnya ditanami pohon Caringin yang akhirnya di Ciguling menjadi pusat mandala baru yang akan berlanjut menjadi ibukota kerajaan Sumedanglarang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di suatu waktu Prabu Gajah Agung kedatangan tamu yang tinggi ilmu kedigjayaan nya dan menantang untuk bertanding. Dalam adu tanding tersebut, Prabu Gajah Agung kewalahan akibat serangan musuhnya. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Prabu Gajah Agung merasa sedih sebab tidak bisa merubuhkan musuhnya. </span><span style="font-family: helvetica;">Lalu Prabu Gajah Agung memutuskan untuk bertafakur meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa sampai akhirnya ada kontak batin dari ayahnya Prabu Tajimalela. </span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Dalam kontak batin itu Prabu Gajah Agung </span><span style="font-family: helvetica;">diperintahkan oleh ayahnya untuk menghancurkan batu yang ada di depan tempat mengheningnya. Kemudian batu tersebut dihancurkan dengan kekuatan pukulan tenaga dalamnya, dan dari batu yang hancur berkeping-keping tersebut terlihat ada sebuah keris yang dinamai Ki Dukun, dengan keris tersebutlah Prabu Gajah Agung dapat mengalahkan lawannya.</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Prabu Gajah Agung mempersunting Ratu Gandrunia mempunyai anak yaitu Wirajaya atau Prabu Pagulingan, yang kelak akan menjadi penerus kerajaan Sumedanglarang ke 4 dalam 996–1114 masehi yang bertempat di Ciguling. </span><span style="font-family: helvetica;"> Atmabrata atau Prabu Gajah Agung tidak lama tinggal di Ibukota Kerajaan di Ciguling, karena diminta oleh kakaknya Prabu Lembu Agung untuk kembali ke Keprabonan Sumedanglarang yang ada di Darmaraja. </span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Di masa tuanya beliau maniis atau manuraja sunyi ke Puncak Damar, oleh sebab itu ada cerita rakyat bahwa prabu Gajah Agung dimakamkan di sana. Dan Prabu Gajah Agung pada akhir membuat Padukuhan di Cisurat Wado sampai akhir hayatnya. </span><span style="font-family: helvetica;">Adapun lokasi makamnya berada di Dusun Cigintung Desa Cisurat Kecamatan Wado Kabupaten Sumedang</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Shema Pun Nihawah.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-45241801953052841012023-09-12T12:05:00.002+07:002023-09-12T12:05:53.788+07:00Sejarah Prabu Wijaya Kusumah Masa Medang Kamulyan Kerajaan Galuh Abad ke 7-8 M Di Limbangan Garut<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/oPT3l-FGIVk?si=L2uTrbQ97BhdPPu7" width="100%"></iframe>
<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sampurasun penonton youtube saya</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Makam Pasir Astana Cipancar Limbangan yang kini dinamai makam Adipati Liman Senjaya Kusumah atau Makam Sunan Cipancar Pasirwaru, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut, sebenarnya makam tua sekali yang telah ada sejak jaman Kerajaan Galuh, karena di sini ada makam Prabu Kandiawan Raja Kendan ke 3 pendiri Medang Jati tahun 597 masehi, Prabu Wretikandayun Pendiri Kerajaan Galuh antara tahun 670-702 masehi dan ke empat saudaranya, yaitu Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, dan Sandanggreba, putra-putranya Prabu Kandiawan, hanya sebagian orang saja yang tahunya, itupun yang mempunyai babon Cipancar Girang Limbangan dan Cipancar hilir Sumedanglarang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Baik saya ulas dari nilai kesejarahannya dulu, Kerajaan Galuh adalah kerajaan yang pernah menunjukkan ke eksistensiannya di Nusantara sejak tahun 669 masehi. Awalnya Kerajaan Tarumanegara sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh, ternyata hubungan Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Galuh yaitu merupakan keturunan langsung. Karena Kerajaan Tarumanegara mempunyai beberapa bawahan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya. Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kendan yang adalah bawahan Kerajaan Tarumanegara.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Nama raja Kendan ke tiga yaitu Sang Kandiawan dan bergelar Rajaresi Dewaraja mempunyai 5 anak : anak pertama bernama Mangukuhan, anak kedua bernama Karungkalah, anak ketiga bernama Katung Maralah, anak keempat bernama Sandanggreba dan anak kelima bernama Wretikandayun.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari kelima anak Raja Kendan, si bungsulah yang paling disukai sang ayah, karena dinilai Wretikandayun, memiliki sikap lebih baik dibanding kakak-kakaknya dan memiliki watak yang tidak terlalu mementingkan masalah duniawi. Hal inilah yang melatar belakangi Sang Kandiawan menunjuk Wretikandayun sebagai penggantinya. Karena Sang Kandiawan, memutuskan untuk turun takhta setelah menjabat 15 tahun. Dan memilih untuk menjadi seorang resi di Layuwatang untuk menyebarkan ajaran agama pada waktu itu</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pengangkatan Wretikandayun sebagai raja menghasilkan pergunjingan di kalangan Kerajaan Kendan, karena biasanya putra sulung atau anak kedua yang berhak menggantikan sang ayah. Namun, masalah tersebut tidak meruntuhkan niat Sang Kandiawan dan tetap memilih anak bungsunya yang masih berusia 21 tahun untuk menjabat sebagai raja</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Penobatan Wretikandayun dilakukan pada malam bulan purnama. Besok harinya setelah penobatan Wretikandayun mengambil keputusan pertamanya yang merubah sejarah Kerajaan Kendan, yaitu memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya di Kendan ke sebuah lokasi baru yang diapit dua sungai Cimuntur dan sungai Cimanuk yang diberi nama Kerajaan Galuh</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Saat Kerajaan Tarumanegara di pimpin oleh Sang Tarusbawa, kerajaan tersebut sudah mulai kehilangan kejayaan dan pamornya. Apalagi semakin lama semakin mendapat tekanan dan serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Lalu Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Bogor. Akhirnya Sang Wretikandayun memutuskan untuk mahardika atau membebaskan diri dari Kerajaan Sunda</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kemudian Sang Maharaja Tarusbawa memutuskan untuk mengakhiri Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 masehi. Dan membagi dua wilayahnya yaitu Kerajaan Galuh di bagian timur dan Kerajaan Sunda di wilayah bagian barat bekas wilayah Tarumanegara</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sang Wretikandayun Raja Galuh Pertama, memerintah Kerajaan Galuh cukup lama, yaitu selama 90 tahun, dari 612-702 masehi. Wretikandayun lalu menikah dengan putri Resi Makandria, Manawati atau Dewi Candraresmi dan mempunyai tiga putra, yaitu : Sempakwaja, Resi Wanayasa atau Jantaka, dan Mandiminyak atau Amara</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Seperti dirinya Sang Wretikandayun yang anak bungsu dari lima bersaudara, dan dipilih sebagai seorang raja. Sang Wretikandayun akhirnya memilih anak bungsunya sebagai pemimpin wilayah keratuan, sebab Sempakwaja anak pertama dan Jantaka anak kedua memiliki kekurangan fisik. Akhirnya Sempakwaja yang bergigi ompong memimpin wilayah kebataraan atau keramaan di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sementara adiknya, Wanayasa memimpin wilayah keresian di Denuh karena dirinya menderita penyakit hernia atau burut, dan bergelar Resi Rahyang Kidul.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selanjutnya Kerajaan Galuh diperintah selama 7 tahun oleh Mandiminyak putra bungsu Prabu Wretikandayun dari 702-709 masehi sebagai Raja Galuh ke 2, isterinya yaitu Dewi Parwati, dari Kerajaan Keling di Kalingga Utara Jawa Tengah</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sayangnya, Mandiminyak dan Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja menjalin hubungan gelap. Dari Dewi Parwati, Mandiminyak memiliki putri yaitu Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa, kedua anak Sang Mandiminyak lalu dinikahkan, walau satu ayah</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari pernikahan Sannaha dan Sena memiliki seorang putra yaitu Sanjaya. Pernikahan ini tercatat pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Raja Galuh ke 3, yaitu Sena atau Bratasenawa memerintah 10 tahun antara 709-716 masehi, bergelar Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi. Ia bersahabat dengan Tarusbawa raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 54 tahun, antara 669-723 masehi</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Purbasora adalah anak Sempakwaja dan cucu Wretikandayun berniat menggulingkan Sena atau Bratasenawa anaknya Mandi Minyak pada tahun 716 masehi, karena Sena atau Bratasenawa adalah anak hasil hubungan gelap antara Mandi Minyak dengan Dewi Wulansari isteri kakaknya yaitu Sempak Waja. Oleh karena itu Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh, karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun, yaitu Sempakwaja. Ayah Purbasora, tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin karena memiliki kekurangan fisik. Sebenarnya Sena dan Purbasora adalah saudara satu ibu yakni Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dengan dibantu pasukan Prabu Wiratara adiknya Citra Kirana dari kerajaan Indraprahasta, karena Citra Kirana isterinya Purbasora putranya Resi guru Padmahariwangsa Raja Indraprahasta dan Aria Bimaraksa putranya Resi Jantaka. Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh. Sena berhasil kabur ke sekitaran Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kerajaan Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Akhirnya Purbasora menjadi penguasa Kerajaan Galuh ke 4, memrintah selama 7 tahun antara 716-723 masehi. Dan permaisurinya bernama Dewi Citra Kirana putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padma Hariwangsa, mempunyai anak : Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma dan Dewi Komalasari. Prabu Purbasora mengangkat patih Aria Bimaraksa putranya Jantaka, dan menikahkan dengan putra bungsunya yaitu Dewi Komalasari. Di awal kekuasaanya Prabu Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa atau Sang Sena</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara Brata Senawa atau Sang Sena mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga Utara, kemudian Candraresmi Makandria menobatkan Bratasenawa atau Sena menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian menikah dengan Sannaha putrinya Mandi Minyak dari isterinya Dewi Parwati, putranya Maharani Sima. Perkawinan antara saudara antara Bratasenawa atau Sena dengan Sanaha tetapi berlainan ibu tersebut (perkawinan manu) melahirkan Sanjaya. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora, bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa atau Sang Sena sebagai penguasa sah Galuh.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya, anak Bratasenawa atau Sena dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Teja Kancana Hayu Purnawangi atau Sekar Kancana. Karena anak Tarusbawa yakni Sunda Sembawa wafat saat usia muda, maka cucunya yang bernama Dewi Teja Kancana, anak dari Sunda Sembawa menjadi ahli waris kerajaan. Namun, karena ia seorang wanita, maka ia dinikahkan dengan Sanjaya. Sanjaya atau Rakaian Jamri lah yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 5 sekaligus Kerajaan Sunda, dan memerintah selama 9 tahun antara 723-732 masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sewaktu Sanjaya alias Rakeyan Jamri berada di kerajaan Sunda, ia bertekad balas dendam terhadap Prabu Purbasora dan keluarganya. Lalu ia, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus yang ia pimpin langsung di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal. Di bawah Patih Anggada memimpin pasukan Sunda melakukan penyerangan dilakukan secara mendadak dan pada malam hari, di dalam pertempuran Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan pasukan punggawa Sanjaya. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara berdasarkan versi babon Cipancar Hilir Sumedanglarang, ketika penyerangan ke istana kerajaan Galuh, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan punggawa Sanjaya, begitu juga menantunya yaitu Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putrinya Purbasora dari permaisurinya Citrakirana, berhasil meloloskan diri masuk ke dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik dan mendirikan Padukuhan di Sagara Manik Cipancar Hilir dan Padukuhan tersebut yang sekarang menjadi makam Cipancar di Kecamatan Sumedang Selatan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya mendatangi Sempakwaja di Galunggung dan meminta agar pamannya menobatkan Demunawan, anak keduanya, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan. Begitu juga Sanjaya tidak bisa mengetahui keberadaan Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang dan keluarganya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya yang berhasil menggabungkan kerajaan Medang Jati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat patih Saunggalah yaitu Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh Pakuan di wilayah Cipancar Girang Garut. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Wijaya Kusuma atau Wijaya Kusuma, memperisteri Lenggang Kencana atau Sekar Kencana putranya Aria Bimaraksa dan Dewi Komalasari adiknya Prabu Wijaya Kusuma, mempunyai anak : Prabu Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang, Raja Galuh ke 6 antara 724 – 725 Masehi, yang makamnya di Gunung Padang Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang memperisteri Naganingrum putranya Wira Dikusuma dan Siti Putih atau Iwa Panca Kudra, mempunyai anak : Prabu Ciung Wanara atau Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salaka Buana atau Buyud Maja atau Jaka Suratama atau Sang Manarah, Raja Galuh Pakuan ke 8, antara 739 – 783 masehi, makamnya di Puncak Damar Ciseuma Desa Paku Alam Kecamatan Darmaraja Sumedang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Lalu yang mana letak makamnya Adipati Liman Senjaya Kusumah atau Sunan Cipancar, putranya Prabu Hande Liman Senjaya dan Siti Rapiah Nursari, yang memperisteri Siti Ratna Sari yang sering disamakan dengan Prabu Wijaya Kusumah. Makamnya Adipati Liman Senjaya lokasinya berada diluar pagar yang ada makam berurutan dimulai Prabu Wijaya Kusuma, Lengganingrat, Lenggangsari, Lenggang Kancana, Sunan Ulun Wangsa Dita 1 dan Wangsa Dita 2. lihat denah makam ini</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Itulah penjelasan sejarah dan makam mengenai Prabu Wijaya Kusuma anak ke satu Prabu Purbasora Raja Galuh ke 4 antara 716 - 723 Masehi, yang menjadi penguasa Medang Kamulyan Jaman Kerajaan Galuh di Cipancar Girang Limbangan Garut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Salam Santun...</span></p>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-74051615517057696012023-09-08T04:19:00.002+07:002023-09-08T04:19:27.006+07:00Mandala Kawikwan Prabu Resi Permana Dikusuma Di Gunung Padang Dusun Cikarut Kecamatan Darmaraja<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/zFNfn93CpNQ?si=8Nv1BJvg0ib7qED4" width="100%"></iframe><div><br /><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pun Sampun</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Hyang Tunggal tatwa panganjali, Ngawandawa di jagat kabeh alam sakabeh, halanggiya di saniskara, Hung tatiya Ahuuuuung.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kali ini saya akan membahas sejarah kumplit tentang Gunung Padang Darmaraja mulai dari awal kerajaan Galuh berdiri. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di lokasi Gunung Padang Dusun Cikarut, Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang ada situs bekas peninggalan Prabu Permana Dikusumah atau Resi Pandita Ajar Padang, batu nunggal Prabu Ratu Galuh, batu nunggal Kuncung Putih, batu nunggal Gagak Sumanding, batu nunggal Gagak Karancang, batu nunggal eyang Pamulang, dan lain-lain.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Namun berdasarkan buku manuskrip tertulis Pakuning Alam Cipaku Darmaraja hanya mengisahkan Gunung Padang sebagai mandala kawikwan di antara 12 gunung Pakuning Alam dan kisah tempat Prabu Permana Di Kusuma alias Resi Ajar Padang, Raja Galuh Pakuan antara tahun 724 - 725 Masehi, putranya Prabu Wijaya Kusuma dari istrinya Lenggang Kencana, yang makamnya di Pasir Astana Limbangan Garut.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Permana Di Kusuma alias Ajar Sukaresi Padang atau Prabu Permana Ajar Padang atau Prabu Ratu Galuh Pusaka atau Pandita Ajar Sukaresi dari istrrinya Naganingrum berputra Jaka Suratama alias Prabu Ciung Wanara alias Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salakabuana alias Buyud Maja, yang makamnya di Puncak Damar Desa Paku Alam Kecamatan Darmaraja.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mandala kawikwan alami Gunung Padang jaman kerajaan Galuh Pakuan di Kecamatan Darmaraja ini, belum begitu diketahui oleh banyak orang, karena situs ini tidak begitu populer, padahal situs ini perlu diketahui, karena bentuk susunan batu yang kuno dan unik mirip undakan batu menhir alami sewaktu mulai menanjak ke Gunung Padang Darmaraja, walau tak ditemukan adanya bekas candi atau patung dan sebagainya, namun hal ini diperkuat adanya patok tembok pengukuran triangulasi geodesi yang tertulis patok KO 849 buatan jaman Belanda tahun 1918 masehi, kalau yang sering mengunjungi situs-situs bersejarah pasti acap kali menemukan patok buatan Belanda.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Menurut keterangan Bapak Karti juru kunci makam keramat Cikeusi, Mandala Kawikuan Gunung Padang disebut "Gedong Tapa" undak-undakan batu yang bulat, batunya di susun teratur, tempat tapa para leluhur dahulu dan ada petilasan Resi Permana Ajar Padang. Selain itu Gunung Padang Darmaraja ini, mempunyai tiga sebutan, yaitu : Gunung Padang, Gunung Cupu dan Gedong Tapa.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Awal menanjak ke arah bukit cadas batu gunung padang ada makam buyut Kaleci, atau lebih tepatnya buyut Kala wanci yaitu seorang abdi cantriknya Prabu Permana Dikusuma atau Resi Ajar Padang yang mengatur jadwal waktu pertemuan, ketika ada tamu yang hendak mengunjungi Resi Ajar Padang karena Resi Ajar Padang terkenal dengan kewacisan ke seantaro Galuh Pakuan akan ilmu manditanya. Kala wanci juga yang mengatur persedian makan dan minumnya Resi Pandita Ajar Padang, ketika tapabrata, manunggaling kawulo gusti untuk menuju pencerahan dari sang pencipta Alam.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Suatu naskah berbahasa Sunda yaitu Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1580 masehi, mengungkapkan mengenai asal-usul suatu kerajaan di tanah Jawa. </span><span style="font-family: helvetica;">Ke</span><span style="font-family: helvetica;">rajaan tersebut adalah Kerajaan Galuh Pakuan terkenal dengan sejarah perjalanan panjangnya. Perjalanan panjang tersebut sampai saat ini sebenarnya masih “gelap”. Dikarenakan ada beberapa episode atau bagian sejarah yang membuat perjalanan panjang tersebut tidak terungkap secara komprehensif. Misalnya sejarah yang masih bercampur dengan legenda atau mitos sehingga cerita lengkap mengenai sejarah pastinya terdapat beberapa versi.</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Kerajaan Galuh adalah kerajaan yang pernah menunjukkan ke eksistensiannya di Nusantara sejak tahun 669 masehi. </span><span style="font-family: helvetica;">Awalnya Kerajaan Tarumanegara sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh, ternyata hubungan Kerajaan Tarumanegara dengan Kerajaan Galuh yaitu merupakan keturunan langsung. </span><span style="font-family: helvetica;">Karena Kerajaan Tarumanegara mempunyai beberapa bawahan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya. Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kendan yang adalah bawahan Kerajaan Tarumanegara.</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Nama raja Kendan ke tiga yaitu Sang Kandiawan dan bergelar Rajaresi Dewaraja mempunyai 5 anak : anak pertama bernama Mangukuhan, anak kedua bernama Karungkalah, anak ketiga bernama Katung Maralah, anak keempat bernama Sandanggreba dan anak kelima bernama Wretikandayun.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari kelima anak Raja Kendan, si bungsulah yang paling disukai sang ayah, karena dinilai Wretikandayun, memiliki sikap lebih baik dibanding kakak-kakaknya dan memiliki watak yang tidak terlalu mementingkan masalah duniawi. Hal inilah yang melatar belakangi Sang Kandiawan menunjuk Wretikandayun sebagai penggantinya. Karena Sang Kandiawan, memutuskan untuk turun takhta setelah menjabat 15 tahun. Dan memilih untuk menjadi seorang resi di Layuwatang untuk menyebarkan ajaran agama pada waktu itu.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pengangkatan Wretikandayun sebagai raja menghasilkan pergunjingan di kalangan Kerajaan Kendan, karena biasanya putra sulung atau anak kedua yang berhak menggantikan sang ayah. Namun, masalah tersebut tidak meruntuhkan niat Sang Kandiawan dan tetap memilih anak bungsunya yang masih berusia 21 tahun untuk menjabat sebagai raja.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Penobatan Wretikandayun dilakukan pada malam bulan purnama. Besok harinya setelah penobatan Wretikandayun mengambil keputusan pertamanya yang merubah sejarah Kerajaan Kendan, yaitu memindahkan pusat pemerintahan yang sebelumnya di Kendan ke sebuah lokasi baru yang diapit dua sungai Cimuntur dan sungai Cimanuk yang diberi nama Kerajaan Galuh.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Saat Kerajaan Tarumanegara di pimpin oleh Sang Tarusbawa, kerajaan tersebut sudah mulai kehilangan kejayaan dan pamornya. Apalagi semakin lama semakin mendapat tekanan dan serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Lalu Tarusbawa mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Bogor. Akhirnya Sang Wretikandayun memutuskan untuk mahardika atau membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kemudian Sang Maharaja Tarusbawa memutuskan untuk mengakhiri Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 masehi. Dan membagi dua wilayahnya yaitu Kerajaan Galuh di bagian timur dan Kerajaan Sunda di wilayah bagian barat bekas wilayah Tarumanegara.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sang Wretikandayun Raja Galuh Pertama, memerintah Kerajaan Galuh cukup lama, yaitu selama 90 tahun, dari 612-702 masehi. Wretikandayun lalu menikah dengan putri Resi Makandria, Manawati atau Dewi Candraresmi dan mempunyai tiga putra, yaitu : Sempakwaja, Resi Wanayasa atau Jantaka, dan Mandiminyak atau Amara.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Seperti dirinya Sang Wretikandayun yang anak bungsu dari lima bersaudara, dan dipilih sebagai seorang raja. Sang Wretikandayun akhirnya memilih anak bungsunya sebagai pemimpin wilayah keratuan, sebab Sempakwaja anak pertama dan Jantaka anak kedua memiliki kekurangan fisik. Akhirnya Sempakwaja yang bergigi ompong memimpin wilayah kebataraan atau keramaan di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sementara adiknya, Wanayasa memimpin wilayah keresian di Denuh karena dirinya menderita penyakit hernia atau turun berok, dan bergelar Resi Rahyang Kidul.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selanjutnya Kerajaan Galuh diperintah selama 7 tahun oleh Mandiminyak putra bungsu Prabu Wretikandayun dari 702-709 masehi sebagai Raja Galuh ke 2, isterinya yaitu Dewi Parwati, dari Kerajaan Keling di Kalingga Utara Jawa Tengah. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sayangnya, Mandiminyak dan Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja menjalin hubungan gelap. Dari Dewi Parwati, Mandiminyak memiliki putri yaitu Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa, kedua anak Sang Mandiminyak lalu dinikahkan, walau satu ayah.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari pernikahan Sannaha dan Sena memiliki seorang putra yakni Sanjaya. Pernikahan ini tercatat pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Raja Galuh ke 3, yaitu Sena atau Bratasenawa memerintah 10 tahun antara 709-716 masehi, bergelar Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabumi. Ia bersahabat dengan Tarusbawa raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 54 tahun, antara 669-723 masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Purbasora adalah anak Sempakwaja dan cucu Wretikandayun berniat menggulingkan Sena atau Bratasenawa anaknya Mandi Minyak pada tahun 716 masehi, karena Sena atau Bratasenawa adalah anak hasil hubungan gelap antara Mandi Minyak dengan Dewi Wulansari isteri kakaknya yaitu Sempak Waja. Oleh karena itu Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh, karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun, yaitu Sempakwaja. Ayah Purbasora, tidak diangkat menjadi raja karena dinilai kurang layak menjadi pemimpin karena memiliki kekurangan fisik. Sebenarnya Sena dan Purbasora adalah saudara satu ibu yakni Pwahaci Rababu atau Dewi Wulansari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta dan Aria Bimaraksa. Purbasora melancarkan kudeta merebut Kerajaan Galuh. Sena berhasil kabur sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kerajaan Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Akhirnya Purbasora menjadi penguasa Kerajaan Galuh ke 4, memrintah selama 7 tahun antara 716-723 masehi. Dan permaisurinya bernama Dewi Citra Kirana putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padma Hariwangsa, mempunyai anak : Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma dan Dewi Komalasari. Prabu Purbasora mengangkat patih Aria Bimaraksa putranya Jantaka, dan menikahkan dengan putra bungsunya yaitu Dewi Komalasari. Di awal kekuasaanya Prabu Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa atau Sang Sena. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara Brata Senawa atau Sang Sena mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga Utara, kemudian Candraresmi Makandria menobatkan Bratasenawa atau Sena menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian menikah dengan Sannaha putrinya Mandi Minyak dari isterinya Dewi Parwati, putranya Maharani Sima. Perkawinan antara saudara antara Bratasenawa atau Sena dengan Sanaha tetapi berlainan ibu tersebut (perkawinan manu) melahirkan Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora, bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa atau Sang Sena sebagai penguasa sah Galuh.