Kabuyutan Cipaku Jejak Monoteisme Islam Abad ke 7

Ketika Zaman Pra Sejarah Kabuyutan Cipaku disebut dengan nama Kawasan Lemah Sagandu karena bentuk alam waktu itu ibarat Gula Aren (Gula Kawung) ketika itu digambarkan bahwa Nusantara masih bersatu dengan benua Asia, seperti kita ketahui jutaan tahun yang lalu pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi bersatu dengan benua Asia sekarang dan disebut sebagai Benua Sunda (Sunda Land). 

Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai keturunan dari Nabi Adam a.s, dari anaknya Nabi Syits a.s, lalu ke Nabi Nuh a.s dan tiga orang keturunan Nabi Nuh a.s yaitu Purbawisesa, Terahwisesa, dan Ratu Galuh waktu itu tiba di Kawasan Lemah Sagandu atas petunjuk Gurunya untuk menyamakan gambar dengan alam semesta serta harus mencari batu putih persegi empat. Tuhan membuat penciptaan dalam wujud batu hitam dan batu putih, batu hitam ditemukan di Mekah namun batu putih tidak ditemukan.

Diceritakan dalam "Buku Cipaku" Resi Agung menyuruh tiga orang keturunan Nabi Nuh AS, Purbawisesa, Terahwisesa, dan Ratu Galuh berkontemplasi di Lemah Sagandu selama 40 hari 40 malam, setelah berkontemplasi Resi Agung datang kembali memberi petunjuk untuk ke-3 Putra Nabi Nuh tersebut Purbawisesa pergi ke sebelah Timur menurunkan raja-raja di Timur, Terahwisesa ke sebelah barat menurunkan raja-raja di sebelah barat, dan Ratu Galuh ke sebelah selatan menurunkan raja-raja disebelah selatan. 

Setelah mereka bertiga pergi ke tempatnya yang dituju kemudian Ganti Zaman Dopara dimana timbul Banjir Bandang lalu kemudian Lemah Sagandu (Benua Sunda) yang tadinya menyatu dalam satu benua menjadi terputus oleh selat-2 karena sebagian daratannya terendam, jadilah seperti sekarang ini. Wallohualam bishawab. 


Sumber informasi tentang Lemah Sagandu tersebut dapat di baca dalam buku karya Ki Wangsa, Budayawan Sunda Sumedang, judulnya Rucatan Budaya Sunda Kadarmarajaan, sumber utamanya adalah Buku Cipaku atau Buk Cipaku. 

Mereka mencari dengan keyakinan bahwa alam lebih luas dari gambar sampai Purbawisesa kesal, berbeda dengan Ratu Galuh yang tetap mencari sampai tiba ke Lemah Sagandu. Pengalaman Ratu Galuh akhirnya membuka mata hatinya mampu menyamakan alam dengan gambar ternyata itu merupakan Siloka atau simbol bahwa Alam adalah Ciptaan Tuhan yang bisa digambarkan dan ditulis oleh manusia, alam ibarat buku dimana laut sebagai tintanya. Gambar menunjukan keinginan manusia yang ingin selalu melebihi alam semesta.

Purbawisesa akhirnya menyadari bahwa Ratu Galuh sangat dalam pemahamannya. Ketika ketiganya sedang asik ngobrol datanglah Resi Sanghyang Agung (Resi Agung) yang memberi petunjuk kalau ingin mencari terang harus diam di tempat gelap, kalau ingin mencari gelap harus cari di tempat yang terang, lalu kemudian Resi Agung menyuruh bertapa. Ketiganya tamat bertapa 40 hari 40 malam, lalu muncul lagi Resi Agung menyampaikan bahwa beliau di utus untuk menyampaikan petunjuk kepada para manusia yang taat beragama, memberikan petunjuk untuk menyamakan Gambar dengan Alam Semesta syaratna 4 perkara, pertama gerakan pikiran, kedua perasaan, ketiga akal budi, dan keempat waruga/badan, kalima tunggaling kayakinan.

Resi Agung memberikan petunjuk agar Purbawisesa harus pergi ke sebelah timur, Terahwisesa harus pergi ke sebelah barat, dan Ratu Galuh harus pergi ke sebelah Selatan. Resi Agung memberikan Tongkat kepada ketiganya untuk memberikan tanda tentang kejadian-kejadian/peristiwa yang terjadi. Setelah memberikan tongkat Resi Agung hilang kembali. Purbawisesa kemudian menancapkan Tongkat tersebut ke dalam tanah kemudian mendadak keluar air menjadi Sumur, karena haus lalu diminum setelah 40 hari bertapa airnya menjadi terasa manis.

Saking manisnya tempat tersebut kemudian diberi nama Cipeueut (Peueut - Nira, Cipeueut - Air Nira yang manis sekali). Setelah itu ketiganya pergi sesuai petunjuk Resi Agung, Purbawisesa menurunkan raja- raja di Timur, Terahwisesa menurunkan raja-raja di Barat, dan Ratu Galuh menurunkan Raja-raja Galuh di Selatan. Setelah itu ganti Zaman Dopara, Alam Semesta Goyang, angin puting beliung kencang melanda, banjir di seluruh dunia dan daratan terputus menjadi selat-selat.

Ketika Zaman Sejarah Kabuyutan Cipaku dimulai dari sejarah Wretikandayun Raja Galuh Purba dari Keturunan Taruma Nagara menikah dengan Chandraresmi dari Kalingga Utara melahirkan Sempakwaja, Jantaka dan Mandiminyak. Sempakwaja dan Jantaka karena Cacat Fisik Giginya Ompong maka tidak menjadi raja akhirnya menyerahkan Tahta Galuh kepada Mandiminyak adiknya. Sempakwaja kemudian pergi ke Gunung Agung atau sekarang disebut Galunggung. Wretikandayun paham bahwa Sempakwaja merasa dianaktirikan oleh karenanya dinikahkan ke Putri Raja Awangan Kuningan beranama Wulandari. Jantaka dinikahkan kepada Dewi Sawitri Putri Raja Sunda yang menetap dibawah Gunung Galunggung melahirkan  Bimaraksa. 

