Sejarah Cipaku Darmaraja

Asal Kata Tempat Cipaku Darmaraja

Dalam Naskah Kuno Medan Kamulyaan dijelaskan bahwa Cipaku adalah nama tempat peringgatan banyaknya pohon paku di tempat ini sewaktu Dunia tenggelam.

Kita tahu bahwa bumi pernah mengalami tenggelam akibat Es yang mencair sehingga mengakibatkan benua/pulau yang ada di bumi tenggelam. Menurut para ahli sejarah masa lampau bumi tenggelam karena adanya meteor yang menabrak bumi sehingga es mencair dan menenggelamkan sebagian pulau atau benua yang ada dipermukaan bumi. Sebagaimana kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh pada sekitar tahun 11.000 SM (13.000 tahun yang lalu), semua peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya Keluarga Nabi Nuh beserta pengikutnya.

Sekelompok pengikut Nabi Nuh yang selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari, di sekitar Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban.

Keberadaan Peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor Aryso Santos dari Brasil, melalui bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Di dalam bukunya itu, Profesor Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis, yang disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias.

Sebelumnya pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku berjudul,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana (out of Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi. (sumber: http://kanzunqalam.com)

Dari Naskah Kuno Medan kamulyan: "...BAGENDA SYAH JENENG RATU DI KARAJAAN MEDANG LARANGAN (LAIN SUMEDANG LARANG) ANU KARATON NA DI CIPTA KU SAYYIDINA SIS ALAHIS SALAM. DI CAI PAKU SATUTASNA SURUTNA CAI SAGARA NGEUEUM ALAM MEDANG KAMULYAN. ARI DI SEBUT CAI PAKU IEU MANGRUPA PANGELING-ELING IEU TEMPAT ANU GEUS OROT TINA CAI SAGARA LOBA TANGKAL PAKU KU AYANA PRAHARA ALAM MEDANG KAMULYAN KA KEUEUM KU CAI SAGARA".

Artinya: Baginda Syah dengan Ratu di Kerajaan Medang Larangan (Bukan Sumedang Larang) yang Singgasananya dibuat oleh Nabi Sis alaihis salam di Cipaku setelah air laut surut menggenangi dunia. Yang di sebut Cipaku ini merupakan peringatan tempat yang sudah surut dari air laut banyak pohon paku karena prahara alam Dunia yang tergenang air Laut.

Situs Cipeueut merupakan situs cagar budaya dan spiritual yang sangat penting dimana disana terdapat hutan tutupan(hutan lindung yang sangat dikeramatkan, di apit oleh dua sungai besar yaitu Sungai Cibayawak dan Sungai Cimanuk, terdapat mata air alami dan sumur kahuripan, dan yang paling penting terdapat hasil karya dan karsa olah pikir leluhur kita yaitu "Punden Berundak Megalitikum Batu Tunggal" yang merupakan Simbol Monotheisme Nusantara Purba.


Spiritual Kabutuyutan Cipaku
Dahulu Kabuyutan Cipaku bernama Leuweung Larangan Cipeueut (Cipeueut) sebelum Abad ke-7 Masehi, setelah Prabu Guru Aji Putih (Eyang Haji Aji Putih) yang merupakan Cucu dari Wretikandayun Raja Sunda Galuh keturunan Tarumanagara dari sisi Ayahnya yaitu Resi Sanghyang Agung Arya Bimaraksa Ki Balangantrang dan Cucu dari Resi Demunawan Saunggalah Kuningan dari Sisi Ibunya Ratu Dewi Komara, berkontemplasi di Situs Cipeueut beliau mendapat Wangsit untuk pergi ke Tanah Suci Mekah dan berguru kepada Sayyidina Ali r.a. Prabu Guru Aji Putih belajar ilmu syariat, hakikat, tarekat, dan marifat setelah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci beliau kembali ke Cipeueut dan mulai ngababakan/membuat kampung dan diberi nama Cipaku serta beliau sebagai simbol beliau membuat punden berundak di tempat dimana beliau berkontemplasi dengan simbol "Batu Tunggal" sebagai simbol bahwa Tuhan itu Esa/Satu, Sanghyang Keresa, Nu Maha Kawasa, Nu Ngersakeun, Nu Maha Murbeng Alam