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya, anak Bratasenawa atau Sena dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Teja Kancana Hayu Purnawangi atau Sekar Kancana. Karena anak Tarusbawa yakni Sunda Sembawa wafat saat usia muda, maka cucunya yang bernama Dewi Teja Kancana, anak dari Sunda Sembawa menjadi ahli waris kerajaan. Namun, karena ia seorang wanita, maka ia dinikahkan dengan Sanjaya. Sanjaya atau Rakaian Jamri lah yang menjadi Raja Galuh Pakuan ke 5 sekaligus Kerajaan Sunda, dan memerintah selama 9 tahun antara 723-732 masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sewaktu Sanjaya alias Rakeyan Jamri berada di kerajaan Sunda, ia bertekad balas dendam terhadap Prabu Purbasora dan keluarganya. Lalu ia, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus yang ia pimpin langsung di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal. Di bawah Patih Anggada memimpin pasukan Sunda melakukan penyerangan dilakukan secara mendadak dan pada malam hari, di dalam pertempuran Prabu Purbasora di usia tuanya gugur ditangan pasukan punggawa Sanjaya. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara versi babon Cipancar Hilir Sumedang, ketika penyerangan ke istana kerajaan Galuh, Prabu Purbasora tidak gugur tapi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan punggawa Sanjaya, begitu juga menantunya yaitu Patih Aria Bimaraksa dan istrinya Dewi Komalasari, Wiradi Kusuma dan Wijaya Kusuma putra-putrinya Purbasora dari permaisurinya Citrakirana, berhasil meloloskan diri masuk ke dalam hutan belantara sehingga pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, lalu mereka berempat sampai di daerah Seger Manik atau Sagara Manik dan mendirikan Padukuhan di Sagara Manik Cipancar Hilir dan Padukuhan tersebut yang sekarang menjadi makam Cipancar di Kecamatan Sumedang Selatan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya mendatangi Sempakwaja di Galunggung dan meminta agar pamannya menobatkan Demunawan, anak keduanya, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan. Begitu juga Sanjaya tidak bisa mengetahui keberadaan Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang dan keluarganya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sanjaya yang berhasil menggabungkan kerajaan Medang Jati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat patih Saunggalah yaitu Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh Pakuan di wilayah Cipancar Girang Garut. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Perkawinan Aria Bimaraksa dengan Dewi Komalasari, melahirkan 6 orang anak, yaitu : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Lenggang Kencana atau Sekar Kencana. Semasa kecil Prabu Aji Putih dan saudarannya tinggal di daerah Sagara Manik ini.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kemudian Aria Bimaraksa melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat sampai Citembong Agung Girang, lalu kemudian melintasi Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya atau Gunung Nurmala dan berakhir di Kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja, disinilah Aria Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung mendirikan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan sekaligus mendidik putranya Aji putih yang akan dipersiapkan sebagai pemimpin Kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung menarik simpati para Resi di tatar Sunda, agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sanjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh di tatar Galuh Sunda.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Karena takhta Galuh yang kosong Sanjaya terpaksa mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh sekaligus Raja Sunda. Sayangnya, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Kerajaan Galuh kurang begitu disenangi, karena ia orang Pakuan Sunda. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Permana Dikusuma yang gemar bertapa memperistri cucu Aria Bimaraksa yaitu Naganingrum, dikarunia anak yaitu Jaka Suratama atau Manarah atau Prabu Ciung Wanara. oleh karenanya suami-istri ini cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja anak pertama Wretikandayun Jantaka anak kedua. Itu sebabnya, Sanjaya menobatkan Permana Dikusuma atau Bagawan Sajala-jala, cucu Purbasora, menjadi Raja Galuh Pakuan yang berpusat di Ciduging Darmaraja.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Lalu Sanjaya menikahkan Permana Dikusuma dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada Patih Kerajaan Sunda, dan menunjuk anaknya, Tamperan Barmawijaya sebagai Patih Galuh, agar mudah mengontrol Kerajaan Galuh. </span><span style="font-family: helvetica;">Permana Dikusuma merasa terpaksa untuk menjadi Raja Galuh, karena Sanjaya terkenal baik hati tapi tidak mengenal ampun pada musuh-musuhnya, begitu juga Sanjaya juga adalah pembunuh kakeknya. </span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Karena hal tersebut, Premana Dikusuma memutuskan untuk pergi dan meninggalkan istrinya, kemudian menjadi kembali pertapa di Gunung Padang Darmaraja yang menjadi wilayah perbatasan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh di sebelah timur yaitu di sekitar wilayah sungai Cimanuk, oleh karena itu Permana Dikusuma menjadi Raja Galuh Pakuan ke 6, hanya setahun antara 724-725 masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: helvetica;">Tak jauh berbeda dengan buyutnya Mandiminyak, sang cucu Tamperan juga berhubungan gelap dengan Dewi Pangrenyep sekitar 19 tahunan, istri Premana Dikusuma. Walhasil mereka memiliki putra Kamarasa alias Hariang Banga lahir sekitar 723 masehi. </span><span style="font-family: helvetica;">Sadisnya untuk menyembunyikan hubungan gelap mereka, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Permana Dikusuma. Namun, kejahatan Tamperan diketahui oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balangantrang.</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pada 732 masehi Sanjaya harus menjadi raja Kerajaan Medang Kamulan di Bhumi Mataram dari ibunya, Sannaha. Dan Sanjaya pergi ke arah timur Bumi Mataram dan mendirikan kerajaan Wangsa Sanjaya. Ketika meninggalkan Pakuan, Sanjaya membuat keputusan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan. Tamperan berhak untuk Sunda dan Galuh. Untuk Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja berhak untuk wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung. Tamperan menjadi Raja Sunda-Galuh selama 16 tahun dari 732-739 masehi yang kemudian pusat pemerintahan kerajaannya dipindahkan oleh Tamperan ditetapkan di Galuh Bojong Kawali Ciamis.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dalam pemerintahan kerajaan Galuh yang pimpinannya dipercayakan kepada Tamperan malah menjadi mundur dan kacau, dimana-mana timbul keributan serta kehidupan rakyat tidak terjamin karena Tamperandalam memimpin kerajaan bertindak semena-mena dengan tidak perduli terhadap kehidupan dan kepentingan rakyat.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara itu, Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang bersama Manarah atau Ciung Wanara cucunya, tengah menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh. Tamperan dan anaknya Hariang Banga dan pembesar Galuh menghadiri acara sabung ayam yang jadi tempat kudeta Manarah.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Jaka Suratama atau Ciung Wanara menyamar sebagai peserta sabung ayam dan kakeknya Ki Balangantrang, bertugas menyerang Keraton Galuh dengan pasukan Geger Sunten. Sumber lain dalam sejarah Kedarmarajaan Sumedang menyebutkan Prabu Ciung Wanara ketika merebut Galuh dibantu pasukan dari Limbangan dan pasukan Prabu Brata Kusuma Tajimalela dari Sumedanglarang. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Penyerang itu berhasil memojokkan Tamperan, Pangrenyep dan Hariang Banga berhasil ditawan. Namun, Hariang Banga dinilai tidak bersalah akhirnya dibebaskan dan malam hari ia membebaskan orang tuanya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tindakan Hariang Banga diketahui Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah dan akhirnya mereka bertarung. Dan Hariang Banga kalah dalam pertarungan tersebut, begitupun orang tuanya yang tewas terbunuh tembakan panah pasukan Ciung Wanara.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mengetahui anaknya terbunuh, Sanjaya membawa pasukan dalam jumlah besar menyerang ibu kota Galuh di Kawali. Sebaliknya Prabu Ciung Wanara atau Prabu Manarah juga telah mempersiapkan pasukan Indraprahasta Kerajaan Wanagiri dan raja-raja daerah Kuningan. Perang keturunan Wretikandayun akhirnya meletus, namun, perang diberhentikan oleh Rajaresi Demunawan sewaktu berumur 93 tahun dan dilakukan perundingan pada 739 masehi.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dengan kesepakatan Sunda diserahkan pada Hariang Banga dan Manarah atau Prabu Ciung Wanara tetap menduduki Kawali Galuh. Sayangnya, Hariang Banga hanyalah raja bawahan, setidaknya ia bisa hidup karena kebaikan Manarah.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Ciung Wanara mendapat gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancana Wangi. Sedangkan Hariang Banga bergelar Prabu Kerta Bhuwana Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, yaitu Kancanasari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Prabu Ciung Wanara alias Sang Manarah alias Raden Suratama menjadi Raja Galuh hingga 783 masehi dan memutuskan untuk turun tahta menjadi pertapa kembali lagi hingga meninggal saat berusia 80 tahun pada 798 masehi di Puncak Damar Kecamatan Darmaraja dikenal dengan sebutan Buyut Maja. Dan kerajaan Galuh dilanjutkan oleh menantunya Prabu Manistri atau Prabu Lutung Kasarung, yang menikahi anaknya Purbasari.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Hariang Banga memerintah selama 739-766 masehi dan pernah membangun parit di Pakuan yang tertulis dalam sebuah naskah antara abad ke 13 atau abad ke14 Masehi. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Salam Santun</span></p></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-40739154392990888102023-09-02T11:48:00.006+07:002023-09-02T11:48:50.391+07:007 Orang Pengiring Medal Kamulyaan Jaman Kerajaan Salakanara Awal Abad ke 3-4 M Di Sumedang<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/8Jgs0_7FQPY?si=r6ZJu1aI2OXr545S" width="100%"></iframe><div><br /></div><div><div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDy4eGk-PuLXmDEnbQLxopeMpYJ4ZS-AzsP-bfZv8aVWwiK9_I0dIi8DPPFZN3xBhYs-Fhf-OAcmczJkx3a75-ZIsu26KIEOPQRkKyZiP-syOMsBLpAnA_SLYVFIq35KwoTWi6oQVSshLG8bu2sRkYW-HVDrBnb2lIv7spy1cqPkGAwiCCjoJTIW0EdFGK/s1024/Silsilah%20Medang%20Kerajaan%20Medang%20Kahyangan%201.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="1024" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDy4eGk-PuLXmDEnbQLxopeMpYJ4ZS-AzsP-bfZv8aVWwiK9_I0dIi8DPPFZN3xBhYs-Fhf-OAcmczJkx3a75-ZIsu26KIEOPQRkKyZiP-syOMsBLpAnA_SLYVFIq35KwoTWi6oQVSshLG8bu2sRkYW-HVDrBnb2lIv7spy1cqPkGAwiCCjoJTIW0EdFGK/w640-h360/Silsilah%20Medang%20Kerajaan%20Medang%20Kahyangan%201.jpg" width="640" /></a></div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEin8v_Cttr7ZsGOC7I9vmYkCWJ2eHqSlGwqwNG57xktoC92zaGkm_SMhm6rtG1s45b7g97s3HW8BnCecDfFDiCb9EVVimJmxW3Rcu6WrOkolLLAUmRXitUmXqGpqAb02vJwUFFPO_SaIyJcNF8R1hQ-wzj05O-m56sEMk9VcOq5kvsYV6AiWvVorur19TfF/s1080/Polish_20230901_200411903.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="607" data-original-width="1080" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEin8v_Cttr7ZsGOC7I9vmYkCWJ2eHqSlGwqwNG57xktoC92zaGkm_SMhm6rtG1s45b7g97s3HW8BnCecDfFDiCb9EVVimJmxW3Rcu6WrOkolLLAUmRXitUmXqGpqAb02vJwUFFPO_SaIyJcNF8R1hQ-wzj05O-m56sEMk9VcOq5kvsYV6AiWvVorur19TfF/w640-h360/Polish_20230901_200411903.jpg" width="640" /></a></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhz0GWBZOY8zUOTYpA1vYHTKOFTSn0bYZ4iB39eDXtPCHVZXWszvzEbc6epbHIFzj1ZBPsvhP--VjYvXfhTklaZNWyXwgVdy5K-lvErMt4G594d9wUaf6rSX6lzT0jIGX91-nM3bFS6e-2XVQUaitfgDx56B5-OtytKVtImKNAmeFrCjUO96ZG9eOMjYvma/s1024/Batu%20Sandung%20atau%20Lingga%20Purusha%20di%20Area%20Puncak%20Manik%20Gunung%20Tampomas%20(2).png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="575" data-original-width="1024" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhz0GWBZOY8zUOTYpA1vYHTKOFTSn0bYZ4iB39eDXtPCHVZXWszvzEbc6epbHIFzj1ZBPsvhP--VjYvXfhTklaZNWyXwgVdy5K-lvErMt4G594d9wUaf6rSX6lzT0jIGX91-nM3bFS6e-2XVQUaitfgDx56B5-OtytKVtImKNAmeFrCjUO96ZG9eOMjYvma/w640-h360/Batu%20Sandung%20atau%20Lingga%20Purusha%20di%20Area%20Puncak%20Manik%20Gunung%20Tampomas%20(2).png" width="640" /></a></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbQNtf_ctJbfbX5ZUs_ktYNDbEaNl6KnLZiqlEhOi7clTQtyF9l5xGUkmj2Ziihv0F6N1mgT_0anUuqBK9hesEzUMiqLukOijH-89RFXr59epexo5e6ISzfmsiWS-711OXllqgz9u6COsesJFSPbW1q86wQ_sfG1XSWYaUaWrUE8C-6ULbtGTsZJY6ujsm/s1080/Yantra%201.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="608" data-original-width="1080" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbQNtf_ctJbfbX5ZUs_ktYNDbEaNl6KnLZiqlEhOi7clTQtyF9l5xGUkmj2Ziihv0F6N1mgT_0anUuqBK9hesEzUMiqLukOijH-89RFXr59epexo5e6ISzfmsiWS-711OXllqgz9u6COsesJFSPbW1q86wQ_sfG1XSWYaUaWrUE8C-6ULbtGTsZJY6ujsm/w640-h360/Yantra%201.jpg" width="640" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIVAz85anBELVOYZ2vmfI2LgcqRCfSs9UoiBa8Su7Ko_NV-9AuKACgnUyDldSSrcXa7_qVFsSzMBy0gV9cIHg5mtt9FMg9wMIGU0MsH3TnYU476EKLLmm83VDbRPpk4f2k_l-sekUDAzum3YhSpmArO9bmAiLyb2a8A3AbVYHLLOes1nRqjch7GO-KPpYU/s1005/Yantra%202.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="564" data-original-width="1005" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIVAz85anBELVOYZ2vmfI2LgcqRCfSs9UoiBa8Su7Ko_NV-9AuKACgnUyDldSSrcXa7_qVFsSzMBy0gV9cIHg5mtt9FMg9wMIGU0MsH3TnYU476EKLLmm83VDbRPpk4f2k_l-sekUDAzum3YhSpmArO9bmAiLyb2a8A3AbVYHLLOes1nRqjch7GO-KPpYU/w640-h360/Yantra%202.jpg" width="640" /></a></div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada jaman ke 7 orang pengiring medal kamulyan dari Kerajaan Salakanagara, Gunung Gede atau Gunung Agung atau Gunung Tampomas dijadikan sebagai pusat spiritual keagamaan, hal ini bisa kita buktikan dengan adanya situs batu sandung sebagai yantra kedewataan tempat berkumpulnya para resi dari setiap mandala kawikuan pada waktu tertentu. Masing-masing Mandala dipimpin oleh seorang Wiku atau Resi sehingga sering juga disebut Mandala Kawikuan dan Puncak Manik Gunung Tampomas sebagai Mandala Dewa Sasana nya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dalam falsafah hindu ada yang disebut yantra. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Yantra adalah bentuk "niyasa" atau simbol atau pengganti yang sebenarnya, yang diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Sanghyang Widhi Wasa, misalnya dalam perpaduan warna : kembang, arca, Banten dan lain-lain. Banten adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan Hindu. sebagai bahasa simbol maka Banten sebagai media untuk menvisualisasikan ajaran-ajaran Hindu. sebagai media untuk menyampaikan Sradha dan Bhakti pada kemahakuasaan Hyang Widhi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Yantra telah dikenal sejak jaman Purba dimana oleh para Resi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk membantu mencapai tujuan kesuciannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Keberadaan Batu Lingga yang berbentuk persegi menyerupai kubus tersebut tentunya tidak terlepas dari sejarah peradaban para leluhur prasejarah dan di masa lalu, menurut cerita dahulu Gunung Tampomas lebih dikenal dengan sebutan Gunung Agung atau Gunung Gede karena merupakan gunung terbesar di wilayah Sumedang yang dahulu disebut tempat Medang Kahyangan atau Medal Kamulyan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Medal Kamulyan sendiri mengandung makna bersinergi dengan alam, karena semua unsur kehidupan terdiri atas : Tanah, Api, Udara dan Air, di mana puncak manik dianggap sebagai awal peradaban dan dianggap paling dekat dengan Sang Maha Pengendali Alam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sebagaimana umumnya peradaban gunung di masa lalu seperti gunung-gunung lain pada zamannya, Gunung Agung Tampomas atau Gunung Gede Tampomas pun memiliki peranan penting bagi perkembangan peradaban manusia, baik masa pra sejarah maupun masa sejarah yang hidup di wilayah Medang Kahyangan atau Medang Kamulyan kala itu, sesuai keyakinan dan kebudayaannya. Dan di Gunung Tampomas banyak ditemukan temuan tradisi megalitik seperti arca ganesha, arca domas, batu sandung, pundan berundak, makam kuno di puncaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Batu Sandung puncak manik Gunung Tampomas yang bermotifkan pahatan tengkorak kecil di sekelilignya adalah salah satu situs peninggalan jaman megalitik dan pada jaman pengiring medal kamulyan dari kerajaan Salakanagara antara abad ke 3-4 masehi, kerajaan yang bercorak Hindu pertama di Jawa Barat. Pada jaman pengiring medal kamulyan dari kerajaan salakanagara ini ritual keagamaan dari setiapa mandala kawikuan dipusatkan di Puncak Manik Tampomas sebagai mandala dewa sasana, batu Sandung ini diduga menjadi batu altar atau batu tempat memanjatkan puja dan persembahan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Batu Sandung ini berfungsi untuk tempat meletakan Patung Puncak Manik pada saat upacara Pamujan Gede atau Pemujaan Agung, di mana manusia kala itu duduk melingkar-disekeilingnya dan di Batu Sandung tersebut diletakan arca Dewa Siwa, sedangkan di bawah batu sandung diletakan arca ganesha dan arca-arca kecil lain nya sebagai gambaran nenek moyang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Tempat wilayah Pemujaan di puncak manik gunung tampomas tersebut terbagi dalam 2 teras ; teras pertama merupakan tempat para resi tetua adat duduk mengitari batu Sandung dan teras kedua merupakan tempat para cantrik atau para siswa yang ikut dalam acara pemujaan tersebut </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Shema Pun Nihawah.</span></div></div><div><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-22883564883885719452023-08-31T21:00:00.000+07:002023-08-31T21:00:01.906+07:00Petilasan Mandala Kawikwan Lara Sakti Di Gunung Cisusuru Dusun Sahang Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas<div><iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/HMBB69G2NmI?si=8oDuMLumL8CqTnou" width="100%"></iframe></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sampurasun</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Om Swastiastu, Namo Buddhaya dan Salam Kebajikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kamandalaan di tatar Parahyangan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama wiwitan dan dipimpin oleh seorang Resi Guru atau Guru loka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dalam pembahasannya, arti kamandalaann merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut di sebut pula mandala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu, masih menganut ajaran wiwitan sunda, hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama hindu dan Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna lingkaran adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran, sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Setiap mandala terdapat batu satangtung atau Lingga Salaka Domas. Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat atau puseur di setiap wilayah di Ibu Pertiwi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dari tempat Lingga sebagai wilayah Rama inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara atau Ratu. Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Matarum - Sunda, di mana Matahari menjadi pusat atau sang kala peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara atau kerajaan di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama, Ratu dan Rasi atau Resi atau raja-raja kecil atau karesian dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri Tangtu atau Tri SuLa NagaRa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya disebut obelisk ataupun Menhir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Mandala atau tempat suci secara prinsip terdiri dari 3 atu 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan secara simbolik yaitu ; Mandala Kasungka, Mandala Seba, Mandala Raja, Mandala Wangi dan Mandala Hyang intinya lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung, seperti yang kita lihat di Puncak Manik Gunung Tampomas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit suwung atau ketiadaan. Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari mikro kosmos menuju makro kosmos atau keberadaan yang pernah ada dan selalu ada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pada awal abad ke-3 Masehi, tujuh wilayah di Sumedang, dahulu masih hutan belantara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ketika Prabu Dharma Satyajaya Warunadewa atau Sanghyang Jagat Jaya Ningrat memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja ke 5 antara 252-290 masehi, putra-putranya sebanyak tujuh orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pedalaman atau pegunungan, dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa atau Resi, yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Putra-putra Dharma Satya Jaya Waruna Dewa, Raja Salakanagara ke 5 ini, mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan sebagai pengiri kerajaan Salakanagara yang bercorak hindu pertama di Jawa Barat, di mana Gunung Tampomas dijadikan sebagai tanda atau simbol atau pusat spiritual. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Larasakti di Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas. Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tujuh putra Dharma Satya Jaya Waruna Dewa, Raja Salakanagara ke 5 ini, sebagai simbol 7 tempat atau wilayah dan ilmu pengetahuan, seperti kata pepatah sunda ka dulur nu tujuh, ka saderek nu opat, ka lima pancer.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Shema Pun Nihawah.</span></div></div><div><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-84142104635253984282023-08-18T04:48:00.001+07:002023-08-18T04:48:50.832+07:00Walahir,`Situs Makam Para Leluhur Kerajaan Galunggung Di Tasikmalaya<p style="text-align: left;"><iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/YYCaiEhj-4s" width="100%"></iframe></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"></span></p><p><span style="font-size: medium;">Sampurasun....</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Semoga anda baik-baik saja dan Rahayu selalu.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Gunung Galunggung yang berada di Tasikmalaya, Jawa Barat, mungkin sudah sering terdengar di telinga kalian. Bahkan mungkin, beberapa dari kalian sudah pernah mengunjunginya. Namun, sesekali coba datang juga ke situs makam leluhur Kerajaan Galunggung. Lokasinya tidak jauh dari wisata Gunung Galunggung</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Adalah situs makam walahir yang terletak di Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Komplek makam walahir yang luasnya sekitar 2 hektar ini berada di sebuah perbukitan. Areanya dipenuhi pepohonan besar, rimbun, dan sejuk, yang diperkirakan sudah tumbuh ratusan tahun. Pepohonan itu seakan menandakan bahwa situs makam ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Tidak jauh dari sana, terdapat situs geger hanjuang yang menurut bukti sejarah sudah ada sebelum tahun 1111 Masehi. Selain itu, ada pula batu mahpar yang masih berkaitan dengan sejarah leluhur Kerajaan Galunggung.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Menurut kuncen setempat, Dodoh Kodariah, situs makam ini dikeramatkan oleh masyarakat sejak dahulu dan dipercayai merupakan makam leluhur kerajaan Galunggung. </span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Itulah sekilas komplek situs makam walahir yang terletak di Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Salam Santun</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Shema Pun Nihawah</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-81987981706260632892023-08-15T23:32:00.008+07:002023-08-18T04:49:07.866+07:00Gunung Sangianganjung (Sanghyang Anjung) Nagreg dan Petilasan Kerajaan Kendan Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="385" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/y9-_QoJmFmU" width="100%"></iframe>