Bimaraksa dijodohkan dengan Dewi Komalasari. Umur Bimaraksa tidak jauh beda dengan Purbasora putra Sempakwaja dari Dewi Wulandari.  Ketika Mandiminyak lengser lalu mengangkat Bratansenawa (Sena) yang merupakan buah perselingkuhan dengan Dewi Wulandari istrinya Sempakwaja. Sempakwaja dan Purbasora merasa tidak setuju karena Sena lahir akibat perselingkuhan dengan Istri Sempak Waja atau Ibunya Purbasora. Oleh karena itu Purbasora mengumpulkan balatentara Galunggung dibantu oleh Bimaraksa untuk merebut Tahta Galuh Purba dari Sena. Sena akhirnya pergi ke Kalingga tempat neneknya tinggal dan Purbasora menjadi Raja, lalu Bimaraksa diangkat menjadi Patih Kerajaan Galuh Purba. Anak Sena yaitu Sanjaya kemudian membalas merebut kembali Tahta Galuh dengan bantuan pasukan Neneknya dari Kalingga dan akhirnya Purbasora tewas dibunuh. 

Bimaraksa dan Dewi Komalasari kemudian pergi meninggalkan Galuh melewati Gunung Cakra Buana dan tinggal di Leuwi Hideung Darmaraja sekarang. Di sana Bimaraksa dan Dewi Komalasari mendirikan Padepokan mengajarkan dan mendidik dari mulai ilmu agama, pertanian, peternakan, dan perikanan. Padepokannya banyak didatangi oleh banyak orang dan menjadi termasyur.

Bimaraksa dan Dewi Komalasari memiliki anak yang bernama Aji Putih, Aji Putih kemudian menyatukan dusun-dusun di seluruh wilayah Lemah Sagandu. Kawasan Lemah Sagandu sekarang dengan batas wilayah sebelah barat Gunung Nurmala atau Gunung Sangkan Jaya atau Gunung Padang atau Gunung Lingga di bawahnya, sebelah Utara dibatasi oleh Gunung Pareugreug, sebelah Selatan dibatasi oleh Gunung Cakrabuana, dan Sebelah Timur dibatasi oleh Gunung Jagat. 

Pada saat bulan Purnama taun Saka, Aji Putih mendirikan "Kerajaan Tembong Agung" di Kampung Muara Leuwi Hideung Darmaraja sekarang. Kawasan Lemah Sagandu saat itu dinamakan Bagala Asih Panyipuhan, Bagala artinya tempat, Asih artinya Silih-Asah, Silih-Asuh, Silih-Asih dan Panyipuhan artinya membersihkan diri.

Aji Putih kemudian menikah dengan Ratna Inten Nawang Wulan yang bergelar Ronggeng Sadunya Putri Jagatjayama Terah Galuh Sunda, cucu dari Resi Demunawan Kuningan dari istrinya Saribanon Kancana. Prabu Aji Putih memiliki empat anak yaitu Bratakusumah (Tajimalela), Sakawayana, Harisdarma, dan Langlangbuana. Aji Putih memimpin kerajaan dengan 5 prinsip utama yaitu Pancer, Tanjer, Uger, Jejer, dan Lilinger. 

Pancer artinya teguh dan kokoh pendirian; Tanjer artinya memiliki keberanian yang tinggi; Uger artinya mengikuti aturan, nilai-nilai, dan norma kehidupan; Jejer artinya jajaran pemerintahan atau manajemen pemerintahan harus benar; dan Lilinger artinya tujuan baik jangka panjang maupun jangka pendek, atau visi misi kedepannya bagaimana. Itulah kelima prinsip dalam menjalankan pemerintah untuk memajukan Kerajaan Tembong Agung. 

Menurut Buku Ki Wangsa Kerajaan Tembong Agung sejaman dengan Kerajaan Galuh Pakuan yaitu (640 – 724M), Galuh Sunda (669 – 1311M), dan Medang Kamulyan (670 – 678M). Tembong artinya Tampak dan Agung artinya Luhung/Luhur.

Prabu Aji Putih kemudian menyerahkan tahta kepada Prabu Tajimalela (Bratakusumah/Cakrabuana/Pancarbuana/Darmawisesa/Resi Tungtang Buana),  setelah itu Prabu Aji Putih menjadi Resi di Bagala Asih Panyipuhan di Cipeueut. Ketika Prabu Aji Putih sedang berkotemplasi di Cipeueut beliau mendengarkan suara tanpa wujud yang menginformasikan, “suatu saat kearifan akan muncul dari pintu Mekah sampai ke Pulau Ujung, Orang berbondong-bondong mencari kearifan, namun mereka tidak tahu Arif seperti apa”.

Prabu Aji Putih bersama istrinya mengikuti petunjuk dan pergi ke Tanah Suci Mekah dan bertemu dengan Sayidina Ali. Prabu Aji Putih kemudian berguru ilmu tarikat, syariat, hakikat, dan marifat lalu masuk Islam dan kemudian naik haji, beliau kemudian bergelar Haji Purwa Darmaraja, haji pertama di Darmaraja. Sebelum pulang Prabu Aji Putih disuruh membuat masjid dan tujuh tempat wudlu. Ketika Pulang ke Darmaraja beliau mendirikan Masjid di Gunung Masigit dan Tujuh tempat wudlu di tujuh muara sungai Cimanuk yang diberi nama Cikajayaan, Cikahuripan, Cilemahtamba, Cikawedukan, Cikatimbulan, Cimaraja, dan Cisundajaya.