Sampai sekarang Punden berundak Batu Tauhid Aji Putih masih berdiri tegak di Cipeueut dan Hutan yang mengelilingi Batu Tauhid Aji Putih pun tetap terjaga kelestariannya. Beliau mulai berdakwah mengajarkan Ilmu Cipaku yaitu Ilmu Tauhid tentang ke-Esa-an Tuhan, Laillaha Ilallah, Tiada Tuhan Selain Allah SWT dalam bahasa Sunda sehingga beliau pun membuat Sahadat Cipaku yang isinya berserah diri dalam jalan Tuhan YME, dari sanalah kita berasal dan kembali lagi ke asalnya.


Kedalaman Spiritual Eyang Haji Aji Putih terpancar dalam Syahadat Cipaku sebagai berikut, “Asyhadu syahadat cipaku, sang kuncung batara wenang, ku Alloh sira sanika langit ngait, jagat rampak. Tarima badan kaula sirna Adam, ku Alloh,Ya Alloh, Alloh, Alloh”. Maknanya adalah Mengaku dan menyaksikan atas tanah kelahiran Cipaku, sesuatu yang berdiri dengan menjulur ke langit. Atas kehendak dan kepandaian (Hyang) yang Maha Kuasa. oleh Tuhan kamu sekalian membenarkan langit seperti menggantung, bumi rata. Terimalah badanku setelah Adam lenyap oleh Alloh, Ya Alloh. Salah satu kearifan lokal Kabuyutan Cipaku, Syahadat Cipaku, tentang kedalaman spiritual tentang Ketauhidan, bagaimana leluhur dahulu berserah diri kepada Tuhan Yang maha Esa, Nu Kawasa, Nu Ngersakeun, Nu Maha Murbeng Alam. 

Oleh karenanya dahulu tidak ada tempat di dunia ini yang paling aman selain Cipaku, karena orang Cipaku memiliki spiritualitas yang juara, tidak berani maling, nipu, merugikan orang lain. Dahulu rumah-rumah tidak ada pagarnya, pintu dibiarkan terbuka dan tidak dikunci, padi hasil panen disimpan ditengah sawah, sapi pun kandangnya ditengah sawah tanpa ada rasa takut akan dicuri orang. Malah dulu ada yang mau mencuri dari tetangga desa lain, Yang Maha Kuasa membuatnya seperti orang gila terus-terusan berkeliling di sawah sambil memikul gabah kering malam-malam, keesokan paginya yang punya sawah dan gabah datang dan menyapa kasihan amat semalaman olah raga keliling sawah, istirahatlah sebentar, kesini kita ngopi dulu. Pelaksanaan Ilmu Cipaku, Ilmu Tauhid dalam kehidupan sehari- hari disebut sebagai "Tukuh  CIPAKU", Tukuh Cipaku adalah konsistensi dan persistensi menjalankan Ilmu Cipaku bahwa seluruh kehidupan ini hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga "Tukuh CIPAKU" dikenal dengan istilah CIcingkeun, PAgeuhkeun, dan KUkuhkeun (diamkan, kuatkan, dan kokohkan).


Tiga Kampung Cipaku (Tri Tangtu Di Buana)
Eyang Haji Aji Putih setelah ngababakan membangun Kabuyutan Cipaku dan membaginya kedalam Tiga Kampung yaitu Tri Tangtu Di Buana (Tiga Penentu Kebijakan Dunia) dimana masing-masing Kampung bertugas sebagai berikut Kampung Cipaku sebagai Kampung Karesian yang bertugas sebagai Pusat Pendidikan Moral dan Spiritual, Kampung Paku Alam sebagai Karatuan yang bertugas menjalankan roda pemerintahan, dan Kampung Karangpakuan yang bertugas sebagai Karamaan yang menjaga kesejahteraan dan kemakmuran. Setelah mendirikan Kabuyutan Cipaku kemudian Eyang Haji Aji Putih mulai menjalankan tradisi Islam yaitu Sunat, lalu membangun Mesjid di Gunung Masigit Kareumbi (Masigit artinya Mesjid), dan membangun tempat wudlu di 7 muara sungai Cimanuk.