<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sejarah Kerajaan Kendan yang berdiri antara abad ke 5 sampai dengan 6 Masehi memang tidak banyak dikenal orang. Kerajaan ini awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara yang memerdekakan dirinya dan kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Galuh.</span></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tidak semua ahli sejarah yakin mengenai keberadaan Kerajaan Kendan karena sumber primernya dianggap kurang kuat. Ada pun yang dimaksud sumber primer adalah bukti berupa benda, bangunan, atau dokumen yang berasal dari waktu yang sama dengan sesuatu yang dipelajari.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Keberadaan Kerajaan Kendan didapat dari sumber sekunder, yaitu benda, bangunan, atau dokumen yang tidak sezaman. Di antaranya adalah naskah Wangsakerta dan naskah Carita Parahyangan. Ada naskah yang lebih tua dari keduanya, seperti naskah Pararatwan Parahyangan, tapi sayangnya naskah tersebut belum banyak terungkap.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Para ahli sejarah yang setuju dengan keberadaan Kerajaan Kendan menganalisis bahwa lokasi tempat Kerajaan Kendan berpusat di kawasan perbukitan Nagreg, tepatnya di wilayah Desa Citaman dan Desa Nagreg. Sementara itu, kekuasaannya meliputi separuh wilayah sebelah timur Citarum sampai wilayah Ciamis. Namun, kekuasaan wilayah Kerajaan Kendan tetap merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Kerajaan Kendan merupakan hadiah dari Raja Tarumanegara kepada menantunya. Salah satu tujuan pembentukan Kerajaan Kendan adalah mempercepat pengembangan dan pemberdayaan wilayah timur Kerajaan Tarumanegara. Strategi ini terbukti berhasil. Kemunculan Kerajaan Kendan membuat wilayah timur Kerajaan Tarumanegara menjadi lebih berkembang, terutama di sektor pertanian, religiositas, dan peningkatan sumber daya manusianya.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div>Kerajaan Kendan merupakan sebuah kerajaan yang memerdekakan dirinya dari Kerajaan Tarumanagara, kerajaan tertua di Nusantara, di abad ke-6 Masehi. Kerajaan Kendan dipimpin oleh seorang raja, Resiguru Manikmaya, yang berasal dari keturunan Pengiring Medal Kamulyaan dari Salakanagara Medang Kahiangan Gunung Tampomas Sumedang (<b><a href="https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2023/07/situs-ibu-manikmaya-di-kampung.html" rel="nofollow" target="_blank">baca disini</a></b>). Resiguru Manikmaya membawa dan menyebarkan ajaran Hindu di Jawa, dan atas pengabdiannya di Kerajaan Tarumanagara. Resiguru Manikmaya dinikahkan dengan Tirta Kancana (anak dari Raja Tarumanagara pada saat itu) dan diberikan kekuasaan di daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Kendan.</div><div><br /></div><div>Sesuai dengan karakternya sebagai seorang resi, Manikmaya bukan tipe raja yang hidup mewah. Bahkan istana kerajaannya juga terbilang sederhana, terbuat dari kayu serta bahan sederhana lainnya. Itu sebabnya artefak-artefak keberadaan kerajaan Kendan sulit dilacak.</div></span></div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div><div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpe5ttmIBRGGXiLJj4aLzDti3Ozt5sLDyeR3ucumxGo00U2Kf0M-7j2vncV9tOHOWkwq33fDwqSzvZzMX4SSGLgPV0epTep2Q0iT0KJrAizNJlwWp6BK8bstx6h0YvSWzH4BEJdcZYqshmw4bw6E_I_GKEkimTc0JEMLRHy-NN5UAVqzeCgfaejTxNqG2g/s1024/Silsilah%20Keturunan%20Kendan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="1024" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpe5ttmIBRGGXiLJj4aLzDti3Ozt5sLDyeR3ucumxGo00U2Kf0M-7j2vncV9tOHOWkwq33fDwqSzvZzMX4SSGLgPV0epTep2Q0iT0KJrAizNJlwWp6BK8bstx6h0YvSWzH4BEJdcZYqshmw4bw6E_I_GKEkimTc0JEMLRHy-NN5UAVqzeCgfaejTxNqG2g/w640-h360/Silsilah%20Keturunan%20Kendan.jpg" width="640" /></a></div><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Masyarakat Kampung Kendan percaya bahwa makam atau petilasan Rajaresi Manikmaya dan istrinya berada di puncak Gunung Sangianganjung yang dikenal pula dengan nama Gunung Sanghyang Anjung.</span></div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0QFt1PVo6u2nwh5SV6RFqrWTuveEoGVG-lwa9PoA6ADgv1i0Qi4lVhoIwECZzy40avT_gMmJVvd44-CoQf_nLwWggbY0Jirdd8GPVQ2gMe9HeQMdr4Ni03oByjaDZl2vCIZINUMqUnKvt8eKivM7Bf02URkvlY5wIZ-yYq91Y0W3AHhNz375g04EU-jY7/s660/Gunung%20Sanghyang%20Anjung%20Nagreg.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="371" data-original-width="660" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0QFt1PVo6u2nwh5SV6RFqrWTuveEoGVG-lwa9PoA6ADgv1i0Qi4lVhoIwECZzy40avT_gMmJVvd44-CoQf_nLwWggbY0Jirdd8GPVQ2gMe9HeQMdr4Ni03oByjaDZl2vCIZINUMqUnKvt8eKivM7Bf02URkvlY5wIZ-yYq91Y0W3AHhNz375g04EU-jY7/w640-h360/Gunung%20Sanghyang%20Anjung%20Nagreg.jpg" width="640" /></a></div><br /></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Gunung Sangianganjung atau Gunung Sanghyang Anjung terletak di sebelah timur pusat Kota Bandung. Jaraknya sekitar 35 kilometer. Secara administratif, gunung ini berada di wilayah Kampung Kendan, Desa Nagreg, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ketinggian puncak Gunung Sangianganjung adalah 1.061 meter di atas permukaan laut (mdpl). </span><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Akses menuju Gunung Sangianganjung dari Kota Bandung tidaklah sulit. Kendaraan kita arahkan ke timur menuju Cileunyi, kemudian berbelok ke kanan ke arah Cipacing. Selanjutnya kita menyusuri jalan menuju Nagreg. Setelah melewati pintu perlintasan kereta, kita berbelok ke kiri menuju Kampung Kendan. Dari sini kita bisa bertanya ke warga tentang arah jalan ke Gunung Sangianganjung dan tempat untuk memarkirkan kendaraan.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sebagai tambahan informasi, petunjuk arah ke Gunung Sangianganjung bisa kita dapatkan secara daring dengan kata kunci “Bukit Kendan” di mesin pencari. Peta dan petunjuk rute akan tersaji.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfyLbi2vcrgRqV-lCB1NwgUehTGt9WOhfTqKNtvhC7lqoHfqZ_VJb_O2getQVwP-5T1H-wFR7t5Ta29pEcWvJBmehuoa6gQfY_p1F7bRNul50ssu6sT00qktuM873igXbRuiOGz9BjoUp-vLvaoyl0Dqp9b53tHuhRlQ2EkRWGmwGuXx-_ymysY_EV5wdk/s840/gunung_sangianganjung.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="472" data-original-width="840" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfyLbi2vcrgRqV-lCB1NwgUehTGt9WOhfTqKNtvhC7lqoHfqZ_VJb_O2getQVwP-5T1H-wFR7t5Ta29pEcWvJBmehuoa6gQfY_p1F7bRNul50ssu6sT00qktuM873igXbRuiOGz9BjoUp-vLvaoyl0Dqp9b53tHuhRlQ2EkRWGmwGuXx-_ymysY_EV5wdk/w640-h360/gunung_sangianganjung.jpg" width="640" /></a></div><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Bukit Kendan dan Puncak Sangianganjung</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Situs Kerajaan Kendan memiliki dua tempat yang menarik untuk dikunjungi, yakni Situs Makam Rajaresi Manikmaya di puncaknya dan Bukit Kendan di kaki gunung sebelah baratnya.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Bukit Kendan merupakan komplek bekas pertambangan batu yang sudah tidak ditambang lagi. Tampilannya jadi sangat menarik. Tebing-tebing batu berjejer menjulang dalam beragam bentuk dan formasi. Bahkan ada yang membentuk formasi gupitan atau celah sempit dengan sisi kanan dan kirinya berdiri tebing tinggi. Pada bagian tengah kawasan Bukit Kendan yang sebelumnya berupa area terbuka, sekarang tertutup semak rimbun. Tumbuhan pakis dan kaliandra pun tumbuh liar dalam populasi cukup banyak serta rapat.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sepertinya sudah jarang orang yang datang ke Bukit Kendan. Jalan setapaknya tertutup dan sudah ditumbuhi lumut, membuatnya licin dan agak susah dilewati. Padahal Bukit Kendan sangat menarik sebagai tempat untuk menikmati suasana alam. Di beberapa area yang permukaan tanahnya cukup luas, kita bisa duduk santai sambil menjerang air untuk menyeduh kopi atau memasak, kemudian menyantap makanan bersama-sama.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Bukit Kendan memang tidak merujuk kaitan langsung dengan situs Kerajaan Kendan, tetapi keberadaannya sebagai tempat penambangan batu kendan menjadikannya sebagai salah satu tempat yang sering dihubungkan dengan kisah Kerajaan Kendan.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Untuk mengunjungi Bukit Kendan, yang bisa kita jadikan patokan adalah Lapang Mini Soccer Kendan di dekat Kantor Desa Nagreg. Dari sana, kita melanjutkan lagi perjalanan sejauh sekitar 1 kilometer. Nanti akan kita temui sebuah warung kecil, namanya Warung Ibu Erung. Kendaraan bisa dititipkan di sini. Kita tinggal menyeberang jalan dan berjalan sejauh 400-an meter menuju Bukit Kendan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Setelah puas menikmati suasana Bukit Kendan, kita bisa melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gunung Sangianganjung. Jarak tempuhnya sekitar dua kilometer. Perjalanan sebaiknya dilakukan menggunakan sepeda motor atau kendaraan roda empat dengan kemampuan menanjak dan mudah dikendalikan di jalanan berbatu atau tanah licin. Jika ragu melintasi medan berbatu dan menanjak, sebaiknya kendaraan di parkir di pertigaan. Perjalanan menuju Puncak Sangianganjung dilakukan dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya sekitar satu kilometer.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Jika cuaca baik dan kondisi jalan tidak licin, kendaraan roda dua bisa mengantarkan kita hingga area dengan tanda plang bertuliskan Situs Kerajaan Kendan. Dari tempat ini, kita berjalan kaki di jalur menanjak sepanjang 200 meter. Sudah ada tangga atau undakan sederhana, dengan 160-an anak tangga, yang dibuat untuk memudahkan perjalanan.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sesampainya di puncak, kita akan melihat dua buah petilasan berupa makam. Bentuknya sederhana saja, tidak terlihat seperti makam seorang raja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selain makam atau petilasan, di Puncak Sangianganjung kita juga bisa menikmati pemandangan indah gunung-gunung yang berada di sekitarnya. Di sebelah barat laut, terlihat Gunung Serewen dan Gunung Buyung. Di arah utara, terlihat Gunung Kerenceng. Sementara itu, di arah selatan, tampak Gunung Kaledong dan Gunung Mandalawangi.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pendakian ke Gunung Sangianganjung merupakan perjalanan santai. Bukan pendakian menembus hutan rimbun atau tanjakan-tanjakan curam. Nilai tambahnya ada pada pengetahuan sejarah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Toponimi dan Geomorfologi</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Penamaan Kerajaan Kendan berasal dari sumber alam batu hitam yang mengkilat seperti kaca. Batu hitam ini dikenal dengan nama Batu Kenan atau Batu Kendan. Ada juga yang menerangkan asal mula nama batu ini adalah batu kaindraan yang lambat laun berubah pengucapannya menjadi batu kaindran atau kendran, dan akhirnya menjadi kendan.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Secara geologi, batu hitam mengkilap seperti kaca disebut dengan batu obsidian. Seorang pengelana bangsa Romawi bernama Obsidius dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan batu kaca, sehingga namanya diabadikan untuk menyebut jenis batu tersebut.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Batu obsidian merupakan batu yang terbentuk dari lava yang keluar ketika gunung api meletus. Lava ini kemudian mengalami pembekuan yang sangat cepat sehingga menjadi batu mengkilap seperti kaca, terdiri dari satu warna. Obsidian yang paling banyak ditemukan di berbagai belahan dunia adalah obsidian warna hitam. Warna lain seperti merah tua, abu-abu, atau biru tidak ditemukan sebanyak warna hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisHCzBI2JWSGKFRDjDthcpQgoUVOwtoCexj0yD8LA5mmAArbEW-4HIxuE3eY8HxmyVB_41x_RNOShEwbSxxtBIOje7TE7IP6prgysnD8AMUjmbICZm1p7SCBl7EvNPZxS_IF0z5T259OwTMp85GRpmYYbyUG1szWCFU3Gtmr6TTrUHYteTjf2U21AG8Kes/s840/Batu%20Obsidan%20Hitam.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="472" data-original-width="840" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisHCzBI2JWSGKFRDjDthcpQgoUVOwtoCexj0yD8LA5mmAArbEW-4HIxuE3eY8HxmyVB_41x_RNOShEwbSxxtBIOje7TE7IP6prgysnD8AMUjmbICZm1p7SCBl7EvNPZxS_IF0z5T259OwTMp85GRpmYYbyUG1szWCFU3Gtmr6TTrUHYteTjf2U21AG8Kes/w640-h360/Batu%20Obsidan%20Hitam.jpg" width="640" /></a></div><br /><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Batu obsidian kuat dan tidak gampang rapuh karena mengandung silikon dioksida yang cukup banyak. Tidak aneh jika di masa prasejarah, batu obsidian banyak digunakan sebagai bahan pembuatan perkakas. Jejak manusia prasejarah di dataran Bandung yang ditemukan di Gua Pawon Padalarang, misalnya, diketahui menggunakan bahan perkakas seperti mata panah, kait, pencongkel, atau pisau yang terbuat dari batu obsidian.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Karena sumber batu obsidian di kawasan Bandung dan sekitarnya ditemukan di daerah Kendan, para arkeolog memperkirakan bahwa manusia prasejarah melakukan perjalanan cukup jauh dari Gua Pawon ke Bukit Kendan untuk mendapatkan batu obsidian.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ahli geologi Budi Brahmantyo dalam bukunya Geologi Cekungan Bandung (2011) menyebut bahwa di Gunung Sangianganjung dan Kendan terdapat lapisan-lapisan tuff terlipat dan miring. Lapisan-lapisan ini mempunyai sisipan obsidian berukuran kerikil hingga berangkal.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Masih menurut buku tersebut, diketahui bahwa akumulasi obsidian terbesar berada di lereng utara Gunung Sangianganjung, di kampung Kendan. Di tempat ini , sebuah bongkah obsidian dengan tinggi 1,5 meter tersingkap ke permukaan. Selanjutnya disebutkan bahwa secara geomorfologis Gunung Kendan adalah sebuah bukit yang terisolasi. Ekspresi morfologinya mesa, bukit berpuncak datar yang biasanya dikontrol oleh lapisan mendatar. Lapisan-lapisan tuff dengan obsidian dengan kedudukan horisontal teramati di bagian atas bukit ini.</span></div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Situs Lain Kerajaan Kendan</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selain Gunung Sangianganjung, ada beberapa situs lain di wilayah ini yang terkait sejarah Kerajaan Kendan. Di antaranya Situs Pamujaan di dekat SDN Pamujaan 01 dan situs Batu Korsi atau Batu Karesi di lereng Gunung Serewen.</span></div></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ada juga makam atau petilasan Eyang Cakra dan Eyang Singalarang. Oleh masyarakat setempat, keduanya sebagai tokoh penting terkait Kerajaan Kendan. Situs-situs ini terletak di Desa Citaman, sebuah desa yang bertetangga dengan Kampung Kendan.</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-9615383437171278732023-08-12T15:40:00.022+07:002023-08-18T04:49:17.202+07:00Denah Lengkap Komplek Makam Sunan Gunung Jati <iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="475" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/0WOX3xx_vZo" width="100%"></iframe><div><br /></div><div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sunan Gunung Jati adalah Sultan sekaligus anggota Wali Songo, oleh karena itu kedudukannya bukan hanya sebagai seorang pemimpin kekuasaan saja melainkan juga sebagai pemimpin keagamaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Kedudukan Sunan Gunung jati yang sebagai Sultan Cirebon menyebabkan dimakamkan selayaknya seorang Sultan, yaitu dimakamkan di dalam komplek pemakam raja yang tidak bisa sembarang orang dapat mengunjunginya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati terdapat di sebuah bukit yang disebut Gunung Sembung, Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati Cirebon terletak di kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon, di area tersebut sebetulnya terdapat dua gunung kecil, yaitu Gunung Jati yang letaknya sebelah kanan jalan dari arah Cirebon-Indramayu yang di atasnya menjadi komplek pemakaman Syekh</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Nurjati dan Gunung Sembung letaknya di sebelah kiri arah Cirebon-Indramayu yang di atasnya menjadi komplek pemakaman Sunan Gunung Jati serta para pembesar Kesultanan Cirebon.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Denah Komplek Makam Sunan Gunung Jati yang berada di Gunung Sembung Cirebon dapat digambarkan sebagai berikut :</span></div></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1ULXPLBmM_VMGVkPA0Me5nkbXu73lwFymeHmdUHUwqV_hIs5Fsbh026XKBCeTqcvgq0b2Uq6tR-YRtgO9KYikf9TuYvBvvvHH5_tGzbHElBDRrhUkuxNmf7tFDMQvc1xd3JAM0796RqgF2TiERCbEXtQCcfYhlNQBDwmCyg9lJ6HU3hrA_gKo06iGskS-/s655/Pemakaman%20Sunan%20Gunung%20Jati%20Cirebon.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="655" data-original-width="652" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1ULXPLBmM_VMGVkPA0Me5nkbXu73lwFymeHmdUHUwqV_hIs5Fsbh026XKBCeTqcvgq0b2Uq6tR-YRtgO9KYikf9TuYvBvvvHH5_tGzbHElBDRrhUkuxNmf7tFDMQvc1xd3JAM0796RqgF2TiERCbEXtQCcfYhlNQBDwmCyg9lJ6HU3hrA_gKo06iGskS-/w638-h640/Pemakaman%20Sunan%20Gunung%20Jati%20Cirebon.png" width="638" /></a></div><br /><div><br /></div><div><br /></div><div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Keterangan Angka Latin :</b></span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">1. Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">2. Syarif Fatahillaah (Pangeran Jayakarta)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">3. Syarifah Muda’im (Nyimas Rarasantang)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">4. Nyimas Quroisyin (Nyi Gede Ing Sembung)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">5. Nyimas Tepasari (Istri Sunan Gunung Jati)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">6. Tang Hong Tien Nio (Putri Ong Tin)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">7. Sultan Haji Abdullaah Iman (Mbah Kuwu Sangkan/Pangeran Cakrabuana)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">8. Pangeran Pakungja Sedang Kemuning (Dipati Suwarga)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">9. Pangeran Jayakelana</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">10. Syarif Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">11. Nyai Ayu Wulan (Ratu Mas Nyawa binti Raden Fattah)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">12. Pangeran Sedang Lemper</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">13. Komplek Pangeran Agung (Panembahan Ratu)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">14. Adipati Keling Al-Hindi</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">15. Komplek Raden Mangkuratsari (Pangeran Sindang</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">16. Sultan Raja Syamsuddin (Sultan Sepuh I)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">17. Raden Jakataruna (Ki Gede Ing Bungko)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">19. Komplek Sultan Moh. Badridin</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">20. Komplek Sultan Jamaluddin</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">21. Komplek Nyi Mas Rarakerta</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">22. Komplek Sultan Moh. Komarudin</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">24. Adipati Awangga (Arya Kemuning)</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">25. Komplek Sultan Mandurareja</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">27. Komplek Sultan Nurbuwat</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">28. Komplek Sultan Sena Moh. Jami'uddin</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">29. Komplek Sultan Syaifuddin Matangaji</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span></div><div><b><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Keterangan Angka Romawi, Lawang Sanga atau Pintu Sembilan, terdiri dari :</span></b></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">I. Pintu Gapura</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">II. Pintu Krapyak</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">III. Pintu Pasujudan</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">IV. Pintu Ratnakomala</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">V. Pintu Jinem</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">VI. Pintu Raraoga</span></div><div><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">VII. Pintu Kaca</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-63566435315035203122023-07-31T18:55:00.004+07:002023-07-31T19:27:37.521+07:00Siapakah Sunan Burung Baok?<div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Seorang raja muda belia, merupakan putra dari keturuanan Raja Pajajaran yang bertahta di Timanganten. Oleh rakyat Timbanganten, dijuluki Sunan Burung Baok. </span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: left;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL8ZQ86xeW6A6xhXX4KVFBuHnD238LK50NjXvlrUWGUYunmuZEAQFtGv0dVadllNduTOYM0_ypLMD0tcnrYnuR-kbODdBkf8rBuj_EqijAKCDAkvi0G_eq2iLwY2PkGQqXimBiP7HoNB4yFie_9n4ZpJubhEJ4fR0vS5ycfign2VMNRWXzxSS8kmtDsDbk/s515/Guar%20Silsilah%20Pangeran%20Burung%20Baok.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="374" data-original-width="515" height="464" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL8ZQ86xeW6A6xhXX4KVFBuHnD238LK50NjXvlrUWGUYunmuZEAQFtGv0dVadllNduTOYM0_ypLMD0tcnrYnuR-kbODdBkf8rBuj_EqijAKCDAkvi0G_eq2iLwY2PkGQqXimBiP7HoNB4yFie_9n4ZpJubhEJ4fR0vS5ycfign2VMNRWXzxSS8kmtDsDbk/w640-h464/Guar%20Silsilah%20Pangeran%20Burung%20Baok.png" width="640" /></a></div><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Dalam menjalankan tampuk kekuasaan, beliau dibantu oleh seorang Patih bernama Dalem Pasehan. Prabu Marajaputra tidak lama menjadi Raja Timbanganten, karena ditarik kembali ke Pakuan Pajajaran.</span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span><span style="font-size: medium;">Babad Timbanganten dari Torogong Garut berbentuk wawacan. Naskah ini diterbitkan berdasarkan naskah dengan kode Plt. 37 yang disimpan di Museum Nasional dan ditulis dengan huruf Latin. </span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: left;"><div><span style="font-size: medium;">Pada permulaan cerita dikisahkan Dalem Pasehan yang memerintah negara Mandala Puntang. Ia keturunan Prabu Daluh. Seorang anaknya, yang bernarna Dèwi Maraja Inten, diperistri oleh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Merasa diri telah lanjut usia, Dalem Pasèhan pergi menghadap Prabu Siliwangi untuk meminta penggantinya, yang akan memerintah daerah Timbanganten itu. Prabu Siliwangi menunjuk salah seorang putranya yang bernama Burung Baok. Sebelum berangkat, ia mendapat berbagai nasihat dari sang Dalem Pasèhan pun mendapat amanat, apabila pada suatu waktu Burung Baok berlaku tidak baik, hukumlah tetapi jangan sampai darahnya menetes.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Timbanganteri mendapat kemajuan dan kemakmuran di bawah pemerintahan penguasa baru itu. Kemudian, Sunan Burung Baok berangsur-angsur beralih menjadi penguasa yang lalim. Untuk menyelamatkan rakyatnya, Dalem Pasèhan lalu mengatur siasat. Dalam sebuah pesta yang dilakukan di tepi sungai (pesta marak ikan), Sunan Burung Baok ditangkap beramai-ramai, tubuhnya diikat lalu dimasukkan ke dalam gua. Gua itu kemudian ditutup rapat.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dengan menggunakan segala kesaktiannya, Sunan Burung Baok berhasil menembus bumi dan muncul di Pajajaran. Peristiwa yang dialaminya diadukan kepada Prabu Siliwangi.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dalem Pasèhan mengakui kekeliruannya dalam menafsirkan amanat sang raja. Prabu Siliwangi tidak berlanjut marah karena Dalem Pasèhan datang ke Pajajaran dengan mantra-mantra pekasih. Pada saat itu diputuskan bahwa yang akan menjadi penguasa baru adalah putra Prabu Siliwangi dari Dèwi Maraja Inten, yang berasal dari Timbanganten. Putri itu dijemput oleh Batara Pipitu, utusan Dalem Pasèhan. la melahirkan di Mandala Puntang. Karena itu, anaknya diberi nama Permana Dipuntang. Setelah menginjak dewasa, ia diangkat menjadi penguasa Timbanganten dengan gelar Sunan Permana Dipuntang.</span></div><div><br /></div></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Dalam Naskah <b><a href="https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2018/10/isi-naskah-carita-ratu-pakuan.html" rel="nofollow" target="_blank">Carita Ratu Pakuan</a></b> dituliskan bahwa Ratu Rajamantri yang berasal dari Kerajaan Sumedanglarang, beliau diperisteri menjadi salah satu isteri Prabu Jaya Dewata / Prabu Siliwangi (isteri ke 4).</span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span><span style="font-size: medium;">Dalam tulisan Babad Sumedang Purwacarita diceritakan bahwa Raja Panyelang Sumedanglarang, yaitu Ratu Rajamantri Padmawati yang kemudian ditikah oleh Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi), yang diboyong ke Pajajaran mempunyai anak :<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Burung Baok.<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Deugdueg Jaya Perang<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Layang Kamuning<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Munding Sari<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Munding Jalingan<br /></span><span style="font-size: medium;">- Ratu Sumur Sandung.<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Munding Mintaraga <br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Munding Laya Dikusumah<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Manggung Kusumah.<br /></span><span style="font-size: medium;">- Pangeran Tjideng Wanara.</span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span><span style="font-size: medium;">Sementara tulisan dari Srimanganti Sumedang menuliskan bahwa putranya Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) dari Ratu Rajamantri Padmawati, mempunyai anak :<br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Tenga <br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Meumeut<br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Munding Keuleupeung<br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Saken (Embah Agung)<br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Munding Sari<br /></span><span style="font-size: medium;">- Raden Laya Kusumah.</span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><br /></span><span style="font-size: medium;">Salam Santun...</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-52395339693744070052023-07-27T19:31:00.001+07:002023-07-27T19:31:11.213+07:00Makam Buyut Tandjung Di Makam Keramat Jambu Gunung Dusun Jambu Desa Jambu Kecamatan Conggeang<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi67irWoDWbzuyr3rvlmFEX641GhwqYYwJbyfUqgcbaCIqSoNSVepoCOQEdlUcVIzAOGeh55zppHxL_jawBAAbeV1YA-LgBC8U4En3sQ6CFqXe23VvaClj2DNLjq4woLKEoQgS4tGXTxVMR1MOK5eCQ6ENQ3Qunxk55rHdch-9K-l0ni35-B3Hh1dvVRuZ4/s800/Makam%20Buyut%20Tandjung%20Di%20Makam%20Keramat%20Jambu%20Gunung%20Dusun%20Jambu%20Desa%20Jambu%20Kecamatan%20Conggeang.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="800" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi67irWoDWbzuyr3rvlmFEX641GhwqYYwJbyfUqgcbaCIqSoNSVepoCOQEdlUcVIzAOGeh55zppHxL_jawBAAbeV1YA-LgBC8U4En3sQ6CFqXe23VvaClj2DNLjq4woLKEoQgS4tGXTxVMR1MOK5eCQ6ENQ3Qunxk55rHdch-9K-l0ni35-B3Hh1dvVRuZ4/w640-h360/Makam%20Buyut%20Tandjung%20Di%20Makam%20Keramat%20Jambu%20Gunung%20Dusun%20Jambu%20Desa%20Jambu%20Kecamatan%20Conggeang.jpg" width="640" /></a><p></p><div><div><span style="font-size: medium;">Selain dari makam keramat Raden Santa Paradja salah putranya Dipati Rangga Gempol 2 (Raden Bagus Weruh) bupati Sumedang masa pemerintahan </span><span style="font-size: medium;"><span>1633 s/d 1656 M. </span><span>Ada juga makam dari Raden Santa Djaya, Raden Candra Wirya, Buyut Djangkung dan Buyut Tandjung alias Buyut Ronggéng.</span></span></div><div><span style="font-size: medium;"><span><br /></span></span></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYcv5F2DGu6pv6hUqCbuBlMu_-PKexBFbeK8PtDtAC3E-K5YDju90XgDq6zQXn8YvrIbUO0H5IgTfLXtzQP46hE8VmRg-2vSCiARoVXTMlxVKSBYVLQ2K5YFeEH2M7oIN8XqNUSN8gC16KoUIJLlpiLNDKehk_OgPfn9ZOSe1uOMJN4LMYG5rKXLY4EZ1J/s2048/Jalan%20Setapak%20ke%20Makam%20Raden%20Santaparadja.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" height="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYcv5F2DGu6pv6hUqCbuBlMu_-PKexBFbeK8PtDtAC3E-K5YDju90XgDq6zQXn8YvrIbUO0H5IgTfLXtzQP46hE8VmRg-2vSCiARoVXTMlxVKSBYVLQ2K5YFeEH2M7oIN8XqNUSN8gC16KoUIJLlpiLNDKehk_OgPfn9ZOSe1uOMJN4LMYG5rKXLY4EZ1J/w640-h480/Jalan%20Setapak%20ke%20Makam%20Raden%20Santaparadja.jpg" width="640" /></a></div><br /></div><div><span style="font-size: medium;">Menurut foklore Buyut Tandjung alias Buyut Ronggéng adalah seorang gadis cantik kembang désa asli berdarah Sumedang yang berprofesi sebagai juru kawih/vokal di masa hidupnya, selain itu beliau pandai dalam menari tradisional khas Sunda.