Kacapi dan Suling

Sampurasun...
Salam Hanjuang

Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setipa daerah di Tatar Pasundaan. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapi terdiri dari Kacapi Indung dan Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung. Selain disajikan secara Instrumentalia, kacapi suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantukan lagu Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang disajikan diantaranya: Sinom, Degung Kaleon, Talutur dan sebagainya. Laras yang digali dipergunakan adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog.


Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter ditambah pula 1 (sate) set Kendang dan 1 (satu) set Goong. Laras yang dipergunakan sama seperti laras yang  biasa dipergunakan pertunjukkan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu "Laras Salendro, Pelog Sorog". Kacapi Suling dipergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih) baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar. Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros, dsb. Sedangkan Rampak Sekar diantaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai, dsb.

Dalam perkembangannya baik kesenian Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi Parahu maupun Kacapi Siter, sering dipergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman Tingkeban, Pangrajah Sunda. Selain Instrumentali disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan dilaksanakan. Lagu yang disajikan diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda seperti diantaranya; Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih pada Tembang Sunda seperti diantaranya : Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain sebagainya.
Adapun tangga nada atau laras yang dalam karawitan disebut dengan surupan, ada pula yang disebut dengan Salendro, Pelog dan Sorog.

Kacapi merupakan salah satu alat tradisional khas Sundam yang bisa dipergunakan dalam bebagai bentuk seni sunda (karawitan, yang berasal dari kata KARA dan WIWITAN), seperti; Kacapi Suling, Cianjuran, Degung, Kacapian (solo) dan lain sebagainya. Adapun KARA mempunyai arti ajaran leluhur dan Wiwitan berarti asal mula. Secara keseluruhan karawitan mempunyai arti ajaran asal yang dilantukan dalam bentuk lagu. Ajaran yang dilantunkan dalam bentuk lagu, secara psikologis mampu mengangkat pencapaian JATIDIRI sebagai manusia Sunda (sunda tidak hanya suku Sunda). Kacapi yang dikenal di Jawa Barat ada dua jenis, yaitu : Kacapi Indung/Kacapi Gelung/Kacapi Parahu dan Kacapi Rincik.

Phenomena galur kanagaraan dan ajaran dituturkan dalam tiga jenis kesenian, yaitu seni sastra, seni rupa dan seni musik. Perpaduan dari ketiga keseniam ini diekspresikan dalam seni pertunjukkan wayang golek (asal kata dari Galuh Kancana). Kacapi merupakan salah satu musik yang biasa dipakai dalam seni pertunjukan Wayang Golek. Diiringi oleh alunan musik terpadu, seorang sinden melantunkan ekpresi seni (lagu) yang menceritakan babad Monumental (babad Pajajaran Nagara). Secara garis besar isinya mengilustrasikan Pajajaran Nagara "Tilem", dimana Prabu Siliwangi sebagai pemilik syah nagara BUANA PANCA TENGAH, yang saat ini ada dalam tatanan nagara "DEUNGEUN", seperti yang terukir dalam papatet ini ;

"Gunung Galunggung kapungkur, Gunung Sumedang Katunjang
Talaga Sokawayana Rangkecik ditengah leuweung
Ulah Pundung ku ditundung, ulang sumoreang teu diteang
Tarima raga wayahna ngancik di Nagara Deungeun"


Makna Galunggung dalam Papaten tersebut mengisyaratkan Nu Agung di Galunggung (Galuh Hyang Agung) yaitu Maharaja Prabhu Cihung Wanara dan Resi Dharmasiksa sementara Gunung Sumedang Katunjang mengisyaratkan yaitu Maharajaresi Batara Kusumah dan Maharajaresi Dharmawangsa, tokoh tersebut sebagai penerus Sunda-Galuh.

Singkat cerita pajajaran Tilem, yang satu saat nanti akan kembali (dalam bentuk lain/Metamorfosa - Uga Siliwangi). Lagu tersebut dilantukan pada waktu Semar dan Astrajingga akan manggung (para punakawan), yang terbagi menjadi dua yaitu Mandala Wenang dan Mandala Wening.