Prabu Aji Putih setelah kembali ke Padepokan Cipeueut Bagala Asih Panyipuhan kemudian merubah namanya manjadi Kabuyutan Cipaku, Cipaku Pakuning Alam, mengajarkan Islam dari mulai Ilmu Tauhid atau Ilmu Cipaku yaitu mendekatkan diri dengan Tuhan atau disebut Marifat.

Ilmu Marifat Cipaku dikenal dengan Ilmu Cipaku, “Sir budi cipta rasa, sir raga papan rasa, dzat marifat wujud kaula maring Alloh, maring malaikat, maring khodan karomah suci, maring isun sajerning urip, lailahailalloh muhamaddarosululloh”, dari sanalah para murid Prabu Aji Putih mulai mengenal Islam dan menyebutnya Agama Suci.

Prabu Guru Haji Aji Putih (Eyang Haji) dikenal juga dengan ilmu Haji Bathin, karena Abad ke-7 sangat sulit untuk pergi ke Tanah Suci Mekah dan juga apabila ada saudara, tetangga, atau di sekitar kampung terdapat yang masih sengsara sandang, pangan, dan papan maka tidak perlu pergi ke Tanah Suci naik Haji sepertinya dirinya tapi cukup Haji Bathin saja, untuk sementara diwakilkan oleh Eyang Haji, lebih penting menolong yang lebih membutuhkan dahulu. Hal tersebut tentu sejalan dengan Rukun Islam yang kita ketahui pertama adalah syahadat, kedua shalat, ketiga puasa, ke empat shodakoh, ke lima naik haji ke Baitulloh. Zaman sekarang justru terbaik orang berbodong-bodong naik haji ke tempat Suci ingin bergelar Haji kadang tidak melirik saudara dan lingkungan disekelilingnya yang masih kesulitan dan kesusahan.

Sejalan dengan Rukun Islam tentang pentingnya Syahadat Eyang Haji pun Abad ke-7 sudah berfikir begitu pentingnya pemahaman tentang Syahadat agar menjadi Ikrar Raga dan Bathin bahwa kita manusia berserah diri kepada Alloh SWT Tuhan Semesta Alam. 

Eyang Haji kemudian mengajarkan Ilmu Marifat Cipaku yaitu, “Sang kuncung batara wenang, sanika ku Alloh langit ngait jagat rapak, tarima badan kaula sirna adam, Hu Alloh, Hu Alloh, Hu Alloh, lailahaillalloh muhammaddarosululloh”. 

Hartosna : sang teh hiji, kuncung buuk dina embun-embunan ngacung ka luhur, batara hartina maha pinter, sari sanika tegesna pangersana, langit kawas dikaitkeun, jagat kawas diamparkeun, tumampa yen kaula hirup sanggeusna adam mulang ka alam langgeng. Alloh Maha Agung, teu aya deui nu wajib di sembah lintang ti Alloh, muhamad rosul Alloh.

Artinya kita berserah diri dari ujung rambut yang paling atas sampai seluruh badan hanya kepada Alloh SWT yang wajib disembah.

Bagi Eyang Haji sesuai rukun Islam yang paling penting adalah Sahadatnya atau Ikrarnya untuk memahami diri manusia sebagai Mahluk Ciptaan Alloh SWT oleh karenanya beliau membuat Sahadat Darmaraja untuk para Raja yang ingin mengabdikan diri menjadi Raja (Darma = Bakti, dan Raja Pemimpin) :

“Nu nangtung tampa kurungan, teu hérang tampa karangan, nu ngadeg di sanghyang téja henteu aya di buana panca tengah, deg, deg, deg, pancakomara. Lailahailalloh Muhammadurrosululloh”.

Hartina, nu ngadeg taya wujudna, nu herang taya wadahna, nu ngadeg di alam lelemut teu aya di alam manusa, panceugkeun lama kawibawaan. Teu aya anu wajib disembah lintang Alloh, Muhamad utusan Alloh. Artinya adalah bahwa ketika menjadi Raja harus mengukuhkan kewibawaan dengan cara berserah diri kepada Alloh SWT. Eyang Haji mengajarkan Ilmu Marifat tersebut di Situs Cipeueut Aji Putih yang sekarang terancam ditenggelamkan oleh Pembangunan Waduk Jatigede.

Sebelum Abad ke-8 daerahnya disebut Cipeueut setelah Eyang Haji pergi ke Tanah Suci Mekah dan berguru kepada Sayidina Ali belajar ilmu syariat, hakikat, tarekat, dan marifat lalu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci beliau kembali ke Cipeueut dan mulai ngababakan/membuat kampung dan diberi nama Cipaku serta beliau sebagai simbol beliau membuat punden berundak di tempat dimana beliau berkontemplasi dengan simbol Batu Tunggal sebagai simbol bahwa Tuhan itu Esa/Satu, Sanghyang Kersa, Nu Maha Kawasa, Nu Ngersakeun, Nu Maha Murbeng Alam.

Sampai sekarang punden berundak Batu Tauhid Aji Putih masih berdiri tegak di Cipeueut dan Hutan yang mengelilingi Batu Tauhid Aji Putih pun tetap terjaga kelestariannya. Beliau mulai berdakwah mengajarkan Ilmu Cipaku yaitu Ilmu Tauhid tentang keesaan Tuhan, Laillaha Ilalloh, Tiada Tuhan Selain Alloh SWT dalam bahasa Sunda sehingga beliau pun membuat Sahadat Cipaku yang isinya berserah diri dalam jalan Tuhan YME, dari sanalah kita berasal dan kembali lagi ke asalnya. Kabuyutan Cipaku Darmaraja Sumedang Abad ke-7 telah menjadi Pusat Pengembangan Agama Islam di Nusantara (Islamic Center Nusantara), namun sayangnya pemerintah justru akan menenggelamkan Kabuyutan Cipaku melalui Proyek Waduk Jatigede yang sudah digagas sejak Jaman Belanda.