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Lebih dari itu beliau juga guru tari dan guru kawih/vokal pada jamannya, dari ke ahliannya itu beliau sering di panggil oleh gegedén atau para pejabat di tatar sunda untuk sekedar hiburan para gegedén bahkan untuk penyambutan tamu kehormatan dari luar Sumedang atau acara-acara besar dan acara-acara sakral lainnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Selain itu Buyut Tandjung juga merupakan guru dari Nyimas Gabug, Nyimas Setayu, Nyimas Saidah (Sedah) yang kini makamnya ada di dusun Cipeles Kecamatan Tomo Sumedang dan Nyimas Naibah yang makam ada di tengah pesawahan makam pasir di desa Ciberureum Kulon Kecamatan Cisarua.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Buyut Gabug dan Buyut Naibah terkenal dengan ilmu Asihannya/pélét atau asihan Si Kukuk Mudik yang sangat ampuh hingga banyak para ménak/pejabat tinggi yang tergila-gila oleh Buyut Gabug dan Buyut Naibah. </span><span style="font-size: medium;">Hingga saat ini tak jarang bahkan banyak yang datang dari kalangan biasa hingga artis, pejabat dan pelaku seni yang datang ke untuk berjiarah.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Begitu saktinya Buyut Naibah dan Buyut Gabug dengan ilmu Asihannya, apalagi dengan Gurunya yaitu Buyut Tandjung.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Meski Buyut Tandjung merupakan guru dari kedua tokoh sakti itu, namun justru yang lebih tersohor adalah kedua muridnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tidak di ketahui tahun lahir dan wafatnya beliau, namun merujuk dari kisah beliau sebagai sesepuh yang pernah di gurui oleh Buyut Gabug dan Buyut Naibah diperkirakan Buyut Tandjung hidup antara tahun 1600-an, semenjak Sumedanglarang di bawah kepemimpinan kesultanan mataram berhubung tokoh buyut Gabug dan Buyut Naibah juga berasal dari Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Walau masih tanda tanya besar, apakah makam ini adalah makam Buyut Tandjung atau bukan? </span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Namun di yakini oleh beberapa pihak,disinilah titik dimana Buyut Tandjung di semayamkan, karena sesepuh setempatpun atas petunjuk sesepuh terdahulu menunjukan bahwa ciri dari makamnya adalah ada pohon iprik sejenis beringin.</span></div><div><span style="font-size: large;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Untuk membuktikan petunjuk, maka pengikisan tanah di lakukan sedalam ±40 cm, dan hasil akhirnya di temukan kuburan sepuh/tua tepat di bawah pohon besar tersebut.</span></div><div><br /></div><div><span style="font-size: medium;">Salam Santun</span></div></div><div><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-20513904134419088292023-07-26T23:49:00.011+07:002023-08-10T20:22:32.771+07:00Situs Ibu Manikmaya di Kampung Puncakmanik Kecamatan Buah Dua, Ibunya Manikmaya Pendiri Mandala Kendan <p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiR8H_UXbXGGYGWzHEt6mRRmAJcvVExhfHdbhgewTpfxXLzcETCQb_UUtIcI1nMNYKxhH4saab8ulj-W1l6ShOG90z7MzgR6icHc0lF3cjZXpIlZYA-ruoF-wu1-xs7ahb-GMy-ugu2-qxAhjt7qbXxv12W0_JJwm0A-MY2J62sbKFuY8KH9nke8dNfK5u8/s661/Situs%20Ibu%20Manikmaya%20di%20Puncakmanik.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="363" data-original-width="661" height="352" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiR8H_UXbXGGYGWzHEt6mRRmAJcvVExhfHdbhgewTpfxXLzcETCQb_UUtIcI1nMNYKxhH4saab8ulj-W1l6ShOG90z7MzgR6icHc0lF3cjZXpIlZYA-ruoF-wu1-xs7ahb-GMy-ugu2-qxAhjt7qbXxv12W0_JJwm0A-MY2J62sbKFuY8KH9nke8dNfK5u8/w640-h352/Situs%20Ibu%20Manikmaya%20di%20Puncakmanik.png" width="640" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEit84E75ul2rCFXV8TjTzdNDaNMVt2WBPChxTu_ifM4DJQd6EbZLu7JoGcqBLHG3RkHmesHrZ4spYHdHu9n-kKYTYSWRqJttfeIeTvhbXFDbzgSeW_XylpIaxx0RSsbirc87gnn_pyxCE1p1UtbammXGh7Kn-9nGj2riMUdulcCA28Sr_Nl8Shj6U9-__zq/s775/Plank%20Situs%20Ibu%20Manikmaya%20di%20Puncakmanik).png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="427" data-original-width="775" height="352" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEit84E75ul2rCFXV8TjTzdNDaNMVt2WBPChxTu_ifM4DJQd6EbZLu7JoGcqBLHG3RkHmesHrZ4spYHdHu9n-kKYTYSWRqJttfeIeTvhbXFDbzgSeW_XylpIaxx0RSsbirc87gnn_pyxCE1p1UtbammXGh7Kn-9nGj2riMUdulcCA28Sr_Nl8Shj6U9-__zq/w640-h352/Plank%20Situs%20Ibu%20Manikmaya%20di%20Puncakmanik).png" width="640" /></a></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: large; text-align: left;"><br /></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: large; text-align: left;">Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, ti Medang Kahiangan, ngalalar di Tompo Omas, meu(n)tas aing di Ci-Manuk, ngalalar ka Kendan...</span></div><p><span style="font-size: medium;">Banyak Situs-situs tua di sekitaran Gunung Tampomas dan di sekitar lereng Tamp(o)mas dalam naskah Carita Ratu Dipakuan diceritakan ada beberapa kemandalaan diantaranya : Gunung Cupu Bukit Tamporasih, Mandala Tanpo Wahanan, Gunung Lenggang Mandala Herang. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Selain itu terdapat pula Batu Nagrak di Kecamatan Buah Dua yang diperkirakan telah ada sebelum masa Pra Sejarah dsbnya, yang tidak tertuliskan dalam wawasan sejarah lokal sekitar Medang Kahyangan.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Sebuah pemukiman tersembunyi yang berada di lereng Gunung Tampomas di Kecamatan Buah Dua. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Nama Pemukiman tersebut sungguh elok dan unik. Di balik keunikan nama pemukiman tersebut ada sebuah cerita yang bersangkutan dengan sejarah masa lalu dan para leluhur di tempat itu. Pemukiman tersebut bernama Kampung Puncakmanik.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Nama pemukiman tersebut berkaitan dengan sebuah larangan atau kata masyarakat setempat disebut PAMALI. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Selain kata pamali nama pemukiman ini yang berkaitan dengan tokoh di jaman Kendan dan jaman Pajajaran, sang tokoh tersebut bernama Ibu Manikamaya dan Cakrabuana.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Nama puncak manik di ambil dari kata puncak dan manik. Puncak berarti tempat tertinggi dan manik adalah cahaya, .yang berarti cahaya dari tempat tertinggi.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Kampung puncak manik berada sebelah selatan lereng gunung tampomas. Meskipun berada di tengah hutan, pemukiman ini bisa di akses oleh kendaraan roda 2.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Menurut salah seorang tetua kampung yang sering disapa Bpk Adun yang sekaligus pengurus situs puncak manik, ada beberapa keunikan di kampung Puncak Manik ini.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Kampung Puncak Manik ini hanya dihuni oleh 10 kepala keluarga (konsep unik dan kearifan lokal pemukiman masyarakat Sunda Kuno) , dan uniknya dari dulu sampai sekarang jumlah kepala keluarga dan warganya tidak bertambah dan tidak berkurang.... Seandainya ada yang lahir pasti ada saja alasan warga yang ingin meninggalkan kampung puncak manik ini. Jadi warga disini jumlah tetap tidak berubah.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Sebelum masuk ke situs petilasan / tempat singgah / jejak yang ditinggalkan KI Ajar Sidiweca dan Maha Guru Maniknya.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Sebelum masuk / mendoakan para leluhur yang pernah singgah di tempat ini, Ada sebuah tradisi yang di lakukan oleh para peziarah. Para peziarah biasanya diharuskan mandi dan berwudu di mata air yang bernama mata air Cikakap.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Menurut Bapak Adun, mata air Cikakap ini merupakan sebuah aliran dari 7 mata air yang bersatu di saat Prabu Siliwangi melewati daerah ini.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Dengan cerita dari masyarakat setempat Rsi Manikmaya alias Rsi Makandria berasal dari sekitar kawasan kaki Gunung Tampomas. oleh sebab Ibu Rsi Manikmaya berasal dari sini. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Hal mungkin saja karena jaun sebellum Mandala Kendan berdiri di sekitar kaki gunung Tampomas telah ada jaman Mandala Medang Kahiangan atau jaman Pengiring dari Kerajaan Salakanagara Medal Kamulyan sekitar abad 3 s/d 4 M, yaitu Prabu Resyi Danishwara di Ciemutan Kec. Buah Dua, Reysi Banas Banten, Reysi Indrasari, Reysi Cupu, Reysi Lara Sakti dan Reysi Sanyak, </span><span style="font-size: medium;">putra-putranya Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (252 s/d 290 M) dan Sri Nur Cahya dari Salakanagara, yang beraliran agama Hindu bhakta Siwaisme. </span><span style="font-size: medium;">(lihat silsilah dibawah ini)</span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKzzz5fEze-gJ1rY9QTZyc56dstupX326xpGPYxf5ik_yy44Oh-9lR6oHS95LHswDNqfPQkr4qdKk0QfD1rkMZCMz1kqWjJeXTAMqImvxtv1aQQ3vrjlaR68oyIbwqQcSKwWq-JBppouFTzsSay4lovPJlk8QKWz8teUbRDQTSAX7BjfVS3lGFTWoL1LAb/s1024/Silsilah%20Medal%20Kamulyan%20Pengiring%20dari%20Salakanagara%201.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="584" data-original-width="1024" height="366" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKzzz5fEze-gJ1rY9QTZyc56dstupX326xpGPYxf5ik_yy44Oh-9lR6oHS95LHswDNqfPQkr4qdKk0QfD1rkMZCMz1kqWjJeXTAMqImvxtv1aQQ3vrjlaR68oyIbwqQcSKwWq-JBppouFTzsSay4lovPJlk8QKWz8teUbRDQTSAX7BjfVS3lGFTWoL1LAb/w640-h366/Silsilah%20Medal%20Kamulyan%20Pengiring%20dari%20Salakanagara%201.jpg" width="640" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS7RC4l3ld7oLk8GjuUzowg3N6vNjjJ-IhykMHCz2RS8SR1riJJmN9xyd-hogQHd_6s6o9x5Wh2xYHamV_qzXh8BpqoQLurL7ZZppTwlMg7mUO0bY0GCD9S4G2LqsVVQpMVqTKSa3LEaGlZAVGPF9SmM3uMeo9TvocEhiumTPVxA1DqJvEt5hiUpMq-1Wn/s1024/Silsilah%20Medal%20Kamulyan%20Pengiring%20Dari%20Salakanagara%202.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="1024" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS7RC4l3ld7oLk8GjuUzowg3N6vNjjJ-IhykMHCz2RS8SR1riJJmN9xyd-hogQHd_6s6o9x5Wh2xYHamV_qzXh8BpqoQLurL7ZZppTwlMg7mUO0bY0GCD9S4G2LqsVVQpMVqTKSa3LEaGlZAVGPF9SmM3uMeo9TvocEhiumTPVxA1DqJvEt5hiUpMq-1Wn/w640-h360/Silsilah%20Medal%20Kamulyan%20Pengiring%20Dari%20Salakanagara%202.jpg" width="640" /></a></div><p></p><p><span style="font-size: medium;">Konon Maha Guru Manikmaya atau Raja Maha Guru Manikmaya atau Sang Manikmaya adalah seorang Resi, rahib. pendeta atau guruloka di Mandala Kendan. Mandala Kendan ini adalah cikal bakal Kerajaan kendan. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Namanya sering disalahartikan dengan bataraguru Manik Maya dalam kisah pewayangan. Istilah atau sebutan Manikmaya ini dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familiar dan dikenal dari nama tokoh dewa di dalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan kisahnya yang menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan dan menjadi rancu berasal dari India. lihat silsilahnya dibawah ini :</span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2u4Vtf4z-7qGLUGcaFoMpJWuXCroSg4jywe9jSOTbItUWbWmAmgYQDWweNI7KyiYeHeRGlKI7bAdyrNl5iS6BKHFNXrRCRVRicTjzH3EKBYE2jASNbYvNCNDsysLfQ5CkyDZkdYFiFWrxPMbc741G02mr9MFA8FFUvMvCO_sFb1jf6ZiGzCbDpXl4s0gn/s997/Silsilah%20Manikmaya.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="997" data-original-width="768" height="761" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2u4Vtf4z-7qGLUGcaFoMpJWuXCroSg4jywe9jSOTbItUWbWmAmgYQDWweNI7KyiYeHeRGlKI7bAdyrNl5iS6BKHFNXrRCRVRicTjzH3EKBYE2jASNbYvNCNDsysLfQ5CkyDZkdYFiFWrxPMbc741G02mr9MFA8FFUvMvCO_sFb1jf6ZiGzCbDpXl4s0gn/w585-h761/Silsilah%20Manikmaya.png" width="585" /></a></div><br /><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXxWewiNQBc5FHLcdYsVGkfb0BqHI4yFDBVE0jzRRG_fJAkmGZPDl-JH6m1tonekTrI48FRYApk5DGqpXh-6KHybi238_uuI7Fx2Y-jJ3ndniNoYoj4aTOYhNeJvVvlyfCcenEeIAxJpwt89hFXT69eHlG0N11UatDJ50cJLvqZTt4nOyjC6t-wlW2tAcP/s640/SILSILAH%20WRETIKANDAYUN%20(1).png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="394" data-original-width="640" height="394" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXxWewiNQBc5FHLcdYsVGkfb0BqHI4yFDBVE0jzRRG_fJAkmGZPDl-JH6m1tonekTrI48FRYApk5DGqpXh-6KHybi238_uuI7Fx2Y-jJ3ndniNoYoj4aTOYhNeJvVvlyfCcenEeIAxJpwt89hFXT69eHlG0N11UatDJ50cJLvqZTt4nOyjC6t-wlW2tAcP/w640-h394/SILSILAH%20WRETIKANDAYUN%20(1).png" width="640" /></a></div><p><span style="font-size: medium;">Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya, dengan batas CiMAnuk dan diluar wilayah CiTARUM (Matarum ~ Tarumanagara). </span></p><p><span style="font-size: medium;">Resi Maha Guru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di Mandala Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. </span></p><p><span style="font-size: medium;">Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak resiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Mandala Kendan dikisahkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) Carita Parahyangan:</span></p><p><span style="font-size: medium;">“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria: ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’</span></p><p><span style="font-size: medium;">Datang Siya ka Kendan.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’</span></p><p><span style="font-size: medium;">‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’</span></p><p><span style="font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><b><span style="font-size: large;">Raja-Raja Kerajaan Kendan</span></b><br /><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;">1. Raja Maha Guru Manikmaya (536-568 M), berasal dari Pengiring Medal Kamulyaan Salakanagara Medal Kamulyaan Gunung Tampomas adalah seorang Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu ditanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana kepada Maha Guru Manikmaya ini sebagai Istri dan memperkenankan sang Menantu mendirikan Kerajaan Kendan ditambah sebagian dari Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan Maha Guru Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan Jawa Barat.</span></div></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">2. Raja Putra Suraliman (568-597 M), menikah dengan Dewi Mutyasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">3. Raja Kandiawan (597-612 M), memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">4. Raja Wretikandayun (612-702 M), memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan atau Kelang ke Galuh di desa Karang Kamulyaan untuk Sanjaya, kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;</div><ul style="text-align: left;"><li style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Kerajaan Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita Parahiyangan, sedangkan menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan Ibu kota kerajaan di Bogor.</span></li><li style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan atau Kelang dengan Rajanya Wretikandayun, menguasai wilayah bagian Timur, ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati putri Maharani Shima Putri dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya.</span></li></ul></span></div><p><span style="font-size: medium;"></span></p><div style="text-align: left;"><br /></div><p><span style="font-size: medium;">Salam Santun </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-10709546741996926162023-07-26T23:03:00.005+07:002023-07-27T21:44:23.122+07:00Inilah 20 Peristiwa Penting yang Terjadi di Hari Asyura 10 Muharram<div><span style="font-size: medium;">10 Muharram atau hari Asyura merupakan salah satu hari yang dimuliakan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW pernah menjadikan hari Asyura 10 Muharram untuk mengamalkan puasa sunah sebagai bentuk syukur kepada Allah atas peristiwa-peristiwa penting bagi para nabi dan rasul terdahulu.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Berikut 20 peristiwa penting yang terjadi pada hari Asyura, 10 Muharram:</span></div><div><span style="font-size: medium;">1. Diciptakannya Nabi Adam ‘alaihissalam di surga.</span></div><div><span style="font-size: medium;">2. Diterimanya taubat Nabi Adam ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">3. Naik dan sejajarnya perahu Nabi Nuh 'alaihisalam dengan bukit Judi setelah banjir besar, serta turunnya ke muka bumi setelah banjir bandang.</span></div><div><span style="font-size: medium;">4. Dikeluarkannya Nabi Yunus ‘alaihissalam dari perut ikan paus.</span></div><div><span style="font-size: medium;">5. Diterimanya taubat umat Nabi Yunus ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">6. Dilahirkannya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">7. Selamatnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dari api yang membakarnya oleh Raja Namrud.</span></div><div><span style="font-size: medium;">8. Dikeluarkannya Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari sumur setelah diceburkan saudara-saudaranya.</span></div><div><span style="font-size: medium;">9. Dipertemukannya Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan keluarganya kembali.</span></div><div><span style="font-size: medium;">10. Disembuhkannya penglihatan Nabi Ya'qub ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">11. Dibukanya (dihilangkan) ‘madlorot’ yang mendera Nabi Ayyub ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">12. Diampuninya Nabi Daud ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">13. Terbelahnya laut merah untuk Nabi Musa ‘alaihissalam setelah dikejar Fir’aun.</span></div><div><span style="font-size: medium;">14. Tenggelamnya Firaun di dasar laut merah saat mengejar Nabi Musa ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">15. Dilahirkannya Nabi Isa ‘alaihissalam</span></div><div><span style="font-size: medium;">16. Diangkatnya Nabi Isa ‘alaihissalam ke langit.</span></div><div><span style="font-size: medium;">17. Dibolak-balikannya tubuh ashabul Kahfi (para pemuda Bani Israil yang bersembunyi di dalam gua).</span></div><div><span style="font-size: medium;">18. Diciptakannya ruh Nabi Muhammad SAW</span></div><div><span style="font-size: medium;">19. Dikandungnya Nabi Muhammad SAW di rahim Ibunda Aminah radliyallahu 'anha</span></div><div><span style="font-size: medium;">20. Wafatnya (syahid) cucu Nabi Muhammad Sayyiduna Husein radliyallahu 'anh</span></div><div><span style="font-size: medium;">Itulah daftar peristiwa penting yang terjadi di hari Asyura yang bisa ketahui sebagai umat Islam.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div>
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="475" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/J1lvnAvzzN0" width="100%"></iframe>
<div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX58GrZ-FllhwOEhsya9QSkdrkKDinLdSS1sUuJUYewgDXymbtg7nsuIiiVcHsb5awZzXBA0CNkyJ39HvqRkqhkSDDkP39p8_dh7OmDLZOojvOnEbiUHUacydGQHtM179vJgaYikCChhuc5_BISOYhGeXndf7nWfmzWAJbaCzux7Az0YQNB3baDISJPXmN/s1356/Niat%20Puasa%20Sunnah%20Asyura.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1356" data-original-width="1080" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX58GrZ-FllhwOEhsya9QSkdrkKDinLdSS1sUuJUYewgDXymbtg7nsuIiiVcHsb5awZzXBA0CNkyJ39HvqRkqhkSDDkP39p8_dh7OmDLZOojvOnEbiUHUacydGQHtM179vJgaYikCChhuc5_BISOYhGeXndf7nWfmzWAJbaCzux7Az0YQNB3baDISJPXmN/w510-h640/Niat%20Puasa%20Sunnah%20Asyura.jpg" width="510" /></a></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-59939568790090375292023-07-25T11:38:00.005+07:002023-07-25T12:30:20.069+07:00Situasi Terkini Makam Tmg. Ardikusumah di Dusun Sirnagalih Kelurahan Sukagalih Kecamatan Taragong Kaler Kabupaten Garut<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="475" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/LHvQJHa8F9A" width="100%"></iframe>
<div><br /></div><div><div><b><span style="font-size: large;">Dulu! Area Makam <a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Dalem Tumenggung Ardikusumah</a> di Garut Disebut Pasarean Ageung Timbanganten, Luas 2,8 Hektar</span></b></div><div><span style="font-size: medium;">Kawargian Timbanganten yang berada di Kota Bandung menyebutkan bahwa sebelum menjadi Kp. Astana Kalong, Area Makam Dalem Tumenggung Ardikusumah (Bupati Bandung Ke-2) yang berada di Kabupaten Garut disebut Pasarean Ageung Timbanganten.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Area Pasarean Ageung Timbanganten ini luasnya sekitar 28.000 meter atau 2,8 hektar,” ungkap salah satu Kawargian Timbanganten, Rakean Pawitradi Wiranatakusumah yang ditemui dejurnal.com, Senin (19/6/2023).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_B-_F5VgjxBU82Ia9lb9Whr7ytbljDi-1Wn6ZyLNoA4Im0SQOxGHYvk0exO7ONvFLenjpHkIK7cEQ16_f4UfColi8KRZB_GaAO6tI3YYygJ2_N_jHM7-ky0FMS22bfBZHF_qk660c5_SICaCfnhgny0cbKXnedKyMy1SGxZi2t51GbbQ5GY1sIumzSLmE/s1600/Pegerakan%20Kawargian%20Wiranatakusumah.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="721" data-original-width="1600" height="288" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_B-_F5VgjxBU82Ia9lb9Whr7ytbljDi-1Wn6ZyLNoA4Im0SQOxGHYvk0exO7ONvFLenjpHkIK7cEQ16_f4UfColi8KRZB_GaAO6tI3YYygJ2_N_jHM7-ky0FMS22bfBZHF_qk660c5_SICaCfnhgny0cbKXnedKyMy1SGxZi2t51GbbQ5GY1sIumzSLmE/w640-h288/Pegerakan%20Kawargian%20Wiranatakusumah.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: georgia;">Pergerakan Kawargian Wiranatakusumah</span></b></td></tr></tbody></table></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sebutan Pasarean Ageung Timbanganten, lanjut Rakean, karena disana ada Makam Bupati Bandung pendahulu yang berasal dari Timbanganten atau sekarang Kabupaten Garut.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Pemberian nama Pasarean Ageung Timbanganten ini sebagai rasa hormat para Bupati di Priangan kepada Bupati Bandung awal yang asal usulnya dari Timbanganten,” ungkapnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Menurutnya, makam-makam yang ada di Pasarean Ageung Timbanganten atau Astana Kalong ini banyak sekali makam tua, Raden Tumenggung Ardikusumah wafat tahun 1704, itu artinya makam tersebut sudah berusia kurang lebih 319 tahun.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Kami kira makam tersebut sudah selayaknya menjadi situs cagar budaya dan itu adalah kewajiban pemerintah sesuai amanat undang undang,” tukasnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dikatakannya, Kawargian Timbanganten berkeyakinan bahwa Pasarean Ageung Timbanganten atau Astana Kalong adalah kawasan Pakauman, kedudukannya merupakan wakaf khusus untuk area pemakaman, paru-paru daerah dan daerah serapan air mengantisipasi banjir.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Wakaf ini bersifat wakaf khoiri, dimana nazhirnya adalah panggede pada setiap masa jabatannya, dan Kawasan Pakauman ini sangat erat kaitannya dengan keseimbangan keselarasan ekologis,” terangnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Lanjut Rakeyan, objek wakaf sudah putus dari tirkah waris yang artinya wakaf tidak boleh diwariskan, tidak boleh dibagi-bagi, tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh merubah fungsi atau amanat kehendak wakif atau pemberi wakaf.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Seluruh pihak yang mengetahui atas objek wakaf itu berkewajiban turut menjaga dan melestarikan wakaf tersebut sesuai amanah nazhir (penerima wakaf), dalam hal ini adalah wakaf khoiri yaitu para panggede atau pemerintah sesuai masa jabatannya,” pungkasnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kini, kawasan makam <b><a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Dalem Tumenggung Ardikusumah </a></b>(Bupati Bandung ke-2) yang dulu dikenal dengan sebutan Pasarean Ageung Timbanganten, seiring dengan waktu berubah nama menjadi sebutan Astana Kalong.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dan direncanakan di lahan Pasarean Ageung Timbanganten atau Astana Kalong dimana Tumenggung Ardikusumah (Bupati Bandung Ke-2) dimakamkan, bakal dibangun Rumah Sakit Paru.</span></div><div><br /></div><div><b><span style="font-size: large;">Kuasa Hukum Keturunan <a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Tumenggung Ardikusumah</a> Pasang Spanduk Peringatan di Lahan Makam Astana Kalong Garut</span></b></div><div><span style="font-size: medium;">Keturunan Tumenggung Ardikusumah (Bupati Bandung ke-2), melalui Tim Kuasa Hukum Roedy Wiranatakusumah, SH, MH, MBA, memasang plang dilahan Makam Astana Kalong yang rencananya bakal dibangun Rumah Sakit Paru.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tulisan “Tanah Situs Cagar Budaya ini Dibawah Pengawasan Firma Hukum Roedy Wiranatakusumah & Rekan, Dilarang Keras Melakukan Pembangunan dan Tindak Pidana Perbuatan Melawan Hukum Di Atas Tanah Hak Wakaf” dipasang Jumat malam (23/6/2023).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Roedy Wiranatakusumah menjelaskan, sebagai advokat yang termasuk penegak hukum, ketika ada masyarakat yang memerlukan penegakan hukum, tentunya pihaknya akan bertindak sebagaimana amanat Undang-Undang.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Pemasangan plang di Makam Astana Kalong Garut sebagai bentuk Warning atas Historical Asset kepada Pemerintah Kabupaten Garut agar tidak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan karena ada masyarakat yang dirugikan dalam hal ini,” tegas Roedy Wiranatakusumah</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Terkait klaim tanah Makam Astana Kalong sudah menjadi tanah Pemerintah, Roedy Wiranatakusumah menegaskan, sejarah tidak bisa dipelintir atau dimanipulasi, keberadaan Makam Tumenggung Ardikusumah di Astana Kalong sendiri sudah lebih dulu ada dibanding Kabupaten Garut sendiri.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Jadi darimana ceritanya tanah yang sudah diwakafkan oleh penguasa dahulu kemudian bisa diklaim menjadi tanah carik dan berubah jadi tanah milik pemda?,” kata Roedy Wiranatakusumah.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Roedy Wiranatakusumah mengatakan, selaku kuasa hukum yang telah diberi kuasa oleh keturunan Tumenggung Ardikusumah (Bupati Bandung ke-2) untuk menyelamatkan situs makam sebagaimana amanah, kendati wakaf khoiri sebenarnya adalah tanggung jawab penuh kepala Pemerintahan dalam menjaga keutuhan dan lestarinya objek wakaf, sesuai kehendak wakif yaitu kawasan makam.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">“Jika pihak Pemerintah tidak menjaga keutuhan wakaf ada dugaan mal administrasi, kita akan ambil langkah hukum dengan mendatangi Badan Wakaf Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia dan tentunya duduk bersama Pemerintah Kabupaten Garut guna membicarakan tentang historical asset Makam Astana Kalong ini,” pungkas Roedy Wiranatakusumah.</span></div></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div><b><span style="font-size: large;">Terkait Status Astana Kalong, Bupati Garut, Kita Ingin Masalah ini Diselesaikan dengan Baik</span></b></div><div><span style="font-size: medium;">Bupati Garut, Rudy Gunawan, menyampaikan jika pihaknya ingin kisruh terkait Astana Kalong (Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul) bisa diselesaikan dengan baik.