Mandala Samar berfungsi menghantarkan Mandala Jati ke Mandala Agung atau "Wong", menjadi "Wastu Siwong". Pada adegan tersebut Semar membawa GUNUNGAN (sebagai lambang keagungan) atau kembang CANGKOK WIJAYA KUSUMAH (sebagai lambang kaagungan).

Kacapi Indung (dulu disebut kacapi pantun atau Kacapi Parahu) adalah karya budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke 12 M atau bahkan lebih. Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi dibalik KACAPI INDUNG ini, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi Indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.

Kacapi Indung adalah jenis alat musik berdawai (Chordophone) berbentuk bar zither yang digunakan untuk mengiringi vokal tembang sunda Cianjuran. Kacapi Indung memiliki delapan belas utas dawai. Pada bagian ujung sebelah kanan dan kiri kacapi terdapat bentuk setengah lingkaran yang menyerupai sanggul (gelung).

Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonantor yang berfungsi sebagai pengeras bunyi. Di samping itu, lubang resonantor juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mengikatkan dawai ke bagian ujung pureut untuk menyetem nada dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan atau kiri. Kacapi Indung secara fisik bentuknya menyerupai perahu besar. Kacapi Indung ini mempunyai senar 17-18 utas, sebagai instrumen kesenian bunyim memainkannya dengan cara dipetik dawai-dawainya secara harmonis.

Bentuk kacapi indung yang berupa Para-HU (Perahu) memberi makna pada arti Para-Hyang sebagai PANCER atau pusat buana dalam kehidupan di Marcapada. Jumlah senar 18 memberi makna pada aksara pusaka (Haksara Sasana Kerta) yang merupakan ajaran Sunda, dimana ke 18 aksara tersebut mempunyai makna dan ajaran. Untuk membuka esensi ajaran Sunda Parahyang dan Kahyangan harus dapat membuka 18 aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka tersebut. Karena kunci dari Aksara tersebut adalah "Da Punta Hyang Patanjala".
 
Berdasarkan seluruh uraian di atas dapat dinyatakan bahwa silogisme sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dan dapat dibuktikan kebenarannya.

- Da bermakna Sunda,
- Punta bermakna Buana Panca Tengah,
- Hyang bermakna Kahyangan,
- Patanjala bermakna Galuh.
Kandungan makna Da Punta Hyang Patanjala tersebut tertulis dalam Aji Sastra Jendra Hayuningrat atau Aji Saka Purwawisesa (Sribima, Punta, Narayana Madura, Suradipati).

Kacapi Indung dimulai dari jaman Taruma Hyang (Tumang) yang diidentikkan dengan tokoh Galuh Kandiawati Dewi Mayang Sunda yang berkedukan di Para Hyang (Gunung Bukit Tunggul).

Misi kenegaraan ini selanjujtnya diteruskan pada jaman Taruma Nagara dengan misi ajaran Sribima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati atau Panca Kucima (Dalima Sunda nu Lima).
Ajaran ini kemudian dilaksanakan oleh dinasti Sunda dan Galuh.


Suling

Suling nyaeta instrumen alat tiup nu ngahasilkeun sora, nu didamel tina bambu anu jumlah lobangna 6 di payun sareng 1 dipengker, tina bagean diluhur diiket ku sayatan kulit hoe aya oge nu ku sayatan awi. 

Upami suling dihijikeun sareng sora kacapi indung saupami dialntunkeun mangka ngahasilkeun irama suksma nu ngahantarkeun jiwa atanapi trans ka Luhur atawa ka atmosfir ka-Ilahi-an.  Musik ieu populer ku istilahna Cianjuran.

Suling identik sareng Pajajaran, kecap SULING ngaisyaratkeun makna Siliwangi : Silh asah, asuh sareng asih. 