Makna dan Arti Cipaku

Dalam Naskah Kuno Medan Kamulyaan dijelaskan bahwa Cipaku adalah nama tempat peringgatan banyaknya pohon paku di tempat tersebut setelah dunia tenggelam.

Dari Naskah Kuno Medan kamulyan:

"...BAGENDA SYAM JENENG RATU DI KARAJAAN MEDANG LARANGAN, ANU KARATON NA DI CIPTA KU SAYYIDINA SIS ALAHIS SALAM. DI CAI PAKU SATUTASNA SURUTNA CAI SAGARA NGEUEUM ALAM MEDANG KAMULYAN. ARI DI SEBUT CAI PAKU IEU MANGRUPA PANGELING-ELING IEU TEMPAT ANU GEUS OROT TINA CAI SAGARA LOBA TANGKAL PAKU KU AYANA PRAHARA ALAM MEDANG KAMULYAN KA KEUEUM KU CAI SAGARA".
Artinya: Baginda Syah dengan Ratu di Kerajaan Medang Larangan (Bukan Sumedang Larang) yang Singgasananya dibuat oleh Nabi Sis alaihis salam di Cipaku setelah air laut surut menggenangi dunia. Yang di sebut Cipaku ini merupakan peringatan tempat yang sudah surut dari air laut banyak pohon paku karena prahara alam Dunia yang tergenang air Laut. (Catatan : Bagenda Syah putranya Nabi Nuh a.s)
 
Kita tahu juga bahwa bumi pernah mengalami tenggelam akibat Es yang mencair sehingga mengakibatkan benua/pulau yang ada di bumi tenggelam. Menurut para ahli sejarah masa lampau bumi tenggelam karena adanya meteor yang menabrak bumi sehingga es mencair dan menenggelamkan sebagian pulau atau benua yang ada dipermukaan bumi. Sebagaimana kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh pada sekitar tahun 11.000 SM (13.000 tahun yang lalu), semua peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya Keluarga Nabi Nuh beserta pengikutnya.

Sekelompok pengikut Nabi Nuh yang selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari, di sekitar Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban.

Keberadaan Peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor Aryso Santos dari Brasil, melalui bukunya "Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization" (2005). Di dalam bukunya itu, Profesor Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis, yang disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias.

Sebelumnya pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku berjudul,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana (out of Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi. (sumber: http://kanzunqalam.com)

Situs Cipeueut merupakan situs cagar budaya dan spiritual yang sangat penting dimana disana terdapat hutan tutupan(hutan lindung yang sangat dikeramatkan, di apit oleh dua sungai besar yaitu Sungai Cibayawak dan Sungai Cimanuk, terdapat mata air alami dan sumur kahuripan, dan yang paling penting terdapat hasil karya dan karsa olah pikir leluhur kita yaitu "Punden Berundak Megalitikum Batu Tunggal" yang merupakan Simbol Monotheisme Nusantara Purba.
Kedalaman Spiritual Eyang Aji Putih terpancar dalam Syahadat Cipaku sebagai berikut :

“Asyhadu syahadat cipaku, sang kuncung batara wenang, ku Alloh sira sanika langit ngait, jagat rampak. Tarima badan kaula sirna Adam, ku Alloh ,Ya Alloh, Alloh, Alloh.”. 

Maknanya adalah Mengaku dan menyaksikan atas tanah kelahiran Cipaku, sesuatu yang berdiri dengan menjulur ke langit.Atas kehendak dan kepandaian (Batara) yang maha Kuasa, oleh Tuhan kamu sekalian membenarkan langit seperti menggantung, bumi rata. Terimalah badanku setelah Adam lenyap oleh Alloh, Ya Alloh.

Salah satu kearifan lokal Kabuyutan Cipaku, Syahadat Cipaku, tentang kedalaman spiritual tentang Ketauhidan, bagaimana leluhur dahulu berserah diri kepada Tuhan Yang maha Esa, Nu Kawasa, Nu Ngersakeun, Nu Maha Murbeng Alam. Oleh karenanya dahulu tidak ada tempat di dunia ini yang paling aman selain Cipaku, karena Urang Cipaku memiliki nilai spiritualitas ketauhidan, tidak berani maling, nipu, merugikan orang lain.

Dahulu rumah-rumah tidak ada pagarnya, pintu dibiarkan terbuka dan tidak dikunci, padi hasil panen disimpan ditengah sawah, sapi pun kandangnya ditengah sawah tanpa ada rasa takut akan dicuri orang. Malah dulu ada yang mau mencuri dari tetangga desa lain, Yang Maha Kuasa membuatnya seperti orang gila terus-terusan berkeliling di sawah sambil memikul gabah kering malam-malam, keesokan paginya yang punya sawah dan gabah datang dan menyapa kasihan amat semalaman olah raga keliling sawah, istirahatlah sebentar, kesini kita ngopi dulu.

Pelaksanaan Ilmu Cipaku, Ilmu Tauhid dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai Tukuh Cipaku, Tukuh Cipaku adalah konsistensi dan persistensi menjalankan Ilmu Cipaku bahwa seluruh kehidupan ini hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga Tukuh Cipaku dikenal dengan istilah CIcingkeun, PAgeuhkeun, dan KUkuhkeun (diamkan, kuatkan dan kokohkan).