Setelah Kabuyutan Cipaku berdiri tegak kemudian Eyang Haji berkeliling ke seluruh Tatar Sunda ngababakan dan mendirikan 32 Kabuyutan Cipaku di seluruh Negara Bagian Kerajaan Sunda lengkap dengan Situs-situsnya. Kampung Tri Tangtu Di Buana dikenal sebagai Pancer Salawe Nagara, Pusat Dua Puluh Lima Nagara, Nagara artinya adalah Nagari bahasa Minang dan Kabuyutan dalam bahasa Sunda, Kampung Buhun yang lengkap dengan Situs Cagar Budayanya. Dua puluh lima nagara dapat diartikan sebagai satu pusat dan 24 disekelilingnya, 24 terdiri dari Mandala atau 8 penjuru mataangin dikali 3 Kampung Tri Tangtu, secara Visual dapat terlihat dalam gambar di bawah ini. Jadi Pancer Salawe Nagara adalah Rangkaian 25 Situs Kabuyutan dimana terdapat 1 pusatnya dan 24 situs disekitarnya. Pancer salawe nagara adalah merupakan Satu Cluster Kabuyutan yang memiliki fungsi Tiga Penentu Kebijakan Dunia, Tri Tangtu Di Buana. Kabuyutan Cipaku sampai saat ini sebagai jejak peradaban terakhir yang belum dihancurkan masih lengkap dalam tataran Pancer Salawe Nagara sementara Cipaku- cipaku lainnya sudah luluh lantah hancur akibat penghancuran oleh para penjajah Nusantara.



Hasil Penelitian Dr. Nina Herlina Lubis, MS yang dipublikasikan dalam Koran Pikiran Rakyat Online 11 Agustus 2005 beliau menyampaikan bahwa di daerah genangan Jatigede setidaknya terdapat 25 Situs Arkeologi yang kebayanyakan berupa makam Kuna. Menurut penelitian Arkeologi, peninggalan- peninggalan leluhur itu, memperlhatkan adanya transformasi dari masa pra sejarah (masa sebelum mengenal tulisan) ke masa sejarah (setelah mengenal tulisan). Jadi Makam Kuna yang tergolong budaya megalit (batu- batu besar) itu adalah warisan pra sejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah. Jelas sekali bahwa Kabuyutan Cipaku dari awalnya sebelum Abad ke-7 merupakan tempat berkontemplasi para leluhur dan mereka memberi nama daerahnya sebagai Leuweung Larangan Cipeueut setelah Eyang Haji Aji Putih Abad Ke-7 berguru ke Sayidina Ali kemudian dirubah namanya menjadi Kabuyutan Cipaku.



Setelah Eyang Haji Aji Putih Mendirikan Kabuyutan Cipaku di Leuweung Larangan Cipeueut beliau kemudian menyebarkan Ajarannya yaitu Ilmu Cipaku ke seluruh Wilayah Neagara Tatar Sunda yaitu 32 Negara Bagian sehingga ada tambahan 32 Kabuyutan Cipaku baru di seluruh Tatar Sunda, saat ini jejak- jejak Nama Cipaku masih ada dibeberapa daerah Tatar Sunda diantaranya Cipaku Bandung, Cipaku Bogor, Cipaku Ciamis, Cipaku Subang, Cipaku Garut, dan lainnya. Cipaku- cipaku itu adalah jejak peradaban Eyang Haji Aji Putih mengajarkan Ilmu Cipaku yaitu Ilmu Tauhid. Ajaran Ilmu Tauhid ini sangat penting bagi kehidupan baik pribadi, bermasyarakat, bernegara sehingga Prabu Tajimalela putra Eyang Haji Aji Putih membuat Amanah Taji Malela Abad ke-8 Masehi yang isinya adalah pesan bahwa Beliau lah Keturunan Sunda Galuh (Putra Prabu Guru Aji Putih) penguasa 33 Nusa (Kabuyutan) dan 65 Sungai yang tersebar di seluruh Tatar Sunda. 