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Hal tersebut dungkapkan dalam keterangan resminya, Sabtu (24/06/2023).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Astana Kalong sendiri merupakan tempat dimakamkannya <a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Tumenggung Ardikusumah</a> sebagai salah satu keturunan Dalem Bandung.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Rudy mengungkapkan, dirinya selaku Bupati Garut yang juga keturunan Wiratanudatar VII - Dalem Garut ke-3, sangat menghormati para dalem atau keturunan Dalem Bandung yang punya kekerabatan dengan Dalem Garut.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sehingga banyak turunan Kanjeng Dalem Bandung yang dimakamkan di Kabupaten Garut seperti Temenggung Gordah dan <a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Tumenggung Ardikusumah</a> di Astana Kalong.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Astana Kalong ini merupakan tanah Hak Pakai Pemerintah Daerah (Pemda) Garut yang terdiri dari 2 sertifikat.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Nantinya akan dihibahkan ke Kementerian Kesehatan untuk membangun kembali Klinik Paru dan yang satunya lagi akan dihibahkan ke Yayasan Dalem Bandung.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">"Yaitu Nomor 33 dan Nomor 44, yang Nomor 33 seluas 8.000 meter lebih dihibahkan ke Kementerian Kesehatan untuk membangun kembali Klinik Paru," katanya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sebagai pengganti Klinik Paru yang ada di sekitar Teras Cimanuk yang kena bencana, sedangkan yang hak pakai Nomor 44 seluas 445 meter yang sekarang digunakan makam Temenggung atau Astana Kalong akan dihibahkan kepada Yayasan Dalem Bandung.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Bahkan, imbuhnya, dirinya sudah berbicara dengan pihak yayasan, dan pemerintah daerah akan menghibahkan anggaran pembangunan benteng dan lain-lain</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Atas dasar tersebut, ia menegaskan bahwa informasi terkait pembongkaran makam <a href="https://keturunanwiranatakusumah.blogspot.com/2020/08/silsilah-keturunan-wiranata-kusumah.html" rel="nofollow" target="_blank">Tumenggung Ardikusumah</a> tidak benar.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">"Jadi tidak benar informasi yang menyatakan akan dilakukan pembongkaran makam Temenggung Ardikusumah untuk Rumah Sakit Paru," ucapnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sedangkan mengenai cagar budaya di Astana Kalong, imbuh Rudy, pihaknya selaku Bupati Garut akan memberikan dukungan untuk mencatatkan tempat tersebut sebagai cagar budaya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Setelah ada rekomendasi dan melalui semua prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">"Kita ingin masalah ini diselesaikan dengan baik, dan saya akan mengundang pihak kuasa hukum dan yayasan setelah libur Idul Adha (2023)," pungkasnya.</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-11190635740946672072023-07-11T06:47:00.009+07:002023-10-13T00:05:39.341+07:00Makam Prabu Mundingwangi Senjaya Kusumah (Sunan Cisorok) di Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut sejarah silsilah asal-usul Limbangan, bahwa Sunan Rumenggong alias Rakean Layaran Wangi alias Akuwu Kandang Sakti adalah putranya Sunan (susuhunan) Gordan Limbangan. Sunan (susuhunan) Gordan putranya Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) dari Ratu Inten Dewata alias Ratu Maraja Inten Dewata alias Nyi Halimah alias Nyi Anten putrinya Surya Jaya Kusuma alias Raden Abun alias Dalem Pasehan Timbanganten - Korobokan, yang tidak diketahui rimba makamnya, ada yang menceritakan tilem karena bertapa di Gn. Puntang. Sunan Rumenggong masih saudara dari Sunan Ranggalawe (Ratu Timbanganten).</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><div><span style="font-size: medium;">Sunan Rumenggong dari istri-istrinya, mempunyai 2 putra, yaitu :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1. Prabu Mundingwangi atau Sunan Cisorok</span></div><div><span style="font-size: medium;">2. Nyi Putri Buniwangi atau Puteri Dalem Emas</span></div><div><span style="font-size: medium;">Dari Istri kedua Sunan Rumenggong, berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1. Dalem Emas.</span></div></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Nama Prabu Mundingwangi Senjaya Kusumah (Sunan Cisorok) sering dirancukan dengan Prabu Mundingwangi atau Prabu Munding Surya Ageung (Raja Maja) putra Prabu Jaya Dewata, saudaranya Ratu Sindangkasih, sebagaimana telah disebutkan di atas. Kembali kepada Prabu Mundingwangi putra Sunan Rumenggong, bahwa beliau menggantikan ayahnya menjadi Prabu di Keprabuan Rumenggong atau Kerta Rahayu. Ada kemungkinan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Kertarahayu Limbangan ke Dayeuhmanggung (Desa Selaawi). </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><div>Sepeninggal Prabu Mundingwangi (Sunan Cisorok), Keprabuan Kerta Rahayu dilanjutkan oleh putranya, yaitu Prabu Salalangu Layakusumah. Menurut Silsilah menak-menak Limbangan, Prabu Mundimgwangi adalah kakek dari garis ibu Prabu Liman Senjaya Kusumah atau Sunan Cipancar. Setelah Prabu Salalangu Layakusumah wafat diganti oleh putranya Dalem Santowaan atau disebut juga Santowaan Nusakerta.</div><div><br /></div></span></div></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><br /></div></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-size: large;">7 Keprabuan di Wilayah Garut Antara Abad ke 14 - 16 Masehi </span></b></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada jaman antara abad ka 14 - 16 M, di wilayah kerajaan Pajajaran, khususnya di wilayah Garut, belum ada bentuk pemerintahan Kabupaten. </span><span style="font-size: large;">Kepala wilayah pamerintahan pada jamannya lazim disebut Prabu (raja muda); bawahnannya disebut Mangkubumi, Santowan, Umbul dstnya, yang dalam memjalankan roda pemerintahannya bertanggung kepada Raja kecil di masing-masing wilyahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Wilayah Garut pada jaman tersebut dikelompokkan menjadi beberapa keprabuan diantaranya : </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">I. Mandala Puntang (Timbanganten / Korowobokan, asalna Panembong).</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Dalem Pasehan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Maraja Inten Dewata, putra dari Dalem Pasehan yang ditikah oleh Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">3. Prabu Panten Rama Dewa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">4. Prabu Derma Kinkin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">II. Karta Rahayu Galih Pakuan (Balubur Limbangan)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Layaran Wangi / Sunan Rumenggong</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Prabu Liman Senjaya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">III. Sudalarang (Sukawening)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Wastu Dewa</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Prabu Liman Senjaya</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">IV. Cangkuang (Leles)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Sala Langu Layakusumah</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Prabu Pahancilan</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">3. Prabu Pangadegan (Sunan di Kandanghaur)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">V. Batuwangi (Singajaya)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Terusbbawa</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Prabu Wirawangsa</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">3. Prabu Tawalang Tedeba</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">VI. Kandangwesi (Bungbulang)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Surata </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Adipati Jeping</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">VII. Nagara Sancang (Pameungpeuk)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">- Prabu Brajadilewa jeung patih Parenggong Jayakaraton. 1).</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: large;"><b>Silsilah Prabu Mundingwangi (Sunan Cisorok)</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) mempunyai salah satu istri yaitu Dewi Inten Dewata (Halimah) putra dari Dalem Pasehan Timanganten, berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.1. Siti Maemunah x Hadi Mulya, berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.1.1. Kartika</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.1.2. Kurniasih</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.2. Sunan Dayeuh Mangung menikahi Kartika (1.1.1), berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.2.1 Rd. Deden Sunata (Samadora)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3. Sunan Gordah menikahi Kartika (1.1.2), berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.1. Sunan Ranggalawe</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.2. Sunan Patinggi </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3. Sunan Rumenggong / Prabu Jayadi Kusumah / Kuwu Kandang Sakti / Rakean Layaran Wangi menikahi Siti Juwinten salah satu anak dari Rd. Utara dan Ni Wisma Ismaini, berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1. Prabu Munding Wangi (Sunan Cisorok), menikah dengan Nyi Mamah Sariningrum, putri dari Umah dan Nyi Istimaah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.2. Buni Wangi, </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1 Prabu Salalangu Laya Kusumah putra pertama dari Sunan Rumenggong dan Siti Juwinten , menikah dengan Buniwangi / Puteri Dalem Mas / Puteri Rambut Kasih, </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">yang masih putra Sunan Rumenggong tapi berlainan Ibu yaitu Nyi Walanis Wangi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1.1 Prabu Hande Liman Senjaya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1.2. Prabu Wastu Dewa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1.3. Prabu Angling Darma (Santowan Jayakerta), menikah dengan Nyi Siti Rapiah Mujenar, putranya Ahmad dan Nyi Beti (asal Talaga), berputra :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1.3.1. Nyi Arnilah</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1.3.3.1.1.3.2. Rd. Adar Hasata (Nayawangsa).</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Catatan :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Hande Liman Senjaya dan Wastu Dewa adalah Kembar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Makam Prabu Angling Darma (Santowan Jayakerta di Buah Ngariung, Curug Emas - Cadasngampar Wado Sumedang, atau Situs Curug Emas yang telah terendam oleh Bendungan Jatigede. 2)</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><u>Sumber :</u></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">1. Sejarah Tatar Garut abad ke 14 - 16 M.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">2. Buku Jati Sampurna. </span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-47985296877179918302023-07-11T01:39:00.026+07:002023-08-18T04:49:28.198+07:00Ciung Wanara Melakukan Tapa Brata Manurajasunya<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pembahasan sejarah Sunda-Galuh tiada habisnya. Demikian pula untuk sosok Prabu Ciung Wanara yang tak lekang di telan zaman. Banyak kisah dikaitkan dengan namanya. Diantaranya tentang kisah masa akhir kepemimpinannya sebagai raja Galuh. Bersumber dari naskah Lontar sunda kuno, menyatakan bahwa Prabhu Ciung Wanara Tapa Brata Manuraja Sunya.</span></p>
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="475" id="bigframe" src="https://www.youtube.com/embed/ilDTCRdvZjI" width="100%"></iframe>
<p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ciung Wanra merupakan nama untuk Sang Manarah, penguasa Galuh dari tahun 739-783 M. Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M), dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permana Dikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Setelah menginjak remaja, ia kemudian merebut kembali kekuasaan dari keturunan Sanjaya yaitu Sang Tamperan Barmawijaya alias Raja Bondan, dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki Balangantrang atau di Darmaraja lebih dikenal dengan Sanghyang Resi Agung orang tua Prabu Aji Putih atau kakeknya Prabu Brata Kusuma alias Prabu Tajimalela. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ibunya Ciung Wanara adalah Nhay (Nyai/Dewi) Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah Permana meninggal ia menjadi istri kedua Sang Tamperan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya sendiri yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung suami dari Putri Purbasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara, berkuasa dari tahun 783 - 799 M. Prabu Manarah, pada tahun 783 Masehi, melakukan Manurajasunya di Darmaraja Sumedang Larang.</span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Transkrip (alih bahasa) Pupuh Darmaraja menceritakan sebagai berikut :<br /></span><span style="font-size: medium;"></span><blockquote><span style="font-size: medium;">415. CIUNG WANARA mundur dari keprabuan, dengan maksud membuka lahan baru, muara Cipaku namanya, dan berganti nama RAJA UDIK namanya.<br /></span><span style="font-size: medium;">416. Di muara CIPAKU membuat ciri, untuk menyepi raga (tapabrata manurajasunya) dan tempatnya di NANGGERANG dan menjadi pedukuhan, serta membuat saluran air, saluran memanjang ke arah timur, dan menjadi saluran CIPAKU yang bermuara ke CISEUMA.</span></blockquote><span style="font-size: medium;"></span></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sesungguhnya yang disebut kesucian hidup di hutan bagi seorang raja dari suatu negara pergi ke gunung (adalah) menganggap tubuhnya sebagai hutan belukar dan mulai bersiap-siap untuk merabasnya. Menghilangkan rerumputan di dalam hati yang senantiasa menumbangkan kehendak nafsu buruk. sehingga tidak dapat berperilaku baik. la bagaikan rumput di kahyangan, ia bagaikan hari yang jelek (naas).</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Rerumputan yang tak terbatas dibersihkan karena penghalang pikiran suci. Dicabuti dan tidak diberikan tumbuh nafsu duniawi itu. Nafsu berarti keinginan yang menarik bagaikan anak panah yang siap menghapus tanpa pertolongan: ia bagaikan rumput yang menimbulkan berbagai hal, seperti: cara, kula, maryyadha, kama, krodha. artha, raga, dwasa, moha, satwa, rajah, tamah, citta, buddhi, manah, bayu. sabda, hedap, maya, pradhana, dan tresna.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Semua itu dibersihkan. Dikendalikan satu persatu agar tenang dan dilupakan segala macam indria itu . Lidah atau alat pengecap (jitendriya) dilupakan sampai mati sehingga tidak ada kemarahan. Hasilnya bernama tapa (pengendalian) yang berarti kesetiaan; brata berarti tak henti-hentinya beryadnya kepada Tuhan; yadnya puja berarti segala suguhan yang baik. Itu dipersembahan kepada Tuhan yang menjaga Sanghyang Atma (jiwa) . Dengan melakukan pemujaan terus-menerus. Sedangkan arcana berarti segala kesenangan Tuhan yang menjadi sumber segala pengetahuan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Demikian seorang raja yang memahami ajaran kependetaan dan memahami ajaran tapa, dan berkehendak menyiapkan tapa yang suci. Inilah yang dilakukan Prabu Ciung Wanara untuk memilih Manuraja Sunya, mengasingkan diri dengan tapa brata dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini merupakan puncak pertapaan, pasti dinanti ibarat sebuah tutup kantong dan akhir dari penganut ajaran kesunyataan, yang siap memayunginya. Bunyi yang terdengar di angkasa tampak menyatu, itulah isinya kantong. la tampak halus bagaikan tanpa cinta. Kekal sebagai hadiah kependetaan sehingga menjadi wawas melihatnya. Mampu menghilangkan kotoran untuk mencapai kebahagiaan di alam Niskala. Tidak ada rasa takut kepadanya di saat memahami atau mengajarkan tentang kependetaan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Kesucian atau keteguhan pikiran (prabhanjita) menjadi tujuannya. Sedangkari di dalam hati diibaratkan medan pertempuran dan rasa sebagai senjata yang tidak bergerak- beranak dan beristri. Badan itu tidak sebagai badannya. Semua alat makan tempatnya tidur, permaisuri, taman, singasana, tidak ada rasa bimbang dan sedih padanya, juga kesaktian atau kewibawaan bagi orang di istana. Segala tempat beliau disembah dan diutamakan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Demikianlah Prabhu Ciung Wanara sebagai raja utama bertapa di kerajaannya. Adapun negaranya diperintah oleh menantunya sendiri. Tidak henti-hentinya meraih kesempurnaan sehingga tentramlah Kerajaan Galuh ini. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun. "Daulat Prabu Ciung Wanara."</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Tapabrata dianggap oleh para penganut spiritual sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu, yaitu tapas, yang berasal dari buku-buku Weda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali pada abad ke 16 Masehi, berbagai cara menjalankan tapa adalah :</span></p><p style="text-align: justify;"></p><ul><li><span style="font-size: medium;">Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam ( nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.</span></li></ul><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat saja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang Hindu-Budha dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.</span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Transkrip Potongan Pupuh Cipaku Darmaraja menceritakan sebagai berikut :<br /></span><span style="font-size: medium;"><blockquote>392. Ciung wanara, pulang ke Dharmaraja, pada kumpul balad patih mantra, di tempat tersebut ngadegkeun agama Budha......</blockquote></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: medium;">OM AHHUNG VAJRA GURU PADMA SIDDHI HUM<br /></span><span style="font-size: medium;">Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha<br /></span><span style="font-size: medium;">Amitayus Dharani<br /></span><span style="font-size: medium;">Namo Ratna Trayaya,<br /></span><span style="font-size: medium;">Namah Arya Amitabhaya,<br /></span><span style="font-size: medium;">Tathagataya, Arhate<br /></span><span style="font-size: medium;">SamyakSambuddhaya.<br /></span><span style="font-size: medium;">Tadyatha:<br /></span><span style="font-size: medium;">Aum, Amrite, Amritodbhave,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Sam-bhave,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Garbhe,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Siddhe,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Teje,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Vikrante,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Vikranta, Gamine,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Gagana, Kirti Kare,<br /></span><span style="font-size: medium;">Amrita Dumdubhi, Svare,<br /></span><span style="font-size: medium;">Sarvartha, Sadhane,<br /></span><span style="font-size: medium;">Sarva Karma, Klesha,<br /></span><span style="font-size: medium;">Kshayam, Kare, Svaha.<br /></span><span style="font-size: medium;">Om, Bhrum, Hum.</span></div><p style="text-align: center;"><span style="font-size: medium;"></span></p><p style="text-align: center;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></p><div style="text-align: left;"><b><u>Referensi</u></b><br /><ul style="text-align: left;"><li>Ekajati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Yayasan Cipta Loka Caraka.</li><li>Noorduyn, J.. 2005. Three Old Sundanese poem. KITLV Press.</li><li>Naskah Carita Parahyangan (1580), fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi: Perpustakaan Nasional RI.</li><li>Sukardja, H. Djadja, 2002. Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S. Cet-2.</li><li>"Kerajaan Sunda Galuh" wikipedia.org Diakses 10 Juni 2019.</li><li>Tim Penulis Sejarah. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat</li><li>Dinas Pariwisata Ciamis, 2003. Wisata Ciamis.</li><li>Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1996/1997. "Ajaran-ajaran dalam Naskah Singhalangghaya Parwa". Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI </li><li>"Sekilas Sejarah Galuh" sejarahtatarpasundan.blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.</li><li>"Kerajaan Galuh" West Java Kingdom blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.</li><li>"Pohaci Rababu & Dewi Pangrenyep: Skandal Demi Skandal Penyulut Gonjang Ganjing" Babad Wong Wedok Nusantara blogspot.com Diakses 10 Juni 2019.</li><li>Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5</li><li>Saleh Danasasmita. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Kiblat Buku Utama, Bandung. ISBN</li></ul></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-10108930407010134802023-07-09T22:51:00.004+07:002023-07-09T23:04:03.258+07:00Komplek Pemakaman Syaikh Wali Makhdum Prakosa dan Nyimas Esti ibunya Dipati Ukur Di Desa Pekiringan Kecamatan Karang Moncol Purbalingga<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Membahas Sejarah Sepak Terjang Dipati Ukur memang banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah bahkan namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Bandung. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1633 s/d 1733) yang mengantikan Pangeran Rangga Gede atau Pangeran Koesomadinata III baik sebagai Bupati Sumedang maupun sebagai Bupati Wadana Prayangan / Priangan dari tahun 1625 s/d 1633. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dipati Ukur, mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan harus hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram. Namun jarang orang yang tahu tentang asal-usul Dipati Ukur dari mana beliau berasal.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Rd. Wangsanata (yang kemudian digelari Dipati Ukur) berasal dari Jambu Karang yang berlokasi di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Rd. Wangsanata adalah putranya </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pada saat Jambu Karang ditundukkan oleh Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya. Putra Adipati Cahyana yang bernama Wangsanata oleh Mataram disingkirkan ke Tatar Ukur yang saat itu diperintah oleh Adipati Ukur Ageung. Adipati Ukur Agung adalah kepala daerah Ukur pertama yang mengakui kekuasaan Mataram. Sesampai di Tatar Ukur, pemuda Wangsanata diasuh oleh Adipati Ukur Ageung alias Panandean Ukur. </span></p><p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYZrZhtX3CgQIQlODnqLuBF39xd7FMsefa-tPejtUTQ4LzzmUhUQqLGIEIVookL7mr1HEjxQScpwu9JyPDidEMrfQYYDACbensH7mvPmK3oGfeIMwmdK5tj9P378nVAETD9eJ7njVLIiaHfy6pJ3346maaPpakAKrSn17Ku1Bp-pxL_JVyNQmvvmcg0rG-/s800/Komplek%20%20Pemakaman%20Syaikh%20Wali%20Makhdum%20Prakosa%20dan%20Nyimas%20Esti%20ibunya%20Dipati%20Ukur.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="450" data-original-width="800" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYZrZhtX3CgQIQlODnqLuBF39xd7FMsefa-tPejtUTQ4LzzmUhUQqLGIEIVookL7mr1HEjxQScpwu9JyPDidEMrfQYYDACbensH7mvPmK3oGfeIMwmdK5tj9P378nVAETD9eJ7njVLIiaHfy6pJ3346maaPpakAKrSn17Ku1Bp-pxL_JVyNQmvvmcg0rG-/w640-h360/Komplek%20%20Pemakaman%20Syaikh%20Wali%20Makhdum%20Prakosa%20dan%20Nyimas%20Esti%20ibunya%20Dipati%20Ukur.png" width="640" /></a></div><br /><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Makam Syaikh Wali Makhdum Prakosa Bin Pangeran Makhdum Jamil Bin Pangeran Makhdum Husaen Bin Syaikh 'Abdurrohman (Pangeran Atas Angin) berlokasi di Desa Pekiringan Kecamatan Karang Moncol Kabupaten Purbalingga</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Disini juga dimakamkan putri beliau bernama Nyimas Esti yang ditikah oleh Pangeran Makhdum Cahyana (makamnya di Desa Grantung Kec Karang Moncol Kab Purbalingga), mempunyai anak Raden Wangsanata alias Rd. Wangsataruna atau Adipati Ukur</span></p><p style="text-align: justify;"></p><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;">Silsilah :</span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">01. Prabu Boros Ngora alias Buni Sora alias Prabu Kuda Lalean alias Prabu Mahesa Tandreman Meninggal Tahun 1371 M, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">02. Prabu Bratalegawa / Syaikh Jambu Karang / Haji Baharuddin Aljawi / Haji Purwa x Syarifah Farhana Binti Syaikh Muhammad, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">03. Nyimas Rubi'ah Bekti x Syaikh 'Abdurrohman Al qodri (Pangeran Atas Angin), mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">04. Pangeran Makhdum Husaen (makamnya di Rajawayana Kayupuring Karang Moncol Purbalingga), mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">05. Pangeran Makhdum Jamil, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">06. Pangeran Makhdum Prakosa (makamnya di Desa Pekiringan Kec. Karang Moncol Kab. Purbalingga), mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">07. Nyimas Esti x Pangeran Makhdum Cahyana (Makamnya di Desa Grantung Kec. Karang Moncol Kab. Purbalingga), mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">08. Raden Wangsanata / Wangsataruna (Dipati Ukur Anom Tatar Ukur) x Nyimas Enden Saribanon, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">09. Dalem Saradireja / Nayasari Timanganteun Samarang Garut, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">10. Dalem Natadireja / Natadirja Ciseubeul Seuntak Dulang Bandung, mempunyai anak :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: left;">11. Dalem Haji Abdul Manaf Mahmud Bandung sekitar tahun 1650 - 1725 M</div></span><p></p><p style="text-align: left;"><br /></p><div style="text-align: left;"><b><span style="font-size: x-large;">1. Sejarah Silsilah Dipati Ukur </span></b><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span>Rd. Wangsanata (yang kemudian bernama Dipati Ukur) berasal dari Jambu Karang berlokasi di Purbalingga, Banyumas Jawa Tengah. Ia keturunan </span><span style="text-align: left;">Prabu Bratalegawa alias Sunan Jambu Karang alias Haji Baharuddin Aljawi alias Haji Purwa</span><span> yang waktu itu masih beragama Budha dari Kerajaan Sunda Galuh.</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span>Suatu ketika, di Jambu Karang datang seorang Arab yang bernama Abdurakhman al Qadri. Ia menyebarkan agama Islam di kalangan rakyat. Kiprahnya tersebut mendapat tantangan dari Prabu Bratalegawa alias Sunan Jambu Karang. Beberapa waktu, Abdurakhman dapat mengislamkan Prabu Bratalegawa alias Sunan Jambu Karang, dan setelah menunaikan ibadah haji beliau digelari </span><span style="text-align: left;">Haji Baharuddin Aljawi alias Haji Purwa.