Eyang Haji Aji Putih setelah ngababakan membangun Kabuyutan Cipaku dan membaginya kedalam tiga Kampung yaitu Tri Tangtu Di Buana (Tiga Penentu Kebijakan Dunia) dimana masing-masing Kampung bertugas sebagai berikut Kampung Cipaku sebagai Kampung Karesian yang bertugas sebagai Pusat Pendidikan Moral dan Spiritual, Kampung Paku Alam sebagai Karatuan yang bertugas menjalankan roda pemerintahan, dan Kampung Karangpakuan yang bertugas sebagai Karamaan yang menjaga kesejahteraan dan kemakmuran. Setelah mendirikan Kabuyutan Cipaku kemudian Eyang Haji Aji Putih mulai menjalankan tradisi Islam yaitu Sunat, lalu membangun Mesjid di Gunung Masigit (Masigit artinya Mesjid), dan membangun tempat wudlu di 7 muara sungai Cimanuk.


Setelah Kabuyutan Cipaku berdiri tegak kemudian Eyang Haji berkeliling ke seluruh Tatar Sunda ngababakan dan mendirikan 32 Kabuyutan Cipaku di seluruh Negara Bagian Kerajaan Sunda lengkap dengan Situs- situsnya. Kampung Tri Tangtu Di Buana dikenal sebagai Pancer Salawe Nagara, Pusat Dua Puluh Lima Nagara, Nagara artinya adalah Nagari bahasa Minang dan Kabuyutan dalam bahasa Sunda, Kampung Buhun yang lengkap dengan Situs Cagar Budayanya. Dua puluh lima nagara dapat diartikan sebagai satu pusat dan 24 disekelilingnya, 24 terdiri dari Mandala atau 8 penjuru mata angin dikali 3 Kampung Tri Tangtu, secara Visual dapat terlihat dalam gambar di bawah ini. Jadi Pancer Salawe Nagara adalah Rangkaian 25 Situs Kabuyutan dimana terdapat 1 pusatnya dan 24 situs disekitarnya. Pancer salawe nagara adalah merupakan Satu Cluster Kabuyutan yang memiliki fungsi Tiga Penentu Kebijakan Dunia, Tri Tangtu Di Buana. Kabuyutan Cipaku sampai saat ini sebagai jejak peradaban terakhir yang belum dihancurkan masih lengkap dalam tataran Pancer Salawe Nagara sementara Cipaku-cipaku lainnya sudah luluh lantah hancur akibat penghancuran oleh para penjajah Nusantara.

Berikut ini adalah hasil Penelitian Dr. Nina Herlina Lubis, MS yang dipublikasikan dalam Koran Pikiran Rakyat Online 11 Agustus 2005 beliau menyampaikan bahwa di daerah genangan Jatigede setidaknya terdapat 25 Situs Arkeologi yang kebayanyakan berupa makam Kuna. Menurut penelitian Arkeologi, peninggalan-peninggalan leluhur itu, memperlhatkan adanya transformasi dari masa pra sejarah (masa sebelum mengenal tulisan) ke masa sejarah (setelah mengenal tulisan).

Jadi Makam Kuna yang tergolong budaya megalitik (batu-batu besar) itu adalah warisan pra sejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah. Jelas sekali bahwa Kabuyutan Cipaku dari awalnya sebelum Abad ke-7 merupakan tempat berkontemplasi para leluhur dan mereka memberi nama daerahnya sebagai Leuweung Larangan Cipeueut setelah Eyang Haji Aji Putih Abad Ke-7 berguru ke Sayidina Ali kemudian dirubah namanya menjadi Kabuyutan Cipaku.

Berikut ini adalah hasil Penelitian Dr. Nina Herlina Lubis, MS yang dipublikasikan dalam Koran Pikiran Rakyat Online 11 Agustus 2005 beliau menyampaikan bahwa di daerah genangan Jatigede setidaknya terdapat 25 Situs Arkeologi yang kebanyakan berupa makam Kuno. Menurut penelitian Arkeologi, peninggalan-peninggalan leluhur itu, memperlhatkan adanya transformasi dari masa pra sejarah (masa sebelum mengenal tulisan) ke masa sejarah (setelah mengenal tulisan).

Jadi Makam Kuno yang tergolong budaya megalit (batu- batu besar) itu adalah warisan pra sejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah. Jelas sekali bahwa Kabuyutan Cipaku dari awalnya sebelum Abad ke-7 merupakan tempat berkontemplasi para leluhur dan mereka memberi nama daerahnya sebagai Leuweung Larangan Cipeueut setelah Eyang Haji Aji Putih Abad Ke-7 berguru ke Sayidina Ali kemudian dirubah namanya menjadi Kabuyutan Cipaku.

Setelah Eyang Haji Aji Putih Mendirikan Kabuyutan Cipaku di Leuweung Larangan Cipeueut beliau kemudian menyebarkan Ajarannya yaitu Ilmu Cipaku ke seluruh Wilayah Neagara Tatar Sunda yaitu 32 Negara Bagian sehingga ada tambahan 32 Kabuyutan Cipaku baru di seluruh Tatar Sunda, saat ini jejak- jejak Nama Cipaku masih ada dibeberapa daerah Tatar Sunda diantaranya Cipaku Bandung, Cipaku Bogor, Cipaku Ciamis, Cipaku Subang, Cipaku Garut, dan lainnya. Cipaku-cipaku itu adalah jejak peradaban Eyang Haji Aji Putih mengajarkan Ilmu Cipaku yaitu Ilmu Tauhid.

Ajaran Ilmu Tauhid ini sangat penting bagi kehidupan baik pribadi, bermasyarakat, bernegara sehingga Prabu Tajimalela putra Eyang Haji Aji Putih membuat Amanah Taji Malela Abad ke-8 Masehi yang isinya adalah pesan bahwa Beliau lah Keturunan Sunda Galuh (Putra Prabu Guru Aji Putih) penguasa 33 Nusa (Kabuyutan) dan 65 Sungai yang tersebar di seluruh Tatar Sunda.