Amanah Tadjimalela dalam bahasa Sunda, “Basa sia kunclang kenclong nu ngagilir putih, nu digilir putih, teu akalna teu akeulna Allah Sakarung konci kuning, kayu rubuh, deg deg tanjeur, jaya perang braja denung nu ngadeg menak di Sumedang Larang, kaula Sang Prabu Tajimalela, nu nyangking Nusa Telung Puluh Telu Bangawan Sawidak Lima, nya aing lalaki langit, lalanang jagat, wong saketi pada tijarumpalik, wong sajagat pada balubar, nya aing anu ngadeg di kolong langit ieu, Ratu Galuh Agung Tunggal henteu aya sisihna”. 

Jadi Kabuyutan Cipaku Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang adalah nama Kabuyutan Sunda yang merupakan Lima Mandala Sunda yang tersebar di wilayah Tatar Sunda. Mandala merupakan susunan cluster kabuyutan yang berjumlah 8 dan terletak di 4 arah penjuru mata angin (8×4 = 32), masing- masing Mandala tersebut memiliki 25 Kampung Buhun lengkap dengan situs-situs cagar budaya dan hutan larangan/ keramatnya sehingga total ada 32 x 25 = 800. Kabuyutan yang tersebar di seluruh Tatar Sunda. 800 Kabuyutan yang tersebar di Tatar Sunda tersebut disebut Sasaka Domas (Sasaka artinya Tempat Suci dan Domas artinya Dua Omas = dua x omas 400 = 800; jadi Sasaka Domas adalah 800 Tempat Suci/Kabuyutan).



Cipaku Darmaraja Salah Satu Jejak Monoteisme Manusia Purba
Berdasarkan "Naskah Sewaka Darma Kabuyutan Ciburuy" yang dibuat pada tahun 1405 Saka (1484 Masehi) dan mengacu kepada konsep Papat Kalima Pancer maka di Tatar Sunda ada Lima Daerah Cipaku yang terdiri dari Satu Cipaku sebagai pusatnya/Pancer dan Empat Cipaku lainnya tersebar sesuai arah penjuru mata angin yaitu Cipaku Timur, Cipaku Barat, Cipaku Utara, dan Cipaku Selatan.



Berdasarkan Konsep Papat Kalima Pancer tersebut maka lokasi 5 Cipaku yang merupakan Mandala/Kabuyutan Tatar Sunda dengan masing-masing dihuni oleh hyang pelindung dunia adalah sebagai berikut :

~  Cipaku Timur (Purwa) Sumedang : Mandala Timur Sunda yang memiliki simbol warna PUTIH, dengan material perak tempat Hyang Iswara. Merupakan penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban manusia, jaman para leluhur bangsa, berlokasi di Situs Lemah Sagandu Cipaku Darmaraja Sumedang yang ditenggelamkan oleh Proyek Bendungan Jatigede.

~ Cipaku Barat (Pasima) Bogor : Mandala Barat Sunda yang memiliki simbol warna KUNING dengan material emas/bokor tempat tinggal Hyang Mahadewa, merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran, berlokasi di Cipaku Prasasti Batutulis Bogor.

~ Cipaku Utara (Utara) Subang  : Mandala Utara Sunda yang memiliki simbol warna HITAM dengan material besi/Tarum, tempat tinggal Hyang Wisnu. Merupakan penanda malam hari, yang juga menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi, berlokasi di Situs Eyang Taruma Jaya Cipaku Subang.

~ Cipaku Selatan (Daksina) Garut : Mandala Selatan Sunda yang memiliki simbol warna MERAH dengan material tembaga atau api/Braja, tempat tinggal Hyang Brahma. Merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran), berlokasi di Cipaku Garut Kabuyutan Ciburuy dan sekitarnya.