</span></span></div></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Abdurakhman dijodohkan dengan putri Prabu Bratalegawa alias Sunan Jambu Karang yaitu <span style="text-align: left;">Nyimas Rubiah Bekti</span><span style="text-align: left;"> </span>dan menggantikan kedudukan Sunan Jambu Karang sebagai raja. Selama Abdurakhman menggantikan posisi Sunan, ia mengganti namanya menjadi Pangeran Atas Angin. Pernikahan antara Pangeran Atas Angin dengan putri Sunan Jambu Karang melahirkan putra bernama Cahya Luhur yang nantinya menggantikan ayahnya bertahta di Jambu Karang. Putra Cahya Luhur bernama Adipati Cahyana.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Pada saat itulah Jambu Karang ditundukkan oleh Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya. Putra Adipati Cahyana yang bernama Wangsanata oleh Mataram disingkirkan ke Tatar Ukur yang diperintah oleh Adipati Ukur Ageung alias Panandean Ukur (Sumantri, 1973: 28). Adipati Ukur Ageung alias Panandean Ukur adalah kepala daerah Ukur pertama yang mengakui kekuasaan Mataram. Sesampai di Tatar Ukur, pemuda Wangsanata diasuh oleh Adipati Ukur Ageung.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Setelah dewasa ia dijodohkan dengan Nyai Gedeng Ukur. Atas persetujuan Mataram, Rd. Wangsanata menggantikan kedudukan Adipati Agrung sebagai penguasa di Tatar Ukur. Sejak itulah, Rd. Wangsanata lebih dikenal dengan nama Dipati Ukur (Lubis, 2003: 13).</div><div style="text-align: justify;"><br /></div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Bagi masyarakat Banyumas, Pangeran Jambu Karang merupakan leluhur yang menjadi asal-usul berdirinya daerah baru yakni Perdikan Cahyana Purbalingga Banyumas. Dalam cerita rakyat setempat diceritakan, Pangeran Jambu Karang merupakan tokoh dari Sunda 2 yang masih beragama Budha. Ia diislamkan oleh Pangeran Atas Angin yang berasal dari Arab. Pangeran Atas Angin kemudian menikah dengan putri Sunan yang bernama Rubiyah Bkekti. Dari perkawinan tersebut lahir :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">1) Pangeran Mahdum Kusen</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">2) Pangeran Makdum Madem</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">3) Pangeran Makdum Omar</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">4) Nyai Rubiyah Raja </div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">5) Nyai Rubiyah Sekar.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Pangeran Makdum Kusen kemudian menggantikan kedudukan ayahnya. Selama kepemimpinan Makdum Kusen, Perdikan Cahyana masih dalam wilayah Pajajaran. Selanjutnya Perdikan Cahyana terlepas dari kekuasaan Sunda Pajajaran.</span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Pangeran Makdum Kusen berputra Pangeran Makdum Jamil. Makdum Jamil berputra Pangeran Makdum Tores dan Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Wali Prakosa kemudian mempunyai lima orang anak yaitu :</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">1) Nyai Suratiman,</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">2) Kiai Pangulu,</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">3) Nyimas Esthi (yang menjadi istri Pangeran Makdum Cahyana),</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">4) Kyai Mas Pekiringan</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">5) Kiai Mas Akhir (Priyadi, 2001: 93).</div></span><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;"><br /></div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sepeninggal Mahdum Cahyana, perdikan Cahyana terbagi-bagi menjadi beberapa daerah perdikan di Kabupaten Purbalingga. Dari babad tersebut Wangsanata tidak disebut-sebut. Dalam Sadjarah Bandung disebutkan bahwa Wangsanata dibawa ke Tatar Ukur oleh Mataram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Rd. Wangsanata adalah putra Pangeran Adipati Cahyana yang berasal dari Jambu Karang yang kini terletak di wilayah Purbalingga - Banyumas.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Ia terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut hingga diteruskan oleh para keturunannya. Setidaknya begitulah yang dituliskan Naskah Sunda Mangle Arum terkait asal usul Wangsanata, yang kelak dikenal sebagai Dipati Ukur.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Tempat tinggal Wangsanata di wilayah Pasundan adalah Tatar Ukur, wilayah yang dikuasai oleh Adipati Ukur Ageung alias Panandean Ukur. Tampaknya daerah ini adalah kerajaan yang tidak terlalu besar karena gaungnya tidak sekeras kerajaan-kerajaan Sunda lain. Sebut saja Kerajaan Galuh, Kerajaan Pakuan, dan bahkan Kerajaan Sumedang Larang. Namun demikian, Tatar Ukur menjelma menjadi masyhur karena keberanian pemimpinnya dalam menentang sikap keras Sultan Agung Mataram.</div></span></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Di Tatar Ukur, Rd. Wangsanata berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu tidak hanya menarik perhatian Adipati Ukur Ageung, namun juga menarik cinta putri sang adipati. Tidak ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera menikahkan putrinya dengan Wangsanata. Semenjak itu, posisi Wangsanata di kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, Wangsanata naik tahta menggantikannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><div><span style="font-size: medium;">Tatar Ukur adalah wilayah Ukur di Priangan bagian selatan. Pusat pemerintahannya di Dayeuhkolot (Setiawan, 2006: 8). Saat ini Dayeuhkolot masuk ke dalam Kabupaten Bandung. Dahulu, di daerah Ukur terdapat sembilan umbul Taraju, Kahuripan, Medang, Sasigar, Malangbong, Mengger, dan Ukur. Sobana mengatakan bahwa semula daerah Bandung merupakan daerah Kerajaan Timbanganten. Pada pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Ukur Ageung, dan Dipati Ukur. Dalam Mangle Arum yang ditulis oleh Nina Herlina Lubis bahwa Adipati Ukur Ageung adalah kepala daerah Ukur pertama yang mengakui kekuasaan Mataram atas daerahnya. Ia adalah kepala daerah Ukur yang terlebih dahulu menganut agama Islam. Dalam Naskah Sadjarah Bandung disebutkan bahwa Kerajaan Timbanganten beribu kota di Tegalluar (terletak di lereng Gunung Malabar, dahulu perbatasan antara Distrik Banjaran dan Distrik Cipeujeuh). Diperkirakan Tatar Ukur masuk dalam wilayah Kerajaan Timbanganten yang saat itu berada di wilayah Tarogong Kabupaten Garut.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div><span style="font-size: medium;">Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, luas wilayah Tatar Ukur mencakup sebagian besar wilayah di Jawa Barat, yang terdiri atas sembilan daerah yang disebut Ukur Sasanga (Ziaulhaq, 2007: 99), yaitu Ukur Bandung (wilayah Banjaran dan Cipeujeuh), Ukur Pasirpanjang (wilayah Majalaya dan Tanjungsari), Ukur Biru (wilayah Ujungberung Wetan), Ukur Kuripan (wilayah Ujungberung Kulon, Cimahi, dan Rajamandala), Ukur Curugagung (wilayah Cihea), Ukur Aranon (wilayah Wanayasa), Ukur Sagaraherang (wilayah Pamanukan dan Ciasem), Ukur Nagara Agung (wilayah Gandasoli, Adiarsa, Sumedangan), dan Ukur Batulayang (wilayah Kopo, Rongga, dan Cisondari). Saat ini wilayah Ukur Sasangan tersebut meliputi, kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Karawang.</span></div></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div></div><div style="text-align: justify;"><div><span style="font-size: medium;">Kerajaan Sumedanglarang yang didirikan oleh Prabu Tajimalela berkedudukan di Tembong Agung. Prabu Tajimalela digantikan oleh Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting. Sistem pergantian raja di Sumedanglarang dilakukan secara turun-temurun. Akan tetapi ibu kota kerajaannya menempati lokasi yang berpindah-pindah, seperti dari Cicanting kemudian berpindah ke Cipameungpeuk, Ciguling, dan Kutamaya yang ditempati oleh Pangeran Santri dan Prabu Geusan Ulun (Danasasmita, 1983/1984: 55). </span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div><span style="font-size: medium;">Selama Geusan Ulun berkuasa, wilayah Sumedanglarang meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Dengan demikian, Tatar Ukur pun masuk ke dalam wilayah</span></div><div><span style="font-size: medium;">Sumedanglarang. Setelah Prabu Geusan Ulun wafat (1601), Kerajaan Sumedanglarang terpecah menjadi dua. Pertama diperintah oleh Ranggagede putra sulung dari Nyi Mas Gedengwaru yang pusat kotanya terletak di Dayeuhluhur (orang menyebutnya Canukur). Kerajaan kedua dipimpin oleh Pangeran Soeririadiwangsa putra Harisbaya. Ibu kotanya terletak di Tegalkalong. Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, di Sumedanglarang terjadi perubahan status pemerintahan. Bersamaan dengan itu, kedudukan Mataram semakin menguat. Pada 1614, VOC mengirim utusan ke Mataram yang waktu itu di bawah kekuasaan Sultan Agung. Sultan Agung mengklaim bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon berada dibawah kekuasaannya. Klaim Sultan Agung tersebut membuat Raden Soeriadiwangsa datang ke Mataram menyatakan pengakuannya bahwa Sumedang kooperatif dengan kekuasaan Mataram, tanpa ada paksaan. Karena Sumedang kooperatif ke kekuasaan Mataram, pada 1620 Tatar Ukur pun jatuh ke tangan Mataram.</span></div></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dengan kooperatifnya, Pangeran Soeriadiwangsa mengakui kekuasaan Mataram, Sultan Agung memberinya gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumahdinata (Rangga Gempol I).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div><span style="font-size: medium;">Semenjak itu status Sumedang yang semula berupa Kerajaan Sumedanglarang berubah menjadi sebuah kabupaten bagian dari Kesultanan Mataram. Rangga Gempol, selain diangkat bupati juga diangkat sebagai koordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan atau yang lebih dikenal dengan istilah bupati wedana (Lubis, 2008: 124-125).</span></div></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div></div><div style="text-align: justify;"><div><span style="font-size: medium;">Dalam rangka ekspansi wilayah ke daerah timur, Sultan Mataram memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang Madura. Jabatan penguasa Sumedang diserahkan kepada adik tirinya yaitu Rangga Gede (putra dari istri Nyi Gedeng Waru).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Selama Rangga Gede menjabat sebagai bupati, ia dapat menyatukan Sumedang yang pernah terbelah. Selama Pangeran Rangga Gede menjadi bupati, terjadi beberapa peristiwa penting di antaranya Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) minta bantuan Banten untuk menyerang Sumedang dan serangan Mataram ke Batavia. Putera Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumahdinata bernama Rd. Kartadjiwa merasa kecewa, disebabkan jabatan bupati diserahkan kepada Rangga Gede.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Menurutnya, ia yang paling berhak menjadi putra mahkota. Atas keinginannya, ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan. Ariadiwangsa memberikan janji kepada Sultan Banten apabila Ariadiwangsa dapat naik tahta, maka Priangan akan tunduk kepada Banten. Banten yang bercita-cita ingin menguasai Sumedang tidak merasa keberatan.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Mendengar Rd. Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) menjalin hubungan dengan Banten, Sultan Agung memanggil Rangga Gede dan menuduhnya sebagai bupati yang tidak bisa mengendalikan pemerintahan. Rangga Gede kemudian mendapatkan hukuman dan diberi sanksi yaitu jabatan sebagai bupati wedana dicopot dan jabatan tersebut diberikan kepada Dipati Ukur (Lubis, 2008: 128) dengan syarat Dipati Ukur mau membantu Mataram mengusir Kumpeni di Batavia. Seandainya Sultan Agung dapat mengusai Batavia, posisi Batavia sangat menguntungkan Mataram, karena letaknya strategis sebagai jalur perdagangan. Untuk memenuhi keinginannya, Sultan Agung membutuhkan dukungan dari Priangan karena daerah ini berbatasan langsung dengan Batavia.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><div><span style="font-size: medium;">Selama menggantikan Pangeran Ranggagede (1627), Dipati Ukur menikah dengan Nyi Ageng Alia atau Nyi Gedeng Ukur sebagai ahli waris Ukur. Wilayah yang ada dalam kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang Larang, Karawang, Pamanukan, Ciasem, Indramayu, Sumedang, Sukapura, Limbangan, dan Timbanganten (Anggapraja, 1978: 67-68).</span></div></div><div style="font-size: large;"><br /></div><div><div><b><span style="font-size: medium;">Silsilah Nyi Gedeng Ukur atau NM. Dipati Ukur </span></b></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke-1</span></div><div><span style="font-size: medium;">1. Pangeran Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.2 Demang Rangga Dadji</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.3 Deman Watang</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.4 Santoan Wirakusumah</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.5 Santoan Tjikeroeh</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.6 Santoan Awi Loear</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke-2</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.6 Kiai Ngabehi Watang</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.7 NM. Demang Cipakoe</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.9 NM. Rangga Wiratama</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.11 NM. Rangga Pamade</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12 NM. Dipati Oekoer</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.14 Pangeran Tmg. Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.15 Kiai Demang Cipakoe</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 3</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12 Nyi Mas (NM) Dipati Oekoer x Rd. Dipati Ukur Anom atau R Wangsa Taruna atau Wangsanata (1587 - 1650M), anak angkat Dipati Ukur Ageung atau Rd Wangsa Jaya (1630 M).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 3</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1 Dlm. Dipati Agung Suriadinata atau Dlm Saradireja (1610 M), berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 4</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M), berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1 Rd. Abdulmanap Natadireja</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 5</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1 Rd. Abdulmanap Naya Diredja (Dalem Mahmud atau Syekh Hajji Abdul Manaf (1650 - 1725 M) x NR. Emas Nayadiredja, berputera :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 6</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi (Eyang Sayyidi), berputera :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 7</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif, berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng, berputera :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 8</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria (Mama Rende Cikalong Wetan), berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">(belum ada data)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang, berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 9</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)/Jagasatru 1, berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Generasi ke 10</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar / Jagasatru 2 x Nyi Jaliah, berputra :</span></div><div><span style="font-size: medium;">1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1.1 Rd. Brajayudha (Anom) Natapraja</span></div></div><div style="font-size: large;"><br /></div><div style="font-size: large;"><br /></div><div><div><b><span style="font-size: large;">2. Sejarah Dipati Ukur </span></b></div><div><span style="font-size: medium;">Sebelum membahas sejarah Dipati Ukur ada baiknya saya bahas dahulu sejarah Sumedang yang berkaitan dengan sejarah Dipati Ukur. Pada periode pengaruh Mataram penguasa Sumedang, yaitu Raden Aria Soeriadiwangsa / Rangga Gempol (1601-1625) dan Pangeran Rangga Gede (1625-1633)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;"><b>2.1 Rangga Gempol Kusumadinata (1601 1625 M)</b></span></div><div><span style="font-size: medium;">Setelah Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1601, Prabu Geusan Ulun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada 2 putra mahkota yaitu Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan Pangeran Aria Rangga Gede. Awalnya wilayah kerajaan Sumedanglarang dibagi dua, wilayah pertama diperintah oleh Pangeran Rangga Gede, putera sulung dari Nyi Mas Cukang Gedeng Waru. Pusat kotanya terletak di Canukur, namun tak lama dan beralih ke daerah Paseh - Pangrumasan, dan Pangeran Soeriadiwangsa, putera Harisbaya dari Pangeran Girilaya. Ibu kotanya terletak di Tegal Kalong.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sepeninggal Prabu Geusan Ulun terjadi beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan. Hal ini terjadi berkait dengan semakin menguatnya kesultanan Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Mengenai semakin menguatnya kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut. Pada tahun 1614 VOC mengirimm utusan ke Mataram, yang waktu itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), putera Sultan Seda Krapyak (1602-1613). Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi yaitu klaim bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon berada dibawah kekuasaannya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Meskipun pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu tak membuat Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) dan Pangeran Aria Rangga Gede takluk dibawah kekuasaan Mataram. Jika tidak memposisikan diri sebagai kerajaan bawahan, Raden Suriadiwangsa khawatir Kesultanan Mataram akan menyerangnya. Itulah antara lain yang mendorong raden Suriadiwangsa atas kemauan sendiri pada tahun 1620 datang ke Mataram menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa ini disambut baik oleh Sultan Agung. Konon, karena ketulusan hati Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang mengakui hegemoni Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Aria Soeriadiwangsa dinamai “Prayangan” (berarti “tulus-ikhlas”); selanjutnya menjadi Priangan. Penghargaan atas kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram, Sultas Agung memberi gelar Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. (selanjutnya lebih popular dengan sebutan Rangga Gempol I). Status Sumedang pun berubah, tidak lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai ka-Adipati-an yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Pangeran Dipati Rangga Gempol pun tidak lagi sebagai raja, tapi sebagai Adipati. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Sumedanglarang diberi status sebagai wilayah KaAdipatian (Kadipatian / Kadipaten / Kabupatian / Kabupaten). yang masing-masing dipimpin oleh seorang Apapati. Akan tetapi posisi Dipati Rangga Gempol, selain sebagai bupati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai kordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana. Selang empat tahun setelah pengakuan hegemoni, pada tahun 1624.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dipati Rangga Gempol (Rd. Soeriadiwangsa) mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, Madura. Berangkatlah beliau dengan membawa pasukan yang banyak. Oleh karena pada masa Adipati Rangga Gede berkuasa, Sumedang kekurangan pasukan.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Setibanya di wilayah Sampang Madura ada enam kerajaan kecil yang harus ditaklukan, tiga kerajaan kerajaan yang ditaklukam secara damai, karena setelah Pangeran Dipati Rangga Gempol berkomuniasi dengan Bupati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda. Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Dipati Rangga Gempol, namun tiga kerajaan kecil lainnya yang harus ditaklukan dengan bantuan kerajaan yang telah secara damai dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Atas keberhasilan ini, Sultan Mataram sangat gembira dan berterima kasih kepada Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Sebagai penghargaan atas jasanya, Sultan Agung meminta Pangeran Dipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) untuk tinggal di Mataram. Pangeran Aria Soeriadiwangsa, beserta beberapa anggota pasukannya tinggal di suatu kampung, yang sampai sekarang disebut Kasumedangan, termasuk desa Bembem. Namun apa yang terjadi sekembalinya dari Madura dan menetap di Bembem, Adipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) malah dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung karena fitnah Bupati Purbalingga. Ada suatu silib atau sindiran dari keturunan Soeriadiwangsa dari generasi ke generasi yang memfiitnah Adipati Aria Soeriadiwangsa dari Mataram tersebut disilibkan dengan "Burung Beo". Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) pun kemudian dimakamkan di Mataram pada tahun 1624 Masehi (tahun 1546 Saka). Beliau dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda, yaitu : di Lempuyanganwangi, dekat Stasiun Kerata Api Lempuyangan, di Kotagede dan di Imogiri.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sewaktu Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berangkat ke Sampang Madura, pemerintahan Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Dipati Rangga Gede, putra pertama Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tidak dijelaskan dalam sejarah, mengapa kekuasaan itu tidak dibagi dua lagi dan diserahkan kepada putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang bernama Raden Kartawijaya atau Raden Kartadjiwa sering disebut dalam sejarah Raden Soeriadiwagsa (Soeriadiwangsa 2), atau kemungkinan ketika itu Rd. Kartadijwa (Sooeriadiwangsa 2) belum cukup umur dan cakap memimpin suatu wilayah. Dan apalagi Pangeran Aria Rangga Gede adalah uwaknya walaupun berlainan ibu dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;"><b>2.2 Pangeran Dipati Rangga Gede (1625-1633)</b></span></div><div><span style="font-size: medium;">Di atas sudah disebutkan bahwa ketika Pangeran Aria Soeriadwangsa (Dipati Rangga Gempol) mengemban tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, tugas pemeritahan di Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede. Dengan demikian, Sumedang yang sempat terbagi dua kembali disatukan di bawah bupati Pangeran Rangga Gede. Selama Pangeran Rangga Gede menjadi bupati terjadi beberapa peristiwa penting, di antaranya adalah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) minta bantuan Banten untuk menyerang Sumedang dan serangan Mataram ke Batavia.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) putera Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, merasa kecewa karena dalam pandangannya yang berhak mewarisi kekuasaan di Kabupaten adalah dirinya. Yang terjadi malah kekuasaan itu diberikan kepada Dipati Rangga Gede. Akan tetapi, Pangeran Aria Dipati Rangga Gede memiliki alasan sendiri atas tindakannya itu. merasa bahwa hak mewarisi kekuasaan dari Pangeran Geusan Ulun, karena karena Dipati Rangga Gede adalah putra mahkota pertama dari Prabu Geusan Ulun dari isteri pertama yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru. Ibunya Adiapati Soeriadiwangsa adala istri selir yaitu Ratu Harisbaya. Jusru yang lebih berhak memerolehnya adalah Pangeran Rangga Gede. Kalaupun pada akhirnya Dipati Rangga Gempol Kusumadinata jadi bupati, itu semata-mata karena kebaikan Pangeran Geusan Ulun yang memperlakukannya Dipati Rangga Gempol karena kecintaannya kepada Ratu Harisbaya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Terhadap kenyataan historis seperti itu, tampaknya, tidak begitu dihiraukan oleh Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) untuk menebus kekecewaanya itu Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) meminta bantuan Banten supaya merebut kekuasaan dari Pangeran Rangga Gede. Atas permintaan itu pihak Banten menyambut dan menyanggupinya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sikap Banten seperti itu bisa dipahami. Banten memiliki maksud tersendiri kepada Sumedang, karena Banten merasa berhak menguasai Sumedang setelah Banten menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Untuk mewujudkan rencananya itu, Banten tidak langsung menyerang Sumedang. Akan tetapi terlebih dahulu Banten menyerang daerah-daerah di sebelah utaranya yaitu Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Padahal daerah-daerah tersebut sudah diklaim oleh Kesultanan Mataram sebagai bagian dari wilayahnya. Maksud Banten menyerang daerah-daerah itu terlebih dahulu karena dua target, selain bisa menaklukkan Sumedang juga bisa merebut kembali Batavia (yang ketika masih bernama Jayakarta adalah milik Banten).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kenyataannya Sumedang malah memerdekakan diri dan mengklaim pelanjut kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, hal ini terbukti pada masa generasi berikutnya di masa Adipati Rangga Gempol III (1656-1706) putranya Rangga Gempol II (Rd. Bagus Weruh), Kesulatan Banteen mengirimkan 2 utusan ke Adipatian Sumedang agar Sumedang tunduk kepada kesultanan Banten, namun utusan tersebut ditolak dan dibunuh oleh suruhan Pangeran Panembahan dan kepalanya dikirimkan ke Batavia. Selang beberapa tahun berikutnya. Pasukan Balad Kidoelnya dibawah Cilik Widara (ngabehi Sajtparana) dan wakilnya Tumenggung Wiraangun-angun, mulai menguasai wilayah Sumedanglarang dengan ditaklukannya wilayah-wilayah di darat seperti Karawang dan pesisir pantai seperti Pamanukan, Pagaden dan Ciasem.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Bahkan Bupati Ciasem R. Imbangwangsa, saudaranya Pangeran Panembahan dipenggal kepalanya oleh sebab tidak mau tunduk kepada Banten, dan kepalanya dikirimkan ke Surasowan (Banten). Selang beberapa tahun lalu Cilik Widara (Nagehi Satjaparana), Cakrajoeda (Gagak Pranala) dibantu oleh pasukan sewaan orang-orang Bali, Makasar jeung Bugis. Pasukan Banten dibantu oleh Pasukan Tmg. Wiraangun-angun yang mana Tmg. Wiraangun-angun adalah mertuanya Cakrajoeda. Tmg. Wiraangun-angun tahu jalan-jalan yang mudah dilalui dan dengan mudahnya Sumedang dimasuki pasukan Cilik Widara dari arah Barta dan Pasukan Cakrajoeda dari arah Timur.