Amanah Tajimalela dalam bahasa Sunda, “Basa sia kunclang kenclong nu ngagilir putih, nu digilir putih, teu akalna teu akeulna Allah Sakarung konci kuning, kayu rubuh, deg deg tanjeur, jaya perang braja denung nu ngadeg menak di Sumedang Larang, kaula Sang Prabu Tajimalela, nu nyangking Nusa Telung Puluh Telu Bangawan Sawidak Lima, nya aing lalaki langit, lalanang jagat, wong saketi pada tijarumpalik, wong sajagat pada balubar, nya aing anu ngadeg di kolong langit ieu, Ratu Galuh Agung Tunggal henteu aya sisihna”.

Setelah Eyang Haji Aji Putih Mendirikan Kabuyutan Cipaku di Leuweung Larangan Cipeueut beliau kemudian menyebarkan Ajarannya yaitu Ilmu Cipaku ke seluruh Wilayah Neagara Tatar Sunda yaitu 32 Negara Bagian sehingga ada tambahan 32 Kabuyutan Cipaku baru di seluruh Tatar Sunda, saat ini jejak- jejak Nama Cipaku masih ada dibeberapa daerah Tatar Sunda diantaranya Cipaku Bandung, Cipaku Bogor, Cipaku Ciamis, Cipaku Subang, Cipaku Garut, dan lainnya. Cipaku-cipaku itu adalah jejak peradaban Eyang Haji Aji Putih mengajarkan Ilmu Cipaku yaitu Ilmu Tauhid.

Ajaran Ilmu Tauhid ini sangat penting bagi kehidupan baik pribadi, bermasyarakat, bernegara sehingga Prabu Tajimalela putra Eyang Haji Aji Putih membuat Amanah Taji Malela Abad ke-8 Masehi yang isinya adalah pesan bahwa Beliaulah Keturunan Sunda Galuh (Putra Prabu Guru Aji Putih) penguasa 33 Nusa (Kabuyutan) dan 65 Sungai yang tersebar di seluruh Tatar Sunda.

Amanah Tajimalela dalam bahasa Sunda, “Basa sia kunclang kenclong nu ngagilir putih, nu digilir putih, teu akalna teu akeulna Allah Sakarung konci kuning, kayu rubuh, deg deg tanjeur, jaya perang braja denung nu ngadeg menak di Sumedang Larang, kaula Sang Prabu Tajimalela, nu nyangking Nusa Telung Puluh Telu Bangawan Sawidak Lima, nya aing lalaki langit, lalanang jagat, wong saketi pada tijarumpalik, wong sajagat pada balubar, nya aing anu ngadeg di kolong langit ieu, Ratu Galuh Agung Tunggal henteu aya sisihna”. 

Jadi Kabuyutan Cipaku Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang adalah nama Kabuyutan Sunda yang merupakan Lima Mandala Sunda yang tersebar di wilayah Tatar Sunda. Mandala merupakan susunan cluster kabuyutan yang berjumlah 8 dan terletak di 4 arah penjuru mata angin (8 × 4 = 32), masing-masing Mandala tersebut memiliki 25 Kampung Buhun lengkap dengan situs-situs cagar budaya dan hutan larangan/keramatnya sehingga total ada 32 x 25 = 800, kabuyutan yang tersebar di seluruh Tatar Sunda. 800 Kabuyutan yang tersebar di Tatar Sunda tersebut disebut Sasaka Domas (Sasaka artinya Tempat Suci dan Domas artinya Dua Omas = dua x omas ~ 400 = 800; jadi Sasaka Domas adalah 800 Tempat Suci/Kabuyutan).


Berdasarkan Naskah Sewaka Darma Kabuyutan Ciburuy yang dibuat pada tahun 1405 Saka (1484 Masehi) dan mengacu kepada konsep Papat Kalima Pancer maka di Tatar Sunda ada Lima Daerah Cipaku yang terdiri dari Satu Cipaku sebagai pusatnya/Pancer dan Empat Cipaku lainnya tersebar sesuai arah penjuru mata angin yaitu Cipaku Timur, Cipaku Barat, Cipaku Utara, dan Cipaku Selatan.

Berdasarkan Konsep Papat Kalima Pancer tersebut maka lokasi 5 Cipaku yang merupakan Mandala/Kabuyutan Tatar Sunda dengan masing-masing dihuni oleh dewa pelindung dunia adalah sebagai berikut:

- Cipaku Timur Sumedang : Mandala (*) Timur Sunda yang memiliki simbol warna putih dengan material perak tempat tinggal Sanghyang Isora, tujuan yang lulus tapa, berlokasi di Situs Lemah Sagandu Cipaku Darmaraja Sumedang. Yang ditenggelamkan oleh Proyek Bendungan Jatigede.

- Cipaku Barat Bogor : Mandala (*) Barat Sunda yang memiliki simbol warna kuning dengan material emas/bokor tempat tinggal Sanghyang Siwah, tempat melepas manusia berani mati, berlokasi di Cipaku Prasasti Batutulis Bogor.

- Cipaku Utara Subang : Mandala (*) Utara Sunda yang memiliki simbol warna hitam dengan material besi/tarum, tempat tinggal Sanghyang Wisnu, tujuan yang sempurna perbuatannya, berlokasi di Situs Eyang Taruma Jaya Cipaku Subang.

- Cipaku Selatan Garut : Mandala (*) Selatan Sunda yang memiliki simbol warna merah dengan material tembaga atau api/braja, tempat tinggal Sanghyang Brahma yang menunggu kesengsaraan, para penghuni Neraka, yang bertugas menyiksa orang, manusia yang berbuat buruk, tak urung mendapat celaka, karena hal itu yang diingatnya, berlokasi di Cipaku Garut Kabuyutan Ciburuy dan sekitarnya.