~ Cipaku Tengah (Madya) Bandung : Mandala Tengah Gunung Sunda Purba yang memiliki simbol SEGALA WARNA Cahaya di Pusat yang merupakan tempat tinggal tempat Hyang Siwa. adalah penanda penguasa waktu/era/jaman yang mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi, berlokasi berpencar di Rajamandala, Dago Pakar dan Gunung Puntang.




Bangawan Sawidak Lima dapat diartikan sebagai Enam Puluh Lima Sungai, 65 Daerah Aliran Sungai, Satu Cluster Kabuyutan disebut Nusa karena selalu diapit oleh dua sungai atau selokan sehingga angka 65 adalah 1 Sungai Pusat/Utama dan 64 sungai disekelilingnya, angka 64 adalah 32 x 2 dimana 32 adalah Kabuyutan dan 2 adalah dua sungai yang mengapit kabuyutan tersebut. Secara wilayah dapat digambarkan dalam Skema Kabuyutan di bawah ini, Kabuyutan adalah Nusa diantara dua sungai/Pulau yang diapit oleh dua sungai.


Di bawah ini adalah contoh gambaran Situs Aji Putih Kabuyutan Cipaku Sumedang  yang kawasannya merupakan Nusa Diantara Dua Sungai (NUSANTARA), Pulau yang di apit oleh dua sungai. Apabila kita pergi ke Bogor Situs Kabuyutan Cipaku Bogor dimana sekarang terdapat Prasasti Batu Tulis, Makam Mbah Dalem, Situs Arca Purwakalih, dan Istana Batutulis lokasinya persis seperti Situs Aji Putih Kabuyutan Cipaku Sumedang yang lokasinya diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan.


Keturunan Prabu Tajimalela yaitu Resi Guru Darmasiksa abad ke - 13 M, kemudian mengukuhkan kembali dan membuat Amanah Buyut dan Amanah Galunggung yang tertera dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, “Buyut nu dititipkeun ka Puun Nusa Telungpuluh Telu, Bangawan Sawidak Lima, Pancer Salawe Nagara, Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Meunang Diruksak, Buyut Teu Meunang Dirempak, Larangan Teu Meunang Dilanggar” Kata- kata itu sampai sekarang masih ada dan dilaksanakan oleh Kabuyutan Kanekes Baduy Banten. Abad ke-15 M Prabu Siliwangi membuat Prasasti Kabantenan yang isinya memerintahkan kepada Pasukannya untuk membunuh siapa saja yang merusak Kabuyutan.


Naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai “Amanat Galunggung” atau “Amanat Prabuguru Darmasiksa”. Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002)[12]. “Amanat Galunggung” adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 – 1297 M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad 13–15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah: Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).

o Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
o  Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
o  Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
o  Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
o  Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.

Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., 1984[13]):

“Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang megurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.”




Sekarang Katukuhan CIPAKU (Cicingkeun - Diamkan, Pageuhkeun - Kuatkan, dan Kukuhkeun - Kokohkan) sedang diuji oleh Pembangunan Bendungan Jatigede, yang dimulai sejak Jaman Kolonialisme Penjajahan Belanda dan terus dilanjutkan dalam Era Neoimperialisme Negara Republik Indonesia.

Seperti kita ketahui cara merusak dan menjajah suatu Bangsa adalah dengan merusak sejarahnya, budayanya, dan peradabannya supaya kehilangan jati diri dan kepercayaan dirinya hilang, menjadi bangsa yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Bangsa yang kemudian menjadi bangsa yang lemah yang menganggap semua yang berasal dari luar lebih baik dari yang dimiliki oleh bangsanya sendiri.