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dan puncaknya penguasaan Sumedang ketika di Hari Jumaat, tanggal 15 bulan Nopember 1678 di Mesjid Tegalkalong terjadi peristiwa berdarah pasukan Cilikwidara mengepung orang-orang yang sedang sembahnyang di Mesjid Tegalkalong, banyak keluarga Pangeran Panembanhan dan rakyat yang tewas karena secara licik diserang ketika tidak siap siaga menghadapi musuh. Diantara saudara Pangeran Panembahan yang meninggal tersebut adalah Tmg. Tegalkalong, Rd. Aria Santapura, Rd. Satjapati, Rd.Dipa, Rd. Mas Alom, sementara Pangeran Pangeran Panembahan dapat meloloskan diri, Ibukota dibakar oleh Pasukan Banten dan yang tidak dibakar hanya Kabupaten dan Paseban Kadipatian Tegalkalong.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sementara Rd. Bagus Weruh (Rangga Gempol 2) ayahya Pangeran Panembahan dan Rd. Singamanggala ditawan oleh Cilik Widara. Sehingga semenjak itu selama 2 tahun Keadipatian Sumedanglarang dikuasai oleh Cilik Widara. Oleh Kesulatan Banten Cilik Widara dijadikan Adipatinya dengan gelar "Ngabei Satjaparana" dan patihnya Tmg. Wirangun-angun (Aria Satjadiredja).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kembali lagi ke kisah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) berdasarkan sejarah ke Ariaan Tangerang mendapat dukungan dari Rd. Aria Jaya Santika dan Rd. Aria Wangsakara, namun karena tidak mendapatkan tanggapan dari Adipati Rangga Gede, hingga akhirnya hijrah dari Sumedang (pundung) dan meminta bantuan ke Sultan Banten waktu itu, begitu juga Rd. Aria Wangsakara (Wirajara 2) dan Aria Jaya Santika, ikut dengan Rd. Kartadjiwa. Sesampai di Banten akhirnya meminta ijin membuka lahan di wilayah kesultanan Banten yang sekarang disebut Tigaraksa. Yang diangkat menjadi pemimpinyaa Rd. Kartadjiwa jadi Kadipatian di Tigaraksa, sedangkan Aria Wangsakara muka wilayah baru Kadipatian di Lengkong.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Ketika Sultan Agung mengetahui larinya Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) ke Banten dan Banten bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram. Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Dipati Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggatinya, pangkat bupati wedana diberikan kepada Dipati Ukur.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Bersama-sama dengan pasukan dari Mataram Dipati Ukur diperintah oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerja sama menyebabkan serangan itu gagal. Dalam serangan yang kedua, Dipati Ukur menolak turut serta. Sanksi atas kegagalan serangan yang pertama dan keengganan turut serta dalam seramgan yang kedua membuat penguasa Mataram marah dan memanggil Dipati Ukur untuk mendapatkan hukuman.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Akan tetapi Dipati Ukur tidak memenuhi panggilan itu. Ia tetap tingal di ibu kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang termasuk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung). Dipati Ukur malah menyiapkan pasukannya guna mengantisipasi bila pasukan Mataram menyerangnya. Tindakan Dipati Ukur seperti itu dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Mataram. Hal ini menambah murka Sultan Agung, sehingga Sultan Agung mengirimkan pasukannya untuk menaklukkan Dipati Ukur. Serangan pertama yang dilakukan akhir tahun 1628 ini gagal melumpuhkan Dipati Ukur. Dalam serangan-serangan berikutnya dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak, maka pada tahun 1632 pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas. Pangeran Rangga Gede menyerahkan Dipati Ukur ke Mataram. Dalam perjalanan pulang kembali ke Sumedang Pangeran Rangga Gede jatuh sakit dan meninggal dunia di Citepus pada tahun 1633. Beliau kemuidan dimakamkan di tepi kali Cipeles Sumedang.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Keberhasilan serangan tersebut tidak lepas dari bantuan Pangeran Rangga Gede. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, Pangeran Rangga Gede dibebaskan dari hukuman, diposisikan kembali sebagai bupati Sumedang dan kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">2.3 Dipati Ukur atau R Wangsa Taruna atau Wangsanata (1587 - 1650M)</span></div><div><span style="font-size: medium;">Dalam mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati daerah Ukur atau Tatar Ukur. Sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak atau pengkhinat, malah sejak awal Dipati Ukur sendiri telah diperintahkan oleh Susuhunan Mataram untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Saat itu dalam penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dari Kartasura yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa. Ketidaksabaran Dipati Ukur untuk langsung menyerang Batavia (kumpeni Belanda) dengan memerintahkan pasukannya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur tidak bisa mengimbangi kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur tertekan dan melarikan diri ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke Batavia.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Bertubi-tubi tekanan yang harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu dengan Bupati Sunda lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap Batavia karena percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatan yang kuat dibandingkan kekuatan pasukan Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Karena seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau pengkhinatan yang akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa untuk menangkap Dipati Ukur yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibawa ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram. Dipati Ukur dengan pasukannya akhirnya mati dibunuh.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap pemberontak? Dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Yang pertama adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan penyerbuan terhadap Batavia dan beberapa kali itulah kekalahan yang harus diterimanya yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kekuatan pasukannya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Yang kedua adalah setelah kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya melarikan diri ke Hutan tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan akanhukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Yang ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran karena hampir beberapa daerah pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati Ukur merasa seperti dijajah oleh kekuatan Jawa saat itu.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Yang keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat meminta bantuan Raja Banten untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak mengubris Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk datang ke Batavia menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya membantu Dipati Ukur dan akhirnya kumpeni Belanda menyanggupinya dengan kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalah tekanan dan rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu dalam perspektif sejarah lokal dan untuk sejarah nasional terbentuknya daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak bisa dipisahkan akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari pasundan yang memang ingin sekali tanah pasundan ini dikuasai oleh orang pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh kekuatan lain.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, oleh Sultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali ditahun 1629 tetap gagal.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Pemberontakan Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur), membawa surat tugas dari Sultan Agung,untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Karena logistik yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkandirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseur dayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak, maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram, maka bala tentara kekuatan pun disusun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri.Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju, di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di Alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat. (Sumber : http://www.bandungkab.go.id/arsip/2413/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung)</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda - Pajajaran.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579 - 1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580 - 1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat yaitu Desa Padasuka di kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Soerriadiwangsa, anak prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Untuk mengawasi wilayah Priangan. Sultan Agung mengangkat Raden Aria Soeriadiwangsa menjadi Adipati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Adipati Ukur akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik dipusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangun-angun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Selanjutnya Tumenggung Wiraangun-angun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang dan sebagian Tanah medang, bisa jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanah medang.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat - pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain. Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Kemudian Kabupaten Bandung jatuhketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutamakopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapatmelaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh 8 orang bupati. Tumenggung Wira Angun-angun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681.</span></div><div><span style="font-size: medium;"><br /></span></div><div><span style="font-size: medium;">Enam Adipati / Bupati Bandung keturunan Timbanganten berikut adalah bupati angkatan Kompeni beturut-turut, yaitu :</span></div><div><ul><li><span style="font-size: medium;">Tmg. Ardikusumah (Rd. Ardi Sutamagata), Bupati Bandung ke II : 1681-1704. kakak demang Candra Dita (Sunan Tendjolaya), adik Tmg. Nyili (Dalem Tenjolaya, Timbanganten).</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tmg. Anggadireja I (Sunan Gordah Timbanganten), Bupati Bandung ke III : 1704-1747. (anak Tmg. Ardikusumah)</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tmg. Anggadireja II (Rd. Inderanegara), Bupati Bandung ke IV : 1747-1763. (anak tertua Tmg. Anggadireja I), Bupati Timbanganten pindah ke Dayeuhkolot Bandung</span></li><li><span style="font-size: medium;">Tmg. Anggadireja III, RAA. Wiranata kusumah I, Bupati Bandung ke V : 1763-1794. (anak Tmg. Anggadireja II)</span></li><li><span style="font-size: medium;">RAA. Wiranata Kusumah II (Dalem Kaum), Bupati Bandung ke VI : 1794-1829 (anak RAA. Wiranatakusumah I)</span></li><li><span style="font-size: medium;">RAA. Wiranata Kusumah III (Dalem Karang Anyar), Bupati Bandung ke VII : 1829-1846 (anak RAA. Wiranata kusumah II)</span></li><li><span style="font-size: medium;">Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.</span></li></ul></div><div style="font-size: large;">Salam Santun </div><div style="font-size: large;"><br /></div><div><div><b>Daftar Pustaka :</b></div><div>1. Dipati Ukur dan Jejak Peniggalan di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, (1627-1633), Lasmiyati Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Jln. Cinambo 136 Ujungberung Bandung. </div><div>2. Pustaka Buku Sejarah Sumedang. </div></div></div></div></div><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-72149025812869389652023-07-08T21:53:00.002+07:002023-07-08T21:55:35.883+07:00Makam Sekar Panggung Wayang di Kampung Salam Desa Wargaluyu Kecamatan Tanjung Medar Kabupaten Sumedang<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Penulis bersama team Paguyuban Wirayudha Sumedang kali ini akan mengulas tentang makam Sekar Panggung Wayang di Kampung Salam Desa Wargaluyu Kecamatan Tanjung Medar Kabupaten Sumedang.</span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheCjJA_QiowJIyeIihimuZV2DRpNzmPQXAIZ9vBxaapW5gfwuopP-J8DVRxN9BaqTNqmK5e5R2BQAw6BHebHxE6mhkDJfmlqIbV1axcU6_Ys_3o0fWhWJ8PUuOpKszoV3tkESZzcvi82ujO2y5Fy87YX47ehAwj_xgqTe8cN6TYq-rqSQ1xO-OfJep-gQ0/s956/Photo%202%20Makam%20Sekar%20Panggung%20Wayang.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="537" data-original-width="956" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheCjJA_QiowJIyeIihimuZV2DRpNzmPQXAIZ9vBxaapW5gfwuopP-J8DVRxN9BaqTNqmK5e5R2BQAw6BHebHxE6mhkDJfmlqIbV1axcU6_Ys_3o0fWhWJ8PUuOpKszoV3tkESZzcvi82ujO2y5Fy87YX47ehAwj_xgqTe8cN6TYq-rqSQ1xO-OfJep-gQ0/w640-h360/Photo%202%20Makam%20Sekar%20Panggung%20Wayang.png" width="640" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJJ-aiCKLLxSHSBCq7n66Ood1qSt-7exTMDrFHj5mxjxJGdnCh43i8XCMSWqvfJR6Yn5nXaMNtVCO_3ue3dIXKv2USJq04ZSfgPjRZNsmMKpA4u8ltuQzMd5NQsCsDP2JtU5_khE-gQiuaFusxiqepGF9iMl6PeuVQa7nxapp9mc3ZZo3qGfg_v5EcVrcx/s960/Photo%201%20Makam%20Sekar%20Panggung%20Wayang.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJJ-aiCKLLxSHSBCq7n66Ood1qSt-7exTMDrFHj5mxjxJGdnCh43i8XCMSWqvfJR6Yn5nXaMNtVCO_3ue3dIXKv2USJq04ZSfgPjRZNsmMKpA4u8ltuQzMd5NQsCsDP2JtU5_khE-gQiuaFusxiqepGF9iMl6PeuVQa7nxapp9mc3ZZo3qGfg_v5EcVrcx/w640-h360/Photo%201%20Makam%20Sekar%20Panggung%20Wayang.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sekar Panggung Wayang berlokasi di kampung Salam desa Wargaluyu, kecamatan Tanjungmedar Kabupate Sumedang. Lokasinya makamnya ada di wilayah bukit kecil atau yang sering orang bilang “PASIR SALAM” kampung Salam desa Wargaluyu Kec. Tanjung Medar, Kabupaten Sumedang. Nisan dan jirat makamnya terbuat dari batu kali.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut cerita rakyat Sekar Panggung Wayang sosok yang tampan yang penuh linuwi dengan keterampilan budaya sunda terutama dalam hal olah vokal harus keras, karena belum ada sound system seperti sekarang ini, jadi dalam olah vokal menyinden, diperlukan keterampilan khusus agar dapat didengar oleh pendengarnya.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Ketika penulis bersama team Paguyuban Wirayudha musyawarah bersama sepuh-sepuh yang berada di desa Wargaluyu Kecamatan Tanjungmedar, sedikitnya di dapat beberapa informasi makam Sekar Panggung Wayang tersebut, ada juga yang hanya menyebutnya Panggung Wayang saja. Namun sesepuh-sesepuh di sana tidak mengetahui asal dan latar belakang sejarah Sekar Panggung Wayang ini.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Keterangan dari Juru kunci Mak Ati pun demikian tidak mengetahuinya secara pasti "Kisah sejarah dahulu seperti apanya, Emak tidak tahu detail, sebelum emak sekarang sering didatangi banyak tamu, awalnya suami emak lah yang menjadi kuncen atau juru kunci makam Panggung Wayang,”</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Kurang lebih 10 tahun meninggal suami emak, maka ahkirnya emak meneruskan untuk menjaga dan merawat disana,” Kata Juru Kunci atau kuncen, Mak Atin.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Memang, terlebih dahulu suami emak sebelum meninggal berwasiat supaya emak meneruskan untuk menjaganya. Sambung Emak Atin</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Eyang Sekar Panggung Wayang, dari abad berapa emak sih tidak tau jelas, mungkin kurang lebih 1000 masehi, karena kisah nya ada di babad Prabu Ciung Wanara, kalau tidak salah beliau bernama Rd. Nyimas Sekar Pananjung, itu saja yang sedikit Emak tau”</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><span>Penataan lokasi makam nampak baik berkat bantuan dari para Penziarah yang datang. </span><span>“Alhamdulillah belum lama ini, ada sekitar dua pekan, penziarah yang prihatin dan ingin ngamumule atau merawat, menyumbangkan materi untuk menata lingkungan kramat, bekerja sa dengan pemerintahan desa disini, dibantu warga, secukupnya” terang Emak Atin</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">“Barokah dan niatnya Lillahita’alla, bentul pengabdian nya itu semata – mata ihklas, sehingga penziarah merasa sangat penting menjaga dan melestarikan peninggalan sesepuh atau karuhun tempo dulu, kurang lebih begitu,”</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun, menurut mitos, penziarah yang berkunjung rata – rata pelaku seniman, mereka percaya bahwa dengan berziarah mendoakan beliau, syareatnya dan tentu hakekatnya Allah SWT yang maha segalaNya, sehingga niat yang ikhlas dan baik, setiap langkah kita kemana pun dapat ridho dengan rohman rohim Allah SWT. Dengan niat dan perbuatan baik pasti kita mendapat kebaikan pula itu adalah hal yang tertulis dalam Alquran, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT diberi kesehatan dan mendapat barokah. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Salam Santun</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-24686131531485202222023-07-08T10:36:00.017+07:002023-08-26T05:51:18.570+07:00Makam Syeh Abdul Jalil (Mama Cikalama) di Parakan Muncang Kecamatan Cimanggung Sumedang <p><span style="font-family: helvetica;"> </span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA1ZhkT3ogTjdjlj2iolSO6LsW0QaqY9FNezbrWKePiw4FktCV-HLtehhN5t7yovyMp9Dw4klpR3peR82QbV1dW5n_2j9hIQBs5nBZRxZPRySERvN_-2APwvTVpLXNIE7Sl84A-_HHild09swlQsygWCuz0Hp_zFkYy6bQNxo9TITnaV_1wAwKvGDtPZhU/s1024/Gerbang%20ke%20Arah%20Makam%20Syeh%20Abdul%20Jalil%20(Mama%20Cikalama)%20di%20Parakan%20Muncang%20Kecamatan%20Cimanggung%20Sumedang.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: helvetica;"><img border="0" data-original-height="572" data-original-width="1024" height="358" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA1ZhkT3ogTjdjlj2iolSO6LsW0QaqY9FNezbrWKePiw4FktCV-HLtehhN5t7yovyMp9Dw4klpR3peR82QbV1dW5n_2j9hIQBs5nBZRxZPRySERvN_-2APwvTVpLXNIE7Sl84A-_HHild09swlQsygWCuz0Hp_zFkYy6bQNxo9TITnaV_1wAwKvGDtPZhU/w640-h358/Gerbang%20ke%20Arah%20Makam%20Syeh%20Abdul%20Jalil%20(Mama%20Cikalama)%20di%20Parakan%20Muncang%20Kecamatan%20Cimanggung%20Sumedang.png" width="640" /></span></a></div><p><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiPjYrlJmdp-s_tS_fcZZorLL8rmSjmPT7L76hpRnMmiTaHFdj_OBTXE1Wh3x6iOsoKWvj4qZhP7nKdRZi_TLBuXyxh6CVHBusSFuwCGrAyU3Vodzox1XblvJxQgQcbJk091vxbYxn-yvjjAsgBx8zAIbto6kQZ_ffBOkqOSQ5DKtcrUUoNstTmGp_XXqN/s1024/Makam%20Syeh%20Abdul%20Jalil%20(Mama%20Cikalama)%20di%20Parakan%20Muncang%20Kecamatan%20Cimanggung%20Sumedang%20(2).png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="572" data-original-width="1024" height="358" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiPjYrlJmdp-s_tS_fcZZorLL8rmSjmPT7L76hpRnMmiTaHFdj_OBTXE1Wh3x6iOsoKWvj4qZhP7nKdRZi_TLBuXyxh6CVHBusSFuwCGrAyU3Vodzox1XblvJxQgQcbJk091vxbYxn-yvjjAsgBx8zAIbto6kQZ_ffBOkqOSQ5DKtcrUUoNstTmGp_XXqN/w640-h358/Makam%20Syeh%20Abdul%20Jalil%20(Mama%20Cikalama)%20di%20Parakan%20Muncang%20Kecamatan%20Cimanggung%20Sumedang%20(2).png" width="640" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><p style="font-family: "Times New Roman"; text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Makam Syekh Abdul Jalil berlokasi di pemakaman umum Makam Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung Sumedang. Lokasinya bersebrangan dengan Kantor Kecamatan Cimanggung.</span></p><p style="font-family: "Times New Roman"; text-align: justify;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Syekh Abdul Jalil ini dikenal juga dengan nama Mama Cikalama. </span><span style="font-family: helvetica;">Menurut keterangan Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang alias Mama Cikalama adalah cucunya </span><a href="http://cipakudarmaraja.blogspot.com/2020/03/karomah-makam-syekh-bangkir-di-parakan.html" rel="nofollow" style="font-family: helvetica;" target="_blank"><b>Syekh Bangkir </b></a> l<span style="font-family: helvetica;">ihat silsilah dibawah ini :</span></p><p style="text-align: justify;">Makam Syekh Abdul Jalil berada di Komplek Pemakaman Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung Sumedang. Lokasinya bersebrangan dengan Kantor Kecamatan Cimanggung.</p><p style="text-align: justify;">Syekh Abdul Jalil ini dikenal juga dengan nama Mama Cikalama. Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang alias Mama Cikalama adalah cucunya Syekh Bangkir. </p><div style="text-align: justify;">Adapun silsilah Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang sebagai berikut :<br /><div>Generasi ke 1, Pangeran Santri atau Raden Sholih menikahi Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang atau Ratu Inten Dewata atau Nyi Raden Satyasih, mempunyai anak salah satunya, yaitu Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya, makamnya di Dayeuhluhur Kecamatan Ganeas.</div><div><br /></div><div>Generasi ke 2, Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya menikahi isteri pertama Ratu Tjukang Gedeng Waru, mempunyai anak salah satunya, yaitu Pangeran Rangga Gede atau Dipati Rangga Gede, makamnya di Jalan Panday Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan.</div><div><br /></div><div>Generasi ke 3, Pangeran Rangga Gede atau Dipati Rangga Gede, mempunyai anak salah satunya yaitu Raden Singamanggala atau Raden Singawadana, makamnya di dusun Paseh Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara.</div><div><br /></div><div>Generasi ke 4, Raden Singamanggala atau Raden Singawadana, mempunyai anak salah satunya : Kiai Abdoel Moetolib atau Syekh Iman Bangkir, makamnya di Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung.</div><div><br /></div><div>Generasi ke 5, Kiai Abdoel Moetolib, mempunyai 3 anak, yaitu : </div><div>- Anak pertama, Mas Tjandradipa atau Syekh Imam, makamnya di Bangkir Parakanmuncang.</div><div>- Anak kedua, Mas Rofi'udin atau Syekh Rofi'udin, makamnya di makam 9 Parakanmuncang.</div><div>- Anak ketiga, Mas Jalaludin atau Syekh Jalaludin, makamnya di makam 9 Parakanmuncang.</div><div><br /></div><div>Generasi ke 6, Mas Jalaludin alias Syekh Jalaludin, mempunyai anak, yaitu : Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang, makamnya di Komplek Makam Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung.</div><div><br /></div><div>Selanjutnya lihat bagan silsilah dibawah ini :</div></div></span></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoTpfipfSk2Z3e8XOC8ri4Fgb8cyDVrh1QQ330sHLEyYo7muvOOYhdpwK0XhF5TIopHEz6qIPRZCKJmln5Ozb5D--xPDiAXaYgvRZu_Y50Dy9OvbW3vjR33UovBbjyosfjBS2xKuXgQ3qlRVzOI--kvYFYuovs3Bn7NLfFy6FC6EGHPait3k0Td8xYqJNQ/s843/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%201.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="843" data-original-width="741" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoTpfipfSk2Z3e8XOC8ri4Fgb8cyDVrh1QQ330sHLEyYo7muvOOYhdpwK0XhF5TIopHEz6qIPRZCKJmln5Ozb5D--xPDiAXaYgvRZu_Y50Dy9OvbW3vjR33UovBbjyosfjBS2xKuXgQ3qlRVzOI--kvYFYuovs3Bn7NLfFy6FC6EGHPait3k0Td8xYqJNQ/w562-h640/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%201.png" width="562" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHdK0iza2nSWrLfdk7sV154e9-njnddgUcLHrcTRJgXkXR5xsN0xKlRxcjbEfNLHKdJncrz_2NDZB1gLrdKgEppvbbxk1r_jkQJk8FVKUYDRVwJEasLdoJY9BIDHV3YxwVXCQo_g5yoHRp2RrvsRjJH1DcuYL4QnRwABsc4if4JIV7Una6_LDPxoysdd2D/s1024/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%202.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="790" height="751" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHdK0iza2nSWrLfdk7sV154e9-njnddgUcLHrcTRJgXkXR5xsN0xKlRxcjbEfNLHKdJncrz_2NDZB1gLrdKgEppvbbxk1r_jkQJk8FVKUYDRVwJEasLdoJY9BIDHV3YxwVXCQo_g5yoHRp2RrvsRjJH1DcuYL4QnRwABsc4if4JIV7Una6_LDPxoysdd2D/w580-h751/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%202.png" width="580" /></a></div></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUDqhkioNFESaa7zE9pxT3w0Qj5nlVH0XU3goqtRus419ErqOEdpSfy2WEeCigUhnrLd2jvYveHTSjdCuUMArPifRXuuHAFBseYSrqYg6sAcNJbE3GIiWojYDHeso1kbyKjZEBlHRPg2FmLjIsHCt2SzT4lEbdOpGG2T2ffQi6dMwEAxIF5LQw6rX1vRjU/s843/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%203.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: helvetica;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="843" height="528" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUDqhkioNFESaa7zE9pxT3w0Qj5nlVH0XU3goqtRus419ErqOEdpSfy2WEeCigUhnrLd2jvYveHTSjdCuUMArPifRXuuHAFBseYSrqYg6sAcNJbE3GIiWojYDHeso1kbyKjZEBlHRPg2FmLjIsHCt2SzT4lEbdOpGG2T2ffQi6dMwEAxIF5LQw6rX1vRjU/w579-h528/Silsilah%20Keturunan%20Pesantren%20Cikalama%20Cimanggung%20%203.png" width="579" /></span></a></div><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div><span style="font-size: medium;"><div style="text-align: justify;">Pondok pesantren Cikalama merupakan institusi pendidikan Islam tradisional paling tua di Kabupaten Sumedang yang didirikan pada awal abad ke-17 oleh Kiyai Abdul Mutholib, pada masa pemerintahan Dalem Aria Tanubaya.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><div>Pada saat resmi berdiri pada tanggal 1 Januari tahun 1630, Pondok Pesantren Cikalama ketika itu dipimpin langsung oleh pendirinya, Kiyai Abdul Mutholib atau Syekh Bangkir. Setelah wafatnya pada tahun 1655, estafet kepemimpinan pesantren mulai bergulir kepada 12 orang penerus, yang keseluruhannya adalah keturunan dari Kiyai Abdul Mutholib. </div><div><br /></div><div>Berikut merupakan 13 belas nama pemimpin pondok pesantren Cikajang :</div><div>1. Kiayai Abdul Mutholib (1630–1655)</div><div>2. Syekh Imam (1655–1690)</div><div>3. Syekh Rafiuddin (1690–1725)</div><div>4. Syekh Jalaluddin (1725–1775)</div><div>5. Syekh Abdul Jalil (1775–1801)</div><div>6. Syekh Muhammad Yusup (1801–1850)</div><div>7. Syekh Raden Muhammad Syafei (1850–1902)</div><div>8. Kiyai Haji Raden Muhammad Yusup II (1902–1912)</div><div>9. Kiyai Haji Raden Zaenal Mutaqin (1912–1922)</div><div>10. Kiyai Haji Raden Hamim (1922–1930)</div><div>11. Kiyai Haji Raden Abdul Jalil (1930–1957)</div><div>12. Kiyai Haji Raden Engkos Koharudin (1957–1997)</div><div>13. Kiyai Haji Raden Enjang Abdurrochman (1997– sekarang) </div></div><div><br /></div><div style="text-align: justify;">Pondok pesantren ini terletak sekitar 26 km ke arah Utara Bandung Timur, atau 28 km ke arah tenggara kota Sumedang. Lokasi pondok pesantren ini cukup strategis karena berada di antara Rancaekek dan Cicalengka, yaitu dua tempat yang dihubungkan oleh jalan Provinsi yang menghubungkan kota Bandung dengan kota-kota besar di Priangan Timur seperti Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu untuk sampai ke lokasi ini, tersedia cukup banyak angkutan umum berdasarkan trayek jalan Provinsi, atau juga dapat menggunakan kendaraan pribadi jenis apapun, tanpa perlu khawatir dengan kondisi jalan yang rusak. Namun bagi penulis, perjalanan menuju lokasi pondok pesantren Cikajang lebih menyenangkan bila melewati jalur alternatif desa Jatiroke-Jatisari. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Di jalur alternatif ini penulis dapat menikmati pemandangan berupa hamparan sawah dan rumah-rumah penduduk, serta jalan yang berputar mengelilingi hampir separuh kaki gunung Geulis, dengan waktu tempuh perjalanan sekitar 20 menit menggunakan sarana angkutan umum ojek, dari kawasan pendidikan Jatinangor.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div></span></div></span><p></p><div style="clear: both; text-align: left;"><span style="font-family: helvetica;"><span><b style="font-size: x-large;">Silsilah Pendiri Pesantren Cikalama</b></span></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><div class="separator" style="clear: both;"><div class="separator" style="clear: both;">Dalam buku stensilan rundayan silsilah Keluarga Besar Pesantren Cikalama Desa Sindang Pakuon yang ditulis oleh M. Bahrudin tahun 2003 diungkap tentang silsilah keturunan keluarga Pesantren Cikalama.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div></div><div class="separator" style="clear: both;">Pendiri pertama Pesantren ialah Kiyai Abdul Mutholib mulai tahun 1630-1655. Lalu Pesantren dilanjutkan oleh putra pertamanya yaitu Syekh Imam alias Mas Tjandradipa mulai tahun 1655-1690. Dan pesantren dilanjutkan putra kedua Syekh Rafi’udin, memimpin Pesantren mulai tahun 1690-1725. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Putranya Syekh Rafi’udin yaitu, Syekh Jalalludin memimpin Pesantren mulai tahun 1690-1725. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Lalu putranya Syekh Jalalludin yaitu Syekh Abdul Jalil memimpin Pesantren Karang Cikalalama tahun 1775–1801. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Pada masa Syekh Abdul Jalil nama pesantren dirubah yang semula bernama Pondok Pesantren "Karang Asem" menjadi Pondok Pesantren "Cikalama". Cikalama merupakan kata singkatan dari "Cikalna Ulama" atau dalam arti dimulainya tradisi keulamaan muncul di Parakanmuncang Sumedang. Pada masa Abdul Jalil juga, merupakan awal dikenalkannya tradisi belajar melalui Pangan Dika. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Salah seorang putra Syekh Jalaludin yaitu Kiyai Haji Raden Muhammad Sareh salah seorang putrinya menikah dengan Kiyai Haji Raden Lukman. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Adik dari Syekh Abdul Jalil yaitu Syekh Muhammad Yusup memimpin Pesantren Cikalama mulai tahun 1801–1850 yang lebih berorientasi tarekat, seperti adanya tanbih, terutama Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Kiyai Raden Muhammad Syafe’i menjadi pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1850-1902, setelah menikah dengan putri Syekh Muhammad Yusuf yang bernama Raden Hajjah Siti Aisyah (Buji).</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan menantu pertama keturunan bangsawan yang memimpin Pesantren Cikalama. Karena, sebagaimana dapat dilihat bahwa sebelum Kiyai Raden Muhammad Syafe’i memimpin Pesantren. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Pimpinan Pesantren Cikalama merupakan keturunan dari kalangan ulama tradisional. Begitu pula sebaliknya, pimpinan Pesantren Cikalama setelah Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan pimpinan pesantren yang memiliki darah keturunan bangsawan plus keturunan ulama tradisional.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan putra dari Raden Mintareja yang wafat tahun 1700 M dan dikuburkan di Cianjur. Makam Raden Mintarja kemudian dipindahkan ke Cikalama tahun 2002. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Saksi mata sekaligus penggali makam tentang pemindahan makam yang ketika itu berusia 302 tahun tersebut, menyaksikan bahwa bantal jenazah dan kayu penahan liang lahad (padung) masih utuh. Begitu pula Pemindahan makam Raden Minterja dari Cianjur ke Cikalama sebagai upaya lokalisasi pemakaman keluarga memiliki alasan tidak sederhana. Namun, lebih dari itu, merupakan simbol yang jelas memiliki filosofi dan bahkan strategi dalam menjaga dan memperkuat tradisi kewibawaan dan status sosial rundayan keturunan keluarga Pesantren Cikalama ke depan.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Apalagi putra Raden Minterja, yaitu Kiyai Raden Muhammad Syafe’i kemudian menjadi pimpinan Pesantren Cikalama. Simbol dan status sosial keulamaan sekaligus kebangsawanan menyatu dalam proses kepemimpinan Pesantren Cikalama sejak saat itu hingga sekarang.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Silsilah rundayan tersebut, sebagaimana dikemukakan penulisnya, merupakan silsilah susunan menurut Kiyai Haji Raden Enjang Abdurrahman yang diceritakan langsung kepadanya. Namun, dalam tulisan tersebut tidak disertakan tahun masing-masing.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Daftar rundayan hanya berbentuk silsilah nama-nama yang perlu dikonfirmasi lebih lanjut. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both;">Melihat pada gelar yang ditulis di depan nama, yaitu raden, keluarga Pesantren Cikalama memiliki darah keturunan bangsawan atau menak Sunda dari pihak menantu laki-laki.</div><div><br /></div></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Perubahan performa pimpinan dalam kepemimpinan pesantren bukanlah perihal sederhana, karena akan berdampak pada sistem, struktur dan tradisi kepesantrenan selanjutnya.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Perubahan tersebut, terutama terjadi pada pergeseran orintasi, dan bahkan ideologi yang dipertahankan dalam suatu lingkungan pesantren. Dinamika dan pergeseran itu pula dialami Pesantren Cikalama yang sangat bergantung kepada orientasi dan ideologi kiai sebagai pimpinan pesantren.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Dalam kepemimpinan Pesantren Cikalama juga didapati perubahan penekanan orientasi ke arah yang lebih mendekati “syariah”, yaitu sejak kepemimpinan Syekh Muhammad Yusuf I yang diteruskan oleh R. Muhammad Syafe’i. Karenanya, proses pergantian pimpinan pesantren dari Syekh Abdul Jalil I ke Syekh Muhammad Yusuf I terdapat tiga catatan penting; pertama, pergantian nama pesantren semula bernama Pondok Pesantren Karang Asem menjadi Pondok Pesantren Cikalama; kedua, perubahan orientasi kajian utama pesantren dari tasawuf ke fiqh.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Orientasi tradisi fiqh Pesantren Cikalama terus berlangsung hingga mengalami perubahan orientasi selanjutnya, yaitu penekanan pada nahwu dan sharaf (gramatika Arab), dan; ketiga, perubahan status asset-aset Pondok Pesantren Cikalama dari pola waris ke wakaf.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><span>Sekurang-kurangnya ada tiga pertimbangan terkait perubahan status aset pesantren dari “waris” ke “wakaf” masa Syekh Abdul Jalil I, berikut ; </span><span>pertama, amanat dari Mama abdul Jalil sendiri. </span><span>Pertimbangannya, terkait perubahan tersebut sangat relevan dengan prospek masa depan pesantren. Prediksinya bisa saja dengan pertimbangan melihat para penerusnya, terutama terkait dengan persoalan tradisi waris yang dapat saja kekuasaan tradisi kepesantrenan sama dengan tradisi kerajaan, dan kondisi demikian kurang relevan jika terjadi dalam lingkungan pesantren. </span><span>Kedua, merupakan strategi untuk memperluas dan mengembangkan aset pesantren yang terus meningkat. Status aset pesantren dalam bentuk wakaf tidak bisa diwariskan, dan tidak sebaliknya, bahkan dapat memperkecil aset yang ada karena dibagikan jika status aset pesantren dalam bentuk harta waris. Ketiga, bertujuan agar keturunan dan penerus pesantren mengingat dan mengembangkan pesantren.</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica;"><span style="font-size: medium;">Point ketiga terkait perubahan status aset-aset pesantren menarik ditelaah, karena memiliki relasi dengan persoalan sistem tradisi dalam kepemimpinan keluarga kebangsawanan yang bersifat </span><span style="font-size: medium;">“warisan”. Pada masa kepemimpinan Syekh Abdul Jalil I sebelum digantikan oleh R. Muhammad Syafe’i momentum perubahan tersebut dilakukan. Ada beberapa analisis, meskipun bersifat dugaan, terkait perubahan status tersebut, berikut :</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">- Pertama, menguatnya pengaruh Islam dalam wajah fiqh (hukum Islam) sebagai penguat orientasi tarekat (esoteris Islam) dalam kepemimpinan Abdul Jalil I. Tema fiqh dan faraid (warisan) merupakan tema-tema sentral dalam kajian hukum Islam yang ditekankan dalam kajian ilmu tradisional Islam di pesantren-pesantren di samping nahwu-sharaf dan akhlak.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">- Kedua, dampak adanya aturan terkait pajak bumi dan bangunan yang diterapkan oleh pemerintah. Dampak aturan tersebut juga meliputi pajak terhadap asset-aset pesantren apabila status asset pesantren tersebut berbentuk harta warisan keluarga.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ada informasi juga bahwa Pesantren Cikalama, saat itu, merupakan satus-atunya pesantren yang tidak dikenai pajak padahal belum berstatus asset tanah wakaf. Sikap Cikalama tersebut secara yuridis, jelas melawan aturan Negara karena dapat dianggap menolak membayar pajak. </span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Meskipun ada eksepsi (exceptie atau exception) atau kekecualian yang diberikan pemerintah terhadap Pesantren Cikalama terkait kebebasan tidak membayar pajak, meskipun kebijakan itu nampak tidak elok. Apalagi kebijakan eksepsi tersebut tidak tertulis, dan hanya berupa lisan. Karenanya, jalan paling baik, bahkan strategis dilakukan Syekh Abdul Jalil I ialah mengubah status asset-aset tanah warisan Pesantren Cikalama terdaftar dan dicatat menjadi tanah wakaf.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Guna memperkuat strategisnya status asset-aset pesantren dijadikan status wakaf, dan memiliki hubungan dengan Pesantren Cikalama, ialah dilaksanakannya musyawarah tingkat Nasional tentang Ilmu Fiqh pada tahun 1976-an yang berlangsung di Pondok Pesantren Cikalama. </span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tema besar acara tersebut ialah Pendidikan Motivator Pendidik Pesantren yang dibuka langsung oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Abung Kusman. Salah satu hasil musyawarah tersebut, ialah keputusan bahwa lembaga pesantren tidak dikenai pajak dengan status wakaf. Gagasan tersebut dikemukakan dan diajukan oleh K.R. Abu Syaeri, salah seorang dari keturunan keluarga Pesantren Cikalama.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ketiga, perubahan status asset pesantren menjadi wakaf berfungsi menghindari munculnya konflik terbuka di antara keturunan keluarga pesantren, sehingga asset pesantren merupakan milik umat yang dikelola oleh keluarga pesantren. Aset pesantren bukan milik pribadi, sehingga harus dilestarikan oleh umat, khususnya keluarga Pesantren Cikalama. Pengelola pesantren, terutama pengelola sekarang, juga merasa nyaman dalam mengelola dan mempertahankan tradisi kepesantrenan sebagaimana dikemukakan salah seorang pengurus Pesantren Cikalama.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pimpinan pesantren Cikalama generasi ke-8 dipimpin oleh KH.R. Muhammad Soheh atau KH.R. Muhammad Yusuf II (putra Syekh Muhammad Yusuf I) yang salah satu putranya bernama R.K. Atang Padalarang, menggantikan R. Muhammad Syafe’i, mulai 1902 sampai tahun 1912. Pergantian pimpinan tersebut, memang di luar tradisi pergantian pimpinan pesantren, karena yang menggantikan bukan darah keturunan R. Muhammad Syafe’i, tapi putra Muhammad Yusuf I yang bukan dari keturunan bangsawan langsung (putra laki-laki tertua). Pertanyaan tersebut penting dikemukakan karena sangat terkait dengan penggunaan gelar kebangsawanan itu kemudian. Pergantian tidak lazim tersebut, tentu bukan tanpa alasan dan terjadi pada pergantian kepemimpinan selanjutnya.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Menurut analisis R. Baban, terkait adanya pergantian tidak lazim dalam kepemimpinan Pesantren Cikalama dapat dikemukakan dua hal, berikut; pertama, pergantian pimpinan pesantren melalui “penunjukan”; kedua, pergantian dan pengangkatan pimpinan pesantren melalui “musyawarah”. Ketika KH.R. Abdul Kohar atau KH.R. Engkos Koharudin (w. 25 Sya’ban 1421H/4 Desember 1999) menjadi pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1957 sampai 1999, ia diangkat setelah sebelumnya diadakan musyawarah, karena ada dua kandidat; pertama K.R. Lukman dan Koharudin sendiri.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Namun, K.R. Lukman tidak siap ketika ditawari menjadi pimpinan pesantren, sementara Koharudin siap dan kepadanya pimpinan Pesantren diserahkan.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Pada kasus lain, yaitu naiknya K.H.R. Elang Qudsi (Mama Elang) menjadi pimpinan Pesantren Cikalama (2008-2017), menggantikan KH.R. Abdurahman (2008-2017) pimpinan Pondok Pesantren Cikalama sebelumnya. Mama Elang naik memnjadi pimpinan pesantren setelah ditunjuk oleh K.H.R. Muhammad Soheh atau Mama Aang Padalarang (putra KH.R. Muhammad Yusuf II).</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sementara pengganti Mama Elang ialah KH. R. M. Yuyu Yusuf (Mama Yuyu) sejak 2017 sampai sekarang. Mama Yuyu adalah putra KH. R. Engkos Koharudin, pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1957 sampai tahun 1999. Mama Yuyu naik menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Cikalama melalui proses musyawarah keluarga inti.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><span>Ada beberapa syarat menjadi pimpinan pesantren Cikalama. </span><span>Di samping berasal dari keluarga inti, meskipun tidak sedarah langsung, pimpinan pesantren Cikalama harus seorang laki-laki tertua, siap menjalankan peran dan tugas sebagai pimpinan pesantren, dan memiliki kemampuan “intelektual” dan “manajerial”. Tentu, syarat-syarat tersebut mesti berdasar pada tradisi yang dipelihara dalam lingkungan keluarga pesantren, termasuk di antaranya ialah sikap moral dan tidak pragmatis. </span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><span><br /></span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><span>Ada satu ungkapan, semacam motto, pijakan sikap keluarga pesantren terhadap pesantrenya, yaitu “babantu” (membantu pesantren), bukan “mencari” penghasilan dari pesantren. Ungkapan tersebut, juga merupakan triger agar Pesantren Cikalama tidak dijadikan lembaga keagamaan yang bersifat profit.</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama</span></b></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica;"><span style="font-size: medium;">Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama Penelaahan tradisi Ngabungbang seyogianya dilihat secara kesejarahan yang telah mengakar lama di masyarakat Cikalama. Adapun tradisi yang </span><span style="font-size: medium;">telah mengakar di masyarakat diarakhan pada fakta-fakta kesejarahan yang menunjukan adanya acuan (referensi) yang ditunjukan para pendahulu masyarakat di suatu tempat yang dilakukan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Madriani, 2021).</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Secara historis tradisi Ngabungbang ada sejak abad 18 M dan di abad 19 M mulai dikenal masyarakat, khususnya di kalangan ulama dan santri (Nugraha, 2021: 7:21).</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Tradisi Ngabungbang adalah suatu teradisi keagamaan yang muncul dari dorongan manusia untuk melakukan berbagai hal yang memiliki tujuan untuk berelasi dengan dunia gaib (kelakuan keagamaan). Awalnya dulu ada seorang wali yang dijuluki Eyang Salinggih Ibrahim, dan memiliki nama asli Raden Pringga Kusumah.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Beliau adalah orang yang menyiarkan Islam di daerah Limbangan. Eyang Salinggih awalnya bertapa di Gunung Galunggung selama 7 tahun, dengan tujuan untuk beruzlah (Babam, 2021: 7:16).</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Adapun tujuan uzlah tersebut ialah: 1) Untuk mengasingkan diri dari keramaian, agar dapat menjalankan ibadah secara khidmat dan tenang; dan 2) Untuk pengharapan agar ia dan kelurga memperolah keselamatan baik di dunia maupun akhirat.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica;"><span style="font-size: medium;">Seraya perjalanan pertapaannya, Eyang Salinggih didatangi oleh seorang perempuan tepat jam 12 malam dan memberikan sebuah do’a, yang mana do’a tersebut dikenal sebagai do’a “Karahayuan Limbangan” dan sampai hari ini selalu dibacakan dalam tradisi Ngabungbang. </span><span style="font-size: medium;">Dalam pengertiannya Ngabungbang berasal dari bahasa sanskerta yakni, Ngabingbing yang memiliki arti membimbing. Sementara, secara asal katanya Ngabungbang berasal dari kata bungbang yang artinya germeulap, terang, dian atau pelita, dalam bahasa Sundanya memiliki arti caang mabrak.</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica;"><span style="font-size: medium;">Namun, secara umum Ngabungbang dapat diartikan sebagai tradisi berziarah malam hari pada bulan purnama (Babam, 2021: 7:16). Pada konteks Ngabungbang di pesantren Cikalama adalah untuk </span><span style="font-size: medium;">berziarah ke makam-makam para leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal penduduk setempat dan berjasa dalam meyiarkan ajaran Islam di daerah tersebut. Selain itu, tujuan Ngabungbang ialah untuk bermunajat pada Allah serta mengingat kematian (dizkrul maut) agar manusia selalu ingat kemana ia akan pulang.</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Ngabungbang juga memiliki makna lain, yaitu sebagai penghormatan mereka terhadap jasa-jasa leluhur. Hal tersebut, terbukti dengan adanya makam mama Cikalama atau Syekh Abdul Jalil yang berada di daerah Cikalama Desa Sindangpakuon, yang menjadi salah satu tempat dalam proses upacara Ngabungbang. Oleh penduduk setempat, Ngabungbang selalu dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dari para leluhur.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica;"><span style="font-size: medium;">Melalui tradisi ini, banyak orang yang berdatangan ke desa Sindangpakuon untuk mengikuti prosesi Ijazah dalam upacara Ngabungbang, dengan maksud agar memperoleh ilmu Karahayuan. Hal tersebut, seperti yang disampaikan oleh pimpinan pesantren Cikalama sebagai berikut : </span><span style="font-size: medium;">Jadi, melalui tradisi Ngabungbang ini, banyak warga atau masyarakat yang datang berduyun-duyun ingin mengikutinya, dengan harapan mereka bisa memperoleh karamat dari para leluhur. Karamat karahayuan itu berisi do’ado’a dan mantra-mantra yang sebagaiannya terdiri dari kalimatullah seperti Asmaul Husna dan diakhiri kalimat tahlil (Babam, 2021: 7:16).</span></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Untuk mendapatkan ilmu tersebut masyarakat harus mengikuti serangkaian kegiatan dan tindakan yang membutuhkan kekuatan, ketekunan, dan kesabaran. Masyarakat yang ikut upacara ini, dituntut untuk mempunyai keyakinan yang kuat dan ilmu pengetahuan yang mumpuni. Selebihnya akan penulis paparkan di point prosesi pelaksanaan Ngabungbang.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa Ngabungbang dalam bahasa Sanskerta memiliki arti ngabingbing. Semua keinginan dan harapan jama’ah diungkapkan dalam prosesi upacara Ngabungbang.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Upacara tersebut dilaksanakan setiap tahun pada malam bulan purnama 14 Maulid (Rabi’ul Awal). Menurut masyarakat bulan tersebut penuh dengan rahmat, sebab pada bulan ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Selain itu, bulan ini juga merupakan waktu yang baik untuk menyerap ilmu, dan bulan purnama yang penuh itu melambangkan ilmu yang akan diperoleh juga penuh. Keyakinan terhadap waktu dan bulan tersebut akan memberikan hasil yang baik, dan di bulan Maulud tersebut banyak orang yang bertapa (Mustafa, 1996: 232).</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Sebelum rangkaian prosesi upacara dilaksanakan, para jama’ah dianjurkan untuk berziarah terlebih dahulu ke makam-makam tokoh penyebar ajaran Islam khususnya di Sumedang. Adapun tempat-tempat tersebut di antaranya : </span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">1) Makam Syekh Abdul Jalil di Cikalama desa Sindangpakuon</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">2) Makam Girilaya Pasirnanjung Cimanggung </span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">3) Makam Syekh Bangkir di Sindanggalih Cimanggung </span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">4) Makam Haruman di Limbangan Garut</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">5) Makam Mama Cibalampu di kecamatan Cibalampu.</span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;"><br /></span></div><div class="separator" style="clear: both;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Jika kelima makam terebut dikunjungi, maka nuansa prosesi upacara pun akan terasa lebih lengkap. Kendati demikian, karena faktor waktu dan lain hal, hal tersebut tidak menjadi anjuran mutlak bagi masyarakat yang hendak mengikuti tradisi ini. Kebanyakan dari mereka adalah para kiai dan santri, namun ada juga dari kalangan petani, pedagang, pegawai negeri, maupun pelajar. Usia tua dan muda tak mejadi hambatan untuk mengikuti tradisi ini, dengan catatan sudah baligh (Babam, 2021: 7:16).</span></div></div><p><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">Salam Santun </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2284753471305531970.post-53188856146985592802023-07-08T10:05:00.001+07:002023-07-08T10:05:06.622+07:00Makam Keramat Buyut Kahir di Gunung Pipisan Kelurahan Situ Kecamatan Sumedang Utara<p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Makam Buyut Kahir terletak di puncak Gunung Pasir Pipisan RW 19 Kelurahan Situ Perbatasan Desa Giriharja dan Desa Bojongjati Kecamatan Sumedang Utara Kabupaten Sumedang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Nama Gunung Pipisan memang cukup menarik dan sering membuat orang salah mengartikan. Karena pada umumnya orang Sunda mengenal kata ‘pipis’ yang artinya buang air kecil, banyak yang mengira arti dari nama Gunung Pipisan ada hubungannya dengan cerita buang air kecil atau pipis.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Namun, ternyata bukan itu maksudnya. Kata ‘pipisan’ berbeda makna dengan pipis. Pipisan artinya adalah sebuah alat yang terbuat dari batu, bentuknya datar dan persegi memanjang, digunakan untuk menghaluskan biji-bijian atau dedaunan, terutama dalam pembuatan ramuan obat.</span></p><p><span style="font-size: medium;"></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Biji atau daun yang akan dihaluskan disimpan di atas batu pipisan, kemudian digiling dengan sebuah batu gilingan yang disebut dengan nama batu ‘gandik’. Ukuran batu gandik disesuaikan dengan batu pipisannya. Dalam tradisi Sunda, proses menghaluskan dengan batu pipisan disebut dengan ‘ngarieus’.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Nisan Makom Buyut Kahir ditandai dengan batu kali yang cukup besar namun disekeliling makamnya tidak nampak ada makam lainnya, yang ada dipuncak tersebut hanya ada batuan andesit besar.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Dan bila kita duduk berdoa di makam Buyut Kahir ini nisanna sejajar hampir seukuran badan kita. </span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo1VdCfSOqkgdQsDZa3g7OLEnlXlaYVxniyOrge-7SwK47AL7PyD9ZTLXmYNS7Rfa0xwwHbVj2L-eYXDvSnA0YL6utQY5Rffq5Rq-DpnpeXrn7oDt5b1C3qFfRE9cUP9_bNTDxy9hqpHAwECIKTKGgCcwfShDiWwLlMlpXs3MycEW1SuGd1uc0oizJ_xp4/s1024/Makam%20Buyut%20Kahir%20di%20Puncak%20Gunung%20Pipisan%20Kelurahan%20Situ%20Kecamatan%20Sumedang%20Utara.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="1024" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo1VdCfSOqkgdQsDZa3g7OLEnlXlaYVxniyOrge-7SwK47AL7PyD9ZTLXmYNS7Rfa0xwwHbVj2L-eYXDvSnA0YL6utQY5Rffq5Rq-DpnpeXrn7oDt5b1C3qFfRE9cUP9_bNTDxy9hqpHAwECIKTKGgCcwfShDiWwLlMlpXs3MycEW1SuGd1uc0oizJ_xp4/w640-h360/Makam%20Buyut%20Kahir%20di%20Puncak%20Gunung%20Pipisan%20Kelurahan%20Situ%20Kecamatan%20Sumedang%20Utara.png" width="640" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDIiQH-DF69GzT4OZuxMcGojxOGO53mc1e9Cu1yHVPptsQ9csownKjFFb34unRA6wst0-YqbNpfBui2FR7zkSgbv8Y_uMgo_TB9H4KSsKRh-4Pr_i6yImXPlm2ip091BAbBNqFiQ3GQlQDuH--VDTP3tMcrBhzqLpfc305sbhHnLLLDkZgAbwpmyVCQX_p/s640/Batuan%20Andesit%20Besar%20sekitar%20Makam%20Buyut%20Kahir%20di%20Puncak%20Gunung%20Pipisan%20Kelurahan%20Situ%20Kecamatan%20Sumedang%20Utara.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="640" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDIiQH-DF69GzT4OZuxMcGojxOGO53mc1e9Cu1yHVPptsQ9csownKjFFb34unRA6wst0-YqbNpfBui2FR7zkSgbv8Y_uMgo_TB9H4KSsKRh-4Pr_i6yImXPlm2ip091BAbBNqFiQ3GQlQDuH--VDTP3tMcrBhzqLpfc305sbhHnLLLDkZgAbwpmyVCQX_p/w640-h360/Batuan%20Andesit%20Besar%20sekitar%20Makam%20Buyut%20Kahir%20di%20Puncak%20Gunung%20Pipisan%20Kelurahan%20Situ%20Kecamatan%20Sumedang%20Utara.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Sewaktu saya mendata situs dan makam yang ada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara, saya sempat berbincang-bincang dengan kuncen Makam Bojong jati, namun kuncen juga tidak tahu latar belakang sejarah makam buyut Kahir tersebut. </span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Menurut cerita buyut Kahir adalah karuhunnya (Rabuyut) di daerah tersebut yang hijrah dari Narimbang - Conggeang dan senang berburu (basa Sunda : paninggaran, hobbyna moro sasatoan), malah rumahnya dulu ada di sekitaran daerah dusun / desa Giriharja. Makam Buyut Kahir dari dulu dikeramatkan hingga sekarang.</span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Adapun jaman ramainya berburu binatang buruan menurut catatan sejarah adalah ketika jamannya </span><span style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Pangeran Kornel alias Pangeran Kusumahdinata (Rd. Jamoe) tahun 1791 s/d 1800 M dan sesudahnya.</span></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">berdasarkan keterangan sesepuh di tempat tersebut selain mempunyai keahlian berburu teh beliau menyukai bubuy sampeu ditambah gula peueut (singkong yang dibakar ditambah gula aren). Ketika akan meninggal Buyut Kahir mewanti-wanti jasadnya ingin dimakamkan di pasir gunung pipisan, hingga sekarang makamnya dikeramatkan oleh warga sekitar. </span></p><p style="text-align: justify;"></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.</span></p><p><span style="font-size: medium;">Salam Santun </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0