- Cipaku Tengah Bandung : Mandala (*)  Gunung Sunda Purba yang memiliki simbol warna terang dan materialnya adalah cahaya pelangi yang merupakan tempat tinggal Sanghyang Madewa tujuan yang suka beramal baik, mengamalkan pekertinya, tak urung mendapat kebahagiaan, karena tepat yang dipikirkan.

Catatan : Mandala (*) = Tempat Orang Semedi/Uzlah/Tapa/Tirakat mendekatkan atau mensucikan diri Pada Yang Kuasa.


Berikut ini video Situs Cagar Budaya Cipaku Batutulis Bogor, Mandala Barat Sunda yang dibuat oleh Tim Majalah Balebat Bogor:


Bangawan Sawidak Lima dapat diartikan sebagai Enam Puluh Lima Sungai, 65 Daerah Aliran Sungai, Satu Cluster Kabuyutan disebut Nusa karena selalu diapit oleh dua sungai atau selokan sehingga angka 65 adalah 1 Sungai Pusat/Utama dan 64 sungai disekelilingnya, angka 64 adalah 32 x 2 dimana 32 adalah Kabuyutan dan 2 adalah dua sungai yang mengapit kabuyutan tersebut. Secara wilayah dapat digambarkan dalam Skema Kabuyutan di bawah ini, Kabuyutan adalah Nusa diantara dua sungai/Pulau yang diapit oleh dua sungai.


Dibawah ini adalah contoh gambaran Situs Aji Putih Kabuyutan Cipaku Sumedang yang kawasannya merupakan Nusa di antara Dua Sungai (NUSANTARA), Pulau yang di apit oleh dua sungai. Apabila kita pergi ke Bogor Situs Kabuyutan Cipaku Bogor dimana sekarang terdapat Prasasti Batu Tulis, Makam Mbah Dalem, Situs Arca Purwakalih, dan Istana Batutulis lokasinya persis seperti Situs Aji Putih Kabuyutan Cipaku Sumedang yang lokasinya diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan.


Keturunan Prabu Tajimalela yaitu Resi Guru Darmasiksa abad ke-13 kemudian mengukuhkan kembali dan membuat Amanah Buyut dan Amanah Galunggung yang tertera dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, “Buyut nu dititipkeun ka Puun Nusa Telungpuluh Telu, Bangawan Sawidak Lima, Pancer Salawe Nagara, Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Meunang Diruksak, Buyut Teu Meunang Dirempak, Larangan Teu Meunang Dilanggar” kata- kata itu sampai sekarang masih ada dan dilaksanakan oleh Kabuyutan Kanekes Baduy Banten. Abad ke - 15 Prabu Siliwangi membuat Prasasti Kabantenan yang isinya memerintahkan kepada Pasukannya untuk Membunuh Siapa Saja yang Merusak Kabuyutan.


Naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai “Amanat Galunggung” atau “Amanat Prabuguru Darmasiksa”.

Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002 : 12).

“Amanat Galunggung” adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 – 1297 M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad 13 – 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:

– Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
– Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
– Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
– Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
– Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
– Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.

Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., 1984 hal.13)  yaitu :

“Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.” 

Menurut Cerita Mistis Prabu Siliwangi sendiri pernah menginjakan kakinya bersemedi di Sirah Cipaku Dharmaraja Sumedang. 

Sekarang Katukuhan Cipaku (Cicingkeun - Diamkan, Pageuhkeun - Kuatkan, dan Kukuhkeun - Kokohkan) sedang diuji oleh Pembangunan Bendungan Jatigede, yang dimulai sejak Jaman Kolonialisme Penjajahan Belanda dan terus dilanjutkan dalam era Neoimperialisme Negara Republik Indonesia. Seperti kita ketahui cara merusak dan menjajah suatu Bangsa adalah dengan merusak sejarahnya, budayanya, dan peradabannya supaya kehilangan jati diri dan kepercayaan dirinya hilang, menjadi bangsa yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Bangsa yang kemudian menjadi bangsa yang lemah yang menganggap semua yang berasal dari luar lebih baik dari yang dimiliki oleh bangsanya sendiri. Seperti kita ketahui setelah Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran hancur maka yang melanjutkan adalah Kerajaan Sumedang Larang dan pada masa penjajahan Kompeni Belanda (VOC - Kompeni Belanda/Perusahaan Belanda) yang memiliki spirit/semangat melawan penjajahan adalah dari Sumedang yaitu Pangeran Kornel dan Tanuwijaya yang membuat Kampung Baru di Bogor setelah Bogor kosong cukup lama.

Pangeran Kornel dan Tanuwijaya berani melawan Belanda sehingga bagi Penjajah Belanda keberadaan Sumedang sangatlah mengganggu kepentingan mereka dalam mengeruk kekayaan alam Nusantara sehingga harus dihancurkan peradabannya agar mereka bisa menghancurkan Self Esteem/Kepercayaan Dirinya/Jatidirinya sehingga menjadi bangsa yang lemah dan tidak ada perlawanan, hanya sumuhun dawuh atau asal bapak senang, kumaha juragan, membebek mengikuti kepentingan Penjajah/Kompeni. Kompeni Belanda sangat berkepentingan menghancurkan peradaban leluhur Sumedang dan tentu saja dapat kita pahami bahwa Kabuyutan Cipaku lah yang merupakan Cikal Bakal Peradaban Leluhur Sumedang yang akan dihancurkan.