Seperti kita ketahui setelah Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran hancur maka yang melanjutkan adalah Kerajaan Sumedang Larang dan pada masa penjajahan Kompeni Belanda (VOC Kompeni Belanda/Perusahaan Belanda) yang memiliki spirit/semangat melawan penjajahan adalah dari Sumedang yaitu Pangeran Kornel dan Tanuwijaya yang membuat Kampung Baru di Bogor setelah Bogor kosong cukup lama. Pangeran Kornel dan Tanuwijaya berani melawan Belanda sehingga bagi Penjajah Belanda keberadaan Sumedang sangatlah mengganggu kepentingan mereka dalam mengeruk kekayaan alam Nusantara sehingga harus dihancurkan peradabannya agar mereka bisa menghancurkan Self Esteem/Kepercayaan Dirinya/Jatidirinya sehingga menjadi bangsa yang lemah dan tidak ada perlawanan, hanya sumuhun dawuh atau asal bapak senang, kumaha juragan, membebek mengikuti kepentingan Penjajah/Kompeni. Kompeni Belanda sangat berkepentingan menghancurkan peradaban leluhur Sumedang dan tentu saja dapat kita pahami bahwa Kabuyutan Cipaku lah yang merupakan Cikal Bakal Peradaban Leluhur Sumedang yang akan dihancurkan.

Salah satu strategi Kompeni Belanda untuk melemahkan Sumedang pun mereka membuat Undak Usuk Bahasa dalam tatanan Bahasa Sunda, menciptakan bahasa Sunda Priangan yang membagi Bahasa menjadi tiga bagian yaitu untuk untuk menak atau orang tua (disebut bahasa halus), untuk pergaulan (bahasa loma), dan untuk kalangan rakyat kecil (bahasa kasar). Dengan aturan Undak Usuk Bahasa ini menyebabkan Bahasa Sunda yang tadinya Egaliter tidak Feodal menjadi sangat Feodal karena membagi- bagi golongan masyarakat menjadi beberapa bagian ada yang kastanya tinggi sebagai menak dan bangsawan serta ada rakyat kecil yang dianggap kasar. Hal ini menunjukan pelemahan Bahasa Sunda dan saat ini dapat kita rasakan generasi muda enggan berbahasa Sunda karena undak usuk bahasa takut salah dan takut dianggap kasar (hina), golongan Cacah yang hina/lebih rendah.

Mega Proyek Bendungan Jatigede hanyalah tameng Kompeni Belanda sebagai alat untuk menutupi niat busuk Kompeni Belanda melemahkan Bangsa Sunda dan Nusantara karena dalam Wangsit Siliwangi disebutkan bahwa suatu saat akan muncul Budak Angon di Lebak Cawene yang akan membawa Nusantara Jaya Di Buana disebut sebagai Pajajaran Anyar. Tentu penjajah siapapun tidak ingin Nusantara Jaya Di Buana, inginnya Nusantara tetap lemah agar terus mudah didominasi oleh para penjajah. Informasi tentang Wangsit Siliwangi bisa dibaca pada Link berikut ini: http://sundanologi.wordpress.com/.

Karena Waduk Jatigede adalah pertarungan Kebaikan Vs Keburukan, Imam Mahdie Vs Dajal oleh karenanya Eyang Haji Aji Putih menyampaikan Pesan/Amanah bahwa apabila "Lemah Sagandu Kabuyutan Cipaku Diganggu Balai Sadunya, Kabuyutan Cipaku Diganggu Bencana Sedunia".



Jatigede Rawan Abrol
Di lokasi Genangan Bendungan Jatigede dikenal dengan Kawasan Lemah Sagandu yang merupakan Kawasan Kabuyutan Cipaku, secara Geologi disana merupakan Pusat Gempa dan terdapat Lempeng Tektonik Baribis yang tentu saja terinterkoneksi dengan Sunda Mega Thrust. Dalam Uga Jatigede Eyang Haji Aji Putih menyampaikan bahwa Jatigede Digenangi Akan Membangunkan Keuyeup Bodas (Kepiting Putih) yang akan menjebol Bendungan, Keuyeup Bodas secara geologi adalah Sunda Mega Thrust dimana berpotensi secara ilmiah menciptakan gempa sampai 9 SR.


Bisa dibayangkan apabila gempa 9SR menghantam Indonesia maka yang terjadi adalah Bendungan Jatigede dan bendungan yang ada di Patahan Aktif akan Jebol. Dalam Wangsit Uga Siliwangi sudah tertera tentang ramalan Talaga Bedah (Bendungan Jebol) sebagai tanda kemunculan Budak Angon (Al Mahdi dalam Islam).

Baca Juga :

Tidak ada komentar