Pawujudan bentuk suling nyaeta manifestasi tina jirimna manusa nu miboga lobang/paliangan 7 dinu palebah Mastaka, nyaeta :

- 2 liang Panon (Panenjo),
- 2 liang irung (pangangseu),
- 2 liang cepil (Pangrunggu) sareng
- 1 liang baham (pangrasa/pangecap). 


Phemomena ieu nunjukkeun ka manusa Sunda nu nganggo iket mastaka nu niup suling atanapi dimaenkeun ku Sang Maha Pencipta nu ngalantukeun nada-nada endah ka-Ilahi-an nu ngamuat elmu sareng amal kasaean.

Siliwangi asal katana
Sa nu ngamaknaan HIJI atawa TUNGGAL
La nu ngamaknaan Alam Janten.
Ha nu ngakmanaan Hirup atawa Utama.
Wa nu ngamaknaan HAWA
Nga nu ngamaknaan NU KAWASA.
Janten dinu hal ieu Siliwangi ngamaknakeun RASA SAJATI NING KAWASA.

Dalam paradigma ajaran ka-siliwangi-an selalu teriring nama-nama besar dan abiseka atau gelar raja Pajajaran diantaranya :
1. Gagak Lumayung,
2. Gagak Karancang,
3. Mundinglaya, Mundingwangi atau Mundingkawati.

1. Gagak Lumayung
Gagak adalah satu jenis burung, dengan ciri-ciri seluruh tubuhnya berwarna Hitam, berukuran besar, bersuara angker, biasa ditemukan di wilayah pegunungan dan sangat sukar ditemukan habitatnya. Gagak adalah silib dari Galuh Kahyangan atau Medang Kahyangan (Sumedang/Sunda-Medang). Hal ini mengandung pergertian kedudukann Mandala Samar. Dalam sistem ketata nagaraan purba dalam kedudukan keratuan dipimpin oleh "Dua Sakembaran" yaitu Bara dan Pati, atau Madura dan Suradipati atau Medang - Galuh. Maka tokoh (gagak) ada 2 orang yaitu :
- Gagak Lumayung (Munding Wangi-Pati) dan Gagak Karancang (Munding Sari-Bara).
- Gagak Lumayung secara keseluruhan mengandung pengertian seorang Maharaja Pajajaran.
- Gagak bermakna Galuh Kahyangan/Medang Kahyangan/Mandala Samar
- Lumayung bermakna Nagara Kartarahayu/Pajajaran Nagara.
Kujang sebagai yang erat kaitannya dengan istilah Gagak Lumayung adalah Kujang Ciung dan Kuntul, anu NGUDAG KA LANGIT....apan aya paribasa manuk hiber ku jangjangna, manusa ngudag ku akalna/tarekahna...

2. Gagak Karancang
Karancang yang dimaksud dalam kalimat gelar Gagak Karancang menunjukan posisi kenegaraan Wilayah/Mandala Seba/Buana Panca Tengah/Puntang. Kata Karancang adalah bentuk silib untuk kedudukan Karatuan di Wilayah Buana Panca Tengah.
Kata Gagak Karancang adalah sandi nagara dalam misi menyelamatkan Mandala Puntang.
Kujang sebagai simbol Gagak Karancang adalah Kujang Ciung dan Kujang Bangkong.

3. Munding Laya
Munding asal kata dari Mandala Hyang, yang bermakna wilayah kahyangan, Manusia yang mencapai kahyangan seorang Da Punta Hyang, sebagai wujud pembawa ajaran Rama Hyang Agung atau Dharma Agung (bakti dan bukti pada nagara).

Salah satu tokoh yang membawa ajaran ini hingga mencapai kedudukan di kahyangan dan berhasil kembali menggali ajaran purba atau salaka Domas adalah Surawisesa (Pantung Munding Laya Di Kusumah). Dengan keberhasilan tersebut beliau mendapat gelar MUNDING LAYA.

Hyang bermakna Tuhan Yang Maha Esa
Kahyangan bermakna nilai-nilai luhur wujud ke-Tuhan-an yang ada dalam semesta atau Kalangkang Hyang/Kalangkang Ca'ang.