Salah satu strategi Kompeni Belanda untuk melemahkan Sumedang pun mereka membuat Undak Usuk Bahasa dalam tatanan Bahasa Sunda, menciptakan bahasa Sunda Priangan yang membagi Bahasa menjadi tiga bagian yaitu untuk untuk menak atau orang tua (disebut bahasa halus), untuk pergaulan (bahasa loma), dan untuk kalangan rakyat kecil (bahasa kasar). Dengan aturan Undak Usuk Bahasa ini menyebabkan Bahasa Sunda yang tadinya Egaliter tidak Feodal menjadi sangat Feodal karena membagi- bagi golongan masyarakat menjadi beberapa bagian ada yang kastanya tinggi sebagai menak dan bangsawan serta ada rakyat kecil yang dianggap kasar. Hal ini menunjukan pelemahan Bahasa Sunda dan saat ini dapat kita rasakan generasi muda enggan berbahasa Sunda karena undak usuk bahasa takut salah dan takut dianggap kasar (hina), golongan Cacah yang hina/ lebih rendah.

Mega Proyek Bendungan Jatigede hanyalah tameng Kompeni Belanda sebagai alat untuk menutupi niat busuk Kompeni Belanda melemahkan Bangsa Sunda dan Nusantara karena dalam Wangsit Siliwangi disebutkan bahwa suatu saat akan muncul Budak Angon di Lebak Cawene yang akan membawa Nusantara Jaya Di Buana disebut sebagai Pajajaran Anyar. Tentu penjajah siapapun tidak ingin Nusantara Jaya Di Buana, inginnya Nusantara tetap lemah agar terus mudah didominasi oleh para penjajah. Informasi tentang Wangsit Siliwangi bisa dibaca pada Link berikut ini : http://sundanologi.wordpress.com/ .

Kata Kasepuhan, Jatigede adalah Tanaman Tuhan Yang Maha Esa untuk menunjukan Keberadaan-Nya yang selama ini oleh Bangsa Indonesia sudah dilupakan, mesti diingat Al Qur’an dan Haji saja dikorupsi, betapa keringnya Spiritualitas Bangsa ini sehingga Ayat Suci dan Ritual Ibadah saja dilecehkan. Selama ini Tuhan YME sudah memberikan TANDA/SILOKA dengan TAHU SUMEDANG. Tahu Sumedang aneh banget luarnya keras isinya kosong, kenapa isinya kosong? Cari Tahu di Sumedang? Ada Apa di Sumedang, rupanya bukan kita harus mencari Tahu Bungkeng untuk dimakan, tapi Cari TAHU ada apa? Tahu adalah Pengetahuan, ada Ilmu di Kabuyutan Cipaku yang selama ini tidak pernah ada yang tahu.

Orang Sumedang sekarang tidak tahu bahwa Tugu Endog/Monumen Telor dalam sekali maknanya berasal dari Book of Cipaku (buku Cipaku) tentang Teori Penciptaan Alam Semesta, Wawacan Endog Sapatalang. Kondisi Taman Endog sangat menyedihkan sejalan sebangun dan seiring dengan Kabuyutan Cipaku yang dibiarkan terbengkalai oleh para pemimpin Sumedang dan Negeri ini. Padahal Amanah Galunggung Resi Guru Darmasiksa Abad ke-13, menyampaikan “Barang Siapa Pemimpin Yang Tidak Bisa Menjaga Kabuyutannya, lebih hina dari kulit musang yang dibuang ke tempat sampah!”.

Karena itulah sudah 50 tahun lebih, bendungan terlama di dunia, bendungan sudah jadi 100% sampai sekarang belum juga digenangi! Kenapa belum bisa karena di Cipaku ada ITEUK/Tongkat/PATOK Tuhan Yang Maha Esa yang menunjukan keberadaan-Nya.

Adakah yang mampu dan bisa mencabut Patok Tuhan tersebut? Tentu saja jawabannya kita tahu sendiri. Bendungan Jatigede akan menjadi Saksi Sejarah Bahwa Tuhan Yang Maha Esa masih ada dan terus menjaga hukum-hukum-Nya dan tanda-tanda Keberadaan-Nya.

Kebangkitan Nusantara dalam Wangsit Siliwangi dikenal dengan Tokoh Budak Angon dalam Islam pun dikenal dengan Imam Mahdi yang merupakan representasi ruh Nabi Isa AS yang akan bangkit kembali melawan Dajal yang merupakan titisan dari Iblis yang akan menghancurkan keseimbangan dunia. Pembangunan Mega Proyek Waduk Jatigede juga dapat dikatakan merupakan Proyek Sistem Dajjal. 



Di lokasi Genangan Bendungan Jatigede dikenal dengan Kawasan Lemah Sagandu yang merupakan Kawasan Kabuyutan Cipaku, secara Geologi disana merupakan Pusat Gempa dan terdapat Lempeng Tektonik Baribis yang tentu saja terinterkoneksi dengan Sunda Mega Thrust.

Dalam Uga Jatigede Eyang Haji Aji Putih menyampaikan bahwa Jatigede Digenangi Akan Membangunkan Keuyeup Bodas (Kepiting Putih) yang akan menjebol Bendungan, Keuyeup Bodas secara geologi adalah Sunda Mega Thrust dimana berpotensi secara ilmiah menciptakan gempa sampai 9 SR. Bisa dibayangkan apabila gempa 9 SR menghantam Indonesia maka yang terjadi adalah Bendungan Jatigede dan bendungan yang ada di Patahan Aktif akan Jebol. Dalam Wangsit Siliwangi sudah tertera tentang ramalan Talaga Bedah (Bendungan Jebol) sebagai tanda kemunculan Budak Angon/Sistem Mahdi.

Berikut ini adalah video Kampung Kabuyutan Cipaku yang saat ini terancam kelestariannya oleh Mega Proyek Dajal Bendungan Jatigede yang berusaha dihancurkan dari sejak Jaman Kolonialisme Kompeni Belanda dan dilanjutkan Jaman Neoimperialisme Negara Republik Indonesia:




Baca Juga :

Tidak ada komentar