Ra-Hyang bermakna kasifat Hyang atau wujud Kahyangan = RASA,
Pa-Ra Hyang bermakna tempat wujud kahyangan atau Buana Panca Tengah = SUKSMA atau JIWA.
Pa-Ra Hyangan bermakna: tempat atau kedudukan Ra-Hyang - Ra-Hyang.
Pusaka Kujang sebagai simbol adalah Kujang Bangkong, Sajen atau sesajen sebagai wujud dan nyurup atau menyatu dengan ajaran dan Bangsa (Nagara Kartagama)

4. Munding Wangi
Kata "Wangi" dalam gelar Munding Wangi. Kata "Wangi" adalah Silib dari kata Wayang atau wujud kahyangan. Wujud kahyangan bentuk keberadaan alam semesta. Maka Manusia yang memahami wujud kahyangan sama tingkat dengan mengerti dan memahami keberadaan Hyang Maha Tunggal pencipta wujud kahyangan (alam semesta).

Manusia yang sampai pada tingkatan tersebut berarti sundah menduduki mandala yang paling tinggi, yaitu mandala wangi. Jadi pengertian Munding Wangi adalah manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ajaran (sunda) dan kanagaraan (sundayana).

Kujang sebagai simbol dari Munding Wangi adalah Pusaka kujang Bangkong, kujang wayang, Sajen dan Congkrang Naga.

5. Munding Sari atau Munding Kawati
Sari adalah kata penunjuk pada istilah Sri, Sura, dan Rasa didalam ajaran, yang mengandung pengertian Sunda. Dalam sistem kanagaraan istilah Sri menunjuk pada abiseka atau gelar nagara yang paling tinggi kedudukannya. Seperti contoh : Sri Jaya Bupati, Sri Baduga (Paduka), Sri Tanjung. Kata "Sri" merupakan nama gelar kanagaraan yang mengandung pengertian kedudukan Ratu (nagara) dan Rama (darma - ajaran). Tumenggung Cakrabuana Wisnu Gopa Prana Sang Prabu Walang Sungsang adalah Munding Sari.

Tumenggung bermakna Taruma Hyang Agung atau Sritanjung.
Cakra bermakna Nyakra/Maku/Nyusuk (Nagara)
Buana bermakna Alam Semesta atau Jagat Raya.
Wangsa bermakna Bangsa
Gopa bermakna bermakna Gupta bermakna keturunan Wisnu Gupta (Resi Taruma Hyang/Pangeran Wisnugopa)
Prana bermakna nafas atau aura bermakna ajaran.
Sang bermakna Sanghyang
Prabu bermakna Purba.
Walang (jiwa layu hyang) bermakna Sunda.
Sungsang atau Cakra bermakna ajaran.
Para Hyang menjadi Pakuan Wati.
Wati bermakna Kahyangan
Pakuan bermakna Para

Maka dengan tugas negara tersebut Munding Sari dianugerahi abiseka (gelar) Munding Kawati yang berkedudukan di Cirebon Girang.

Gunung Jati bermakna Nu agung pituin pajajaran atau bumi putera atau Nu Agung di Gunung Jati.

Cerita Rakyat yang berkembang, tokoh Sunan Gunung jati terkenal dengan sebutan Mbah Panjang. Kata "Panjang" disini mengandung makna pajajaran hyang. Kata "hyang" yang dimaksud dalam sandi atau gelar (julukan rakyat) tersebut adalah hyang atau sundayana.

Pusaka kujang yang erat kaitannya dengan istilah Mundingsari atau Munding Kawati adalah Kujang Sajen, Kujang Bangkong, sebagai simbol dari bangsa dan ajaran.

Kujang Ciung bermakna ajaran Sunda atau adab-adaban Sunda.

Kujang Bangkong bermakna ajaran Sunda Wiwitan (Sunda Awal) yang bersumber pada ajaran Prabu Sungging Perbangkara, yaitu "Mula sarwa stiwa Danikaya" atau misi Salaka Domas.

Baca Juga :

Tidak ada komentar